Merajut Ekstase
dengan Seruling
dan Puisi
Di keluasan bumi
Tuhan, mengapa engkau tertidur di sebuah penjara?
Abaikan
pemikiran-pemikiran rumit, untuk melihat jawaban-jawaban tersembunyi.
Diamlah dari
kata-kata untuk meraih kalam abadi.
Tinggalkan
“kehidupan” dan “dunia” untuk menyaksikan “Kehidupan Dunia”.
(Maulana Jalaluddin ar-Rumi)
Di Majelis sang
Pembawa Cawan yang ramah, berputarlah
Masuklah ke dalam
lingkaran.
Berapa lama
engkau mengitarinya? Inilah tawarannya:
Tinggalkan satu
kehidupan, raihlah keramahan Penggembala...
Hentikan pikiran
kecuali bagi Pencipta Pikiran
Berpikir tentang
“kehidupan” lebih baik daripada berpikir tentang roti.
Puisi-puisi
religius semacam ini kerap terdengar di awal bulan Desember setiap tahun di
Konya, Turki. Kota itu bertambah semarak saja pada tanggal 17 Desember, malam
puncak sebuah festival. Malam itu disebut dengan “Sheb-I Arus” yang berarti
“Malam Perkawinan”; malam pertemuan seorang hamba dengan Tuhannya.
Malam itu
bertepatan dengan malam wafatnya seorang sufi besar, Maulana Jalaluddin
ar-Rumi. Ar-Rumi adalah pendiri tarekat Maulawiyah, aliran tarekat yang identik
dengan samâ‘ (tarian berberputar yang diiringi musik seruling dan pembacaan
puisi-puisi ar-Rumi maupun sufi yang lain), yang bertujuan mencapai ekstase,
klimaks dari seluruh tahap pendakian relegius para sufi. Ar-Rumi juga dikenal
lewat gubahan syair-syair religiusnya, syair-syairnya kini digandrungi banyak
pengamat sastra Eropa dan Amerika.
Latar Belakang
Jalaluddin
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Husain ar-Rumi al-Qunawi lahir dari
keluarga Persia di Balkh (kini di Afganistan), pada 30 September 1207 M.
bertepatan dengan tahun 604 H. Ar-Rumi adalah keturunan generasi ke sembilan
dari Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq .
Ayahanda ar-Rumi,
Muhammad bin Muhammad bin Husain (w. 628 H.) memiliki hubungan dengan keluarga
Khuwarizm Syah, raja terbesar Dinasti Khuwarizm yang berkuasa di Bukhara dan
Samarkand antara tahun 1097-1231 M. Tahun 609 M., ia membawa keluarganya
meninggalkan Balkh demi menghindari serangan bangsa Mongol. Mereka sempat
berkeliling ke Nisabur (Iran timur laut), Baghdad, Mekah dan kota-kota lain
sebelum akhirnya menetap di Konya, ibukota Dinasti Seljuk yang berkuasa di Rum
(kini Turki) antara tahun 1077-1296 M. Ayah ar-Rumi sendiri pindah ke Konya
karena diminta oleh raja Seljuk, ‘Ala’uddin Kaikobadz (1219-1236 M.).
Dari Pakar Fikih
ke Sufi
Ayah ar-Rumi
adalah seorang guru besar keagamaan yang mengajar di Konya. Ar-Rumi pertama
kali berguru kepada sang ayah, kemudian kepada Bahauddin Muhaqqiq at-Tirmidzi.
Setelah Bahauddin wafat, ar-Rumi kemudian menggantikannya mengajar di Konya.
Keseluruhannya, ar-Rumi mengajar di empat madrasah di kota itu dan memiliki
kurang lebih 4.000 murid.
Ar-Rumi pada
mulanya dikenal sebagai pakar fikih bermazhab Hanafi. Ia juga menguasai
perbandingan mazhab dan beberapa disiplin ilmu lain. Akan tetapi ar-Rumi
kemudian berputar haluan menjadi sufi setelah pada tahun 642 H., ia bertemu
dengan seorang darwis misterius, Syamsuddin at-Tabrizi.
