Fawaid tentang Ilmu Aqidah dari Sayyidi Dr. Habib Ali Baqir al-Saqqaf, Lc., M.A., dalam kajian kitab “Al-Mufidah” kitab aqidah paling dasar/basic karya Imam Abu Abdillah Muhammad As-Sanusi (w. 895 H) :
1. “Ilmu Aqidah” : Ilmu yang membahas tentang sifat-sifat wajib, mustahil, dan jaiz-nya Allah, sifat wajib, dan mustahil Rasul, dan sam’iyyat.
2. “Ilmu Kalam” : Ilmu yang membuktikan kebenaran aqidah dan membuktikan aqidah yang salah, atau lebih dikenal dengan “Ushuluddin”.
3. “Sifat Wujud Allah” bukanlah sifat tapi ainudz dzat (bentuk dari dzat allah itu sendiri)
4. Didalam “Sifat Salbiyah”, harus disematkan kata “tidak”, contohnya: Qidam “tidak memilki permulaan”, Baqa’ “tidak memiliki akhir”. Karena sifat ini bukan sesuatu yang real, hanya bisa dijadikan predikat saja.
5. “Sifat Ma’ani” adalah sifat yang real. Adapun “Sifat Nafsiyah” dan “Salbiyah” adalah sifat yang tidak real.
6. “Mukhalafah Lil Hawadist” adalah tidak ada persamaan antara Allah dan makhluknya, dipartikel yang sangat kecil, sekalipun.
7. Jika Allah memilki sifat “Qidam dan Baqa’”, otomatis Allah sudah keluar dalam lingkup waktu.
8. Sifat “Qiyamuhu Binafsihi” adalah sifat yang membuktikan bahwa Allah itu adalah dzat, bukan aradh (sifat). Kelompok Nashrani meyakini bahwa Allah merasuk kepada jiwa Nabi Isa’. Berarti mereka meyakini bahwa Allah adalah aradh. Karena, tidak ada yang bisa merasuk kecuali itu adalah aradh.
9. Termasuk yang menganggap Allah itu sifat adalah kelompok Syi’ah Isma’iliyyah. Mereka menganggap bahwa Allah itu merasuk kepada imam mereka, sehingga imam mereka bisa menta’wil Al-Qur’an sesukanya.
10. Jika Allah adalah sifat, bukan dzat, maka Allah membutuhkan dzat lain untuk menampakkan kewujudannya. Jelas itu tidak layak dinisbahkan kepada-Nya.
11. (1) itu bukan bilangan. Dianggap bilangan adalah (2) sampai seterusnya. Ini disebut sebagai konsep “Wahdaniyyat”.
12. Sifat “Qudrah”, “Iradah”, dan “Ilmu”, memilki keterkaitan didalamnya. Mula-mulanya Allah sudah mengetahui berbagai posibility (ilmu), lalu mentarjih salah satunya (iradah), kemudian menciptakan (qudrah).
13. 3 sifat diatas tidak mungkin terjadi kecuali kepada dzat yang maha hidup “Hayat”. Maka, bisa kita ambil kesimpulan bahwa sifat Qudrah, Iradah, Ilmu, dan Hayat adalah sifat yang satu diantara yang lainnya saling membutuhkan.
14. Keeempat sifat diatas adalah pure aqly. Tanpa ada penjelasan dari seorang nabi pun, sifat itu mampu dipahami oleh akal. Contoh dengan cara melihat alam semesta ini, melalui indra akal.
15. Sifat “Sama’ dan Bashar”-nya Allah itu terlepas dari sifat Ilmu. Ini menurut pendapat yang kuat dari madzhab Ahli Sunnah.
16. Allah dapat mendengar sesuatu yang terlihat, juga dapat melihat sesuatu yang terdengar. Berbeda dengan mahluk-Nya.
17. Menurut pendapat yang meyakini bahwa sifat “Sama’ dan Bashar” masuk kepada “Sifat Ilmu”, mereka meyakini bahwa “Sifat Ma’ani” itu hanya ada 5 saja.
18. Kenapa ilmu ini disebut “Ilmu Kalam”? Karena pembahasan “Sifat Kalam” adalah pembahasan tersulit, hingga terdapat perpecahan antara mu’tazilah dan ahli sunnah pada abad ke 2 H.
