Senin, 21 September 2020

Menguak Hakikat Poligami (3)

 

Poligami dalam Islam

Banyak orang, termasuk beberapa orang muslim, mempertanyakan, bahkan memperdebatkan, logika berpoligami. Kulminasi dari jawaban atas pertanyaan dan perdebatan-perdebatan itu mengarah pada kesimpulan yang beragam; antara yang mengatakan tidak boleh secara mutlak dengan dalih tidak ada seorangpun yang dapat berlaku adil kecuali Nabi r, sementara adil merupakan syarat kunci dalam berpoligami, yang lain berendapat bahwa poligami boleh secara mutlak dengan alasan ada nash yang tegas dalam al-Qur’an dan Hadis Nabi r, tentunya dengan serangkaian syarat yang harus terpenuhi, sebagian lagi menyatakan bahwa poligami hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat bagi laki-laki yang mampu berlaku adil kepada istri, dan beberapa pandangan-pandangan lain dengan argumentasi yang beragam.

Perbedaan ini sejatinya timbul dari perbedaan keyakinan dalam memahami teks-teks agama atau karena melihat realita sosial yang timbul karena poligami. Sungguhpun poligami telah diterapkan oleh Rasulullah r, para sahabat dan tabi’in, akan tetapi karena beberapa perbedaan-perbedaan ini, poligami seolah-olah tidak memiliki status hukum yang jelas.

Karenanya, untuk menghindari penilaian yang tidak obyektif dan proporsional, kita perlu melihat poligami secara utuh. Karena bagaimanapun, terburu-buru dalam memberikan penilaian terhadap sesuatu yang bersifat kompleks, apalagi hanya dengan menggunakan satu sudut pandang, akan melahirkan keputusan yang prematur alias fatal—jika tidak mau mengatakannya salah.

Selanjutnya, mari kita merujuk pada ayat yang selalu dikaitkan dengan masalah poligami. Allah I berfirman:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَمَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وْثُلَاثَ وَرُبَاعَ. فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّاتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُوْلُوْا. (النساء [4] :3)

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ [4]: 3).

Ath-Thabari mengatakan dalam tafsirnya, Jâmi’ al-Bayân fi Tafsîri al-Qur’an li ath-Thabari, bahwa pakar tafsir berbeda pendapat mengenai penafsiran ayat tersebut. Menurut sebagian mufassirin mafhum dari ayat tersebut adalah sebagai berikut:

قَالَ أَبُو جَعْفَرٍ : اخْتَلَفَ أَهْلُ التَّأْوِيلِ فِي تَأْوِيلِ ذَلِكَ ، فَقَالَ بَعْضُهُمْ : مَعْنَى ذَلِكَ : وَإِنْ خِفْتُمْ يَا مَعْشَرَ أَوْلِيَاءِ الْيَتَامَى أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي صَدَاقِهِنَّ فَتَعْدِلُوا فِيهِ ، وَتَبْلُغُوا بِصَدَاقِهِنَّ صَدُقَاتِ أَمْثَالِهِنَّ فَلاَ تَنْكِحُوهُنَّ ، وَلَكِنِ انْكِحُوا غَيْرَهُنَّ مِنَ الْغَرَائِبِ اللَّوَاتِي أَحَلَّهُنَّ اللَّهُ لَكُمْ وَطَيَّبَهُنَّ مِنْ وَاحِدَةٍ إِلَى أَرْبَعٍ ، وَإِنْ خِفْتُمْ أَنْ تَجُورُوا إِذَا نَكَحْتُمْ مِنَ الْغَرَائِبِ أَكْثَرَ مِنْ وَاحِدَةٍ ، فَلاَ تَعْدِلُوا ، فَانْكِحُوا مِنْهُنَّ وَاحِدَةً ، أَوْ مَا مَلَكَتمْ أَيْمَانُكُمْ.

Apabila kalian (wali perempuan yatim) tidak dapat berlaku adil dalam memberi mahar kepada mereka (perempuan yatim yang hendak dinikahi) serta memberi mahar layaknya perempuan-perempuan pada umumnya, maka jaganlah nikahi mereka, tetapi nikahilah perempuan-perempuan lain yang telah dihalalkan oleh Allah I dari satu hingga empat. Dan apabila kalian khawatir berbuat zalim jika menikahi perempuan lebih dari satu, sehingga kalian tidak dapat berlaku adil pada mereka, maka nikahilah seorang saja dari mereka atau cukupkanlah dengan budak yang kalian miliki.


Dari penafsiran sebagian mufassirîn yang dikutip oleh ath-Thabari ini, kita belum menangkap kesimpulan apapun yang mengarah pada pelarangan poligami. Penafsiran tersebut hanya berkisar pada perintah untuk tidak berbuat zalim kepada anak yatim perempuan dengan cara menikahi mereka dengan memberi mahar yang tidak proporsional.

Kemudian, masih dalam konteks mafhum dari penafsiran sebagian mufassirîn tersebut, bagi laki-laki (wali) yang tidak mampu berbuat adil kepada mereka, dianjurkan untuk menikahi perempuan lain (yang tidak yatim) sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Allah I, yaitu satu, dua, tiga hingga empat, setelah memenuhi syarat kunci yaitu kemampuan berbuat adil. Jadi, sekali lagi, kita belum mendapati kesimpulan apapun yang mengarah pada pelarangan poligami, justru sebaliknya ayat tersebut memberikan lampu hijau untuk berpoligami.

Selanjutnya, ath-Thabari mengutip dialog antara Urwah bin az-Zubair dengan Aisyah mengenai penafsiran ayat tersebut.

حَدَّثنَا ابْنُ حُمَيْدٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا ابْنُ الْمُبَارَكِ ، عَنْ مَعْمَرٍ ، عَنِ الزُّهْرِيِّ ، عَنْ عُرْوَةَ ، عَنْ عَائِشَةَ : )وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ( فَقَالَتْ : يَا ابْنَ أُخْتِي ، هِيَ الْيَتِيمَةُ تَكُونُ فِي حِجْرِ وَلِيِّهَا ، فَيَرْغَبُ فِي مَالِهَا وَجَمَالِهَا ، وَيُرِيدُ أَنْ يَنْكِحَهَا بِأَدْنَى مِنْ سُنَّةِ صَدَاقِهَا ، فَنُهُوا أَنْ يَنْكِحُوهُنَّ إِلاَّ أَنْ يُقْسِطُوا لَهُنَّ فِي إِكْمَالِ الصَّدَاقِ ، وَأُمِرُوا أَنْ يَنْكِحُوا مَا سِوَاهُنَّ مِنَ النِّسَاءِ.

Aisyah berkata: “Wahai keponakanku. Ayat ini menjelaskan tentang perempuan yatim yang berada dalam kekuasan (baca: perwalian) seorang wali dimana ia mengagumi kekayaan dan kecantikannya. Lalu sang wali bermaksud menikahinya tanpa memberikan mahar yang proporsional. Wali seperti itu dilarang untuk menikahi mereka kecuali jika ia dapat berlaku adil kepada mereka dan memberi mahar secara penuh kepada mereka. Dan  mereka, para wali itu, diperintahkan untuk menikahi perempuan lain yang mereka sukai.”

Sampai di sini, kita juga belum menemukan kesimpulan apapun yang mengarah pada pelarangan poligami. Malah, penafsiran yang dikemukakan oleh Sayyidah Aisyah tersebut menjadi justifikasi terhadap legalitas berpoligami.

Masih menurut at-Thabari bahwa dia mendengar Bisyr bin Mu’ad dari Yazid bin Zurai’ dari Sa’id dari Qatadah, dia berkata:

حَدَّثَنَا بِشْرُ بْنُ مُعَاذٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ زُرَيْعٍ ، قَالَ : حَدَّثَنَا سَعِيدٌ ، عَنْ قَتَادَةَ ، قَوْلُهُ : )وَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تُقْسِطُوا فِي الْيَتَامَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ( حَتَّى بَلَغَ : )أَدْنَى أَلاَّ تَعُولُوا( يَقُولُ : كَمَا خِفْتُمْ الْجَوْرَ فِي الْيَتَامَى وَهَمَّكُمْ ذَلِكَ ، فَكَذَلِكَ فَخَافُوا فِي جَمْعِ النِّسَاءِ ، وَكَانَ الرَّجُلُ فِي الْجَاهِلِيَّةِ يَتَزَوَّجُ الْعَشَرَةَ فَمَا دُونَ ذَلِكَ ، فَأَحَلَّ اللَّهُ جَلَّ ثناؤُهُ أَرْبَعًا ، ثُمَّ الَّذِي صَيَّرَهُنَّ إِلَى أَرْبَعٍ قَوْلُهُ : )مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّ تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً( يَقُولُ : إِنْ خِفْتَ أَلا تَعْدِلَ فِي أَرْبَعٍ فَثَلاَثًا ، وَإِلاَّ فَثِنْتَيْنٍ ، وَإِلاَّ فَوَاحِدَةً ؛ وَإِنْ خِفْتَ أَلاَّ تَعْدِلَ فِي وَاحِدَةٍ ، فَمَا مَلَكَتْ يَمِينُكَ.

Jika kalian khawatir (tidak dapat berlaku adil) kepada perempuan yatim maka demikian pulalah saat kalian menikahi perempuan lain (dengan cara poligami). Pada masa jahiliyah laki-laki terbiasa menikahi sepuluh perempuan atau di bawahnya. Lalu Allah menghalalkan bagi mereka untuk menikahi empat orang perempuan saja.”

“…..Selanjutnya, jika kamu tidak mampu berbuat adil jika menikahi empat orang perempuan, maka nikahilah tiga saja, jika tidak mampu juga berlaku adil pada tiga orang perempuan, maka nikahilah dua saja, dan jika kamu tidak mampu berlaku adil kepada dua orang perempuan, maka nikahilah satu saja. Lalu, jika kamu masih belum mampu untuk berlaku adil kepada satu orang perempuan maka cukuplah seorang budak bagimu.

Dari penafsiran yang ketiga ini, kita dapat melihat jelas bahwa mafhum dari ayat di atas adalah larangan berbuat zalim kepada perempuan yatim. Sehingga, untuk menghindari perlakuan semena-mena kepada mereka, Allah I memberikan solusi dengan menghalalkan menikahi perempuan yang tidak yatim sampai empat orang. Nemun demikian, sikap adil menjadi syarat kunci untuk menikahi perempuan lebih dari satu. Karena itu, laki-laki yang tidak memenuhi syarat tersebut, Allah I menganjurkannya untuk menikahi satu perempuan saja atau mencukupkan pada budak perempuannya.

Selanjutnya, ath-Thabari menulis sebagai berikut:

وَقَالَ آخَرُونَ : بَلْ مَعْنَى ذَلِكَ النَّهْي عَنْ نِكَاحِ مَا فَوْقَ الأَرْبَعِ ؛ مِنَ النِّسَاءِ حَذَرًا عَلَى أَمْوَالِ الْيَتَامَى أَنْ يُتْلِفَهَا أَوْلِيَاؤُهُمْ ، وَذَلِكَ أَنَّ قُرَيْشًا كَانَ الرَّجُلُ مِنْهُمْ يَتَزَوَّجُ الْعَشْرَ مِنَ النِّسَاءِ وَالأَكْثَرَ وَالأَقَلَّ ، فَإِذَا صَارَ مُعْدِمًا مَالَ عَلَى مَالِ يَتِيمِهِ الَّذِي فِي حِجْرِهِ فَأَنْفَقَهُ أَوْ تَزَوَّجَ بِهِ ، فَنُهُوا عَنْ ذَلِكَ ؛ وَقِيلَ لَهُمْ : إِنْ أَنْتُمْ خِفْتُمْ عَلَى أَمْوَالِ أَيْتَامِكُمْ أَنْ تُنْفِقُوهَا ، فَلاَ تَعْدِلُوا فِيهَا مِنْ أَجْلِ حَاجَتِكُمْ إِلَيْهَا ، لِمَا يَلْزَمُكُمْ مِنْ مُؤَنِ نِسَائِكُمْ ، فَلاَ تَجَاوِزُوا فِيمَا تَنْكِحُونَ مِنْ عَدَدِ النِّسَاءِ عَلَى أَرْبَعٍ وَإِنْ خِفْتُمْ أَيْضًا مِنَ الأَرْبَعِ أَلاَّ تَعْدِلُوا فِي أَمْوَالِهِمْ فَاقْتَصِرُوا عَلَى الْوَاحِدَةِ ، أَوْ عَلَى مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ.