At-Tabrizi
diyakini memantik ketertarikan ar-Rumi untuk terjun ke dunia tasawuf. Pemikiran
at-Tabrizilah yang kemudian banyak menginspirasi ajaran tasawuf yang kelak
diusung oleh ar-Rumi melalui tarekat Maulawiyahnya. Sebagai bentuk apresiasi
ar-Rumi terhadap at-Tabrizi, Ar-Rumi mendedikasikan salah satu karyanya yang
berisi 33.000 bait, “Dîwân asy-Syams at-Tabrizi”, untuk sang guru spiritual.
Ar-Rumi dan
al-Matsnawi al-Ma‘nawi
Pada tahun 1997,
tabloid Christian Science Monitor menempatkan Maulana Jalaluddin ar-Rumi
sebagai penyair paling laris di Amerika. Hal itu tidaklah berlebihan, sebab
ar-Rumi dikenal begitu luas sebagai seorang penyair sekaligus mistikus sufi
yang memiliki pengaruh paling kuat dalam dunia sastra sufi. Syair-syairnya
tidak hanya dibaca oleh penikmat sastra Muslim, tetapi juga oleh kalangan
non-Muslim (Barat).
Karya utama
Jalaluddin ar-Rumi, yang secara umum dianggap sebagai salah satu buku luar
biasa di dunia, adalah al-Matsnawi al-Ma‘nawi. Buku yang terdiri dari enam
jilid ini memuat 25.700 bait puisi karya ar-Rumi.
Al-Matsnawi lahir
dan berawal dari persahabatan ar-Rumi dengan Husamuddin al-Halabi. Suatu hari
Husamuddin mengutarakan idenya pada Maulana, “Andai saja Engkau menulis sebuah
buku seperti Ilâhi Namah milik Sana’i (Abu al-Majd Majdud, w. 1131 M.) atau
Manthiq ath-Thair karya Fariduddin al-‘Aththar (w. 627 H.), itu akan menjadi
sekumpulan puisi bagi banyak penyanyi keliling. Mereka akan mengisi hatinya
dengan hasil karyamu serta mengiringinya dengan gubahan musik.”
Ar-Rumi tersenyum
dan mengambil secarik kertas dari lipatan surbannya yang berisi 80 baris dari
al-Matsnawi-nya, dimulai dari:
Dengarkan harapan
dan dongeng yang diceritakan
Bagaimana itu
menyanyikan perpisahan…
Cuplikan sajak
yang dilantunkan ar-Rumi rupanya membuat Husamuddin terpesona. Sejak saat itu,
Husamuddinlah yang menuliskan sajak-sajak ar-Rumi ketika dia
mendeklamasikannya. Proses ini digambarkan oleh Husamuddin: “Ar-Rumi tidak
pernah menyentuh pena ketika menulis al-Matsnawi, di manapun dia berada, di
madrasah, di taman, kolam renang di Konya, atau di kebun anggur. Aku menulisnya
saat dia mendeklamasikannya, siang dan malam dalam beberapa hari. Setiap
penyempurnaan dari tiap buku aku membacanya kembali padanya, sehingga dia dapat
membenahi apa yang telah ditulis.”
Al-Matsnawi
al-Ma‘nawi adalah karya spiritual terbesar yang pernah ditulis manusia.
Al-Matsnawi memuat kisah para nabi, ajaran keagamaan dan akhlak. Al-Matsnawi
juga berisi penuh dengan spektrum kehidupan di dunia, setiap kegiatan manusia;
religi, budaya, politik, perdagangan; setiap karakter manusia dari yang vulgar
sampai yang halus –seperti tiruan dari dunia secara detail– juga fabel, sejarah
dan geografi.
