Minggu, 31 Maret 2024

Poligami dalam khazanah islam (part-III, habis)

 


Kenapa Hanya Empat?

Barangkali ada sebagian orang yang bertanya: mengapa poligami hanya dibatasi pada empat orang perempuan saja, mengapa bukan dua atau tiga dan seterusnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, akan kami tampilkan pendapat-pendapat para ulama yang telah meneliti tentang hikmah di balik pembatasan tersebut.

Setidaknya ada empat pendekatan yang digunakan oleh para ulama dalam menguraikan hikmah di balik pembatasan jumlah pasangan dalam berpoligami. Tetapi, menurut Athiyah Shaqr, pendekatan yang digunakan oleh mereka tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan.

Pertama, mereka menggunakan pendekatan siklus menstruasi yang—bagi perempuan normal—hampir terjadi setiap bulan. Mereka berpendapat bahwa seandainya satu orang laki-laki memiliki empat orang istri dan memberi jatah gilir selama satu minggu untuk setiap istri, maka jatah tersebut akan pas selama satu bulan. Namun msalahnya, kadang pembagian giliran semacam ini tidak bisa dilakukan secara maksimal, mengingat kadang salah satu dari istri mengalami menstruasi pada saat jatah gilirannya, padahal seorang suami tidak boleh berhubungan dengan istri yang sedang menstruasi. Sehingga, dalam keadaan demikian, suami mempuyai peluang untuk berhubungan degan istrinya yang lain.

Akan tetapi alasan sperti ini tidak dapat diterima oleh logika agama, sebab ketika istri sedang menstruasi sekalipun, suami tetap berkewajiban untuk menginap di rumah istrinya yang sedang menstruasi tersebut tanpa harus melakukan hubungan intim dengannya. Dengan demikian, maka alasan ini tidak dapat diterima oleh logika agama.

Kedua, dalam kitab Hâdil Arwâh, karangan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dijelaskan bahwa hikmah pemabatasan empat orang perempuan di dalam berpoligami sebenarnya mengacu pada eksistensi musim yang bergulir dalam satu tahun. Tentu saja alasan ini sangat tidak mungkin untuk dilogikakan, karena memang tidak ada hubungan dan kausa yang jelas antara pembatasan jumlah pasangan hingga empat orang perempuan dengan eksistensi musim yang biasanya berganti empat kali dalam satu tahun, kecuali kita hanya melihat dari aspek jumlahnya saja yang—kebetulan—sama-sama berjumlah empat.

Keitga, seorang laki-laki hendaknya mendatangi masing-masing istrinya minimal satu hari dalam empat hari. Sebab, istri tidak akan gundah dan kesepian jika ditinggalkan suami dalam rentang waktu empat hari. Oleh karena itu, seandainya suami menjatah masing-masing istrinya selama satu hari dalam empat hari, maka hal tersebut dapat ditanggulangi. Hikmah ini tentunya tidak kuat untuk dijadikan alasan pembatasan jumlah poligami hingga empat orang perempuan. Sesungguhnya alasan ini akan lebih tepat jika digunakan untuk membuat sistem yang ideal dalam memberikan jarah giliran kepada istri.

Keempat, menurut Dr. Wajih Zainal Abidin, setelah para dokter melakukan penelitian tentang kesanggupan seorang wanita untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri mereka berkesimpulan bahwa perempuan hanya sunggup melayani suaminya secara maksimal dalam kurun waktu sembilan puluh dua hari dalam satu tahun. Kesimpulan ini setelah mengurangi jumlah hari yang beredar dalam satu tahun dengan jumlah masa kehamilan, nifas, menstruasi dan hilangnya hasrat melakukan hubungan seksual. Dengan demikian, suami bisa beralih kepada istri-istrinya yang lain saat salah satu istrinya sedang hamil, menstruasi atau tidak memiliki hasrat untuk melakukan hubungan seksual.

Bagaimanapun, alasan-alasan yang telah dikemukakan para ulama barusan sangatlah jauh dari kesan rasional. Sehingga tak ada alasan yang kuat untuk dijadikan argumen dalam masalah ini.

Akan tetapi, bukan berarti pertanyaan di atas tidak memiliki jawaban. Pembahasan kita ini masih berhenti di tanda koma (,). Sebab masih ada pertanyaan yang perlu kita jawab: apakah setiap doktrin agama harus didasarkan pada alasan-alasan rasional, yang pada gilirannya akan menutup ruang terhadap diterimanya suatu ketetapan yang tidak bisa diterima oleh akal? Tenju saja jawabannya adalah tidak. Sebab Islam adalah agama yang didasarkan pada wahyu Ilahi, yakni al-Qur’an dan Hadis Nabi . Islam tidak didasarkan pada rasio an sich yang kemudian menutup ruang untuk menerima ajaran yang sama sekali jauh dari jangkauan akal manusia. Itulah sebabnya dalam salah satu atsâr Sayyidina Ali  berkata:

لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ)

“Seandainya agama didasarkan pada alasan-alasan rasional niscaya mengusap bagian bawah sepatu lebih baik daripada mengsuap bagian atasnya. Akan tetapi saya benar-benar telah milihat Rasulullah mengusap bagian atas sepatunya.” (HR. Abu Dawud dengan isnad hasan).

Atsar Sayyidina Ali  ini adalah dasar yang dijadikan pedoman oleh umat Islam ahlus sunnah wal jamaah yang kerap menggunakan pendekatan ta’abbudy atau ghairu ma’kul al-makna untuk menerima ketetapan agama yang tidak mampu untuk dinalar. Umat Islam sepakat bahwa keabsahan ajaran agama Islam tidak didasarkan pada alasan-alasan rasional. Maka, menurut Syaikh Atiyyah Shaqr,  cara terbaik untuk menyikapi pembatasan empat orang perempuan dalam berpoligami adalah tidak memberikan alasan apapun dan menerima ketetapan Allah  dengan apa adanya. Sebab, bagaimanapun, kita memang tidak perlu alasan apapun untuk menerima ketetapan agama semisal pembatasan jumlah pasangan dalam berpoligami.

Dan, lebih dari itu, pada dasarnya alasan-alasan pembatasan jumlah poligami yang telah dikemukakan oleh para ulama dia atas sejatinya mengacu pada hikmah. Dan sebagaimana dimaklumi, hikmah tidak harus berupa alasan yang rasional serta mundlabith (memiliki batasan dan karakteristik yang jelas) seperti halnya illat (kausa). Mengenai pembahasan hikmah dan illat ini, akan kami bahas pada pembahasan selanjutnya. walLâhu a’lamu bish shawâb.


