Jumat, 29 Maret 2024

Poligami Dalam Khzanah Islam (Part-I)

  


Poligami dalam Islam

Banyak orang, termasuk beberapa orang muslim, mempertanyakan, bahkan memperdebatkan, logika berpoligami. Kulminasi dari jawaban atas pertanyaan dan perdebatan-perdebatan itu mengarah pada kesimpulan yang beragam; antara yang mengatakan tidak boleh secara mutlak dengan dalih tidak ada seorangpun yang dapat berlaku adil kecuali Nabi , sementara adil merupakan syarat kunci dalam berpoligami, yang lain berendapat bahwa poligami boleh secara mutlak dengan alasan ada nash yang tegas dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi , tentunya dengan serangkaian syarat yang harus terpenuhi, sebagian lagi menyatakan bahwa poligami hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat bagi laki-laki yang mampu berlaku adil kepada istri, dan beberapa pandangan-pandangan lain dengan argumentasi yang beragam.

Perbedaan ini sejatinya timbul dari perbedaan keyakinan dalam memahami teks-teks agama atau karena melihat realita sosial yang timbul karena poligami. Sungguhpun poligami telah diterapkan oleh Rasulullah , para sahabat dan tabi’in, akan tetapi karena beberapa perbedaan-perbedaan ini, poligami seolah-olah tidak memiliki status hukum yang jelas.

Karenanya, untuk menghindari penilaian yang tidak obyektif dan proporsional, kita perlu melihat poligami secara utuh. Karena bagaimanapun, terburu-buru dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu yang bersifat kompleks, apalagi hanya dengan menggunakan satu sudut pandang, akan melahirkan keputusan yang prematur alias fatal—jika tidak mau mengatakannya salah.

Selanjutnya, mari kita merujuk pada ayat yang selalu dikaitkan dengan masalah poligami. Allah  berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَمَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وْثُلَاثَ وَرُبَاعَ. فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّاتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُوْلُوْا. (النساء [4] :3)

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ [4]: 3).

Ath-Thabari mengatakan dalam tafsirnya, Jâmi’ al-Bayân fi Tafsîri al-Qur’an li ath-Thabari, bahwa pakar tafsir berbeda pendapat mengenai penafsiran ayat tersebut. Menurut sebagian mufassirin mafhum dari ayat tersebut adalah sebagai berikut:

قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ : اخْتَلَفَ أَهْلُ التَّأْوِيلِ فِي تَأْوِيلِ ذَلِكَ ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ : مَعْنَى ذَلِكَ : وَإِنْ خِفْتُمْ يَا مَعْشَرَ أَوْلِيَاءِ الْيَتَامَى أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي صَدَاقِهِنَّ فَتَعْدِلُوا فِيهِ ، وَتَبْلُغُوا بِصَدَاقِهِنَّ صَدُقَاتِ أَمْثَالِهِنَّ فَلاَ تَنْكِحُوهُنَّ ، وَلَكِنِ انْكِحُوا غَيْرَهُنَّ مِنَ الْغَرَائِبِ اللَّوَاتِي أَحَلَّهُنَّ اللَّهُ لَكُمْ وَطَيَّبَهُنَّ مِنْ وَاحِدَةٍ إِلَى أَرْبَعٍ ، وَإِنْ خِفْتُمْ أَنْ تَجُورُوا إِذَا نَكَحْتُمْ مِنَ الْغَرَائِبِ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدَةٍ ، فَلاَ تَعْدِلُوا ، فَانْكِحُوا مِنْهُنَّ وَاحِدَةً ، أَوْ مَا مَلَكَتمْ أَيْمَانُكُمْ.

Apabila kalian (wali perempuan yatim) tidak dapat berlaku adil dalam memberi mahar kepada mereka (perempuan yatim yang hendak dinikahi) serta memberi mahar layaknya perempuan-perempuan pada umumnya, maka jaganlah nikahi mereka, tetapi nikahilah perempuan-perempuan lain yang telah dihalalkan oleh Allah  dari satu hingga empat. Dan apabila kalian khawatir berbuat zalim jika menikahi perempuan lebih dari satu, sehingga kalian tidak dapat berlaku adil pada mereka, maka nikahilah seorang saja dari mereka atau cukupkanlah dengan budak yang kalian miliki.

Dari penafsiran sebagian mufassirîn yang dikutip oleh ath-Thabari ini, kita belum menangkap kesimpulan apapun yang mengarah pada pelarangan poligami. Penafsiran tersebut hanya berkisar pada perintah untuk tidak berbuat zalim kepada anak yatim perempuan dengan cara menikahi mereka dengan memberi mahar yang tidak proporsional.

