Jumat, 27 September 2024

Pengantar Ushul Fikih Untuk Pemula



Ngaji Ushul Fiqih 

Ada rasa senang banget ketika saya disuruh untuk mengisi acara ini. Bukan karena apa-apa. Tapi karena saya berharap ini menjadi pertanda Mbah Kyai Manab/Mbah Kyai Abdul Karim dan para Masyayikh Lirboyo rido kepada saya. Aamin.

1. Ijtihad merupakan kebutuhan bagi umat Islam karena kebanyakan teks agama itu zanniy dan permasalah baru terus bemunculan tanpa batas sementara teks-teks syariat terbatas. (Syaikh Ali Jum'ah)

2. Salah satu hikmah kebanyakan teks-teks agama itu zanniy, bahkan juga ada banyak permasalahan tidak ditemukan teks yg menjelaskannya adalah agar masalah-masalah seperti ini menjadi ujian dari Allah terhadap hamba-hamba-Nya supaya terjadi perbedaan di antara mereka dalam derajat keilmuan dan kemuliaan. Dengan kata lain Allah hendak mengangkat derajat orang alim di atas orang alim yang lain, dan mengangkat derajat derajat orang alim di atas orang awam. Ada orang alim yang yang mencapai level mujtahid mutlak mustaqil, ada yang mencapai level mujtahid muntasib, ada yg mencapai level mujtahid muqayyad, ada yang mencapai level mujtahid fatwa, ada yang cuma mencapai level nuddhorut tarjih, ada yang mencapai level hamalatu fiqh, ada yang cuma naqil, dan ada yang ami. Satu orang alim dengan ilmunya mampu memahami teks-teks zanniy sedangkan orang alim yang lain hanya bisa sampai pada level taklid pada pemahaman orang alim yang pertama. Orang alim mampu  mengetahui hukum peramasalah yg tidak ditemukan teks syariat yg menjelaskannya, sedangkan orang awam tidak bisa. Maka orang awam diharuskan bertanya kepada orang alim.

3. Ijtihad adalah amanat, bahkan merupakan amanat yg paling tinggi. (Syaikh Ar-Raisuni)

4. Ijtihad ada yg muktabar dan ada yg tidak muktabar. Ijtihad yang muktabar adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang yang ahli. Sedangkan ijtihad yang tidak muktabar adalah ijtihad yang dilakukan oleh orang yang tidak ahli. (Imam As-Syathibi).

5. Tidak semua hasil ijtihad ulama itu benar. Kesalahan di dalam berijtihad itu bisa disebabkan karena memakai dasar istidal yg fasid, seperti mereka yang seanaknya memakai maqashid tanpa ushul fiqih atau disebabkan karena menafikan dasar yg sahih seperti mereka yang menolak kehujahan qiyas secara mutlak. Kesalahan juga bisa disebabkan karena mengira tidak ada nash padahal ada, lalu dia berijtihad dgn pendapatnya sendiri dan ternyata hasilnya bertentangan dgn nash tersebut. (Syaikh Amjad Rasyid)

5. Ushul fiqh merupakan ilmu yang harus dikuasai oleh orang yang mau berijtihad. Namun bukan berarti dengan menguasai ushul fiqh seseorang sudah layak bisa disebut Mujtahid. Karena menguasai ushul fiqh itu hanyalah salah satu syarat dari sekian banyak syarat orang bisa berijtihad. Karena itu, dikatakan: setiap faqih itu ushuli, tapi tidak setiap ushuli itu faqih.

5. Mempelajari ushul fiqih bisa melalui kitab klasik dan bisa melalui kitab ushul fiqih kontemporer. Kitab Ushul fiqh klasik lebih sulit, sedangkan kitab ushul fiqh kontemporer lebih mudah. Tapi menurut Dr. KH. Afifuddin Muhajir, mempelajari ushul fiqh melalui kitab yang ibaratnya rumit itu lebih bagus hasilnya. Beliau mengatakan, “Kitab-kitab yang ibaratnya sangat rumit itu merupakan tantangan tersendiri. Bandingkan dengan kitab-kitab baru yang gampang dipahami. Lebih sangat menantang membaca kitab-kitab (ushul fiqih) lama yang ibaratnya sangat sulit. Kitab paham melalui kitab-kitab yang sulit lebih nikmat daripada paham melalui kitab-kitab yang mudah.”

