Selain ayat tadi, legalitas berpoligami juga diperkuat dengan beberapa Hadis Nabi . Misalnya Hadis yang disampaikan Nabi kepada sahabat Ghilan ats-Tsaqafi yang memiliki sepuluh orang istri pada awal-awal memeluk Islam. Nabi bersabda:
أَمْسِكْ عَلَيْكَ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ (رَوَاهُ التُّرْمُذِيُّ، وَابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُمَا)
“Tahanlah empat saja (sebagai istrimu) dan cerailah yang lainnya.” (HR. Al-Turmudzi, Ibnu Hibban dan yang lainnya).
Dalam Hadis yang lain Beliau bersabda:
أَنَّ عُمَيْرَةَ الْأَسَدِيَّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِيْ ثَمَانِيْ نِسْوِةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ فَقَالَ إِخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)
Bahwa Umairah al-Asadi berkata, “Aku masuk Islam sedangkan aku memiliki delapan orang istri. Lalu aku menceritakannya kepada Nabi. Beliau bersabda: ‘Pilihlah empat dari mereka (sebagai istrimu)’.” (HR. Abu Dawud).
Hal yang serupa juga terjadi pada Qais bin Tsabit yang memiliki delapan orang istri pada awal-awal memeluk Islam (HR. Ibnu Majah), dan juga Naufal bin Mu’awiyah yang memiliki lima orang istri.
Bahkan, dalam Shahih al-Bukhari dijelaskan bahwa Sa’id bin Jubair berkata: “Ibnu Abbas bertanya kepada saya: ‘Apakah kamu sudah menikah?’ Aku menejawab: ‘Tidak.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Menikahlah, karena sebaik-baiknya umat ini adalah yang paling banyak istrinya.”
Ibnu Hajar mengemukakan dalam Fath al-Bâri-nya bahwa pengertain dari Hadis tersebut adalah sebaik-baiknya umat Muhammad adalah orang yang memiliki istri lebih banyak dibandingkan yang lain.
Al-hasil, dari apa yang telah kami kemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Islam bukanlah agama yang “anti” terhadap poligami. Namun demikian Islam tidak membukanya secara longgar. Dalam konteks ini, Islam lebih memilih jalan yang moderat (mu’tadil) di antara dua kutub ekstream yang mengarah pada sifat ghuluw (berlebih-lebihan) dan taqshîr (longgar).
Akan tetapi, membicarakan soal poligami tidak akan pernah lepas dari beberapa tanggapan; antara yang mendukung, menolak dan yang bersikap moderat.
Sementara ini ada asumsi yang beranggapan bahwa poligami hukumnya haram atau minimal makruh. Asumsi ini didasarkan pada Hadis Nabi riwayat Imam Muslim berikut:
عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ : أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ: إِنَّ بَنِي هِشَامٍ بْنِ الْمُغِيْرَةِ اسْتَأْذَنُونِيْ أَنْ يُنْكِحُوا اِبْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ فَلَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ إِلَّا أَنْ يَّحِبَّ ابْنُ أَبِيْ طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِيْ وَيَنْكِحُ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِيْ بَضْعَةٌ مِنِّيْ يُرِيْبُنِيْ مَا رَابَهَا وَيُؤْذِيْنِي مَا آذَاهَا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Miswar bin Makhramah beliau pernah mendengar Nabi berpidato diatas mimbar. Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya bani Hisyam bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, lalu aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, dan aku tidak mengizinkannya, kecuali Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku kemudian menikah dengan putri mereka. Karena putriku adalah bagian dariku; apa yang meresahakannya juga meresahkanku dan apa yang menyakitinya juga menyakitiku.” (HR. Muslim).
Setelah membaca Hadis di atas barangkali kita sepakat bahwa Rasulullah sangat anti terhadap poligami. Karena ternyata Beliau sangat tidak setuju, bahkan anti, ketika putri kesanyangan beliau akan dimadu oleh menantunya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib .
Hanya saja, adalah keliru jika menjadikan Hadis di atas sebagai dalil yang melarang poligami. Karena Hadis di atas hanya menjelaskan ketidak-bolehan berpoligami bagi Sayyidina Ali karena mengandung dua faktor eksternal yaitu, pertama, akan menyakiti hati Sayyidah Fatimah yang dengan demikian akan menyakiti hati Rasulullah dan, kedua, perempuan yang akan dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib adalah putri musuh Allah , yaitu Abu Jahal. Sedangkan putri musuh Allah tidak akan pernah berkumpul dengan putri nabi-Nya.
Hal ini dapat kita pahami dari Hadis Rasulullah berikut:
إِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلَالًا وَلَا أُحِلُّ حَرَامًا وَلَكِنْ وَاللهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللهِ مَكَانَا وَاحِدًا أَبَدًا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)
Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan putri musuh Allah selamanya”. (HR. Muslim).
Kesimpulan yang dapat kita ambil dari dua Hadis di atas adalah sejatinya Rasulullah tidak melarang terhadap praktek poligami. Larangan Beliau kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib lebih didasarkan pada faktor ekternal seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya. Hal ini terbukti bahwa pasca wafatnya Sayyidah Fatimah, Sayyidina Ali melakukan poligami. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu Ali memiliki dua istri”. (HR. Ahmad). Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi .
Asumsi lain berkaitan dengan masalah poligami adalah pendapat yang menyatakan bahwa poligami sangat mustahil untuk diterapkan. Dan jika dirumuskan, alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَمَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وْثُلَاثَ وَرُبَاعَ. فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّاتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُوْلُوْا. (النساء [4] :3)
“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ [4]: 3).
Pertama-tama ayat ini menjelaskan kewajiban berlaku adil kepada perempuan yatim. Kedua, ayat ini memberikan penjelasan yang tegas terkait legalitas hukum poligami. Namun, pada ayat selanjutnya, terdapat perintah untuk menikahi satu orang perempuan bagi laki-laki yang tidak mampu berbuat adil dalam berpoligami. Dengan demikian kebolehan poligami dibatasi dengan sifat adil, padahal berlaku adil adalah mustahil. Allah berfirman:
وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَأَنْ تُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا. (النساء [4]: 129)
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ [4]: 129).
Jika al-Qur’an memperbolehkan poligami dengan syarat adil, sementara adil merupakan suatu yang mustahil, maka pesan utama yang bisa kita tangkap dari kedua ayat di atas adalah hindarilah poligami.
Seperti asumsi sebelumnya, asumsi ini juga merupakan asumsi yang sangat rapuh. Alasannya, sangat tidak rasional apabila Allah memperbolehkan melakukan sesuatu kemudian menghubungkannya dengan sesuatu yang mustahil. Dan, apakah ketentuan seperti itu memang ada di dalam Islam? Nampaknya ini hanya terjadi dalam maslaah poligami. Dan jika memang demikian, adakah pendapat semacam ini diadopsi dari para pakar yang memiliki otoritas untuk menafsiri al-Qur’an?
Itulah sebabnya mengapa para pakar tafsir menafsiri adil dalam ayat tersebut dengan adil yang berada dalam batas kemampuan umat manusia seperti memberi tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman, giliran dan tatacara berinteraksi, bukan adil dalam membagi cinta kepada istri-istrinya. Karena bagaimanapun, berbuat adil dalam membagi cinta adalah tidak mungkin (mustahil) dilakukan oleh setiap individu. Sementara itu, Islam tidak pernah menganjurkan atau mewajibkan (taklif) untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka mampu. Itulah sebabnya mengapa ada aturan rukhsah di dalam syariat.