Kemudian, masih dalam konteks mafhum dari penafsiran sebagian mufassirîn tersebut, bagi laki-laki (wali) yang tidak mampu berbuat adil kepada mereka, dianjurkan untuk menikahi perempuan lain (yang tidak yatim) sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah , yaitu satu, dua, tiga hingga empat, setelah memenuhi syarat kunci yaitu kemampuan berbuat adil. Jadi, sekali lagi, kita belum mendapati kesimpulan apapun yang mengarah pada pelarangan poligami, justru sebaliknya ayat tersebut memberikan lampu hijau untuk berpoligami.

Selanjutnya, ath-Thabari mengutip dialog antara ‘Urwah bin az-Zubair dengan Aisyah mengenai penafsiran ayat tersebut.

حَدَّثنَا ابْنُ حُمَيْدٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ ، عَنْ مَعْمَرٍ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ : وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ فَقَالَتْ : يَا ابْنَ أُخْتِي ، هِيَ الْيَتِيمَةُ تَكُونُ فِي حِجْرِ وَلِيِّهَا ، فَيَرْغَبُ فِي مَالِهَا وَجَمَالِهَا ، وَيُرِيدُ أَنْ يَنْكِحَهَا بِأَدْنَى مِنْ سُنَّةِ صَدَاقِهَا ، فَنُهُوا أَنْ يَنْكِحُوهُنَّ إِلاَّ أَنْ يُقْسِطُوا لَهُنَّ فِي إِكْمَالِ الصَّدَاقِ ، وَأُمِرُوا أَنْ يَنْكِحُوا مَا سِوَاهُنَّ مِنَ النِّسَاءِ.

Aisyah berkata: “Wahai keponakanku. Ayat ini menjelaskan tentang perempuan yatim yang berada dalam kekuasan (baca: perwalian) seorang wali dimana ia mengagumi kekayaan dan kecantikannya. Lalu sang wali bermaksud menikahinya tanpa memberikan mahar yang proporsional. Wali seperti itu dilarang untuk menikahi mereka kecuali jika ia dapat berlaku adil kepada mereka dan memberi mahar secara penuh kepada mereka. Dan  mereka, para wali itu, diperintahkan untuk menikahi perempuan lain yang mereka sukai.” 

Sampai di sini, kita juga belum menemukan kesimpulan apapun yang mengarah pada pelarangan poligami. Malah, penafsiran yang dikemukakan oleh Sayyidah Aisyah tersebut menjadi justifikasi terhadap legalitas berpoligami.

Masih menurut at-Thabari bahwa dia mendengar Bisyr bin Mu’ad dari Yazid bin Zurai’ dari Sa’id dari Qatadah, dia berkata:

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سَعِيدٌ ، عَنْ قَتَادَةَ ، قَوْلُهُ : وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ حَتَّى بَلَغَ : أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا يَقُولُ : كَمَا خِفْتُمْ الْجَوْرَ فِي الْيَتَامَى وَهَمَّكُمْ ذَلِكَ ، فَكَذَلِكَ فَخَافُوا فِي جَمْعِ النِّسَاءِ ، وَكَانَ الرَّجُلُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَتَزَوَّجُ الْعَشَرَةَ فَمَا دُونَ ذَلِكَ ، فَأَحَلَّ اللَّهُ جَلَّ ثناؤُهُ أَرْبَعًا ، ثُمَّ الَّذِي صَيَّرَهُنَّ إِلَى أَرْبَعٍ قَوْلُهُ : مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً يَقُولُ : إِنْ خِفْتَ أَلا تَعْدِلَ فِي أَرْبَعٍ فَثَلاَثًا ، وَإِلاَّ فَثِنْتَيْنٍ ، وَإِلاَّ فَوَاحِدَةً ؛ وَإِنْ خِفْتَ أَلاَّ تَعْدِلَ فِي وَاحِدَةٍ ، فَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ.

Jika kalian khawatir (tidak dapat berlaku adil) kepada perempuan yatim maka demikian pulalah saat kalian menikahi perempuan lain (dengan cara poligami). Pada masa jahiliyah laki-laki terbiasa menikahi sepuluh perempuan atau di bawahnya. Lalu Allah menghalalkan bagi mereka untuk menikahi empat orang perempuan saja.”