Kajian Kitab Maulid Ad-Diba'i: Fungsi Anatomi Tubuh Manusia


*Fungsi Anatomi Tubuh Manusia*

(Transkrip Kajian Sirah Nabawiyah Maulid Ad-Diba'i Eps. VII, 18 Ramadhan 1445 / 29 Maret 2024) 

Oleh: Ibnu Imron*

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh 
Bismillahirrahmanirrahim 


إِنَّ الْحَمْدَ ِللَّهِ، نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا، وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَـٰهَ إِلَّا اللَّهُ، وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
سبحانك لا علم لنا الا ما علمتنا انك انت العليم الحكيم وتب علينا انك انت التواب الرحيم، رب اشرح لي صدري ويسر لي أمري واحلل عقدة من لساني يفقهوا قولي

*Prolog*

خلق مخاً وعظماً وعضداً وعروقاً ولحماً وجلداً وشعراً ودماً بنظم مؤتلف متراكب. من ماءٍ دافق يخرج من بين الصلب والترائب

Allah menciptakan otak, tulang, bahu, urat pembuluh darah, daging, kulit, dan rambut secara teratur

Dari air mani yang terpancar dari tulang belakang laki-laki dan tulang depan dada wanita

*Pembahasan*

Setelah sebelumnya pengarang menyinggung penciptaan manusia secara global, selanjutnya pengarang memberikan sedikit perincian terhadap penciptaan anatomi tubuh manusia. 

خلق مخا

Lafal Khalaqa merupakan akar kata dari asmaul husna yang berupa Al-Khaliq yang berarti mengukur.

Pemaknaan lafal ini kemudian berkembang menjadi tiga makna

Pertama: bermakna menciptakan dari tiada, menciptakan tanpa contoh terlebih dahulu. 

المعنى الأول: إيجاد الشي من العدم أو ابتداع مخلوق جديد من غير سابق له وهذا المعنى خاص بالله تعالى لا يشاركه فيه أحد أبداً

Allah ta'ala berfirman [Al-Hijr 26-27]:

قال الله تعالى: ﴿ وَلَقَدْ خَلَقْنَا الإنْسَانَ مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ وَالْجَانَّ خَلَقْنَاهُ مِنْ قَبْلُ مِنْ نَارِ السَّمُومِ 


Kedua: bermakna mengukur secara akurat, menyiapkan, merencanakan, mengumpulkan
karena orang yang akan membuat sesuatu bissanya sudah diukur dulu 

المعنى الثاني: التهيئة والتقدير والتشكيل والتجميع والتركيب

Seperti dalam firman Allah:

 وَإِذْ تَخْلُقُ مِنَ الطِّينِ كَهَيْئَةِ الطَّيْرِ بِإِذْنِي فَتَنْفُخُ فِيهَا فَتَكُونُ طَيْرًا بِإِذْنِي وَتُبْرِئُ الأَكْمَهَ وَالأَبْرَصَ بِإِذْنِي وَإِذْ تُخْرِجُ الْمَوْتَى بِإِذْنِي وَإِذْ كَفَفْتُ بَنِي إِسْرَائِيلَ عَنْكَ إِذْ جِئْتَهُمْ بِالْبَيِّنَاتِ فَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْهُمْ إِنْ هَذَا إِلاً سِحْرٌ مُبِينٌ (110)﴾ (سورة المائدة)

Ketiga: bermakna membuat-buat, buat-buat omong, ini tidak mungkin diarahkan kepada Allah

المعنى الثالث: الكذب وهذا المعنى لا يجوز أبداً 

Allah Taala berfirman:

قال الله تعالى: ﴿ مَا سَمِعْنَا بِهَذَا فِي الْمِلَّةِ الأَخِرَةِ إِنْ هَذَا إِلاً اخْتِلاقٌ (7)﴾ (سورة ص)

قال الله تعالى: ﴿إِنْ هَذَا إِلاً خُلُقُ الأَوَّلِينَ (137)﴾ (سورة الشعراء)


kemudian

مخا

Kata mukhan itu punya dua arti: 1. sumsum. 2. bisa berarti sebagai otak

{المُخُّ بالضّمّ، والقِطْعَةُ} مُخَّةٌ: نِقْيُ العَظْمِ) ، وَقيل: {المُخَّةُ أَخصُّ مِنْهُ. وَفِي (التَّهْذِيب) : نِقْيُ عِظامِ القَصَبِ. وَقَالَ ابْن دُريد: المُخّ: مَا أُخرِجَ مِنْ عَظْمٍ.
(و) المُخُّ (: الدِّمَاغُ) ، قيل إِنّهُ حَقيقَةٌ، وَعَلِيهِ جَرَى الشِّهَاب فِي أَوّل البقرةِ، وكلامُ الجَوْهَرِيّ كَالصَّرِيحِ فِي أَنّه مَجاز
[مرتضى الزبيدي ,تاج العروس ,7/337]

Keduanya sama punya fungsi vital bagi tubuh: Otak sebagai pengatur utama, sumsum sebagai pemancar instruksi otak ke seluruh anggota tubuh. 

Kemudian selanjutnya 

عظما

Adzm adalah tulang, para ulama mendefinisikan sebagai berikut

العَظْمُ : القصَبُ الذي عليه اللَّحمُ 

Ruas yang tertutupi oleh daging 

ا
Selanjutnya Adud:

العَضُدُ : [مؤنث] ما بين المرفق إلى الكتف

lengan atas antara sikut dan pundak, makna aslinya adalah penguat

ما شد حواليه من البناء وغيره

Seperti dalam Al-Quran (Al-Qoshosh: 35)

قَالَ سَنَشُدُّ عَضُدَكَ بِأَخِيكَ

Kami akan menguatkan engkau (membantumu) dengan saudaramu

Karena Lengan adalah penguat aktifitas badan


Dalam adud ini bisa dibaca 8, seperti halnya pelafadzan kata katif dan fakhdz

Kemudian 

عروق

Merupakan jamak dari Irqun artinya tempat berjalannya darah, yakti otot 


عرق جمعه عروق وأعرق وعراق مجرى الدم من الجسد ( المعجم الوسيط ٦١٧)

berbeda dengan araq yang artinya keringat seperti dalam hadis

الْمُؤْمِنُ يَمُوتُ بِعَرَقِ الْجَبِينِ 

Orang mukmin itu meninggal dalam keadaan bercucuran keringat dahinya [HR: Abud Daud, At-Tirmidzi dan An-Nasa'i] 

Selanjut 

لحم

Adalah bagian lunak tubuh yang terletak antara kulit dan tulang

اللَّحْمُ من جسم الحيوان والطير: الجزء العضلي الرَّخو بين الجلد والعظم
توضيح الاحكام ١/ ١٧٤ 

Kita lanjutkan 

جلد

Jild atau kulit merupakan bagian tubuh terluar yang meliputi hampir keseluruhan badan

(الجِلْدُ): الغلاف الخارجي للجسم ويتكوّن من طبقتين: البشرة والأَدَمة. (ج) أَجلادٌ وجُلُودٌ.

