Kamis, 27 Oktober 2016

Mengenal Lebih Dekat Jalaluddin ar-Rumi: Sufi Besar dengan Sejuta Sastra



Maulana Jalaludin ar-Rumi (604-672 H./1207-1274 M.)
Merajut Ekstase
dengan Seruling dan Puisi

Di keluasan bumi Tuhan, mengapa engkau tertidur di sebuah penjara?
Abaikan pemikiran-pemikiran rumit, untuk melihat jawaban-jawaban tersembunyi.
Diamlah dari kata-kata untuk meraih kalam abadi.
Tinggalkan “kehidupan” dan “dunia” untuk menyaksikan “Kehidupan Dunia”.
 (Maulana Jalaluddin ar-Rumi)


Di Majelis sang Pembawa Cawan yang ramah, berputarlah
Masuklah ke dalam lingkaran.
Berapa lama engkau mengitarinya? Inilah tawarannya:
Tinggalkan satu kehidupan, raihlah keramahan Penggembala...
Hentikan pikiran kecuali bagi Pencipta Pikiran
Berpikir tentang “kehidupan” lebih baik daripada berpikir tentang roti.

Puisi-puisi religius semacam ini kerap terdengar di awal bulan Desember setiap tahun di Konya, Turki. Kota itu bertambah semarak saja pada tanggal 17 Desember, malam puncak sebuah festival. Malam itu disebut dengan “Sheb-I Arus” yang berarti “Malam Perkawinan”; malam pertemuan seorang hamba dengan Tuhannya.

Malam itu bertepatan dengan malam wafatnya seorang sufi besar, Maulana Jalaluddin ar-Rumi. Ar-Rumi adalah pendiri tarekat Maulawiyah, aliran tarekat yang identik dengan samâ‘ (tarian berberputar yang diiringi musik seruling dan pembacaan puisi-puisi ar-Rumi maupun sufi yang lain), yang bertujuan mencapai ekstase, klimaks dari seluruh tahap pendakian relegius para sufi. Ar-Rumi juga dikenal lewat gubahan syair-syair religiusnya, syair-syairnya kini digandrungi banyak pengamat sastra Eropa dan Amerika.

Latar Belakang

Jalaluddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Husain ar-Rumi al-Qunawi lahir dari keluarga Persia di Balkh (kini di Afganistan), pada 30 September 1207 M. bertepatan dengan tahun 604 H. Ar-Rumi adalah keturunan generasi ke sembilan dari Khalifah pertama, Abu Bakar ash-Shiddiq .
Ayahanda ar-Rumi, Muhammad bin Muhammad bin Husain (w. 628 H.) memiliki hubungan dengan keluarga Khuwarizm Syah, raja terbesar Dinasti Khuwarizm yang berkuasa di Bukhara dan Samarkand antara tahun 1097-1231 M. Tahun 609 M., ia membawa keluarganya meninggalkan Balkh demi menghindari serangan bangsa Mongol. Mereka sempat berkeliling ke Nisabur (Iran timur laut), Baghdad, Mekah dan kota-kota lain sebelum akhirnya menetap di Konya, ibukota Dinasti Seljuk yang berkuasa di Rum (kini Turki) antara tahun 1077-1296 M. Ayah ar-Rumi sendiri pindah ke Konya karena diminta oleh raja Seljuk, ‘Ala’uddin Kaikobadz (1219-1236 M.).

Dari Pakar Fikih ke Sufi

Ayah ar-Rumi adalah seorang guru besar keagamaan yang mengajar di Konya. Ar-Rumi pertama kali berguru kepada sang ayah, kemudian kepada Bahauddin Muhaqqiq at-Tirmidzi. Setelah Bahauddin wafat, ar-Rumi kemudian menggantikannya mengajar di Konya. Keseluruhannya, ar-Rumi mengajar di empat madrasah di kota itu dan memiliki kurang lebih 4.000 murid.
Ar-Rumi pada mulanya dikenal sebagai pakar fikih bermazhab Hanafi. Ia juga menguasai perbandingan mazhab dan beberapa disiplin ilmu lain. Akan tetapi ar-Rumi kemudian berputar haluan menjadi sufi setelah pada tahun 642 H., ia bertemu dengan seorang darwis misterius, Syamsuddin at-Tabrizi.

