Minggu, 31 Maret 2024

Ghibah dan cara taubatnya



Kita semua pasti pernah berbuat maksiat, baik terasa maupun tidak. Karena kita bukanlah Nabi yang senantiasa dijaga (Ma'sum) oleh Allah dari perbuatan maksiat. Maka dari itu hendaknya kita bergegas untuk bertaubat dari berbagai dosa atau maksiat, baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Apalagi sebelum menghadapi bulan suci Ramadhan ini. Sebagaimana dijelaskan Imam An-Nawawi:

اعلم أن كلَّ من ارتكب معصيةً لزمه المبادرةُ إلى التوبة منها،

Ketahuilah bahwa setiap orang yang berbuat maksiat harus bergegas untuk bertaubat darinya. [Imam Al-Nawawi, kitab Al-Adzkar, Cet: Al-Arnaut, halaman 346]

Lalu apa saja syarat taubat itu? Mari kita simak penjelasan Imam An-Nawawi berikut: 

والتوبةُ من حقوق الله تعالى يُشترط فيها ثلاثة أشياء: أن يُقلع عن المعصية في الحال، وأن يندمَ على فعلها، وأن يَعزِمَ ألاّ يعود إليها، والتوبةُ من حقوق الآدميين يُشترط فيها هذه الثلاثة، ورابع: وهو ردّ الظلامة إلى صاحبها أو طلب عفوه عنها والإِبراء منها.

Taubat dari hak-hak Allah ta'ala itu disyaratkan tiga hal: segera menahan diri dari berbuat maksiat, menyesal melakukannya, dan bertekad untuk tidak melakukannya lagi. Sedangkan taubat dari hak-hak manusia itu juga memerlukan ketiga syarat tersebut, dan syarat keempat yaitu mengembalikan kedzaliman (ketidakadilan) kepada pelakunya atau memintanya untuk dimaafkan dan dibebaskan darinya. [Imam Al-Nawawi, kitab Al-Adzkar, Cet: Darul Fikr, Tahqiq: Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth, halaman 346]

Salah satu cara taubat dari harta haram menurut Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut:

قَالَ الْغَزَالِيُّ إذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ وَجَبَ صَرْفُهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا وَجَبَ دَفْعُهُ إلَى وَارِثِهِ وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يَعْرِفُهُ وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ فُقَرَاءَ

Imam Al-Ghazali berkata: Jika seseorang mempunyai harta haram dan ingin bertaubat dan membebaskannya, maka jika harta itu mempunyai pemilik tertentu, maka wajib diberikan kepadanya atau kepada wakilnya. Jika sudah meninggal maka harus diberikan kepada ahli warisnya, dan jika harta itu milik seorang pemilik yang tidak dia kenal dan tidak ada harapan untuk mengetahuinya, maka hendaknya dia membelanjakannya untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya. Seperti jembatan, jalan penghubung, masjid, kemaslahatan jalan kota Mekkah dan lain-lain yang terdapat kemaslahatan umat Islam didalamnya. Jika tidak, maka disumbangkan kepada orang fakir atau fakir miskin. [Imam An-Nawawi, kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzzab, 9/351]

Dan termasuk dari hak manusia adalah ghibah. Ini adalah masalah serius yang tidak akan ditinggalkan oleh Allah. Adapun dzolim pada diri sendiri (selain syirik) walau hal itu tetap tercatat, tidak akan dipedulikan oleh Allah, jika mau bertaubat, Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

الدَّوَاوِينُ عِنْدَ اللَّهِ ثَلاثَةٌ : دِيوَانٌ لا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لا يَغْفِرُهُ اللَّهُ، فَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لا يَغْفِرُهُ اللَّهُ فَالشِّرْكُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا فَظُلْمُ الْعَبْدِ نَفْسَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ مِنْ صَوْمِ يَوْمٍ تَرَكَهُ أَوْ صَلاةٍ تَرَكَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ ذَلِكَ وَيَتَجَاوَزُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لا يَتْرُكُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْهُ شَيْئًا فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا، الْقِصَاصُ لا مَحَالَةَ