7. Mempelajari ushul fiqh dimulai dengan memahami mabadi' ushul fiqh, terutama yang berkaitan dgn definisi, obyek kajian, materi, serta faidah dan wadhifah Ushul fiqh.

8. Mengetahui materi (al-madah), format (al-surah), dan tujuan (al-ghayah), dan pengguna (al-fail) ushul fiqh adalah suatu keharusan dalam kaitannya dengan tajdid Ushul fiqh. Sabab dari sini kita akan mengetahui, apakah tajdid ushul fiqh itu mungkin atau tidak. Jika mungkin, dalam hal apa tajdid bisa dilakukan? Apakah dalam materi bangunan ushul fiqih? ataukah dalam formatnya? Atau dalam tujuannya, sehingga kita mengatakan misalnya tujuan ushul fiqih bukan untuk melahirkan hukum? Atau mungkin dalam pelakunya?
 
9. Materi ushul fiqih adalah sumber pengambilan ushul fiqih, yang mencakup al-qur’an, al-sunnah, bahasa Arab, fatwa-fatwa shahabat, hukum, ilmu kalam, dan akal. Dalam hal ini tidak mungkin dilakukan pembaharuan kecuali dalam hal mengembalikan hak akal untuk melakukan perannya tanpa melampaui wilayah kerjanya. Sebab, tidak mungkin misalnya kita mengatakan bahwa ushul fiqih sekarang seharusnya tidak diambil dari al-quran, al-hadis, bahasa Arab, fiqh dan akal, tetapi diambil dari sumber lain yang bisa melahirkan hukum yang relevan dengan kondisi kekinian. Demikian pula tidak mungkin kita mengatakan bahwa ushul fiqih bukan bertujuan untuk melahirkan hukum dan pengguna ushul fiqh juga tidak harus seorang Mujtahid, tapi cukup orang Muslim. ( Syaikh Abdullah bin Bayyah)

10. Sebagian penulis mengatakan bahwa dimasukkannya pembahasan ilmu kalam dalam kitab-kitab ushul fiqih menimbulkan efek negatif terhadap ilmu ushul, namun pendapat ini dinilai keliru karena ilmu-ilmu keislaman itu saling melengkapi dan pembahasan ilmu kalam yang dimasukkan itu semua memiliki kaitan erat dengan ushul fiqh.

11. Setelah mabadi' ushul fiqih biasanya, para penulis ushul fiqh melanjutkan pembahasan mengenai hukum, hakim, mahkum alaih, mahkum bih. Dalam pembahasan ini, sebagian ulama menambahkan tema khusus efek ketiadaan Mahallul hukm terhadap hukum serta perbedaannya dengan naskh, takhsis, dan lain-lain.

12. Setelah itu mengkaji sumber-sumber atau dalil-dalil hukum Islam. Dalam masalah sumber ini kita mengkaji sumber yang disepakati dan diperselisihkan dan melakukan uji kehujahan setiap sumber tersebut, serta mengkaji efek perbedaan tersebut dalam fiqih Islam.

13. Setelah mengkaji sumber hukum Islam dan mengkaji validitas sumber tersebut adalah mengkaji kaidah penafsiran teks. Dalam hal ini kita mengkaji fenomena bahasa berangkat dari trilogy wadha’ (peletakan bahasa), isti’mal (penggunaan), dan hamlu (penafsiran). Juga
Dalalah dari aspek kesamaan antara lafal dan makna, Dalalah dari aspek perkembangan hubungan antara lafal dan makna, dalalah dari aspek jelas dan samarnya. 