“…..Selanjutnya, jika kamu tidak mampu berbuat adil jika menikahi empat orang perempuan, maka nikahilah tiga saja, jika tidak mampu juga berlaku adil pada tiga orang perempuan, maka nikahilah dua saja, dan jika kamu tidak mampu berlaku adil kepada dua orang perempuan, maka nikahilah satu saja. Lalu, jika kamu masih belum mampu untuk berlaku adil kepada satu orang perempuan maka cukuplah seorang budak bagimu.

Dari penafsiran yang ketiga ini, kita dapat melihat jelas bahwa mafhum dari ayat di atas adalah larangan berbuat zalim kepada perempuan yatim. Sehingga, untuk menghindari perlakuan semena-mena kepada mereka, Allah  memberikan solusi dengan menghalalkan menikahi perempuan yang tidak yatim sampai empat orang. Nemun demikian, sikap adil menjadi syarat kunci untuk menikahi perempuan lebih dari satu. Karena itu, laki-laki yang tidak memenuhi syarat tersebut, Allah  menganjurkannya untuk menikahi satu perempuan saja atau mencukupkan pada budak perempuannya.

Selanjutnya, ath-Thabari menulis sebagai berikut:

وَقَالَ آخَرُونَ : بَلْ مَعْنَى ذَلِكَ النَّهْي عَنْ نِكَاحِ مَا فَوْقَ الأَرْبَعِ ؛ مِنَ النِّسَاءِ حَذَرًا عَلَى أَمْوَالِ الْيَتَامَى أَنْ يُتْلِفَهَا أَوْلِيَاؤُهُمْ ، وَذَلِكَ أَنَّ قُرَيْشًا كَانَ الرَّجُلُ مِنْهُمْ يَتَزَوَّجُ الْعَشْرَ مِنَ النِّسَاءِ وَالأَكْثَرَ وَالأَقَلَّ ، فَإِذَا صَارَ مُعْدِمًا مَالَ عَلَى مَالِ يَتِيمِهِ الَّذِي فِي حِجْرِهِ فَأَنْفَقَهُ أَوْ تَزَوَّجَ بِهِ ، فَنُهُوا عَنْ ذَلِكَ ؛ وَقِيلَ لَهُمْ : إِنْ أَنْتُمْ خِفْتُمْ عَلَى أَمْوَالِ أَيْتَامِكُمْ أَنْ تُنْفِقُوهَا ، فَلاَ تَعْدِلُوا فِيهَا مِنْ أَجْلِ حَاجَتِكُمْ إِلَيْهَا ، لِمَا يَلْزَمُكُمْ مِنْ مُؤَنِ نِسَائِكُمْ ، فَلاَ تَجَاوِزُوا فِيمَا تَنْكِحُونَ مِنْ عَدَدِ النِّسَاءِ عَلَى أَرْبَعٍ وَإِنْ خِفْتُمْ أَيْضًا مِنَ الأَرْبَعِ أَلاَّ تَعْدِلُوا فِي أَمْوَالِهِمْ فَاقْتَصِرُوا عَلَى الْوَاحِدَةِ ، أَوْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ.

“Menurut sebagian mufassirîn yang lain, pengertian dari ayat (an-Nisa [4]: 3) di atas adalah larangan menikahi perempuan melebihi dari hitungan empat. Demikian ini karena adanya khawatiran akan memakan harta anak yatim (secara zalim). Hal ini dilatar belakangi oleh kebiasan sebagian orang-orang Qursy yang menikahi perempuan lebih dari sepuluh atau di bawahnya. Setelah hartanya habis (untuk dinafkahkan kepada istri-istrinya), dia condong kepada harta anak yatim yang ada dalam kekuasaannya untuk kemudian dinafkahkan kepada istri-istrinya. Itulah sebabnya mengapa mereka dilarang melakukan hal tersebut (menikahi perempuan lebih dari empat).

Dari semua perbedaan penafsiran barusan, lanjut at-Thabari, penafsiran yang paling utama adalah pendapat yang mengatakan:

Jika kalian khawatir (tidak dapat berlaku adil) kepada perempuan yatim, maka demikian pulalah sikap kalian jika menikahi perempuan lain pada umumnya (yang tidak yatim). Maka janganlah kalian menikahi mereka; dua, tiga atau empat, terkecuali kalian mampu berlaku adil kepada mereka. Bahkan, seandainya kalian tidak mampu berlaku adil kepada satu orang perempuan, maka jangan nikahi dia. Dan cukuplah bagi kalian budak-budak perempuan yang kalian miliki. Karena hal itu lebih memungkinkan untuk tidak berlaku aniaya.