“Catatan (catatan dosa) di sisi Allah ada tiga : Pertama, catatan dosa yang tidak dipedulikan Allah sama sekali. Kedua, catatan dosa yang tidak ditinggalkan Allah sama sekali, dan ketiga, catatan dosa yang tidak diampuni Allah. Catatan yang tidak Allah ampuni adalah menyekutukan Allah. Allah berfirman, "Barang siapa yang berbuat syirik kepada Allah, maka Allah akan mengharamkan surga baginya." (QS. Al-Maidah: 72). Adapun catatan dosa yang tidak dipedulikan Allah sama sekali yaitu seorang hamba yang mendzolimi dirinya (hanya) antara dia dengan Tuhannya (yang tahu), seperti: meninggalkan puasa, meninggalkan salat. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa yang seperti ini dan tidak menganggapnya jika Dia menghendaki. Adapun catatan dosa yang tidak ditinggalkan Allah sama sekali yaitu kedzoliman seorang hamba yang dia lakukan kepada orang lain. Tidak ada jalan keluar kecuali dengan cara ‘qishash’ (dihukum dengan hukuman yang semisal).” (HR. Ahmad no. 26031. Dikatakan bahwa bahwa sanadnya sahih oleh Ahmad Syakir)

Maka dari itu wajib bagi orang yang menggibahi seseorang, meminta pembebasan dari orang yang dighibahinya tersebut. Lalu muncul pertanyaan: Apakah cukup mengatakan "Aku telah mengghibaimu, jadi bebaskanlah aku." Atau haruskah dia menjelaskan apa yang telah dia ghibahi? Imam An-Nawawi menjelaskan mengenai hal ini:

فيه وجهان لأصحاب الشافعي رحمهم الله: أحدهما يُشترط بيانُه، فإن أبرأه من غير بيانه، لم يصحّ، كما لو أبرأه عن مال مجهول، والثاني لا يُشترط، لأن هذا مما يُتسامحُ فيه، فلا يُشترط علمه، بخلاف المال، والأوّل أظهرُ، لأن الإِنسانََ قد يسمحُ بالعفو عن غيبة دونَ غِيبة، فإن كان صاحبُ الغيبةِ ميّتاً أو غائباً فقد تعذّرَ تحصيلُ البراءة منها، لكن قال العلماء: ينبغي أن يُكثرَ من الاستغفار له والدعاء ويُكثر من الحسنات.

Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh para sahabat Syafi'i, rahimahumullah : Yang pertama, disyaratkan adanya penjelasan apa yang dighibahinya, jadi jika dia membebaskannya tanpa ada penjelasan, maka itu tidak sah, seperti dia membebaskannya mengenai harta yang tidak diketahui. Yang kedua, tidak disyaratkan penjelasan, karena ini adalah sesuatu yang ditoleransi, maka tidak disyaratkan pengetahuan tentangnya, berbeda dengan kasus harta (disyaratkan penjelasan). Dan pendapat yang pertama lebih jelas, karena seseorang terkadang dapat memaafkan suatu gunjingan tetapi tidak untuk gunjingan yang lain, dan jika orang yang dighibahinya itu sudah meninggal atau tidak ada, maka termasuk uzur memperoleh pembebasan darinya. Namun para ulama mengatakan: Hendaknya orang yang menggibahi itu memperbanyak istighfar (memohon ampunan) untuk orang yang dighibahinya dan mendoakannya, dan memperbanyak amal kebaikan. [Imam Al-Nawawi, kitab Al-Adzkar, Cet: Darul Fikr, Tahqiq: Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth, halaman 346]

Selain itu Syekh Abu Al-Mawahib As-Syadzili rahimahullah berkata: “Sebagian dari perkara yang dapat menghambat seorang murid untuk naik derajat adalah menggunjing salah seorang dari orang-orang muslim. Barangsiapa yang diuji berupa terjerumus ke dalam masalah tersebut hendaklah ia membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, dan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yg digunjing, karena aku pernah melihat Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. dalam tidurku memberi kabar kepadaku tentang hal itu, Beliau bersabda: “Sesungguhnya (dosa) ghibah dan pahala (bacaan itu) keduanya berhenti dihadapan Allah Ta’ala, aku berharap keduanya menjadi seimbang”.”.

أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ جَمِيْعِ اْلمَعَاصِيْ وَالذُّنُوْبِ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيرًا وَلِمَشَايِخِيْ وَلِأَصْحَابِ الْحُقُوْقِ الْوَاجِبَةِ عَلَيَّ وَلِجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ...

Aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung, Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang Maha Berdiri Sendiri, dan Aku bertaubat kepada-Nya atas segala maksiat dan dosaku dan bagi kedua orang tuaku, dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil, dan bagi guru-guruku, dan bagi orang-orang yang mempunyai hak-hak yang wajib bagiku, dan bagi orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, dan bagi orang-orang islam laki-laki dan perempuan yang masih hidup maupun yang telah mati... Aamiin.

Sumber: Ust Riyadul Jinan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...