وَفِي (الْمِصْبَاح) : الجِلد من الْحَيَوَان: ظاهِرُ بَشَرتِه. وَفِي (التَّهْذِيب) الجِلْد غشاءُ جَسَدِ الحَيوان.
[مرتضى الزبيدي، تاج العروس، ٥٠٧/٧]


Kemudian

شعر

Rambut adalah bagian tubuh tambahan yang bentuknya seperti benang yang tumbuh di atas kulit

الشِّعْرُ والشَّعَرُ : زوائدُ خيطيّة تظهر على جلد الإنسان 

Kemudian 

بنظم 

Kata nadzm mempunyai arti mengumpulkan satu hal dengan hal yang lainnya, makanya bait nazdam disebut dengan nadzam karena mengumpulkan beberapa kosa kata dalam satu bait


 النَّظْمُ : التَّأْلِيفُ وَضَمُّ شَيْءٍ إلى | شَيْءٍ آخَرَ ) ، وكُلُّ شَيْء قَرنْتَه بِآخَرَ فقد | نَظَمْتَه
تاج العروس من جواهر القاموس - (33 / 496)

Sementara itu

مؤتلف متراكب 

Padu dan tersusun
Mu'talif sendiri diambil dari madhi 'italafa artinya

ائتلف النَّاسُ اجتمعوا وتوافقوا واتّحدوا بعد اختلاف

Berkumpul, Sepakat, bersatu setelah terpecah, dan untuk makna mutarakib diambil dari madhi tarakaba yang bermakna

المعجم الوسيط - (1 / 368)
( تراكب ) الشيء ركب بعضه بعضا أو تراكم

Bertumpuknya satu perkara dengan perkara lainnya atau bisa juga bermakna berkumpul 

من ماء دافق

Itu merupakan kiasan untuk air mani atau dalam bahasa arab disebut kinayah, dalam al-quran banyak sekali menggunakan kiasan khususnya untuk kata yang tak pantas diucapkan, makanya dalam Al-quran tak ada kata-kata kasar yang tak pantas diucapkan, sekotor apapun maknanya akan diungkap dengan bahasa yang santun

Untuk kinayah sendiri definisinya adalah

لفظ استعمل في غير معناه الأصلي مع جواز إرادته

Lafadz Yang digunakan bukan pada makna aslinya namun bisa untuk dikehendaki makna aslinya

Jadi Main Dafiq yang diartikan sebagai mani bukanlah makna sebenarnya, karena makna aslinya adalah keluar dengan keras (mohon maaf: Moncrot), namun bila diartikan sebagai air yang keluar dengan cara keras/deras juga bisa, karena salah satu tanda dari air mani itu, ada 3, seperti yang dikatakan pakar fikih:

1. Keluar dengan deras
2. Keluar terasa nikmat
3. Bau kuning telur (basah) , dan putih telur (Kering) 


ويعرف بتدفقه أو لذة بخروجه أو ريح عجين رطبا أو ريح بياض بيض جافا 
المقدمة الحضرمية - (41) 

Kita lanjutkan 

يخرج من بين الصلب والترائب 

Keluar dari tulang punggung laki-laki dan tulang dada perempuan. 

Lafadz-lafadz tersebut merupakan Iqtibas atau penggalan yang diambilkan dari al-Quran 

خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ 

Dia diciptakan dari air yang dipancarkan yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan (Ath-Thariq 6-7)

Sulbi sendiri artinya tulang besar yang ada di bagian tengah punggung bagian bawah, dan taraib adalah Tulang dada tempat yang biasa untuk meletakkan kalung / Liontin. 

Maksudnya terciptanya manusia disebabkan bercampurnya dua air (sperma dan Ovum) yang keluar dari tulang belakang laki-laki dan tulang dada perempuan, proses ini juga disebut dengan fertilasi. 

*Epilog*

Penciptaan anatomi tubuh manusia sangatlah luar biasa: Otak yang  berperan sebagai pusat kendali tubuh dan menyusun sistem saraf pusat (SSP). Tulang sebagai penopang tubuh. Lengan untuk bisa mengangkat barang dan bergerak dengan leluasa. Otot sebagai penggerak stabilisasi posisi tubuh, mengatur volume organ, dan termogenesis. Daging sebagai pelindung tulang. Kulit sabagai pelindung organ dalam. Dan rambut sebagai pelindung kulit dari panas, dingin, debu dan lainnya. 

Semua hal di atas tak akan mampu dilakukan dan diciptakan oleh manusia, sehingga penciptaan anatomi tubuh manusia menunjukkan atas ke-Mahakuasa-an Allah Sang pencipta. 

Wallahu A'lam.

*) Penulis Adalah Konten Kreator Asal Pasuruan Jawa Timur 

===

Refrensi:
Milul Awani
Tajul Arus
Al-Misbahul Munir
Al-Munabba' li alfadzii Diba'
Diyaul Murobba' Fi Syarhi Maulid Diba
Bulughul Maram
Tafsir Hadaidur Ruh war Raihan

Ghibah dan cara taubatnya



Kita semua pasti pernah berbuat maksiat, baik terasa maupun tidak. Karena kita bukanlah Nabi yang senantiasa dijaga (Ma'sum) oleh Allah dari perbuatan maksiat. Maka dari itu hendaknya kita bergegas untuk bertaubat dari berbagai dosa atau maksiat, baik yang berhubungan dengan hak-hak Allah maupun hak-hak manusia. Apalagi sebelum menghadapi bulan suci Ramadhan ini. Sebagaimana dijelaskan Imam An-Nawawi:

اعلم أن كلَّ من ارتكب معصيةً لزمه المبادرةُ إلى التوبة منها،

Ketahuilah bahwa setiap orang yang berbuat maksiat harus bergegas untuk bertaubat darinya. [Imam Al-Nawawi, kitab Al-Adzkar, Cet: Al-Arnaut, halaman 346]

Lalu apa saja syarat taubat itu? Mari kita simak penjelasan Imam An-Nawawi berikut: 

والتوبةُ من حقوق الله تعالى يُشترط فيها ثلاثة أشياء: أن يُقلع عن المعصية في الحال، وأن يندمَ على فعلها، وأن يَعزِمَ ألاّ يعود إليها، والتوبةُ من حقوق الآدميين يُشترط فيها هذه الثلاثة، ورابع: وهو ردّ الظلامة إلى صاحبها أو طلب عفوه عنها والإِبراء منها.

