Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya
Klasifikasi Harta
Ibnu
Abidin (w. 1836) membagi harta ke dalam dua pembagian, yaitu harta yang
bernilai (mutaqawwim)
dan harta yang tidak bernilai (ghoiru
mutaqawwim).
Harta yang bernilai (mutaqawwim)
adalah harta yang diperoleh dengan sebuah upaya dan (secara syara’) diperbolehkan
untuk dimanfaatkan,
seperti diperjualbelikan, dihibahkan dan diwasiatkan. Sedangkan harta yang
tidak bernilai (ghairu
mutaqawwim)
adalah harta yang belum diraih/dicapai dengan suatu usaha, seperti burung di udara
(di alam bebas),
atau tidak boleh dimanfaatkan (oleh syara’)
seperti khamr.
وقسم المال إلى : مال متقوم وهو ما حيز بالفعل ويصح التصرف به بالبيع والهبة والوصية والرهن. ومال غير متقوم وهو ما لم يحز بالفعل
كالهواء ولا يصح التصرف به كالخمر مثلا[1]
Al
Zuhayli (1989) juga berpendapat sama dengan Ibnu Abidin (w. 1836) dengan membagi
harta dari sisi
legalitas penggunaannya ke dalam dua pembagian, yaitu
harta yang bernilai (mutaqawwim)
dan harta yang tidak bernilai (ghairu
mutaqawwim).
Dari klasifikasi menurut Ibnu Abidin
(w. 1836) dan az-Zuhaili di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep penilaian
harta dalam Fiqh Islami ada
diferensiasi antara halal dan haram. Artinya,
untuk harta yang non halal (haram)
walaupun ia bernilai, namun dianggap sebagai
harta yang tidak bernilai, legalitas transaksinya tidak diakui, serta
tidak ada kewajiban mengganti bagi perusaknya.
Ditinjau dari ada atau tidak ada
padanannya di pasaran, az-Zuhayli (1989) mengklasifikasikan harta ke dalam dua
pembagian, yaitu:
a.
Al Mitsli
Adalah
harta yang memiliki padanan di pasaran, di mana unsur dan satuannya tidak memiliki
perbedaan signifikan yang bisa mempengaruhi transaksi.
Harta
mistli dapat dikategorikan menjadi 4 bagian:
1.
Sesuatu
yang dapat ditakar (المكيلات)
2.
Sesuatu
yang dapat ditimbang (الموزونات)
3.
Sesuatu
yang dapat dihitung (العداديات)
4.
Sesuatu
yang dapat diukur (الذراعيات)
b.
Al Qimi
Adalah
harta yang tidak memiliki padanan di pasaran, atau memiliki padanan namun terdapat
perbedaan yang signifikan dalam unsur dan satuannya, yang dapat mempengaruhi
transaksi, seperti satuan hewan.
Penilaian
Terhadap Harta
Penilaian harta dalam
fikih Islam terdapat perbedaan ulama sebagai berikut:
1.
Menilai aset dari waktu pembelian
2.
Menilai aset dengan harga pasaran
3.
Menilai aset dengan realita harga
ketika dijual
Untuk jenis yang pertama dapat
kita pahami dari penjelasan dalam kitab Hasyiyah al-Bajuri ala Ibn Qosim berikut:
وتقوم عروض التجارة عند اخر الحول بما اشتريت به (قوله بما اشتريت به أي
بالنقد الذي اشتريت به) اهـ حاشية الباجوري ج 1 ص 275[2]
Ketika akhir tahun,
komoditas dinilai dengan harga pembeliannya.
Untuk jenis kedua, dapat dipahami dari penjelasan Ba
Alawi dalam Bughiyah al Mustarsyidin berikut:
ثم المعتبر في التقويم النظر الى ما يرغب في الأخذ به في مثل ذلك العرض حالا
اهـ ع ش اهـ جمل في البغية المسترشدين ص 131 باب في قبض المبيع والاستبدال [3]
Yang dianggap dalam penilaian aset adalah meninjau pada
harga pasar yang berlaku saat ini.
Pendapat ini didukung oleh al-Qaradhawi (1993) dalam
pernyataannya berikut ini:
المشهور أن تقوم بالسعر الحال الذي تباع به السلعة في السوق عند وجوب الزكاة
بها. وقد جاء عن جابر بن زيد من التابعين في عرض يراد به التجارة قومه بنحو من
ثمنه يوم حلت فيه الزكاة، ثم اخرج زكاته، وهذا قول معظم الفقهاء اهـ فقه الزكاة ص
336
Pendapat yang populer menyatakan bahwa penilaian terhadap
aset menggunakan nilai pasar yang berlaku pada saat penghitungan zakat.
Diriwayatkan dari Jabir bin Zaid (tabiin) bahwa penilaian aset menggunakan harga
pasar pada saat akhir periode zakat (haul), kemudian dikeluarkan
zakatnya. Ini adalah pendapat mayoritas ahli fiqh.
Untuk jenis ketiga didasarkan pada pernyataan Ibnu
Abbas berikut:
وكان ابن عباس يقول لا بأس بالتربص حتى يبيع.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa diperkenankan menunggu
sampai persediaan terjual.
Pengukuran Aset
Mengenai pengurukaran aset, Ba Alawi mengutip az-Zayadi sebagai berikut:
(مسئلة ك) الفرق بين الثمن والمثمن
هو أنه حيث كان في احد الطرفين نقد فهو الثمن والأخر المثمن وإن كانا نقدين أو
عرضين فالثمن ما دخلته الباء. وفائدة ذلك أن الثمن يجوز الاستبدال وهو الاعتياض
عنه بخلاف المثمن اهـ ز في البغية المسترشدين ص 131 باب في قبض المبيع والاستبدال
Perbedaan antara tsaman (harga) dan mustamman (barang)
adalah meninjau salah satu dari keduanya. Jika salah satunya berupa uang, maka uang itulah tsaman-nya. Jika keduanya sama-sama
berupa uang
atau sama-sama berupa barang, maka yang
dikatakan tsaman adalah yang menjadi pengukur pada saat akad transaksi, yang ditandai
dengan huruf “Ba’” (“dengan”) dalam sighat akad (pernyataan kontrak).
Contoh pernyataan kontrak: “saya beli komputer ini dengan
handphone.” Dengan demikian, dalam pernyataan kontrak tersebut, tsamannya adalah handphone, sedangkan mutsmannya adalah komputer.
(em)
[1] Ibnu Abidin membagi harta ke dalam:
harta yang bernilai (mutaqowwam), yaitu harta yang diperoleh dengan
sebuah upaya dan diperbolehkan untuk dimanfaatkan (oleh syara’) seperti
diperjualbelikan, dihibahkan, diwasiatkan dan digadaikan dan harta yang tidak bernilai
(ghoiru mutaqowwam), yaitu harta yang belum diraih/dicapai dengan suatu
usaha seperti udara (di alam bebas) atau tidak boleh dimanfaatkan (oleh syara’)
seperti khomr
[2] Di
akhir haul, barang dagangan (inventory) dinilai menggunakan harta pada
saat pembelian (historical cost)
[3] Kemudian
yang dianggap dalam metode penilaian ini adalah melihat pada harga yang
disenangi (manusia) dalam membeli barang serupa pada saat ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar