Minggu, 31 Maret 2024

Poligami dalam khazanah islam (part-III, habis)

 


Kenapa Hanya Empat?

Barangkali ada sebagian orang yang bertanya: mengapa poligami hanya dibatasi pada empat orang perempuan saja, mengapa bukan dua atau tiga dan seterusnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, akan kami tampilkan pendapat-pendapat para ulama yang telah meneliti tentang hikmah di balik pembatasan tersebut.

Setidaknya ada empat pendekatan yang digunakan oleh para ulama dalam menguraikan hikmah di balik pembatasan jumlah pasangan dalam berpoligami. Tetapi, menurut Athiyah Shaqr, pendekatan yang digunakan oleh mereka tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan.

Pertama, mereka menggunakan pendekatan siklus menstruasi yang—bagi perempuan normal—hampir terjadi setiap bulan. Mereka berpendapat bahwa seandainya satu orang laki-laki memiliki empat orang istri dan memberi jatah gilir selama satu minggu untuk setiap istri, maka jatah tersebut akan pas selama satu bulan. Namun msalahnya, kadang pembagian giliran semacam ini tidak bisa dilakukan secara maksimal, mengingat kadang salah satu dari istri mengalami menstruasi pada saat jatah gilirannya, padahal seorang suami tidak boleh berhubungan dengan istri yang sedang menstruasi. Sehingga, dalam keadaan demikian, suami mempuyai peluang untuk berhubungan degan istrinya yang lain.

Akan tetapi alasan sperti ini tidak dapat diterima oleh logika agama, sebab ketika istri sedang menstruasi sekalipun, suami tetap berkewajiban untuk menginap di rumah istrinya yang sedang menstruasi tersebut tanpa harus melakukan hubungan intim dengannya. Dengan demikian, maka alasan ini tidak dapat diterima oleh logika agama.

Kedua, dalam kitab Hâdil Arwâh, karangan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dijelaskan bahwa hikmah pemabatasan empat orang perempuan di dalam berpoligami sebenarnya mengacu pada eksistensi musim yang bergulir dalam satu tahun. Tentu saja alasan ini sangat tidak mungkin untuk dilogikakan, karena memang tidak ada hubungan dan kausa yang jelas antara pembatasan jumlah pasangan hingga empat orang perempuan dengan eksistensi musim yang biasanya berganti empat kali dalam satu tahun, kecuali kita hanya melihat dari aspek jumlahnya saja yang—kebetulan—sama-sama berjumlah empat.

Keitga, seorang laki-laki hendaknya mendatangi masing-masing istrinya minimal satu hari dalam empat hari. Sebab, istri tidak akan gundah dan kesepian jika ditinggalkan suami dalam rentang waktu empat hari. Oleh karena itu, seandainya suami menjatah masing-masing istrinya selama satu hari dalam empat hari, maka hal tersebut dapat ditanggulangi. Hikmah ini tentunya tidak kuat untuk dijadikan alasan pembatasan jumlah poligami hingga empat orang perempuan. Sesungguhnya alasan ini akan lebih tepat jika digunakan untuk membuat sistem yang ideal dalam memberikan jarah giliran kepada istri.

Keempat, menurut Dr. Wajih Zainal Abidin, setelah para dokter melakukan penelitian tentang kesanggupan seorang wanita untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri mereka berkesimpulan bahwa perempuan hanya sunggup melayani suaminya secara maksimal dalam kurun waktu sembilan puluh dua hari dalam satu tahun. Kesimpulan ini setelah mengurangi jumlah hari yang beredar dalam satu tahun dengan jumlah masa kehamilan, nifas, menstruasi dan hilangnya hasrat melakukan hubungan seksual. Dengan demikian, suami bisa beralih kepada istri-istrinya yang lain saat salah satu istrinya sedang hamil, menstruasi atau tidak memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seksual.

Bagaimanapun, alasan-alasan yang telah dikemukakan para ulama barusan sangatlah jauh dari kesan rasional. Sehingga tak ada alasan yang kuat untuk dijadikan argumen dalam masalah ini.

Akan tetapi, bukan berarti pertanyaan di atas tidak memiliki jawaban. Pembahasan kita ini masih berhenti di tanda koma (,). Sebab masih ada pertanyaan yang perlu kita jawab: apakah setiap doktrin agama harus didasarkan pada alasan-alasan rasional, yang pada gilirannya akan menutup ruang terhadap diterimanya suatu ketetapan yang tidak bisa diterima oleh akal? Tenju saja jawabannya adalah tidak. Sebab Islam adalah agama yang didasarkan pada wahyu Ilahi, yakni al-Qur’an dan Hadis Nabi . Islam tidak didasarkan pada rasio an sich yang kemudian menutup ruang untuk menerima ajaran yang sama sekali jauh dari jangkauan akal manusia. Itulah sebabnya dalam salah satu atsâr Sayyidina Ali  berkata:

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ)

“Seandainya agama didasarkan pada alasan-alasan rasional niscaya mengusap bagian bawah sepatu lebih baik daripada mengsuap bagian atasnya. Akan tetapi saya benar-benar telah milihat Rasulullah mengusap bagian atas sepatunya.” (HR. Abu Dawud dengan isnad hasan).

Atsar Sayyidina Ali  ini adalah dasar yang dijadikan pedoman oleh umat Islam ahlus sunnah wal jamaah yang kerap menggunakan pendekatan ta’abbudy atau ghairu ma’kul al-makna untuk menerima ketetapan agama yang tidak mampu untuk dinalar. Umat Islam sepakat bahwa keabsahan ajaran agama Islam tidak didasarkan pada alasan-alasan rasional. Maka, menurut Syaikh Atiyyah Shaqr,  cara terbaik untuk menyikapi pembatasan empat orang perempuan dalam berpoligami adalah tidak memberikan alasan apapun dan menerima ketetapan Allah  dengan apa adanya. Sebab, bagaimanapun, kita memang tidak perlu alasan apapun untuk menerima ketetapan agama semisal pembatasan jumlah pasangan dalam berpoligami.

Dan, lebih dari itu, pada dasarnya alasan-alasan pembatasan jumlah poligami yang telah dikemukakan oleh para ulama dia atas sejatinya mengacu pada hikmah. Dan sebagaimana dimaklumi, hikmah tidak harus berupa alasan yang rasional serta mundlabith (memiliki batasan dan karakteristik yang jelas) seperti halnya illat (kausa). Mengenai pembahasan hikmah dan illat ini, akan kami bahas pada pembahasan selanjutnya. walLâhu a’lamu bish shawâb.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...