Taubat dari hak-hak Allah ta'ala itu disyaratkan tiga hal: segera menahan diri dari berbuat maksiat, menyesal melakukannya, dan bertekad untuk tidak melakukannya lagi. Sedangkan taubat dari hak-hak manusia itu juga memerlukan ketiga syarat tersebut, dan syarat keempat yaitu mengembalikan kedzaliman (ketidakadilan) kepada pelakunya atau memintanya untuk dimaafkan dan dibebaskan darinya. [Imam Al-Nawawi, kitab Al-Adzkar, Cet: Darul Fikr, Tahqiq: Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth, halaman 346]

Salah satu cara taubat dari harta haram menurut Imam Al-Ghazali adalah sebagai berikut:

قَالَ الْغَزَالِيُّ إذَا كَانَ مَعَهُ مَالٌ حَرَامٌ وَأَرَادَ التَّوْبَةَ وَالْبَرَاءَةَ مِنْهُ فَإِنْ كَانَ لَهُ مَالِكٌ مُعَيَّنٌ وَجَبَ صَرْفُهُ إلَيْهِ أَوْ إلَى وَكِيلِهِ فَإِنْ كَانَ مَيِّتًا وَجَبَ دَفْعُهُ إلَى وَارِثِهِ وَإِنْ كَانَ لِمَالِكٍ لَا يَعْرِفُهُ وَيَئِسَ مِنْ مَعْرِفَتِهِ فَيَنْبَغِي أَنْ يَصْرِفَهُ فِي مَصَالِحِ الْمُسْلِمِينَ الْعَامَّةِ كَالْقَنَاطِرِ وَالرُّبُطِ وَالْمَسَاجِدِ وَمَصَالِحِ طَرِيقِ مَكَّةَ وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يَشْتَرِكُ الْمُسْلِمُونَ فِيهِ وَإِلَّا فَيَتَصَدَّقُ بِهِ عَلَى فَقِيرٍ أَوْ فُقَرَاءَ

Imam Al-Ghazali berkata: Jika seseorang mempunyai harta haram dan ingin bertaubat dan membebaskannya, maka jika harta itu mempunyai pemilik tertentu, maka wajib diberikan kepadanya atau kepada wakilnya. Jika sudah meninggal maka harus diberikan kepada ahli warisnya, dan jika harta itu milik seorang pemilik yang tidak dia kenal dan tidak ada harapan untuk mengetahuinya, maka hendaknya dia membelanjakannya untuk kepentingan kaum muslimin pada umumnya. Seperti jembatan, jalan penghubung, masjid, kemaslahatan jalan kota Mekkah dan lain-lain yang terdapat kemaslahatan umat Islam didalamnya. Jika tidak, maka disumbangkan kepada orang fakir atau fakir miskin. [Imam An-Nawawi, kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzzab, 9/351]

Dan termasuk dari hak manusia adalah ghibah. Ini adalah masalah serius yang tidak akan ditinggalkan oleh Allah. Adapun dzolim pada diri sendiri (selain syirik) walau hal itu tetap tercatat, tidak akan dipedulikan oleh Allah, jika mau bertaubat, Allah akan mengampuni dosa-dosanya. Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha beliau berkata bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda:

الدَّوَاوِينُ عِنْدَ اللَّهِ ثَلاثَةٌ : دِيوَانٌ لا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لا يَتْرُكُ اللَّهُ مِنْهُ شَيْئًا، وَدِيوَانٌ لا يَغْفِرُهُ اللَّهُ، فَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لا يَغْفِرُهُ اللَّهُ فَالشِّرْكُ، قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لا يَعْبَأُ اللَّهُ بِهِ شَيْئًا فَظُلْمُ الْعَبْدِ نَفْسَهُ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ رَبِّهِ مِنْ صَوْمِ يَوْمٍ تَرَكَهُ أَوْ صَلاةٍ تَرَكَهَا، فَإِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ ذَلِكَ وَيَتَجَاوَزُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ، وَأَمَّا الدِّيوَانُ الَّذِي لا يَتْرُكُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنْهُ شَيْئًا فَظُلْمُ الْعِبَادِ بَعْضِهِمْ بَعْضًا، الْقِصَاصُ لا مَحَالَةَ

“Catatan (catatan dosa) di sisi Allah ada tiga : Pertama, catatan dosa yang tidak dipedulikan Allah sama sekali. Kedua, catatan dosa yang tidak ditinggalkan Allah sama sekali, dan ketiga, catatan dosa yang tidak diampuni Allah. Catatan yang tidak Allah ampuni adalah menyekutukan Allah. Allah berfirman, "Barang siapa yang berbuat syirik kepada Allah, maka Allah akan mengharamkan surga baginya." (QS. Al-Maidah: 72). Adapun catatan dosa yang tidak dipedulikan Allah sama sekali yaitu seorang hamba yang mendzolimi dirinya (hanya) antara dia dengan Tuhannya (yang tahu), seperti: meninggalkan puasa, meninggalkan salat. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa yang seperti ini dan tidak menganggapnya jika Dia menghendaki. Adapun catatan dosa yang tidak ditinggalkan Allah sama sekali yaitu kedzoliman seorang hamba yang dia lakukan kepada orang lain. Tidak ada jalan keluar kecuali dengan cara ‘qishash’ (dihukum dengan hukuman yang semisal).” (HR. Ahmad no. 26031. Dikatakan bahwa bahwa sanadnya sahih oleh Ahmad Syakir)