Alasan berikutnya adalah poligami yang dilakukan oleh Nabi , para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para salaf as-shalih. Jika kita mengatakan poligami tidak boleh dilakukan karena alasan tidak ada seorangpun yang mampu berbuat adil, lalu adakah Nabi , sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in itu telah menyalahi ketentuan yang ditentukan oleh syariat. Tentu saja, tidak ada seorangpun dari kalagan ahlus sunnah wa al-jamaah yang menyatakan bahwa Nabi adalah tidak maksum sementara sahabat adalah orang yang tidak adil. Mereka justru mengatakan yang sebaliknya.
Asumsi lain yang sering dikemukan oleh kalangan yang tidak setuju terhadap poligami adalah bahwa pada dasarnya hukum asal pernikahan adalah monogami (beristri satu) sedangkan poligami merupakan “penecualian” sehingga tidak boleh diamalkan kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak.
Bagaimanapun, pendapat ini sangat lemah dan tidak bisa diterima oleh logika agama. Ayat yang menjelaskan poligami (QS. An-Nisa [4]: 3 dan 129) tidak memberikan penegasan apapun yang mendukung asumsi ini. Bahkan, jika kita lebih mencermati, justru poligamilah yang menjadi asal dalam ayat tersebut, sedangkan monogami menjadi pengecualian dari hukum aslinya.
Pendapat yang mengatakan bahwa poligami hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebetulnya lebih mendekati pada pengharaman poligami. Bagaimana tidak? Secara definitif kata darurat memiliki arti suatu kondisi yang andaikan seseorang tidak melakukan perkara yang dilarang, maka dia akan terjerumus pada kematian atau, setidaknya, mendekati kematian. Darurat adalah bagian dari rukhshah (dispensasi agama) yang hanya boleh dilakukan dalam keadaan tertentu dalam kondisi yang sangat mendesak. Kondisi darurat dapat “menyulap” suatu yang haram menjadi halal dan yang wajib dikerjakan boleh ditinggalkan. Selanjutnya, jika poligami hanya boleh diterapkan dalam kondisi darurat, apakah hakikat poligami itu memang diharamkan sehingga untuk melakukannya harus menunggu keadaan darurat? Sampai di sini pernyataan bahwa poligami adalah darurat tidak bisa dipertahankan. Kiranya, kami tidak perlu lebih memperpanjang argumentasi.
Menurut segian golongan yang juga anti terhadap poligami bahwa poligami tidak boleh dilakukan kecuali jika istri menderita suatu penyakit atau mengalami kemandulan. Pendapat semacam ini tentu saja tidak memiliki landasan apapun yang dapat diterima oleh agama. Sebab, dalam ayat yang melegalkan poligami tidak ada persyaratan apapun berkenaan dengan kemandulan atau mendapat persetujuan dari sang istri.
Dan juga, Rasulullah tidak pernah meminta sahabatnya yang berpoligami untuk memita izin kepada istrinya, Beliau hanya meminta para sahabatnya yang memiliki istri lebih dari empat untuk menceraikan sebagian dari mereka. Dan Rasulullah juga tidak menyaratkan ada persetujuan dari istri bagi sahabatnya yang berpoligami. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa syarat berpoligami adalah istri menderita penyakit, mengalami kemandulan dan mendapatkan izin darinya adalah persyaratan yang dibuat-buat dan tidak memiliki landasan apapun yang bisa diterima oleh logika agama.
As-Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkata demikian: “Memberi batasan (diluar yang sudah ditetapkan oleh agama) dalam poligami adalah bidah yang sesat di dalam agama yang tidak pernah terjadi pada periode Nabi , sahabat dan para tabi’in.”
Jadi, menurut Islam poligami tidak disyaratkan harus mendapatkan izin dari istri atau boleh dilakukan ketika istri mengalami kemandulan atau penyakit. Sejak awal Islam telah melegalkan poligami sekalipun tanpa syarat barusan. Sehingga seorang muslim boleh melakukan poligami dalam batas yang telah ditentukan asalkan dia mampu untuk berbuat adil kepada istri-istrinya serta mampu untuk menafkahi mereka.