14. Ta’wil adalah mengalihkan lafal Dhahir dari maknanya yang unggul kepada maknanya yang lemah. Jika ia dilakukan berdasarkan dalil maka disebut ta’wil shohih. Jika dilakukan dengan sesuatu yang diduga sebagai dalil maka disebut ta’wil fasid. Jika tidak berdasarkan apa-pun maka disebut la’b. Di dalam melakukan ta’wil terdapat beberapa syarat antara lain takwil tersebut tidak boleh berlawanan dengan makna bahasa, tradisi masyarakat Arab atau traridisi Syari'. Di dalam Dhawabithul Maslahah, Syaikh Muhammad Said Ramadan al-Buthi menjelaskan bahwa ijtihad dalam masalah-masalah yang sudah dijelaskan oleh al-Quran, baik dengan teks yang hanya memiliki satu makna (al-nash) ataupun teks yang memiliki makna unggul dan makna lemah (al-dhohir) terbagi menjadi dua macam: Pertama, ijtihad yang menghasikan kesimpulan yang bertentangan dengan al-Quran, yaitu ijtihad yang keluar dari makna teks al-nash atau seluruh makna yang terdapat dalam teks al-dhohir. Ijtihad semacam ini adalah batil. Kedua, ijtihad yang yang terbatas dalam wilayah teks al-nash dan al-dhohir. Wilayah kerja nalar mujtahid dalam hal ini hanya untuk mengeluarkan illat, membatasi makna teks; hakikat ataukah majas, mentarjih diantara kemungkinan-kemungkinan makna yang terdapat dalam teks, menyingkap apakah ia teks umum yang ada mukhossisnya atau tidak, dan ijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada penjelasan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah. Macam ijtihad yang kedua inilah yang diakui oleh syariat.

15. Kehujjahan Mafhum Mukholafah diperselisihkan di kalangalan ushuliun. Hanafiyah menolak kehujjahan mafhum mukholafah. Mayoritas ulama menerima kehujjahan mafhum mukholafah, namun mereka menetapkan syarat-syarat tertentu. Secara umum, syarat-syarat tesebut adalah: dalam penyebutan manthuq tidak boleh tampak tujuan lain selain menafikan perkara yang tidak disebutkan. Secara terperinci syarat-syarat tersebut adalah: (1) Kandungan mafhum mukholafah tidak bertentangan dengan dalil yang lebih kuat, baik mantuq atau mafhum muwafaqah. (2) Masalah yang didiamkan tidak disebutkan bukan karena takut. (3) Sesuatu yang didiamkan tidak disebutkan karena tidak tahu. (4) Sesuatu yang disebutkan tidak muncul karena menyesuaikan kebiasaan umum. (5) Perkara yang disebutkan hukumya bukanlah jawabab pertanyaan atau kejadian tertentu. (6) Sesuatu yang disebutkan tidak muncul karena menyesuai dengan kenyataan. 

16. Contoh hadits yang tidak bisa dimafhum mukholafah adalah hadits Bukhori dan Muslim yang artinya: "barang siapa ketiduran atau lupa sehingga meninggalkan sholat maka hendaknya dia sholat ketika ingat."

17. Alasan hadis di atas tidak bisa dimafhum karena perkara yang tdk disebutkan, yaitu meninggalkan sholat secara sengaja, lebih berhak terhadap hukum dibanding perkara yang disebutkan, yaitu meninggalkan sholat karena lupa atau ketiduran. 

Ini pertama. Alasan yang kedua hadits tersebut menyesuaikan pada mayoritas orang mukmin. Pada umumnya mereka tidak meninggalkan sholat kecuali karena lupa atau ketiduran. Karena itu, tidak bisa ditarik kesimpulan bahwa selain dua kondisi itu tidak wajib qodho’. 

Ketiga, hadits di atas muncul untuk merespon kejadian tertentu yang dialami Rasulullah SAW., yaitu tatkala beliau tidur sampai bangun kesiangan. Kemudian setelah bangun beliau menyuruh Bilal adzan dan iqamah untuk qhodho’ sholat shubuh secara berjamaah. Ketika itu, beliua bersabda, “Barang siapa tidur atau lupa sehingga tidak sholat maka dia harus mengqodho’ apabila sudah ingat.”  (Lebih jelasnya lihat al-Mutafaiqihun karya Syaikh Hasan Hito)

18.Perbedaab antara kaidah:
حكاية الحال إذا تطرق إليها الإحتمال سقط بها الإستدلال
dengan kaidah:
حكاية الحال إذا ترك فيها الإستفصال تقوم مقام العموم في المقال ويحسن بها الاستدلال.
Mengetahui perbedaan dua kaidah ini sangat penting. Sebab, banyak yang keliru di dalam mempraktekkan kaidah di atas. 