Maka dari itu wajib bagi orang yang menggibahi seseorang, meminta pembebasan dari orang yang dighibahinya tersebut. Lalu muncul pertanyaan: Apakah cukup mengatakan "Aku telah mengghibaimu, jadi bebaskanlah aku." Atau haruskah dia menjelaskan apa yang telah dia ghibahi? Imam An-Nawawi menjelaskan mengenai hal ini:

فيه وجهان لأصحاب الشافعي رحمهم الله: أحدهما يُشترط بيانُه، فإن أبرأه من غير بيانه، لم يصحّ، كما لو أبرأه عن مال مجهول، والثاني لا يُشترط، لأن هذا مما يُتسامحُ فيه، فلا يُشترط علمه، بخلاف المال، والأوّل أظهرُ، لأن الإِنسانََ قد يسمحُ بالعفو عن غيبة دونَ غِيبة، فإن كان صاحبُ الغيبةِ ميّتاً أو غائباً فقد تعذّرَ تحصيلُ البراءة منها، لكن قال العلماء: ينبغي أن يُكثرَ من الاستغفار له والدعاء ويُكثر من الحسنات.

Ada dua pendapat yang dikemukakan oleh para sahabat Syafi'i, rahimahumullah : Yang pertama, disyaratkan adanya penjelasan apa yang dighibahinya, jadi jika dia membebaskannya tanpa ada penjelasan, maka itu tidak sah, seperti dia membebaskannya mengenai harta yang tidak diketahui. Yang kedua, tidak disyaratkan penjelasan, karena ini adalah sesuatu yang ditoleransi, maka tidak disyaratkan pengetahuan tentangnya, berbeda dengan kasus harta (disyaratkan penjelasan). Dan pendapat yang pertama lebih jelas, karena seseorang terkadang dapat memaafkan suatu gunjingan tetapi tidak untuk gunjingan yang lain, dan jika orang yang dighibahinya itu sudah meninggal atau tidak ada, maka termasuk uzur memperoleh pembebasan darinya. Namun para ulama mengatakan: Hendaknya orang yang menggibahi itu memperbanyak istighfar (memohon ampunan) untuk orang yang dighibahinya dan mendoakannya, dan memperbanyak amal kebaikan. [Imam Al-Nawawi, kitab Al-Adzkar, Cet: Darul Fikr, Tahqiq: Syekh Abdul Qodir Al-Arnauth, halaman 346]

Selain itu Syekh Abu Al-Mawahib As-Syadzili rahimahullah berkata: “Sebagian dari perkara yang dapat menghambat seorang murid untuk naik derajat adalah menggunjing salah seorang dari orang-orang muslim. Barangsiapa yang diuji berupa terjerumus ke dalam masalah tersebut hendaklah ia membaca surat Al-Fatihah, Al-Ikhlas, dan Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan An-Nas), dan menghadiahkan pahalanya kepada orang yg digunjing, karena aku pernah melihat Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam. dalam tidurku memberi kabar kepadaku tentang hal itu, Beliau bersabda: “Sesungguhnya (dosa) ghibah dan pahala (bacaan itu) keduanya berhenti dihadapan Allah Ta’ala, aku berharap keduanya menjadi seimbang”.”.

أَسْتَغْفِرُ اللّٰهَ الْعَظِيمَ الَّذِي لاَ إِلهَ إِلاَّ هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ مِنْ جَمِيْعِ اْلمَعَاصِيْ وَالذُّنُوْبِ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِيْ صَغِيرًا وَلِمَشَايِخِيْ وَلِأَصْحَابِ الْحُقُوْقِ الْوَاجِبَةِ عَلَيَّ وَلِجَمِيْعِ الْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ...

Aku mohon ampun kepada Allah Yang Maha Agung, Yang tidak ada Tuhan selain Dia, Yang Maha Hidup, Yang Maha Berdiri Sendiri, dan Aku bertaubat kepada-Nya atas segala maksiat dan dosaku dan bagi kedua orang tuaku, dan kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku diwaktu kecil, dan bagi guru-guruku, dan bagi orang-orang yang mempunyai hak-hak yang wajib bagiku, dan bagi orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan, dan bagi orang-orang islam laki-laki dan perempuan yang masih hidup maupun yang telah mati... Aamiin.

Sumber: Ust Riyadul Jinan

Tips Agar Pahala Puasa kita sempurna



 قال الغزالي: لا تظن أن الصوم هو ترك المفطرات فقد قال صلى الله عليه وسلم: "كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ اِلَّا الْجُوْعُ وَالْعَطَشُ"  بل تمامُ الصّومِ : أن يكف الجوارح كلها عما كره الله من الغيبة والنميمة والنظر بالريبة، والنطق بمالا يعني، ونحو ذلك من المحرمات.

Imam Al-Ghazali berkata: Janganlah kamu mengira bahwa puasa itu berarti hanya meninggalkan dari hal-hal yang membatalkan puasa. Sungguh Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Betapa banyak orang yang berpuasa tapi tidak mendapat secuil apapun dari puasanya kecuali hanya lapar dan haus" bahkan, kesempurnaan puasa hanya bisa diperoleh dengan  menjauhkan seluruh anggota tubuh dari hal-hal yang dibenci Allah, seperti ghibah(bergosip), adu domba dan memandang dengan rasa curiga, dan berucap dengan yang tidak ada manfaatnya, dan hal-hal lain yang serupa dari perkara yang diharamkan oleh Agama.

كتاب : البركة في فضل السعي والحركة للامام جمال الدين محمد بن عبد الرحمن بن عمر الحُبَيْشِي الشافعي ص ٢١٢


Sabtu, 30 Maret 2024

Poligami Dalam Khazanah Islam (Part-II)


 


Selain ayat tadi, legalitas berpoligami juga diperkuat dengan beberapa Hadis Nabi . Misalnya Hadis yang disampaikan Nabi  kepada sahabat Ghilan ats-Tsaqafi yang memiliki sepuluh orang istri pada awal-awal memeluk Islam. Nabi  bersabda:

أَمْسِكْ عَلَيْكَ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ (رَوَاهُ التُّرْمُذِيُّ، وَابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُمَا)

“Tahanlah empat saja (sebagai istrimu) dan cerailah yang lainnya.” (HR. Al-Turmudzi, Ibnu Hibban dan yang lainnya).