19. Ada pula yang menyebutkan karena ilmu ini harus banyak berdiskusi. Tidak cukup hanya sekedar transfer ilmu saja.
20. “Sifat Kalam” pada diri manusia menunjukkan bahwa dirinya memilki suara hati (kalam nafsi). Manusia akan mengeluarkan suara hatinya dengan cara mengeluarkan suara dan kata (kalam lafdzi).
21. Maka dari itu, setiap hal yang tidak memilki “Sifat Kalam”, niscaya dirinya tidak memiliki suara hati.
22. Sifat-sifat wajib Allah, yang wajib diketahui oleh muslim hanya 20 saja. Sejatinya, sifat-sifat wajib Allah bukan hanya itu saja. Hal itu sebagai upaya rahmat dari Allah SWT kepada hamba-Nya.
23. “Sifat Qudrah, Iradah, Ilmu, Hayat”, adalah sifat aqli, yaitu sifat yang bisa dibuktikan cukup dengan melihat alam semesta dengan menggunakan akal.
24. Adapun “Sifat Sama’, Bashar, Kalam”, adalah sifat naqli. Ketiga sifat ini tidak mungkin di ketahui kecuali dari perantara Rasulullah SAW.
25. “Sifat Ma’nawiyyah” adalah gabungan dari dzat Allah dan “Sifat Ma’ani” yang ada 7 itu. Contohnya: Dzat = Allah, Qudrah = Kuasa (Sifat Ma’ani), menghasilkan satu “Sifat Ma’nawiyyah”, yaitu: Qadiran “Allah yang maha kuasa”.
26. Kenapa harus ada “Sifat Ma’nawiyyah”? Tidak cukup “Sifat Ma’nawi” saja? Karena, jika hanya ada Sifat Ma’ani saja, niscaya dzat-nya tidak ikut tersifati. Ini adalah hujjah Imam Sanusi yang menyatakan sifat Allah ada 20.
27. Imam Ghazali tidak sepakat dengan itu, beliau menyebutkan bahwa sifat wajib Allah hanya ada 13 saja. Tidak ada yang namanya “Sifat Ma’nawiyyah”.
28. Oleh karena itu, ada perbedaan diantara “mendengar” dan “maha mendengar”. Yang awal adalah Sifat Ma’ani, yang kedua adalah Sifat Ma’nawiyyah. Sifat Ma’nawiyyah dalam nahwu mirip dengan isim fail, dimana didalamnya terdapat dzat dan sifat.
29. “Sifat Ma’nawiyyah” adalah sifat diantara ada dan tiada secara kenyataan. Berbeda dengan Sifat Ma’ani, sebuah sifat yang ada, juga berbeda dengan Sifat Nafsiyah dan Salbiyah, sebuah sifat yang tidak ada.
30. “Syabih” : persamaan dari sisi yang sedikit, “Nadzhir” : persamaan dari sisi yang banyak, “Matsil” : persamaan utuh.
31- Secara akal, mungkin saja Allah memasukkan neraka terhadap orang-orang shalih, dan memasukkan surga terhadap orang-orang yang berma’siat. Tapi, Allah punya janji. Janji itu tidak akan diingkari. Namun, ke-tidak mengingkarinya Allah bukan hal yang wajib bagi-Nya, melainkan seseuatu yang muncul dari rahmatnya.
32- “Shidiq” yang merupakan sifat para rasul adalah ucapan mereka yang sesuai dengan kenyataan dan realita. Ini menurut pendapat terkuat ahli sunnah.
33- Ma’na “Sifat Amanah” adalah tidak ada perbuatan rasul yang menyelisihi syari’at, atau terdapat dosa didalamnya.
34- Khilaf diantara Asya’irah dan Maturidiyyah adalah “khilaf fi Furu’ ad-Din”, sehingga khilaf ini tidak membuat kedua kubu itu keluar dari Ahli Sunnah. Berbeda dengan khilaf antara Ahli Sunnah dan Mu’tazilah, atau dengan Syi’ah. Maka khilaf ini adalah “khilaf fi Ushul ad-Din”.
والله أعلم بالصواب
Tidak ada komentar:
Posting Komentar