Selain
al-Matsnawi, karya-karya monumental ar-Rumi lainnya adalah Fîhi Mâ Fîhi (di
dalamnya apa yang ada di dalamnya), Maktûbât, serta kumpulan riwayat hidup
orang-orang saleh, Manâqib al-‘Ârifîn, yang seluruhnya mengandung bagian-bagian
penting dari ajaran-ajaran tasawufnya.
Tarekat
Maulawiyah
Menari merupakan
ciri khas tarekat yang didirikan ar-Rumi, Maulawiyah. “Menari tidaklah menyerah
pada rasa sakit, seperti butiran debu yang tertiup berputar dalam angin. Menari
adalah ketika bangun di dua dunia, menyobek hatimu menjadi serpihan-serpihan dan
membangunkan jiwamu,” kata ar-Rumi. Tentang tarian ini ar-Rumi menggambarkan
“Seperti gelombang di atas putaran kepalaku, maka dalam tarian suci Kau dan aku
pun berputar. Menarilah, oh Pujaan Hati, jadilah lingkaran putaran. Terbakarlah
dalam nyala api–bukan dalam nyala lilin-Nya.”
Tarian dan
nyanyian yang menjadi praktik ritual khas ala tarekat Maulawiyah ini kemudian
masyhur disebut dengan Samâ‘. Dalam praktiknya, beberapa orang sufi masuk ke
dalam lingkaran dan menari berputar-berputar secara bersamaan, seraya diiringi
musik seruling –sebagai instrumen utama tarekat Maulawiyah–dan pembacaan
syair-syair religius gubahan ar-Rumi ataupun sufi lain. Belakangan, tarian ini
sangat digandrungi banyak kalangan di dunia Muslim maupun non-Muslim.
Ketika ditanya
mengenai tarian Samâ‘-nya yang dinilai melenceng dari syariat, ar-Rumi punya
jawaban menarik. Dengan latar belakang sebagai mantan pakar fikih, ar-Rumi
berdalih menggunakan kaidah “adh-dharûrât tubîhu al-mahzhûrât” (keadaan darurat
menyebabkan hal-hal yang terlarang menjadi boleh). Menurut ar-Rumi, bila untuk
memenuhi kebutuhan jasmani saja, sesuatu yang haram bisa menjadi halal karena
darurat (seperti daging babi bagi seseorang yang kelaparan sampai hampir mati),
lebih-lebih kebutuhan ruhani.
Salah satu ajaran
penting yang juga menonjol dalam tarekat Maulawiyah adalah mengenai wahdat
al-wujûd, dalam arti bahwa Tuhan adalah Wujud yang Meliputi. Jadi, wahdat
al-wujûd dalam keyakinan ar-Rumi ini tidak seperti yang pemahaman salah
orang-orang awam yang menyatakan bahwa segala sesuatu adalah Allah, atau bahwa
Allah adalah segala sesuatu.
Ketika ar-Rumi
meninggal dunia pada tahun 1273 M., ia meninggalkan putranya, Bahauddin, untuk
melanjutkan kepemimpinan tarekat Maulawiyah. Tarekat Maulawiyah kini berkembang
pesat di Konya, Turki dan Syria (Suriah).
Hembusan Nafas
Terakhir
Maulana
Jalaluddin ar-Rumi wafat pada tanggal 5 Jumadal Akhirah tahun 672 H. atau 17
Desember 1273 M. Pada masa hidupnya ia dikelilingi oleh orang-orang dari setiap
agama, begitu pula waktu pemakamannya yang dihadiri oleh orang-orang dari
berbagai macam kepercayaan.
Seorang Kristen
ditanya, mengapa ia menangis begitu pilu atas kematian seorang guru Muslim. Ia
menjawab, “Kami menghargainya seperti kami menghargai Musa, Dawud dan Yesus
zaman ini. Kami semua adalah para pengikut dan muridnya.”
Pada batu nisan
ar-Rumi, tertulis sebuah petuah yang begitu menyentuh, “Ketika kita mati,
jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.”
Penulis: Moh. Yasir
Tidak ada komentar:
Posting Komentar