Dalam Hadis yang lain Beliau bersabda:

أَنَّ عُمَيْرَةَ الْأَسَدِيَّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِيْ ثَمَانِيْ نِسْوِةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ  فَقَالَ إِخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)

Bahwa Umairah al-Asadi berkata, “Aku masuk Islam sedangkan aku memiliki delapan orang istri. Lalu aku menceritakannya kepada Nabi. Beliau bersabda: ‘Pilihlah empat dari mereka (sebagai istrimu)’.” (HR. Abu Dawud).

Hal yang serupa juga terjadi pada Qais bin Tsabit yang memiliki delapan orang istri pada awal-awal memeluk Islam (HR. Ibnu Majah), dan juga Naufal bin Mu’awiyah yang memiliki lima orang istri.

Bahkan, dalam Shahih al-Bukhari dijelaskan bahwa Sa’id bin Jubair berkata: “Ibnu Abbas bertanya kepada saya: ‘Apakah kamu sudah menikah?’ Aku menejawab: ‘Tidak.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Menikahlah, karena sebaik-baiknya umat ini adalah yang paling banyak istrinya.”

Ibnu Hajar mengemukakan dalam Fath al-Bâri-nya bahwa pengertain dari Hadis tersebut adalah sebaik-baiknya umat Muhammad  adalah orang yang memiliki istri lebih banyak dibandingkan yang lain.

Al-hasil, dari apa yang telah kami kemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Islam bukanlah agama yang “anti” terhadap poligami. Namun demikian Islam tidak membukanya secara longgar. Dalam konteks ini, Islam lebih memilih jalan yang moderat (mu’tadil) di antara dua kutub ekstream yang mengarah pada sifat ghuluw (berlebih-lebihan) dan taqshîr (longgar).

Akan tetapi, membicarakan soal poligami tidak akan pernah lepas dari beberapa tanggapan; antara yang mendukung, menolak dan yang bersikap moderat.

Sementara ini ada asumsi yang beranggapan bahwa poligami hukumnya haram atau minimal makruh. Asumsi ini didasarkan pada Hadis Nabi  riwayat Imam Muslim berikut:

عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ : أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ: إِنَّ بَنِي هِشَامٍ بْنِ الْمُغِيْرَةِ اسْتَأْذَنُونِيْ أَنْ يُنْكِحُوا اِبْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ فَلَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ إِلَّا أَنْ يَّحِبَّ ابْنُ أَبِيْ طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِيْ وَيَنْكِحُ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِيْ بَضْعَةٌ مِنِّيْ يُرِيْبُنِيْ مَا رَابَهَا وَيُؤْذِيْنِي مَا آذَاهَا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

“Dari Miswar bin Makhramah beliau pernah mendengar Nabi  berpidato diatas mimbar. Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya bani Hisyam bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, lalu aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, dan aku tidak mengizinkannya, kecuali Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku kemudian menikah dengan putri mereka.  Karena putriku adalah bagian dariku; apa yang meresahakannya juga meresahkanku dan apa yang menyakitinya juga menyakitiku.” (HR. Muslim).

Setelah membaca Hadis di atas barangkali kita sepakat bahwa Rasulullah  sangat anti terhadap poligami. Karena ternyata Beliau sangat tidak setuju, bahkan anti, ketika putri kesanyangan beliau akan dimadu oleh menantunya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib .

Hanya saja, adalah keliru jika menjadikan Hadis di atas sebagai dalil yang melarang poligami. Karena Hadis di atas hanya menjelaskan ketidak-bolehan berpoligami bagi Sayyidina Ali  karena mengandung dua faktor eksternal yaitu, pertama, akan menyakiti hati Sayyidah Fatimah yang dengan demikian akan menyakiti hati Rasulullah  dan, kedua, perempuan yang akan dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib  adalah putri musuh Allah , yaitu Abu Jahal. Sedangkan putri musuh Allah  tidak akan pernah berkumpul dengan putri nabi-Nya.


Hal ini dapat kita pahami dari Hadis Rasulullah  berikut:

إِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلَالًا وَلَا أُحِلُّ حَرَامًا وَلَكِنْ وَاللهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللهِ مَكَانَا وَاحِدًا أَبَدًا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan putri musuh Allah selamanya”.  (HR. Muslim).

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari dua Hadis di atas adalah sejatinya Rasulullah  tidak melarang terhadap praktek poligami. Larangan Beliau kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib  lebih didasarkan pada faktor ekternal seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya. Hal ini terbukti bahwa pasca wafatnya Sayyidah Fatimah, Sayyidina Ali  melakukan poligami. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu Ali memiliki dua istri”. (HR. Ahmad). Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi .

Asumsi lain berkaitan dengan masalah poligami adalah pendapat yang menyatakan bahwa poligami sangat mustahil untuk diterapkan. Dan jika dirumuskan, alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat berikut:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَمَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وْثُلَاثَ وَرُبَاعَ. فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّاتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُوْلُوْا. (النساء [4] :3)

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ [4]: 3).

Pertama-tama ayat ini menjelaskan kewajiban berlaku adil kepada perempuan yatim. Kedua, ayat ini memberikan penjelasan yang tegas terkait legalitas hukum poligami. Namun, pada ayat selanjutnya, terdapat perintah untuk menikahi satu orang perempuan bagi laki-laki yang tidak mampu berbuat adil dalam berpoligami. Dengan demikian kebolehan poligami dibatasi dengan sifat adil, padahal berlaku adil adalah mustahil. Allah  berfirman:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَأَنْ تُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا.  (النساء [4]: 129)

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ [4]: 129).

Jika al-Qur’an memperbolehkan poligami dengan syarat adil, sementara adil merupakan suatu yang mustahil, maka pesan utama yang bisa kita tangkap dari kedua ayat di atas adalah hindarilah poligami.

Seperti asumsi sebelumnya, asumsi ini juga merupakan asumsi yang sangat rapuh. Alasannya, sangat tidak rasional apabila Allah  memperbolehkan melakukan sesuatu kemudian menghubungkannya dengan sesuatu yang mustahil. Dan, apakah ketentuan seperti itu memang ada di dalam Islam? Nampaknya ini hanya terjadi dalam maslaah poligami. Dan jika memang demikian, adakah pendapat semacam ini diadopsi dari para pakar yang memiliki otoritas untuk menafsiri al-Qur’an?