Tarjîih yang dilakukan ath-Thabari ini juga didukung oleh an-Naisaburi. Beliau, dengan mengutip pendapat Sa’id bin Jubair, Qatadah, ar-Rabi’ dan as-Sudi dari Ibnu Abbas, mengatakan, “Ketika ayat itu turun disertai dengan ancaman yang pedih bagi orang-orang yang memakan harta anak yatim (secara zalim), maka orang-orang yang mengurusi harta anak yatim merasa enggan untuk mengurusi mereka karena takut terhadap ancaman tersebut. Di sisi lain, laki-laki yang beristri lebih dari sepuluh tidak sedikit yang berlaku zalim kepada istri-istrinya. Sehingga mereka dikecam oleh Allah :

“Jika kalian khawatir tidak berlaku adil dalam urusan anak yatim, maka lakukanlah hal sama terhadap kaum wanita pada umunya. Karena pada dasarnya mereka itu sama dengan perempuan yatim (jika kalian harus berlaku adil kepada mereka maka kalian juga harus berlaku adil kepada kaum perempuan pada umumnya). Maka sedikitkanlah jumlah istri kalian. Sebab orang yang bertaubat dari suatu dosa, sementara dia melakukan dosa yang sama, maka seolah-olah dia tidak bertaubat.”

Masih mengenai penafsiran ayat di atas, dijelaskan dalam an-Nukat wa al-‘Uyun bahwa sedikitnya ada empat penafsiran berkenaan dengan ayat tersebut.

Pertama, bahwa laki-laki yang tidak mampu berbuat adil jika menikahi perempuan yatim, maka dianjurkan baginya untuk menikahi perempuan lain yang dia sukai; satu, dua, tiga atau empat. Pendapat ini didukung oleh pernyataan Sayyidah Aisyah kepada ‘Urwah bin az-Zubair.

Kedua, ayat ini turun untuk merespon sikap orang yang khawatir dalam mengurusi harta perempuan yatim, namun tidak khawatir berbuat zalim kepada istri-istrinya. Sehingga Allah  memberikan penegasan kepada mereka bahwa seorang laki-laki yang khawatir tidak mampu berbuat adil kepada perempuan yatim hendaknya juga merasa khawatir apabila dia tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya. Demikian ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Qatadah dan as-Sudi seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya.

Ketiga, ayat ini merespon terhadap orang-orang yang takut memakan harta anak yatim secara zalim namun tidak takut untuk berbuat zina. Kemudian Allah  menegur mereka bahwa, seseorang yang takut berbuat zalim kepada perempuan yatim hendaknya juga takut untuk melakukan perzinahan. Itulah sebabnya mengapa Allah  memberikan kelonggaran pada mereka untuk menikahi perempuan yang mereka sukai; satu, dua, tiga hingga empat. Demikian ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh al-Mujahid.

Keempat, ayat ini turun untuk merespon kebiasaan orang Qurasy yang menikah hingga jumlah tak tebatas. Dengan banyaknya istri, maka banyak pulalah beban yang harus mereka pikul, sementara mereka tidak memiliki cukup harta untuk menafkahi istri-istrinya. Pada akhirnya, mereka mengambil harta anak yatim yang ada dalam kekuasaan mereka untuk kemudian dinafkahkan kepada istri-istrinya.

Maka, berangkat dari penafsiran para ulama tafsir terkemuka yang telah kami kemukakan barusan, kita bisa melihat dengan jelas bahwa ayat tersebut menjelaskan, pertama, kewajiban berbuat adil kepada perempuan yatim yang berada dalam asuhan seorang wali laki-laki. Dan, kedua, kebolehan melakukan poligami dengan empat orang perempuan dengan syarat mampu untuk berbuat adil kepada mereka. Dan lebih dari itu, ayat di atas memberikan batasan tertentu terkait jumlah pasangan dalam berpoligami, yaitu empat.

Baik ath-Thabari, al-Mawardi, an-Naisaburi dan para pakar tafsir terkemuka lainnya tidak ada yang berpendapat bahwa poligami tidak boleh secara mutlak. Sungguhpun demikian, mereka menyaratkan adanya sikap adil dan mampu memberi nafkah bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Demikianlah sesungguhnya pendapat yang disekati oleh ulama semenjak periode Nabi , sahabat, tabi’in, tabi’i at-bai’in dan para generasi salaf ash-shalih selama empat belas abad lamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...