At-Tabrizi diyakini memantik ketertarikan ar-Rumi untuk terjun ke dunia tasawuf. Pemikiran at-Tabrizilah yang kemudian banyak menginspirasi ajaran tasawuf yang kelak diusung oleh ar-Rumi melalui tarekat Maulawiyahnya. Sebagai bentuk apresiasi ar-Rumi terhadap at-Tabrizi, Ar-Rumi mendedikasikan salah satu karyanya yang berisi 33.000 bait, “Dîwân asy-Syams at-Tabrizi”, untuk sang guru spiritual.

Ar-Rumi dan al-Matsnawi al-Ma‘nawi

Pada tahun 1997, tabloid Christian Science Monitor menempatkan Maulana Jalaluddin ar-Rumi sebagai penyair paling laris di Amerika. Hal itu tidaklah berlebihan, sebab ar-Rumi dikenal begitu luas sebagai seorang penyair sekaligus mistikus sufi yang memiliki pengaruh paling kuat dalam dunia sastra sufi. Syair-syairnya tidak hanya dibaca oleh penikmat sastra Muslim, tetapi juga oleh kalangan non-Muslim (Barat).

Karya utama Jalaluddin ar-Rumi, yang secara umum dianggap sebagai salah satu buku luar biasa di dunia, adalah al-Matsnawi al-Ma‘nawi. Buku yang terdiri dari enam jilid ini memuat 25.700 bait puisi karya ar-Rumi.

Al-Matsnawi lahir dan berawal dari persahabatan ar-Rumi dengan Husamuddin al-Halabi. Suatu hari Husamuddin mengutarakan idenya pada Maulana, “Andai saja Engkau menulis sebuah buku seperti Ilâhi Namah milik Sana’i (Abu al-Majd Majdud, w. 1131 M.) atau Manthiq ath-Thair karya Fariduddin al-‘Aththar (w. 627 H.), itu akan menjadi sekumpulan puisi bagi banyak penyanyi keliling. Mereka akan mengisi hatinya dengan hasil karyamu serta mengiringinya dengan gubahan musik.”




Ar-Rumi tersenyum dan mengambil secarik kertas dari lipatan surbannya yang berisi 80 baris dari al-Matsnawi-nya, dimulai dari:
Dengarkan harapan dan dongeng yang diceritakan
Bagaimana itu menyanyikan perpisahan…

Cuplikan sajak yang dilantunkan ar-Rumi rupanya membuat Husamuddin terpesona. Sejak saat itu, Husamuddinlah yang menuliskan sajak-sajak ar-Rumi ketika dia mendeklamasikannya. Proses ini digambarkan oleh Husamuddin: “Ar-Rumi tidak pernah menyentuh pena ketika menulis al-Matsnawi, di manapun dia berada, di madrasah, di taman, kolam renang di Konya, atau di kebun anggur. Aku menulisnya saat dia mendeklamasikannya, siang dan malam dalam beberapa hari. Setiap penyempurnaan dari tiap buku aku membacanya kembali padanya, sehingga dia dapat membenahi apa yang telah ditulis.”

Al-Matsnawi al-Ma‘nawi adalah karya spiritual terbesar yang pernah ditulis manusia. Al-Matsnawi memuat kisah para nabi, ajaran keagamaan dan akhlak. Al-Matsnawi juga berisi penuh dengan spektrum kehidupan di dunia, setiap kegiatan manusia; religi, budaya, politik, perdagangan; setiap karakter manusia dari yang vulgar sampai yang halus –seperti tiruan dari dunia secara detail– juga fabel, sejarah dan geografi. 