Itulah sebabnya mengapa para pakar tafsir menafsiri adil dalam ayat tersebut dengan adil yang berada dalam batas kemampuan umat manusia seperti memberi tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman, giliran dan tatacara berinteraksi, bukan adil dalam membagi cinta kepada istri-istrinya. Karena bagaimanapun, berbuat adil dalam membagi cinta adalah tidak mungkin (mustahil) dilakukan oleh setiap individu. Sementara itu, Islam tidak pernah menganjurkan atau mewajibkan (taklif) untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka mampu. Itulah sebabnya mengapa ada aturan rukhsah di dalam syariat.

Alasan berikutnya adalah poligami yang dilakukan oleh Nabi , para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para salaf as-shalih. Jika kita mengatakan poligami tidak boleh dilakukan karena alasan tidak ada seorangpun yang mampu berbuat adil, lalu adakah Nabi , sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in itu telah menyalahi ketentuan yang ditentukan oleh syariat. Tentu saja, tidak ada seorangpun dari kalagan ahlus sunnah wa al-jamaah yang menyatakan bahwa Nabi  adalah tidak maksum sementara sahabat adalah orang yang tidak adil. Mereka justru mengatakan yang sebaliknya.

Asumsi lain yang sering dikemukan oleh kalangan yang tidak setuju terhadap poligami adalah  bahwa pada dasarnya hukum asal pernikahan adalah monogami (beristri satu) sedangkan poligami merupakan “penecualian” sehingga tidak boleh diamalkan kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak.

Bagaimanapun, pendapat ini sangat lemah dan tidak bisa diterima oleh logika agama. Ayat yang menjelaskan poligami (QS. An-Nisa [4]: 3 dan 129) tidak memberikan penegasan apapun yang mendukung asumsi ini. Bahkan, jika kita lebih mencermati, justru poligamilah yang menjadi asal dalam ayat tersebut, sedangkan monogami menjadi pengecualian dari hukum aslinya.

Pendapat yang mengatakan bahwa poligami hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebetulnya lebih mendekati pada pengharaman poligami. Bagaimana tidak? Secara definitif kata darurat memiliki arti suatu kondisi yang andaikan seseorang tidak melakukan perkara yang dilarang, maka dia akan terjerumus pada kematian atau, setidaknya, mendekati kematian. Darurat adalah bagian dari rukhshah (dispensasi agama) yang hanya boleh dilakukan dalam keadaan tertentu dalam kondisi yang sangat mendesak. Kondisi darurat dapat “menyulap” suatu yang haram menjadi halal dan yang wajib dikerjakan boleh ditinggalkan. Selanjutnya, jika poligami hanya boleh diterapkan dalam kondisi darurat, apakah hakikat poligami itu memang diharamkan sehingga untuk melakukannya harus menunggu keadaan darurat? Sampai di sini pernyataan bahwa poligami adalah darurat tidak bisa dipertahankan. Kiranya, kami tidak perlu lebih memperpanjang argumentasi.

Menurut segian golongan yang juga anti terhadap poligami bahwa poligami tidak boleh dilakukan kecuali jika istri menderita suatu penyakit atau mengalami kemandulan. Pendapat semacam ini tentu saja tidak memiliki landasan apapun yang dapat diterima oleh agama. Sebab, dalam ayat yang melegalkan poligami tidak ada persyaratan apapun berkenaan dengan kemandulan atau mendapat persetujuan dari sang istri.

Dan juga, Rasulullah tidak pernah meminta sahabatnya yang berpoligami untuk memita izin kepada istrinya, Beliau hanya meminta para sahabatnya yang memiliki istri lebih dari empat untuk menceraikan sebagian dari mereka. Dan Rasulullah  juga tidak menyaratkan ada persetujuan dari istri bagi sahabatnya yang berpoligami. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa syarat berpoligami adalah istri menderita penyakit, mengalami kemandulan dan mendapatkan izin darinya adalah persyaratan yang dibuat-buat dan tidak memiliki landasan apapun yang bisa diterima oleh logika agama.

As-Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkata demikian: “Memberi batasan (diluar yang sudah ditetapkan oleh agama) dalam poligami adalah bidah yang sesat di dalam agama yang tidak pernah terjadi pada periode Nabi , sahabat dan para tabi’in.”

Jadi, menurut Islam poligami tidak disyaratkan harus mendapatkan izin dari istri atau boleh dilakukan ketika istri mengalami kemandulan atau penyakit. Sejak awal Islam telah melegalkan poligami sekalipun tanpa syarat barusan. Sehingga seorang muslim boleh melakukan poligami dalam batas yang telah ditentukan asalkan dia mampu untuk berbuat adil kepada istri-istrinya serta mampu untuk menafkahi mereka.

Bagaiamana mungkin seseorang bisa menetapkan persyaratan di atas padahal Umar bin al-Khatthab  menawarkan putrinya, Hafshah, kepada Abu bakar ash-Shiddiq . Sementara itu Umar tahu bahwa Abu Bakar memiliki lebih dari satu istri dan di antara mereka tidak ada seorangpun yang mengalami kemandulan atau terkena penyakit. Umar juga menawarkan putrinya kepada Utsman bin Affan  sementara Utsman adalah suami dari putri Rasulullah , dan Utsman tidak mendapatkan gugatan apapun, baik dari Rasulullah  ataupun dari putrinya.

Dan lagi pula, andaikan Nabi  tidak setuju terhadap poligami, mengapa Beliau menyuruh sahabatnya yang memiliki istri lebih dari empat untuk mentalak sebagiannya saja, bukan mentalak seluruhnya terkecuali satu saja sebagai istrinya?

Maka, kesimpulan dari apa yang telah kami paparkan secara ringkas barusan adalah jelas, bahwa Islam tidaklah anti terhadap poligami seperti halnya Islam tidak memproduk, apalagi berinovasi, poligami. Adalah benar jika dikatakan bahwa Islam hanya menetapkan apa yang sudah ada sebelumnya dengan mengacu pada tujuan yang mulia yang sama sekali berbeda dengan praktek poligami yang terdapat dalam lingkugan masyarakat etnis dan agama non-Islam.

Di dalam Islam, poligami  tidak lepas dari beberapa tujuan berikut, antara lain, untuk menghindari prakek perkawinan yang mengarah pada dehumanisasi perempuan. Tujuan ini dimanifestasikan dan direflesikan dengan melindungi hak-hak perempuan sebagai manusia, utamanya kaum perempuan yang lemah seperti janda dan anak yatim perempuan.

