Di dalam salat, aurat perempuan yang harus ditutup adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan kedua telapak tangan. Syekh Ibnu Qasim al-Ghazi menjelaskan dalam kitab Fath al-Qarib sebagai berikut:
وَعَوْرَةُ الْحُرَّةِ فِي الصَّلَاةِ مَا سِوَى وَجْهِهَا وَكَفَيْهَا ظَهْرًا وَبَطْنًا إِلَى الْكُوْعَيْنِ
“Aurat perempuan merdeka dalam salat ialah seluruh badan kecuali wajah dan kedua telapak tangan, baik luar maupun dalam, sampai pergelangan tangannya.” (Lihat: Ibnu Qasim al-Ghazi, Fath al-Qarib, [Beirut: Dar Al-Minhaj, 2019] hlm. 122)
Yang menjadi salah satu tradisi di sekitar kita adalah menggunakan mukena sebagai media penutup aurat perempuan ketika salat, salah satunya ialah mukena potongan atau sambungan. Sebagai mana fungsinya sebagai penutup aurat, penggunaan mukena potongan perlu diperhatikan. Sebab bagian lengan wanita yang salat akan terlihat dari arah bawah ketika posisi rukuk atau takbir jika menggunakan mukena potongan.
Dalam kasus demikian, ulama Mazhab Syafi’i menghukumi salatnya batal. Sebab pada kasus tersebut ada aurat yang terbuka. Sebagaimana penjelasan Sayyid Abdurrahman al-Masyhur dalam kitab Bughyah al-Mustarsyidin berikut:
لَوْ رُؤِيَ صَدْرُ الْمَرْأَةِ مِنْ تَحْتِ الْخِمَارِ لِتَجَافِيْهِ عَنِ الْقَمِيْصِ عِنْدَ نَحْوِ الرُّكُوْعِ أَوِ اتَّسَعَ الْكَمُّ بِحَيْثُ تُرٰى مِنْهُ الْعَوْرَةُ بَطَلَتْ صَلَاتُهَا
“Apabila dada wanita terlihat dari bawah bajunya yang longgar ketika posisi rukuk atau lengan baju yang lebar sehingga terlihat aurat dari sela-selanya, maka salat wanita tersebut batal.” (Lihat: Abdurrahman al-Masyhur, Bughyah al-Mustarsyidin, hlm. 85)
Hal ini juga berlaku pada nampaknya pergelangan tangan saat diangkat, betis dan telapak kaki saat sujud. Dalam Hasyiah Jamal; 1/411 disebutkan :
(قوله غير وجه وكفين ) شمل ما لو كان الثوب ساترا لجميع القدمين وليس مماسا لباطن القدم فيكفي الستر به لكون الأرض تمنع إدراك باطن القدم فلا تكلف لبس نحو خف خلافا لما توهمه بعض ضعفة الطلبة لكن يجب تحرزها في سجودها وركوعها عن ارتفاع الثوب عن باطن القدم فإنه مبطل فتنبه له ا هـ ع ش على م ر
Oleh karena itu, bagi para perempuan muslimah hendaklah berhati-hati dan memperhatikan apakah auratnya dalam salat terlihat atau tidak.
Jika terpaksa menggunakan mukena potongan, cara untuk mengantisipasinya adalah dengan mengenakan pakaian lengan panjang sebelum memakai mukena potongan atau sambungan. Hal tersebut ditujukan untuk mengantisipasi adanya aurat yang terlihat dari arah bawah ketika rukuk atau takbir.
Dan juga dalam permasalahan dagu, bahwa ujung dagu yang berada di bawah tulang rahang masih tergolong anggota wajah yang wajib ditutupi dalam madzhab Syafi’i. Berbeda halnya dengan madzhab Hanafi dan Maliki yang mengatakan terbukanya ujung dagu tidak menyebabkan batalnya salat. Syekh Ismail Zein menjelaskan:
اِنْكِشَافُ مَا تَحْتَ الذَّقَنِ مِنْ بَدَنِ الْمَرْأَةِ فِي حَالِ الصَّلَاةِ وَالطَّوَافِ يَضُرُّ فَيَكُوْنُ مُبْطِلًا لِلصَّلَاةِ وَالطَّوَافِ ... هَذَا مَذْهَبُ سَادَتِنَا الشَّافِعِيَّةِ وَأَمَّا عِنْدَ غَيْرِهِمْ كَالسَّادَةِ الْحَنَفِيَّةِ وَالسَّادَةِ الْمَالِكِيَّةِ فَإِنَّ مَا تَحْتَ الذَّقَنِ وَنَحْوَهُ لَا يُعَدُّ كَشْفُهُ مِنَ الْمَرْأَةِ مُبْطِلًا لِلصَّلَاةِ ... وَحِيْنَئِذٍ لَوْ وَقَعَ ذَلِكَ مِنَ الْعَامِيَّاتِ اللَّاِتي لَمْ يَعْرِفْنَ كَيْفِيَةَ التَّقْلِيْدِ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ فَإِنَّ صَلَاتَهُنَّ صَحِيْحَةٌ لِاَنَّ الْعَامِي لَا مَذْهَبَ لَهُ وَحَتَّى مِنَ الْعَارِفَاتِ بِمَذْهَبِ الشَّافِعِي إِذَا أَرَدْنَ تَقْلِيْدَ غَيْرِ الشَّافِعِي مِمَّنْ يَرَى ذَلِكَ فَإِنَّ صَلَا تُهُنَّ تَكُوْنُ صَحِيْحَةً
“Terbukanya bagian di bawah dagu bagi perempuan ketika salat dan tawaf merupakan hal fatal yang dapat menyebabkan batalnya salat dan tawaf...ini dalam madzhab Syafi’i kita. Adapun madzhab selainnya, seperti golongan Hanafi dan Maliki, sesungguhnya terbukanya bagian bawah dagu dan sesamanya bagi perempuan tidak membatalkan salat... Dengan demikian, apabila hal tersebut terjadi pada perempuan awam yang belum mengetahui tata cara mengikuti pendapat madzhab Sya’fi’i, maka salat mereka sah. Karena orang awam tidak memiliki madzhab. Begitu juga bagi perempuan yang mengerti dengan madzhab Syafi’i ketika mereka menghendaki untuk mengikuti pendapat selain Syafi’i. Maka salat mereka juga sah.” (Fatawa Ismail Zein, hlm. 65) .