Senin, 04 Agustus 2025

Mendidik Anak Dalam Perspektif Psikologi Islam

Mendidik Anak Dalam Perspektif Psikologi Islam



Belakangan ini, dunia pendidikan diwarnai dengan potret suram yang sangat mengkhawatirkan anak-anak yang dulu diharapkan menjadi generasi harapan bangsa, kini malah berani melawan guru, bahkan ada yang tega memukul pendidiknya sendiri di dalam kelas! Ini bukan sekadar kenakalan biasa, tapi alarm keras yang menunjukkan bahwa ada yang rusak dari akar yakni pola asuh di rumah. 

Jangan buru-buru menyalahkan sekolah atau guru! Karena sejatinya, anak adalah cermin dari orang tuanya. Jika di rumah anak menyaksikan orang tua saling bentak, saling pukul, bahkan hidup dalam suasana penuh konflik dan amarah, maka jangan heran bila anak meniru itu semua di luar rumah.

Bukankah waktu bersama orang tua jauh lebih banyak daripada waktu bersama guru? —maka rusaknya akhlak anak, sejatinya adalah hasil dari retaknya pendidikan dalam rumah tangga. Saat keluarga gagal menjadi madrasah pertama, maka sekolah pun akan kewalahan mengurus luka yang di ditanam oleh tangan-tangan terdekatnya sendiri.

Anak-anak bukanlah makhluk yang tumbuh dalam ruang hampa. Mereka adalah peniru ulung. Apa yang mereka lihat, mereka serap. Apa yang mereka dengar, mereka rekam. Jika setiap hari mereka mendengar kata-kata kasar dari ayah dan ibu, maka mereka pun akan bicara kasar. Jika mereka menyaksikan kekerasan sebagai cara menyelesaikan masalah di rumah, maka mereka pun akan menjadikan kekerasan sebagai solusi di sekolah. 

Maka jangan terkejut ketika tangan mungil itu tiba-tiba memukul gurunya—karena bisa jadi, tangan itu sedang meniru apa yang dilihatnya di rumah. Dan lebih ironis lagi, sebagian orang tua malah membela anaknya saat bermasalah di sekolah, tanpa pernah bercermin pada dirinya sendiri. Jadi, sebelum menyalahkan sistem pendidikan, mari kita benahi dulu “sekolah pertama” anak—yakni rumah kita sendiri. Sebab pendidikan sejati bukan dimulai dari kurikulum, tetapi dari keteladanan.
----
Mendidik anak bukan sekadar mengajarkan benar dan salah, tetapi menanamkan nilai kehidupan dengan cinta dan teladan. Anak-anak adalah anugerah sekaligus amanah dari Allah yang hati dan pikirannya masih jernih, ibarat tanah subur yang menanti ditanami. Maka, orang tua adalah penanam utama—segala ucapan, sikap, dan perilaku mereka terekam kuat dalam jiwa anak. Sugesti positif seperti doa, pujian tulus, pelukan hangat, dan sapaan penuh cinta mampu membentuk karakter anak jauh lebih kuat dibanding teriakan atau ancaman.

Dalam pendekatan hypnoparenting, kata-kata yang kita ucapkan adalah "skrip bawah sadar" bagi anak. Ucapan seperti “Anak shalih papa, anakku yang cerdas, dan anak mama tersayang ,” bila diulang dengan hati yang tulus, akan menanamkan identitas positif dalam diri mereka. 

Hindari melabeli anak dengan ucapan negatif seperti “kamu kok nakal banget ya,” atau, "Dasar anak pemalas, anak bodoh, diajari berkali-kali, gak paham²!, Kamu kok goblok banget sih!" karena kata2 itu akan membentuk kepribadian yang sesuai dengan label tersebut. Sebaliknya, fokuskan pada solusi, bukan kesalahan. Saat anak berbuat salah, katakan dengan lembut, “Ibu/Ayah tahu kamu anak baik, hanya perlu belajar lebih sabar, bahwa hal ini kurang baik kamu lakukan, yang baik adalah begini..”

Psikologi Islam menekankan pentingnya qudwah hasanah (teladan yang baik). Anak belajar bukan dari perintah, tetapi dari perilaku. Jika orang tua sabar, anak akan belajar sabar. Jika orang tua jujur, anak pun akan meniru kejujuran. Kepada siapa lagi coba mereka akan belajar dan memotret perilaku, kalau bukan kepada orang tua yang memang selama ini dekat dan terus berkumpul bersamanya. 

Jangan berharap mereka akan jadi anak yang berperilaku baik, jika potret yang mereka dapat dari kita sebagai orang tua adalah potret yang suka marah², suka main tangan, suka teriak-teriak, dan lebih rajin membuka gadget android daripada Kitab Suci Al Qur'an. Mereka justru lebih sering mendengar suara game Mobile Legend daripada sura alunan Al Qur'an dan Shalawat Nabi. Maka, mendidik anak itu sejatinya adalah proses memperbaiki diri sendiri. Jangan ragu meminta maaf pada anak saat Anda berbuat salah, karena itu mengajarkan kerendahan hati yang sangat berharga bagi pembentukan karakter akhlaknya.

Bangunlah rutinitas positif sejak dini—membacakan doa sebelum tidur, mendengarkan alunan Al-Qur'an, dan berbicara dari hati ke hati menjelang tidur, berikan nasihat yang baik dan penuh sugestif saat gelombang otak anak memasuki kondisi tenang, rileks, dan siap menerima sugesti. Di saat inilah orang tua bisa menanamkan kalimat-kalimat motivatif seperti, “Nak, atas izin Allah, besok tiba-tiba kamu jadi lebih cerdas dari sebelumnya, kamu jadi lebih patuh dan penurut kepada orang tua, atau kamu besok atas izin Allah, tanpa kamu tau penyebabnya, kamu menjadi anak yang lebih semangat dan rajin ibadahnya, rajin sekolahnya, hafalannya semakin meningkat, dan semakin cerdas dari hari ke hari,” atau “Allah sayang sama kamu Nak, kamu terberkati, dan Ibu pun begitu sayang sama kamu, kamu hebat, kamu mampu dan memiliki sifat jujur dan amanah.” Kata-kata sederhana ini membangun pondasi rasa aman dan percaya diri yang kokoh bagi anak.

Ingatlah, anak bukan beban, tapi peluang untuk mencetak generasi surga. Didik mereka dengan cinta, bukan kemarahan. Dengan kelembutan, bukan kekerasan. Sematkan dalam hati bahwa setiap kalimat dan sikap kita sedang mengukir masa depan mereka. Maka tanamlah kebaikan hari ini, agar esok hari mereka tumbuh menjadi pribadi kuat, tangguh, dan berjiwa mulia—yang tidak hanya membanggakan di dunia, tapi juga menjadi penyejuk mata di akhirat. Amin

Disarikan dari: Ust Salam, S.E.I, M.E, C.Ht, C.MH, C.I, C.MNLP
(Dosen, Praktisi Hipnoterapi & NLP) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

AMALAN RINGAN BERPAHALA BESAR

HADITS TENTANG AMALAN RINGAN BERPAHALA BESAR  "Dari Abu Ad-Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam  “Tidak ...