Selasa, 25 Oktober 2016

Kisah Kaum Saba' dan Bencana yang Menimpa Mereka (2-Habis)





Tulisan ini merupakan sambungan dari tulisan pertama

Ketika kita kaji Al Quran dengan kelengkapan data sejarah di atas, maka kita akan mengamati bahwa ada kesamaan yang sangat mendasar dalam hal ini. Keduanya, temuan arkeologis dan data sejarah membenar-kan apa yang dicatat dalam Al Quran. Sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, kaum ini, yang tidak mendengarkan peringatan dari nabi mereka dan tanpa rasa syukur telah menolak keimanan, akhirnya dihu-kum dengan banjir yang mengerikan. Banjir ini digambarkan dalam Al Quran dalam ayat-ayat sebagai berikut :

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri, (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena ke-kafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS Saba’, 34: 15-17).

Sebagaimana ditekankan dalam ayat-ayat diatas, kaum Saba’ yang hidup di suatu daerah yang diberkahi dengan kebun-kebun dan kebun-kebun anggur yang subur dan luar biasa indah. Karena terletak di jalur perdagangan, negeri Saba’ memiliki standar kehidupan yang sangat tinggi dan menjadi salah satu kota yang disukai pada masa itu.

Di sebuah negeri dengan standar kehidupan dan keadaan yang sa-ngat bagus, yang seharusnya dilakukan oleh Kaum Saba’ adalah “Makan-lah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya” sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Namun, mereka tidak melakukannya. Mereka memilih untuk mengklaim kemakmuran itu sebagai milik mereka. Mereka menganggap negeri itu adalah milik mereka sendiri, bahwa merekalah yang menjadikan semua keadaan yang luar biasa tersebut ada. Mereka memilih untuk menjadi sombong bukan-nya bersyukur, dan dalam ungkapan ayat tersebut, mereka “berpaling dari Allah”…

Karena mereka mengaku-aku bahwa semua kekayaan adalah milik mereka, maka mereka pun kehilangan semua yang mereka miliki.

Di dalam Al Quran, azab yang dikirimkan kepada kaum Saba’ dina-makan “Sail Al Arim” yang berarti “banjir Arim”. Ungkapan yang di-gunakan dalam Al Quran ini juga menceritakan kepada kita bagaimana bencana ini terjadi. Kata “Arim” berarti bendungan atau rintangan. Ungkapan “Sail Al-Arim” menggambarkan banjir yang datang dengan runtuhnya bendungan ini. Para pengamat Islam telah menetapkan waktu dan tempat kejadian dengan dipandu ungkapan yang digunakan dalam Al Quran tentang banjir Arim. Maududi menulis dalam komentarnya: 

Sebagaimana digunakan pula dalam ungkapan Sail Al Arim, kata “Arim” diturunkan dari kata “arimen” yang digunakan dalam dialek Arab Selatan yang berarti “bendungan, rintangan”. Dalam reruntuhan yang terungkap dalam penggalian yang dilakukan di Yaman, kata tersebut tampaknya sering digunakan dalam pengertian ini. Misalnya, dalam prasasti yang dipesan oleh Ebrehe (Abrahah), raja Yaman Habesh, setelah perbaikan dinding Ma'rib yang besar pada tahun 542 dan 543 M, kata ini berkali-kali digunakan untuk mengartikan bendungan. Jadi, ungkapan sail al-Arim berarti “sebuah ben-cana banjir yang terjadi setelah runtuhnya sebuah bendungan.” 

“Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’, 34: 16). Yakni, setelah runtuhnya dinding bendungan, seluruh negeri digenangi banjir. Saluran-saluran yang telah digali oleh kaum Saba’ serta dinding yang telah didirikan dengan membangun perintang di antara gunung-gunung tersebut runtuh, dan sistem pengairan pun hancur be-rantakan. Akibatnya, kawasan yang seperti kebun tersebut berubah menjadi hutan. Tidak ada lagi buah yang tersisa kecuali buah seperti ceri dari pepohonan kecil bertunggul.