Bagaiamana mungkin seseorang bisa menetapkan persyaratan di atas padahal Umar bin al-Khatthab menawarkan putrinya, Hafshah, kepada Abu bakar ash-Shiddiq . Sementara itu Umar tahu bahwa Abu Bakar memiliki lebih dari satu istri dan di antara mereka tidak ada seorangpun yang mengalami kemandulan atau terkena penyakit. Umar juga menawarkan putrinya kepada Utsman bin Affan sementara Utsman adalah suami dari putri Rasulullah , dan Utsman tidak mendapatkan gugatan apapun, baik dari Rasulullah ataupun dari putrinya.
Dan lagi pula, andaikan Nabi tidak setuju terhadap poligami, mengapa Beliau menyuruh sahabatnya yang memiliki istri lebih dari empat untuk mentalak sebagiannya saja, bukan mentalak seluruhnya terkecuali satu saja sebagai istrinya?
Maka, kesimpulan dari apa yang telah kami paparkan secara ringkas barusan adalah jelas, bahwa Islam tidaklah anti terhadap poligami seperti halnya Islam tidak memproduk, apalagi berinovasi, poligami. Adalah benar jika dikatakan bahwa Islam hanya menetapkan apa yang sudah ada sebelumnya dengan mengacu pada tujuan yang mulia yang sama sekali berbeda dengan praktek poligami yang terdapat dalam lingkugan masyarakat etnis dan agama non-Islam.
Di dalam Islam, poligami tidak lepas dari beberapa tujuan berikut, antara lain, untuk menghindari prakek perkawinan yang mengarah pada dehumanisasi perempuan. Tujuan ini dimanifestasikan dan direflesikan dengan melindungi hak-hak perempuan sebagai manusia, utamanya kaum perempuan yang lemah seperti janda dan anak yatim perempuan.
Upaya perlindungan hak kaum perempuan di dalam poligami, diwujudkan melalui penegakan adâlah (keadilan) yang merupakan esensi dari ajaran Islam yang sekaligus menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh setiap laki-laki yang akan melangsungkan poligami.
Berdasarkan dalil-dalil yang telah kami kemukakan di atas, ulama sepakat bahwa poligami merupakan sistem perkawinan yang legal menurut Islam. Sungguhpun demikian, perlu dipahami bahwa secara umum Islam memiliki lima kategori perintah dan larangan yaitu, fardlu (harus dilakukan), sunnah (baik jika dilakukan), mubah (boleh dilakukan), makruh (tidak baik apabila dilakukan tapi tidak sampai berdosa) dan haram (tidak boleh dilakukan dan berdosa). Sedangkan poligami menempati posisi hukum yang bersifat moderat yaitu mubah (boleh dilakukan).
Jika poligami adalah mubah, maka perlu diketahui bahwa setiap perkara yang mubah dapat berevolusi menjadi sunnah, wajib, haram dan makruh (ta’tarîhi al-ahkâm al-khamsah) dengan melihat pada beberapa faktor eksternal (‘aridli). Jadi, setiap hukum yang bersifat mubah akan berubah status hukumnya dalam situasi dan kondisi yang berbeda, dengan melihat pada faktor-faktor eksternal yang menginfiltrasinya.
Misal, nikah pada dasarnya adalah mubah, akan tetapi menikah akan menjadi sunnah bagi orang yang memiliki hasrat untuk menikah dan memiliki kemampuanb memberi mahar dan nafkah. Nikah juga bisa menjadi wajib jika dengan tanpa menikah seseorang akan terjerumus pada perzinahan dan hal-hal yang diharamkan.
Nikah juga menjadi makruh bagi orang yang memiliki hasrat untuk menikah tetapi tidak memiliki biaya untuk melakukannya. Dan terakhir, nikah juga bisa menjadi haram bagi orang yang memiliki keyakinan tidak akan mampu untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada istri. Dan seperti itu juga hukum yang berlaku dalam poligami.
