Rabu, 26 Oktober 2016

Memahami Hak Kepemilikan dalam Islam




Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya

Klasifikasi Harta
Ibnu Abidin (w. 1836) membagi harta ke dalam dua pembagian, yaitu harta yang bernilai (mutaqawwim) dan harta yang tidak bernilai (ghoiru mutaqawwim). Harta yang bernilai (mutaqawwim) adalah harta yang diperoleh dengan sebuah upaya dan (secara syara’) diperbolehkan untuk dimanfaatkan, seperti diperjualbelikan, dihibahkan dan diwasiatkan. Sedangkan harta yang tidak bernilai (ghairu mutaqawwim) adalah harta yang belum diraih/dicapai dengan suatu usaha, seperti burung di udara (di alam bebas), atau tidak boleh dimanfaatkan (oleh syara’) seperti khamr.
وقسم المال إلى : مال متقوم وهو ما حيز بالفعل ويصح التصرف به بالبيع والهبة والوصية والرهن. ومال غير متقوم وهو ما لم يحز بالفعل كالهواء ولا يصح التصرف به كالخمر مثلا[1]
Al Zuhayli (1989) juga berpendapat sama dengan Ibnu Abidin (w. 1836) dengan membagi harta dari sisi legalitas penggunaannya ke dalam dua pembagian, yaitu harta yang bernilai (mutaqawwim) dan harta yang tidak bernilai (ghairu mutaqawwim).
Dari klasifikasi menurut Ibnu Abidin (w. 1836) dan az-Zuhaili di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep penilaian harta dalam Fiqh Islami ada diferensiasi antara halal dan haram. Artinya, untuk harta yang non halal (haram) walaupun ia bernilai, namun dianggap sebagai harta yang tidak bernilai, legalitas transaksinya tidak diakui, serta tidak ada kewajiban mengganti bagi perusaknya.
Ditinjau dari ada atau tidak ada padanannya di pasaran, az-Zuhayli (1989) mengklasifikasikan harta ke dalam dua pembagian, yaitu:
a. Al Mitsli
Adalah harta yang memiliki padanan di pasaran, di mana unsur dan satuannya tidak memiliki perbedaan signifikan yang bisa mempengaruhi transaksi.
Harta mistli dapat dikategorikan menjadi 4 bagian:
1.      Sesuatu yang dapat ditakar (المكيلات)
2.      Sesuatu yang dapat ditimbang (الموزونات)
3.      Sesuatu yang dapat dihitung (العداديات)
4.      Sesuatu yang dapat diukur (الذراعيات)
b. Al Qimi
Adalah harta yang tidak memiliki padanan di pasaran, atau memiliki padanan namun terdapat perbedaan yang signifikan dalam unsur dan satuannya, yang dapat mempengaruhi transaksi, seperti satuan hewan.

Penilaian Terhadap Harta
Penilaian harta dalam fikih Islam terdapat perbedaan ulama sebagai berikut:
1.      Menilai aset dari waktu pembelian
2.      Menilai aset dengan harga pasaran
3.      Menilai aset dengan realita harga ketika dijual
Untuk jenis yang pertama dapat kita pahami dari penjelasan dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ala Ibn Qosim berikut:
وتقوم عروض التجارة عند اخر الحول بما اشتريت به (قوله بما اشتريت به أي بالنقد الذي اشتريت به) اهـ حاشية الباجوري ج 1 ص 275[2]
Ketika akhir tahun, komoditas dinilai dengan harga pembeliannya.
Untuk jenis kedua, dapat dipahami dari penjelasan Ba Alawi dalam Bughiyah al Mustarsyidin berikut:
ثم المعتبر في التقويم النظر الى ما يرغب في الأخذ به في مثل ذلك العرض حالا اهـ ع ش اهـ جمل في البغية المسترشدين ص 131 باب في قبض المبيع والاستبدال [3]
Yang dianggap dalam penilaian aset adalah meninjau pada harga pasar yang berlaku saat ini.
Pendapat ini didukung oleh al-Qaradhawi (1993) dalam pernyataannya berikut ini:
المشهور أن تقوم بالسعر الحال الذي تباع به السلعة في السوق عند وجوب الزكاة بها. وقد جاء عن جابر بن زيد من التابعين في عرض يراد به التجارة قومه بنحو من ثمنه يوم حلت فيه الزكاة، ثم اخرج زكاته، وهذا قول معظم الفقهاء اهـ فقه الزكاة ص 336
Pendapat yang populer menyatakan bahwa penilaian terhadap aset menggunakan nilai pasar yang berlaku pada saat penghitungan zakat. Diriwayatkan dari Jabir bin Zaid (tabiin) bahwa penilaian aset menggunakan harga pasar pada saat akhir periode zakat (haul), kemudian dikeluarkan zakatnya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli fiqh.
Untuk jenis ketiga didasarkan pada pernyataan Ibnu Abbas berikut:
وكان ابن عباس يقول لا بأس بالتربص حتى يبيع.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa diperkenankan menunggu sampai persediaan terjual.

Pengukuran Aset
Mengenai pengurukaran aset, Ba Alawi mengutip az-Zayadi sebagai berikut:
(مسئلة ك) الفرق بين الثمن والمثمن هو أنه حيث كان في احد الطرفين نقد فهو الثمن والأخر المثمن وإن كانا نقدين أو عرضين فالثمن ما دخلته الباء. وفائدة ذلك أن الثمن يجوز الاستبدال وهو الاعتياض عنه بخلاف المثمن اهـ ز في البغية المسترشدين ص 131 باب في قبض المبيع والاستبدال
Perbedaan antara tsaman (harga) dan mustamman (barang) adalah meninjau salah satu dari keduanya. Jika salah satunya berupa uang, maka uang itulah tsaman-nya. Jika keduanya sama-sama berupa uang atau sama-sama berupa barang, maka yang dikatakan tsaman adalah yang menjadi pengukur pada saat akad transaksi, yang ditandai dengan huruf “Ba’” (“dengan”) dalam sighat akad (pernyataan kontrak).
Contoh pernyataan kontrak: “saya beli komputer ini dengan handphone.” Dengan demikian, dalam pernyataan kontrak tersebut, tsamannya adalah handphone, sedangkan mutsmannya adalah komputer.
(em)


[1] Ibnu Abidin membagi harta ke dalam: harta yang bernilai (mutaqowwam), yaitu harta yang diperoleh dengan sebuah upaya dan diperbolehkan untuk dimanfaatkan (oleh syara’) seperti diperjualbelikan, dihibahkan, diwasiatkan dan digadaikan dan harta yang tidak bernilai (ghoiru mutaqowwam), yaitu harta yang belum diraih/dicapai dengan suatu usaha seperti udara (di alam bebas) atau tidak boleh dimanfaatkan (oleh syara’) seperti khomr
[2] Di akhir haul, barang dagangan (inventory) dinilai menggunakan harta pada saat pembelian (historical cost)
[3] Kemudian yang dianggap dalam metode penilaian ini adalah melihat pada harga yang disenangi (manusia) dalam membeli barang serupa pada saat ini


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kekaguman Gus Baha' Pada Abuya Sayyid Muhammad

Gus Baha ngaji Kitab Syariatullah Alkholidah karya Sayyid Muhammad bin Alawy Al Maliki.  1. Gus Baha mengakui Kitab karya Sayyid Muhammad Al...