16. Selain penafsiran teks adalah mengkaji  penta’lilan teks. Menurut Syaikh Abdullah bin Bayyah, ta'lim nushus adalah tahapan setelah penafsiran teks. Di kalangan fuqaha’ terjadi perbedaan pendapat mengenai asal hukum syariat apakah taabbudi ataukah taaqquli. Malilikyah, Syafiiyah, dan Hanabilah cendrung lebih ketat di dalam melakukan taklil teks. 

17.  Alasan yang mendukung pendapat di atas adalah kenyataan bahwa dalam tindakan syariat terdapat hukum-hukum yang tidak bisa ditemukan alasannya; karena terkadang syariat menyamakan diantara dua hal yang berbeda (sawwaa bain mukhtalifain) dan membedakan antara dua hal yang sama (farraqa baina mutasawiyain). Seperti dalam masalah hukum melihat rambut perempuan asing yang bukan istri, dalam masalah ini ternyata syariat memperbolehkan melihat rambut perempuan budak (al-amat) dan melarang melihat rambut Perempuan Merdeka (al-hurrah), padahal alasan yang menuntut keharaman adalah kekhawatiran terhadap fitnah, dan keduanya sama memilki potensi yang sama sehingga sekiranya tidak ada nash yang membedakan maka fuqaha akan menyamakan hukum keduanya. Sebaliknya, syariat membedakan antara cara mensucikan kencing anak laki-laki dan kencing anak perempuan padahal keduanya secara lahir sama saja, sehingga seandainya tidak ada penjelasan syariat yang membedakan keduanya niscaya fuqaha akan menyamakan hukumnya.

18. Berbeda dengan kecendrungan mazhab-mazhab di atas, Hanafiyah sangat banyak melakukan ta’lil. Mereka mengatakan bahwa hukum Allah hanya disyariatkan untuk kemaslahtan manusia, karena pensyariatakan hukum tanpa ada kemaslahatan adalah kesia-siaan/main-main (abats), dan ini tidak mungkin bagi Allah SWT. 

19. Mengenai adanya tindakan syariat yang tidak diketahui alasannya maka hal itu sesuatu yang jarang, sedangkan sesuatu yang jarang tidak bisa merusak hukum umum yang diperoleh dari kebiasan syariat yang berulang-ulang.

20. Di dalam kitab-kitab ushul fiqit, pembahasan ta’lil banyak disebutkan di dalam bab qiyas. Salah satu syarat yang amat penting dalam masalah ta’lil adalah tidak boleh illat mustanbathah membatalkan ashal. Karena itu, tidak boleh mengatakan bahwa pada masa ini emas secara mutlak sudah tidak termasuk barang ribawi karena sudah tidak berfungsi sebagai harga.

21. Penerapan teks. Dalam hal ini dibahas mengenai ijtihad fi tahqiqul manath, wasail ditahqiqil manath, dan muhaqqiqul manath

22. Sejumlah kaidah yang perlu diperhatikan dalam penerapan teks terhadap persoalan yang hendak kita tetapkan hukumnya adalah kaidah al-muwazanah bain al-mashalih wal mafasid fi al-hal wa al-ma’aal (Kaidah menimbang antara maslahah dengan mafsadat, baik sekarang ataupun mendatang), kaidah taqdir haalah al-itthirar (kaidah menentukan kondisi mendesak), dan i’tibar al-a’raf wa al-‘aadat wa ikhtilaaf al-ahwa wa al-dhuruf wa al-makan wa al-zaman (Kaidah memperhatikan urf dan adat serta perbedaan kondisi, tempat dan waktu).

Sumber: Muhammad Mahrus Ali (FB)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adab-adab berdoa

Adab-adab berdoa  Doa berarti memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala terhadap sesuatu yang bersifat baik. Seperti berdoa m...