Werner Keller, seorang ahli arkeologi Kristen penulis buku Und die Bible Hat Doch Recht (Alkitab Terbukti Benar), setuju bahwa banjir Arim terjadi sebagaimana digambarkan dalam Al Quran dan menulis bahwa keberadaan bendungan semacam itu dan kehancuran seluruh negeri ka-rena keruntuhannya membuktikan bahwa contoh yang diberikan dalam Al Quran tentang kaum pemilik kebun-kebun tersebut adalah benar adanya .

Setelah bencana banjir Arim, daerah tersebut mulai berubah menjadi padang pasir dan kaum Saba’ kehilangan sumber pendapatan mereka yang terpenting dengan hilangnya lahan pertanian mereka. Kaum terse-but, yang tidak mengindahkan seruan Allah untuk beriman dan ber-syukur kepada-Nya, akhirnya diazab dengan sebuah bencana seperti ini. Setelah kehancuran besar yang disebabkan oleh banjir, kaum tersebut mulai terpecah-belah. Kaum Saba’ mulai meninggalkan rumah-rumah mereka dan berpindah ke Arab Selatan, Makkah, dan Syria.

Karena banjir tersebut terjadi setelah penyusunan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, peristiwa ini hanya disebutkan di dalam Al Quran. 

Kota Ma'rib yang pernah dihuni oleh Kaum Saba’, namun sekarang hanyalah reruntuhan yang terpencil, tidak diragukan lagi merupakan peringatan bagi mereka yang mengulangi kesalahan yang sama sebagai-mana kaum Saba’. Kaum Saba’ bukanlah satu-satunya kaum yang di-hancurkan oleh banjir. Dalam Al Quran surat Al Kahfi diceritakan kisah dua pemilik kebun. Salah satunya memiliki kebun yang sangat mengesankan dan menghasilkan seperti yang dimiliki oleh kaum Saba’. Namun, ia pun melakukan kesalahan serupa sebagaimana mereka: ber-paling dari Allah. Ia mengira anugerah yang dilimpahkan kepadanya “dimilikinya” sendiri, yakni ialah penyebab semua itu:

“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan yang besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika ia ber-cakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.” Dan dia memasuki kebunnya se-dang dia zalim kepada dirinya sendiri; Ia berkata: ”Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepa-da Tuhanku, pasti aku akan mendapat kembali tempat yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhan-ku dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki ke-bunmu “Masya Allah - tidak ada kekuatan kecuali dengan (perto-longan) Allah?”. Jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal harta dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) men-jadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi”. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap biaya yang telah dibelan-jakannya untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dahulu aku tidak mem-persekutukan seorang pun dengan Tuhanku”. Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi Pahala dan sebaik-baik Pemberi Balasan.” (QS. Al Kahfi, 18: 32-44)

Sebagaimana dapat dipahami dari ayat-ayat ini, kesalahan yang di-lakukan oleh pemilik kebun bukanlah mengingkari keberadaan Allah. Ia tidak mengingkari keberadaan Allah, sebaliknya ia mengira bahwa “meskipun jika dikembalikan kepada Tuhannya” ia tentu akan menda-patkan balasan yang lebih baik. Ia meyakini bahwa keadaan yang diala-minya, hanyalah disebabkan oleh usaha-usahanya sendiri yang sukses.
Sebenarnya, ini persis maknanya dengan mempersekutukan Allah: mencoba untuk mengaku-aku atas segala sesuatu milik Allah dan hilang-nya rasa takut seseorang kepada Allah karena menganggap bahwa sese-orang memiliki keagungan tertentu dari dirinya sendiri, dan Allah bagai-manapun akan “menunjukkan kemurahan” pada seseorang.
Inilah yang juga dilakukan oleh kaum Saba’, hukuman mereka adalah sama - semua daerah kekuasaannya hancur - sehingga mereka dapat memahami bahwa mereka bukanlah “pemilik “ kekuatan tetapi kekuatan itu hanyalah “dikaruniakan” kepada mereka.

Sumber: Harun Yahya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kekaguman Gus Baha' Pada Abuya Sayyid Muhammad

Gus Baha ngaji Kitab Syariatullah Alkholidah karya Sayyid Muhammad bin Alawy Al Maliki.  1. Gus Baha mengakui Kitab karya Sayyid Muhammad Al...