Jika poligami dilakukan dengan mengikuti aturan yang benar dan disertai dengan niatan untuk mengikuti sunnah Rasul , maka melakukan poligami adalah sunnah. Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis:
أَنَّ سَعِيْدَ بْنَ جُبَيْرٍ قَالَ: وَقَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ: هَلْ تَزَوَّجْتَ؟ فَقُلْتُ: لَا . قَالَ: فَتَزَوَّجْ فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)
Bahwa Sa’id bin Jubair berkata: “Ibnu Abbas betanya kepadaku: ‘Apakah kamu sudah menikah?’ aku menjawab: ‘Tidak.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Menikahlah, karena sebai-baik umat ini adalah paling banyak memiliki istri.” (HR. al-Bukhari).
Dalam al-Mughni-nya Ibnu Qudamah mengatakan demikian: “Dan karena Nabi melakukan pernikahan bahkan berpoligami. Dan ini juga dilakukan oleh para sahabatnya. Padahal Nabi dan para sahabatnya tidak pernah menyibukkan diri kecuali dengan melakukan perkara yang afdlal dan para sahabat tidak bersepakat untuk meninggalkan perkara yang afdlal lalu beralih pada pekerjaan yang lebih rendah.”
Pernyataan ini beliau kemukakan ketika mengomentari Hadis yang menerangkan tabattul (memfokuskan diri untuk beribadah) yang pernah terjadi di kalangan sahabat.
Bahwa, para sahabat memiliki keinginan untuk meningkatkan kualitas ibadah mereka dengan meninggalkan gemerlap duniawi. Salah satu dari mereka malah mengatakan demikian: “Adapun aku tidak memakan daging.” Yang lain mengatakan: “Adapun aku melakukan salat dan tidak pernah tidur.” Sebagian lagi berkata: “Sedangkan aku berpuasa dan tidak pernah berbuka.” Yang lain mengatakan: “Adapun tidak menikahi seorang perempuan.” Lalu berita tentang sahabatnya ini di dengar oleh Nabi sehingga beliau berpidato: “Aku mendengar ini dan itu. Sedangkan aku berpuasa dan berbuka, aku melakukan salat dan juga tidur, aku juga memakan daging dan menikahi beberapa orang perempuan (poligami). Barangsiapa yang membenci terhadap sunnah-ku, maka dia tidak termasuk dalam gologanku.” (HR. Muslim).
Bahkan Mahmud Syaltut mengatakan demikian: “Bahwa ayat pertama (an-Nisa [4]: 3) dan kedua (an-Nisa [4]: 129) saling bersinergi untuk menetapkan legalitas hukum poligami. Disamping itu, Nabi , shabat, tabi’in dan para kaum muslimin dari generasi ke generasi melakukan poligami. Dan mereka berpendapat bahwa poligami yang disertai dengan sikap yang adil adalah perbuatan yang baik bagi seorang laki-laki kepada istrinya secara khusus dan masyarakat secara umum. Bahkan Mahmud Syaltut memberi label terhadap orang-orang yang mengatakan poligami tidak disyariatkan karena mengandung persyaratan yang mustahil dilakukan sebagai orang yang menentang terhadap ayat-ayat Allah dan telah mengarahkan pemahaman ayat tersebut pada ranah yang tidak tepat.
Selanjutnya, poligami akan menjadi haram bagi orang yang tidak yakin bisa berlaku adil kepada istri-istrinya. Bagaimanapun, kita harus menyepakati bahwa poligami yang dilakukan oleh laki-laki yang tidak mampu berbuar adil maka hukumnya adalah haram. Namun demikian, nikahnya tetap sah jika sudah memenuhi persyaratan dalam menikah, hanya saja dia tetap mendapatkan dosa.
Nah, hal semcam inilah yang kami maksud dengan ta’tarîhi al-ahkâm al-khamsah dengan meninjau situasi dan kondisi yang berbeda. Sehingga kita tidak boleh memfonis secara mutlak bahwa ini adalah sunnah, ini adalah haram, ini makruh dan ini wajib terhadap suatu pekerjaan yang bersifat umum, terkecuali jita kita ingin terjerumus pada kesimpulan hukum yang fatal alias salah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar