Selasa, 21 Mei 2024

Keutamaan Menahan Emosi dan Memaafkan Orang Lain




Suatu kali ada seorang lelaki yang mengadukan keluhan terhadap Rasulullah saw. Gegaranya ia selalu mendapatkan sikap yang tidak mengenakkan dari sanak kerabatnya. Ia sudah berusaha menjalin silaturahim dan berbuat baik terhadap mereka, tapi selalu bertepuk sebelah tangan.

Tak tahan memendam kejengkelan hati, ia adukan kondisi yang tidak mengenakkan hati itu kepada Rasulullah saw. Merespon aduan tersebut kemudian Rasulullah saw bersabda:

 
 لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
 
"Jika kamu benar seperti kondisi yang kamu katakan, maka kamu seolah menyuapi mulut mereka dengan abu yang panas, dan selama kamu berbuat demikian maka selalu akan ada penolong dari Allah yang selalu membersamaimu atas (perbuatan) mereka." (HR Muslim).

Hadits ini disebutkan dalam Kitab Riyadhus Shalihin dua kali, yaitu dalam Bab Silaturahim dan Bab Ihtimalul Adza atau menahan diri ketika disakiti.

Satu sisi hadits ini menganjurkan orang untuk berbuat baik kepada orang yang menyakiti, dan satu sisi sekaligus melarang orang untuk menyakiti orang lain karena dosanya sangat besar.

Merujuk penjelasan Imam An-Nawawi dalam Kitab Riyadhus Shalihin, maksud hadits adalah dosa orang yang menyakiti orang lain yang selalu berbuat baik kepadanya seperti sakitnya orang yang makan abu panas. Orang yang disakiti tapi justru membalasnya dengan kebaikan, tidak berdosa dan merugi sedikitpun. Tetapi orang yang menyakiti mereka akan mendapatkan dosa yang sangat besar karena telah menyakitinya. (An-Nawawi, Riyadhus Shalihin pada Dalilul Falihin, [Beirut, Darul Ma'rifah: 2004], juz III, halaman 153).

Dari sini diketahui, ternyata menyakiti orang lain yang justru tetap mau berkunjung dan menjalin silaturahim sangat berdosa. Kepedihan dosanya seolah-olah seperti kesakitan orang yang disuapi abu panas ke mulutnya.

Hadist ini berlaku umum untuk semua orang yang menyakiti orang lain, hadits ini juga menganjurkan untuk tidak meladeni semua itu dengan sikap yang sama, membalas keburukan dengan keburukan. Akan tetapi bersikap biasa saja, ihtimalul adza atau menahan diri ketika disakiti, bahkan membalasnya dengan kebaikan. Tetap bertutur kata dengan baik dan menjalin silaturahim dengan mengunjungi orang yang telah memperlakukannya secara jahat.

Bila respon bijak seperti ini dapat dilakukannya, maka ia termasuk Muhsinin, yaitu golongan orang-orang yang berbuat baik dan yang dicintai oleh Allah subhanahu wata'ala, sebagainya dijelaskan dalam Al-Qur'an:

وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ. آل عمران:١٣٤

Artinya, "Dan orang-orang yang menahan amarah dan memaafkan manusia lainnya. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik." (QS Ali Imran: 134).
 
Ia juga termasuk orang-orang sabar yang akan mendapatkan pahala yang sangat besar. Al-Qur'an menjelaskan:

وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الأُمُورِ. الشورى:٤٣

Artinya, "Dan sungguh orang yang sabar dan memberi ampunan (maaf) kepada orang lain, sungguh yang seperti itu termasuk dari urusan-urusan yang berat." (QS As-Syura: 43).

Merujuk penafsiran Ibnu Asyur, kesabaran dan memberi maaf terhadap kesalahan orang lain disifati dengan min 'azmil umur atau termasuk urusan-urusan yang berat, karena sifat utama seperti itu sulit dilakukan. Karena bertentangan dengan hawa nafsu yang justru ingin membalasnya dengan perbuatan yang setimpal.

Orang yang sabar terhadap perbuatan buruk orang lain dan memaafkannya, ia seperti para rasul yang juga disifati dengan ulul azmi, orang yang punya keteguhan hati. (Ibnu Asyur, At-Tahrir wat Tanwir, surat As-Syura ayat 43).

Memang, sikap memaafkan, memaklumi dan tetap berbuat baik kepada orang yang telah melakukan keburukan kepada kita bukanlah pilihan sikap yang populer dan mudah dilakukan. Tapi sikap seperti inilah yang akan mendatangkan keridhaan dan kecintaan Tuhan kepada kita.

Karenanya, menjadi penting untuk bersabar dan memaafkan orang yang menyakiti, utamanya saat momentum lebaran atau hari raya Idul Fitri. Tetap jalin silaturahmi dengan mereka. Dan berdoalah kepada Allah, supaya Allah membuka hati mereka dan melembutkan hati mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...