Upaya perlindungan hak kaum perempuan di dalam poligami, diwujudkan melalui penegakan adâlah (keadilan) yang merupakan esensi dari ajaran Islam yang sekaligus menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh setiap laki-laki yang akan melangsungkan poligami.

Berdasarkan dalil-dalil yang telah kami kemukakan di atas, ulama sepakat bahwa poligami merupakan sistem perkawinan yang legal menurut Islam. Sungguhpun demikian, perlu dipahami bahwa secara umum Islam memiliki lima kategori perintah dan larangan yaitu, fardlu (harus dilakukan), sunnah (baik jika dilakukan), mubah (boleh dilakukan), makruh (tidak baik apabila dilakukan tapi tidak sampai berdosa) dan haram (tidak boleh dilakukan dan berdosa). Sedangkan poligami menempati posisi hukum yang bersifat moderat yaitu mubah (boleh dilakukan).

Jika poligami adalah mubah, maka perlu diketahui bahwa setiap perkara yang mubah dapat berevolusi menjadi sunnah, wajib, haram dan makruh (ta’tarîhi al-ahkâm al-khamsah) dengan melihat pada beberapa faktor eksternal (‘aridli). Jadi, setiap hukum yang bersifat mubah akan berubah status hukumnya dalam situasi dan kondisi yang berbeda, dengan melihat pada faktor-faktor eksternal yang menginfiltrasinya.

Misal, nikah pada dasarnya adalah mubah, akan tetapi menikah akan menjadi sunnah bagi orang yang memiliki hasrat untuk menikah dan memiliki kemampuanb memberi mahar dan nafkah. Nikah juga bisa menjadi wajib jika dengan tanpa menikah seseorang akan terjerumus pada perzinahan dan hal-hal yang diharamkan.

Nikah juga menjadi makruh bagi orang yang memiliki hasrat untuk menikah tetapi tidak memiliki biaya untuk melakukannya. Dan terakhir, nikah juga bisa menjadi haram bagi orang yang memiliki keyakinan tidak akan mampu untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada istri. Dan seperti itu juga hukum yang berlaku dalam poligami.

Jika poligami dilakukan dengan mengikuti aturan yang benar dan disertai dengan niatan untuk mengikuti sunnah Rasul , maka melakukan poligami adalah sunnah. Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis:

أَنَّ سَعِيْدَ بْنَ جُبَيْرٍ قَالَ: وَقَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ: هَلْ تَزَوَّجْتَ؟ فَقُلْتُ: لَا . قَالَ: فَتَزَوَّجْ فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

Bahwa Sa’id bin Jubair berkata: “Ibnu Abbas betanya kepadaku: ‘Apakah kamu sudah menikah?’ aku menjawab: ‘Tidak.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Menikahlah, karena sebai-baik umat ini adalah paling banyak memiliki istri.” (HR. al-Bukhari).

Dalam al-Mughni-nya Ibnu Qudamah mengatakan demikian: “Dan karena Nabi melakukan pernikahan bahkan berpoligami. Dan ini juga dilakukan oleh para sahabatnya. Padahal Nabi dan para sahabatnya tidak pernah menyibukkan diri kecuali dengan melakukan perkara yang afdlal dan para sahabat tidak bersepakat untuk meninggalkan perkara yang afdlal lalu beralih pada pekerjaan yang lebih rendah.

Pernyataan ini beliau kemukakan ketika mengomentari Hadis yang menerangkan tabattul (memfokuskan diri untuk beribadah) yang pernah terjadi di kalangan sahabat.

Bahwa, para sahabat memiliki keinginan untuk meningkatkan kualitas ibadah mereka dengan meninggalkan gemerlap duniawi. Salah satu dari mereka malah mengatakan demikian: “Adapun aku tidak memakan daging.” Yang lain mengatakan: “Adapun aku melakukan salat dan tidak pernah tidur.” Sebagian lagi berkata: “Sedangkan aku berpuasa dan tidak pernah berbuka.” Yang lain mengatakan: “Adapun tidak menikahi seorang perempuan.” Lalu berita tentang sahabatnya ini di dengar oleh Nabi  sehingga beliau berpidato: “Aku mendengar ini dan itu. Sedangkan aku berpuasa dan berbuka, aku melakukan salat dan juga tidur, aku juga memakan daging dan menikahi beberapa orang perempuan (poligami). Barangsiapa yang membenci terhadap sunnah-ku, maka dia tidak termasuk dalam gologanku.” (HR. Muslim).

Bahkan Mahmud Syaltut mengatakan demikian: “Bahwa ayat pertama (an-Nisa [4]: 3) dan kedua (an-Nisa [4]: 129) saling bersinergi untuk menetapkan legalitas hukum poligami. Disamping itu, Nabi , shabat, tabi’in dan para kaum muslimin dari generasi ke generasi melakukan poligami. Dan mereka berpendapat bahwa poligami yang disertai dengan sikap yang adil adalah perbuatan yang baik bagi seorang laki-laki kepada istrinya secara khusus dan masyarakat secara umum. Bahkan Mahmud Syaltut memberi label terhadap orang-orang yang mengatakan poligami tidak disyariatkan karena mengandung persyaratan yang mustahil dilakukan sebagai orang yang menentang terhadap ayat-ayat Allah  dan telah mengarahkan pemahaman ayat tersebut pada ranah yang tidak tepat.

Selanjutnya, poligami akan menjadi haram bagi orang yang tidak yakin bisa berlaku adil kepada istri-istrinya. Bagaimanapun, kita harus menyepakati bahwa poligami yang dilakukan oleh laki-laki yang tidak mampu berbuar adil maka hukumnya adalah haram. Namun demikian, nikahnya tetap sah jika sudah memenuhi persyaratan dalam menikah, hanya saja dia tetap mendapatkan dosa.

Nah, hal semcam inilah yang kami maksud dengan ta’tarîhi al-ahkâm al-khamsah dengan meninjau situasi dan kondisi yang berbeda. Sehingga kita tidak boleh memfonis secara mutlak bahwa ini adalah sunnah, ini adalah haram, ini makruh dan ini wajib terhadap suatu pekerjaan yang bersifat umum, terkecuali jita kita ingin terjerumus pada kesimpulan hukum yang fatal alias salah.


Kekaguman Gus Baha' Pada Abuya Sayyid Muhammad

Gus Baha ngaji Kitab Syariatullah Alkholidah karya Sayyid Muhammad bin Alawy Al Maliki.  1. Gus Baha mengakui Kitab karya Sayyid Muhammad Al...