Selain al-Matsnawi, karya-karya monumental ar-Rumi lainnya adalah Fîhi Mâ Fîhi (di dalamnya apa yang ada di dalamnya), Maktûbât, serta kumpulan riwayat hidup orang-orang saleh, Manâqib al-‘Ârifîn, yang seluruhnya mengandung bagian-bagian penting dari ajaran-ajaran tasawufnya.

Tarekat Maulawiyah

Menari merupakan ciri khas tarekat yang didirikan ar-Rumi, Maulawiyah. “Menari tidaklah menyerah pada rasa sakit, seperti butiran debu yang tertiup berputar dalam angin. Menari adalah ketika bangun di dua dunia, menyobek hatimu menjadi serpihan-serpihan dan membangunkan jiwamu,” kata ar-Rumi. Tentang tarian ini ar-Rumi menggambarkan “Seperti gelombang di atas putaran kepalaku, maka dalam tarian suci Kau dan aku pun berputar. Menarilah, oh Pujaan Hati, jadilah lingkaran putaran. Terbakarlah dalam nyala api–bukan dalam nyala lilin-Nya.”

Tarian dan nyanyian yang menjadi praktik ritual khas ala tarekat Maulawiyah ini kemudian masyhur disebut dengan Samâ‘. Dalam praktiknya, beberapa orang sufi masuk ke dalam lingkaran dan menari berputar-berputar secara bersamaan, seraya diiringi musik seruling –sebagai instrumen utama tarekat Maulawiyah–dan pembacaan syair-syair religius gubahan ar-Rumi ataupun sufi lain. Belakangan, tarian ini sangat digandrungi banyak kalangan di dunia Muslim maupun non-Muslim.

Ketika ditanya mengenai tarian Samâ‘-nya yang dinilai melenceng dari syariat, ar-Rumi punya jawaban menarik. Dengan latar belakang sebagai mantan pakar fikih, ar-Rumi berdalih menggunakan kaidah “adh-dharûrât tubîhu al-mahzhûrât” (keadaan darurat menyebabkan hal-hal yang terlarang menjadi boleh). Menurut ar-Rumi, bila untuk memenuhi kebutuhan jasmani saja, sesuatu yang haram bisa menjadi halal karena darurat (seperti daging babi bagi seseorang yang kelaparan sampai hampir mati), lebih-lebih kebutuhan ruhani.  

Salah satu ajaran penting yang juga menonjol dalam tarekat Maulawiyah adalah mengenai wahdat al-wujûd, dalam arti bahwa Tuhan adalah Wujud yang Meliputi. Jadi, wahdat al-wujûd dalam keyakinan ar-Rumi ini tidak seperti yang pemahaman salah orang-orang awam yang menyatakan bahwa segala sesuatu adalah Allah, atau bahwa Allah adalah segala sesuatu.
Ketika ar-Rumi meninggal dunia pada tahun 1273 M., ia meninggalkan putranya, Bahauddin, untuk melanjutkan kepemimpinan tarekat Maulawiyah. Tarekat Maulawiyah kini berkembang pesat di Konya, Turki dan Syria (Suriah).

Hembusan Nafas Terakhir

Maulana Jalaluddin ar-Rumi wafat pada tanggal 5 Jumadal Akhirah tahun 672 H. atau 17 Desember 1273 M. Pada masa hidupnya ia dikelilingi oleh orang-orang dari setiap agama, begitu pula waktu pemakamannya yang dihadiri oleh orang-orang dari berbagai macam kepercayaan.
Seorang Kristen ditanya, mengapa ia menangis begitu pilu atas kematian seorang guru Muslim. Ia menjawab, “Kami menghargainya seperti kami menghargai Musa, Dawud dan Yesus zaman ini. Kami semua adalah para pengikut dan muridnya.”
Pada batu nisan ar-Rumi, tertulis sebuah petuah yang begitu menyentuh, “Ketika kita mati, jangan cari pusara kita di bumi, tetapi carilah di hati manusia.”


Penulis: Moh. Yasir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adab-adab berdoa

Adab-adab berdoa  Doa berarti memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala terhadap sesuatu yang bersifat baik. Seperti berdoa m...