Senin, 24 Oktober 2016

Idiologi KH. Hasyim Asyari: Pentingnya Mengikuti Madzhab Empat (1)





رِسَالَةٌ فِيْ تَأَكُّدِ الْأَخْذِ بِمَذَاهِبِ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ
تَأْلِيْفُ الشَّيْخِ مُحَمَّدْ هَاشِمْ أَشْعَرِي (1287-1366هـ)

Risalah Tentang Pentingnya Mengikuti Madzhab Empat
Karya Hadlratusysyaikh KH.Hasyim Asy’ari
(1287H-1366H)

اِعْلَمْ أَنَّ فِي الْأَخْذِ بِهَذِهِ الْمَذَاهِبِ الْأَرْبَعَةِ مَصْلَحَةً عَظِيْمَةً وَفِي الْإِعْرَاضِ عَنْهَا كُلِّهَا مَفْسَدَةً كَبِيْرَةً

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya mengikuti madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali) mengandung kemaslahatan yang besar, dan meninggalkan seluruhnya membawa resiko kerusakan yang fatal.

وَنَحْنُ نُبَيِّنُ ذَلِكَ بِوُجُوْهٍ

Kami akan menjelaskan persoalan diatas dari beberapa aspek:

أَحَدُهَا أَنَّ الْأُمَّةَ اِجْتَمَعَتْ عَلَى أَنْ يَعْتَمِدُوْا عَلَى السَّلَفِ فِيْ مَعْرِفَةِ الشَّرِيْعَةِ

Pertama, bahwa umat Islam telah sepakat bulat untuk mengacu dan menjadikan ulama salaf sebagai pedoman dalam mengetahui, memahami, dan mengamalkan syariat Islam secara benar.

فَالتَّابِعُوْنَ اِعْتَمَدُوْا فِيْ ذَلِكَ عَلَى الصَّحَابَةِ وَتُبَّعُ التَّابِعِيْنَ اِعْتَمَدُوْا عَلَى التَّابِعِيْنَ وَهَكَذَا فِيْ كُلِّ طَبَقَةٍ اِعْتَمَدَ الْعُلَمَاءُ عَلَى مَنْ قَبْلَهُمْ

Dalam hal ini, para tabi'in mengikuit jejak para sahabat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, lalu para pengikut tabi'in meneruskan langkah dengan mengikuti jejak para tabi'in. Demikianlah seterusnya, pada setiap generasi, para ulama pasti mengacu dan merujuk kepada orang-orang dari generasi sebelumnya.

وَالْعَقْلُ يَدُلُّ عَلَى حُسْنِ ذَلِكَ لِأَنَّ الشَّرِيْعَةَ لَا تُعْرَفُ إِلَّا بِالنَّقْلِ وَالْإِسْتِنْبَاطِ

Akal yang sehat menunjukkan betapa baiknya pola pemahaman dan pengamalan syariat Islam yang seperti itu. Sebab syariat Islam tidak dapat diketahui kecuali dengan cara naql (mengambill dari generasi sebelumnya) dan istinbath (mengeluarkan dari sumbernya, Al Quran dan al Hadits, melalui ijtihad untuk menetapkan hukum).

وَالنَّقْلُ لَا يَسْتَقِيْمُ إِلَّا بِأَنْ تَأْخُذَ كُلُّ طَبَقَةٍ عَمَّنْ قَبْلَهَا بِالْإِتِّصَالِ

Naql tidak mungkin dilakukan dengan benar kecuali dengan cara setiap generasi mengambil langsung dari generasi sebelumnya secara berkesinambungan.

وَلَا بُدَّ فِي الْإِسْتِنْبَاطِ أَنْ يَعْرِفَ مَذَاهِبَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ لِئَلَّا يَخْرُجَ عَنْ أَقْوَالِهِمْ فَيَخْرِقُ الْإِجْمَاعَ وَيَبْنِيْ عَلَيْهَا وَيَسْتَعِيْنُ فِيْ ذَلِكَ بِمَنْ سَبَقَهُ

Sedangkan untuk istinbath, disyaratkan harus mengetahui madzhab-madzhab ulama generasi terdahulu agar tidak menyimpang dari pendapat-pendapat mereka yang bisa

berakibat menyalahi kesepakatan mereka (ijma’). Dan melanjutkan madzhab-madzhab tersebut dengan ditunjang madzhab-madzhab ulama generasi sebelumnya

لِأَنَّ جَمِيْعَ الصِّنَاعَاتِ كَالصَّرْفِ وَالنَّحْوِ وَالطِّبِّ وَالشِّعْرِ وَالْحِدَادَةِ وَالتِّجَارَةِ وَالصِّيَاغَةِ لَمْ تَتَيَسَّرْ لِأَحَدٍ إِلَّا بِمُلَازَمَةِ أَهْلِهَا وَغَيْرُ ذَلِكَ نَادِرٌ بَعِيْدٌ لَمْ يَقَعْ وَإِنْ كَانَ جَائِزًا فِي الْعَقْلِ

Sebab, semua pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki seseorang, misalnya dibidang shorof, nahwu, kedokteran, kesusastraan, pandai besi, perdagangan dan keahlian logam mulia, tidak mungkin begitu saja mudah dipelajari oleh seseorang kecuali dengan terus menerus belajar kepada ahlinya. Diluar cara itu, sungguh sangat langka dan jauh dari kemungkinan, bahkan nyaris tidak pernah terjadi, kendatipun secara akal boleh saja terjadi.

وَإِذَا تَعَيَّنَ الْإِعْتِمَادُ عَلَى أَقَاوِيْلِ السَّلَفِ فَلَا بُدَّ مِنْ أَنْ تَكُوْنَ أَقْوَالُهُمْ اَلَّتِيْ يُعْتَمَدُ عَلَيْهَا مَرْوِيَّةً بِالْإِسْنَادِ الصَّحِيْحِ أَوْ مُدَوَّنَةً فِيْ كُتُبٍ مَشْهُوْرَةٍ

Jika pendapat-pendapat para ulama salaf telah menjadi keniscayaan untuk dijadikan pedoman, maka pendapat-pendapat mereka yang dijadikan pedoman itu haruslah diriwayatkan dengan sanad (mata-rantai) yang benar dan bisa dipercaya, atau dituliskan dalam kitab-kitab yang masyhur

وَأَنْ تَكُوْنَ مَخْدُوْمَةً بِأَنْ يُبَيَّنَ الرَّاجِحُ مِنْ مُحْتَمَلَاتِهَا وَيُخَصَّصَ عُمُوْمُهَا فِيْ بَعْضِ الْمَوَاضِعِ وَيُقَيَّدَ مُطْلَقُهَا فِيْ بَعْضِ الْمَوَاضِعِ وَيُجْمَعَ الْمُخْتَلَفُ مِنْهَا وَيُبَيَّنَ عِلَلُ أَحْكَامِهَا وَإِلَّا لَمْ يَصِحَّ الْاِعْتِمَادُ عَلَيْهَا

dan telah diolah (dikomentari) dengan menjelaskan pendapat yang unggul dari pendapat lain yang serupa, menyendirikan persoalan yang khusus (takhshish) dari yang umum, membatasi yang muthlaq dalam konteks tertentu, menghimpun dan menjabarkan pendapat yang berbeda dalam persoalan yang masih diperselisihkan serta menjelaskan alasan timbulnya hukum yang demikian. Karena itu, apabila pendapat-pendapat ulama tadi tidak memenuhi syarat yang telah ditentukan seperti diatas, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan pedoman.

وَلَيْسَ مَذْهَبٌ فِيْ هَذِهِ الْأَزْمِنَةِ الْمُتَأَخِّرَةِ بِهَذِهِ الصِّفَةِ إِلَّا هَذِهِ الْمَذَاهِبُ الْأَرْبَعَةُ اَللَّهُمَّ إِلَّا مَذْهَبَ الْإِمَامِيَّةِ وَالزَّيْدِيَّةِ وَهُمْ أَهْلُ الْبِدْعَةِ لَا يَجُوْزُ الْاِعْتِمَادُ عَلَى أَقَاوِيْلِهِمْ

Tidak ada satu madzhabpun di zaman akhir ini yang memenuhi syarat dan sifat seperti diatas selain madzhab empat ini. Memang ada juga madzhab yang mendekati syarat dan sifat diatas, yaitu madzhab Imamiyah (Syi'ah) dan Zaydiyah (golongan Syi'ah). Namun keduanya adalah golongan ahlu bid'ah, sehingga keduanya tidak boleh dijadikan pegangan.

وَثَانِيْهَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِتَّبِعُوا السَّوَادَ الْأَعْظَمَ
وَلَمَّا انْدَرَسَتْ اَلْمَذَاهِبُ الْحِقَّةُ إِلَّا هَذِهِ الْأَرْبَعَةَ كَانَ اتِّبَاعُهَا اِتِّبَاعًا لِلسَّوَادِ الْأَعْظَمِ وَالْخُرُوْجُ عَنْهَا خُرُوْجًا عَنِ السَّوَادِ الْأَعْظَمِ

Kedua, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda: "Ikutilah golongan terbesar (as-Sawad al-A'zham)!”.
Ketika beberapa madzhab yang tergolong benar telah hilang dan yang tersisa hanya tinggal empat madzhab ini, maka nyatalah bahwa mengikuti empat madzhab berarti mengikuti as-Sawad al-A'zham, dan keluar dari sana berarti telah keluar dari as-Sawad al-A'zham.

وَثَالِثُهَا أَنَّ الزَّمَانَ لَمَّا طَالَ وَبَعُدَ الْعَهْدُ وَضُيِّعَتِ الْأَمَانَاتُ لَمْ يَجُزْ أَنْ يُعْتَمَدَ عَلَى أَقْوَالِ عُلَمَاءِ السُّوْءِ مِنَ الْقُضَاةِ الْجَوَرَةِ وَالْمُفْتِيْنَ التَّابِعِيْنَ لِأَهْوَائِهِمْ حَتَّى يَنْسِبُوْا مَا يَقُوْلُوْنَ إِلَى بَعْضِ مَنْ اِشْتَهَرَ مِنَ السَّلَفِ بِالصِّدْقِ وَالدِّيَانَةِ وَالْأَمَانَةِ إِمَّا صَرِيْحًا أَوْ دَلَالَةً وَحِفْظِ قَوْلِهِ فِيْ ذَلِكَ وَلَا عَلَى قَوْلِ مَنْ لَا نَدْرِيْ هَلْ جَمَعَ شُرُوْطَ الْإِجْتِهَادِ أَوْ لَا

Ketiga, pada saat zaman sudah begitu lama berputar, makin jauh (dari masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam), dan amanat menjadi begitu mudah disia-siakan, maka tidak boleh berpegang pada pendapat-pendapat oknum-oknum ulama yang buruk, baik dari kalangan hakim-hakim yang menyeleweng maupun mufti-mufti yang hanya mengikuti hawa nafsunya, meskipun mereka mengaku bahwa pendapatnya itu sesuai dengan pendapat ulama salaf yang masyhur integritas pribadinya, loyalitas agamanya dan amanah moralnya, baik secara eksplisit maupun secara implisit, serta memelihara pendapatnya secara bertanggung jawab. Kitapun tidak boleh mengikuti pendapat orang yang kita belum mengetahui persis apakah yang bersangkutan sudah memenuhi persyaratan ijtihad atau belum.

فَإِذَا رَأَيْنَا الْعُلَمَاءَ الْمُحَقِّقَيْنَ فِيْ مَذَاهِبِ السَّلَفِ عَسَى أَنْ يَصْدُقُوْا فِيْ تَخْرِيْجَاتِهِمْ عَلَى أَقْوَالِهِمْ وَاسْتِنْبَاطِهِمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ وَأَمَّا إِذَا لَمْ نَرَ مِنْهُمْ ذَلِكَ فَهَيْهَاتَ

Apabila kita melihat para ulama ahli tahqiq (penelitian) yang menekuni madzhab-madzhab para ulama salaf, maka ada harapan bahwa mereka akan memperoleh kebenaran dalam usahanya merumuskan pendapat dan penggalian ketentuan-ketentuan hukum dari al-Qur'an dan as-Sunnah. Sebaliknya, apabila kita tidak melihat hal itu kepada mereka, maka sungguh jauh dari kemungkinan memperoleh kebenaran yang diharapkan.

وَهَذَا الْمَعْنَى الَّذِيْ أَشَارَ إِلَيْهِ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ حَيْثُ قَالَ يَهْدِمُ الْإِسْلَامَ جِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَابْنُ مَسْعُوْدٍ حَيْثُ قَالَ مَنْ كَانَ مُتَّبِعًا فَلْيَتَّبِعْ مَنْ مَضَى

Inilah pengertian yang secara tidak langsung ditunjukkan oleh Khalifah ‘Umar bin Khatthab radhiyallaahu ‘anhu melalui perkataannya: "Islam akan hancur akibat kelihaian orang-orang munafik dalam berdebat dengan menggunakan al-Qur'an."
Dan juga sahabat Ibnu Mas'ud berpesan: "Barangsiapa menjadi pengikut (yang baik) maka hendaklah mengikuti (para ulama) generasi sebelumnya."

فَمَا ذَهَبَ اِلَيْهِ ابْنُ حَزْمٍ حَيْثُ قَالَ اَلتَّقْلِيْدُ حَرَامٌ إِلَى آخِرِهْ إنَّمَا يَتِمُّ فِيْمَنْ لَهُ ضَرْبٌ مِنَ الْاِجْتِهَادِ وَلَوْ فِيْ مَسْأَلَةٍ وَاحِدَةٍ

Dengan demikan gagasan yang pernah dilontarkan Ibnu Hazm bahwa taqlid itu hukumnya haram, sesungguhnya hanya ditujukan kepada orang yang memiliki kemampuan berijtihad meskipun hanya dalam satu permasalahan,

وَفِيْمَنْ ظَهَرَ عَلَيْهِ ظُهُوْرًا بَيِّنًا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِكَذَا وَنَهَى عَنْ كَذَا وَأَنَّهُ لَيْسَ بِمَنْسُوْخٍ إِمَّا بِأَنْ يَتَتَبَّعَ الْأَحَادِيْثَ وَأَقْوَالَ الْمُخَالِفِ وَالْمُوَافِقِ فِي الْمَسْأَلَةِ فَلَا يَجِدُ لَهَا نَسْخًا

serta buat orang yang konkrit meyakini bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan ini atau melarang itu, sedang perintah atau larangan itu belum dihapuskan.
Keyakinan mungkin dapat diperoleh dengan meneliti banyak Hadits dan pendapat para ulama yang menentang maupun yang setuju, lalu jelas bahwa ketentuannya belum terhapuskan

أَوْ بِأَنْ يَرَى جَمًّا غَفِيْرًا مِنَ الْمُتَبَحِّرِيْنَ فِي الْعِلْمِ يَذْهَبُوْنَ إِلَيْهِ وَيَرَى الْمُخَالِفَ لَهُ لَا يَحْتَجُّ اِلَّا بِقِيَاسٍ أَوْ اِسْتِنْبَاطٍ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ

Atau mungkin dengan melihat mayoritas terbesar dari golongan ulama yang mendalami ilmunya ternyata sependapat dalam ketentuan tersebut, sementara golongan yang menentangnya tidak mampu mengajukan dalil kecuali hanya berupa qiyas atau istinbath atau yang sejenisnya (bukan berupa dalil nash).

فَحِيْنَئِذٍ لَا سَبَبَ لِمُخَالَفَةِ حَدِيْثِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَّا نِفَاقٌ خَفِيٌّ
أَوْ حُمْقٌ جَلِيٌّ

Jika demikian maka tidak ada dalih untuk menyalahi Hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam selain kemunafikan yang terselubung atau kebodohan yang nyata. (bersambung)

Oleh KH. Abdulloh Afif
Sumber: Piss ktb

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adab-adab berdoa

Adab-adab berdoa  Doa berarti memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala terhadap sesuatu yang bersifat baik. Seperti berdoa m...