“Menurut sebagian mufassirîn yang lain, pengertian dari ayat (an-Nisa [4]: 3) di atas adalah larangan menikahi perempuan melebihi dari hitungan empat. Demikian ini karena adanya khawatiran akan memakan harta anak yatim (secara zalim). Hal ini dilatar belakangi oleh kebiasan sebagian orang-orang Qursy yang menikahi perempuan lebih dari sepuluh atau di bawahnya. Setelah hartanya habis (untuk dinafkahkan kepada istri-istrinya), dia condong kepada harta anak yatim yang ada dalam kekuasaannya untuk kemudian dinafkahkan kepada istri-istrinya. Itulah sebabnya mengapa mereka dilarang melakukan hal tersebut (menikahi perempuan lebih dari empat).

Dari semua perbedaan penafsiran barusan, lanjut at-Thabari, penafsiran yang paling utama adalah pendapat yang mengatakan:

Jika kalian khawatir (tidak dapat berlaku adil) kepada perempuan yatim, maka demikian pulalah sikap kalian jika menikahi perempuan lain pada umumnya (yang tidak yatim). Maka janganlah kalian menikahi mereka; dua, tiga atau empat, terkecuali kalian mampu berlaku adil kepada mereka. Bahkan, seandainya kalian tidak mampu berlaku adil kepada satu orang perempuan, maka jangan nikahi dia. Dan cukuplah bagi kalian budak-budak perempuan yang kalian miliki. Karena hal itu lebih memungkinkan untuk tidak berlaku aniaya.

Tarjîih yang dilakukan ath-Thabari ini juga didukung oleh an-Naisaburi. Beliau, dengan mengutip pendapat Sa’id bin Jubair, Qatadah, ar-Rabi’ dan as-Sudi dari Ibnu Abbas, mengatakan, “Ketika ayat itu turun disertai dengan ancaman yang pedih bagi orang-orang yang memakan harta anak yatim (secara zalim), maka orang-orang yang mengurusi harta anak yatim merasa enggan untuk mengurusi mereka karena takut terhadap ancaman tersebut. Di sisi lain, laki-laki yang beristri lebih dari sepuluh tidak sedikit yang berlaku zalim kepada istri-istrinya. Sehingga mereka dikecam oleh Allah I:

“Jika kalian khawatir tidak berlaku adil dalam urusan anak yatim, maka lakukanlah hal sama terhadap kaum wanita pada umunya. Karena pada dasarnya mereka itu sama dengan perempuan yatim (jika kalian harus berlaku adil kepada mereka maka kalian juga harus berlaku adil kepada kaum perempuan pada umumnya). Maka sedikitkanlah jumlah istri kalian. Sebab orang yang bertaubat dari suatu dosa, sementara dia melakukan dosa yang sama, maka seolah-olah dia tidak bertaubat.”

Masih mengenai penafsiran ayat di atas, dijelaskan dalam an-Nukat wa al-‘Uyun bahwa sedikitnya ada empat penafsiran berkenaan dengan ayat tersebut.

Pertama, bahwa laki-laki yang tidak mampu berbuat adil jika menikahi perempuan yatim, maka dianjurkan baginya untuk menikahi perempuan lain yang dia sukai; satu, dua, tiga atau empat. Pendapat ini didukung oleh pernyataan Sayyidah Aisyah kepada ‘Urwah bin az-Zubair.

Kedua, ayat ini turun untuk merespon sikap orang yang khawatir dalam mengurusi harta perempuan yatim, namun tidak khawatir berbuat zalim kepada istri-istrinya. Sehingga Allah I memberikan penegasan kepada mereka bahwa seorang laki-laki yang khawatir tidak mampu berbuat adil kepada perempuan yatim hendaknya juga merasa khawatir apabila dia tidak mampu berbuat adil kepada istri-istrinya. Demikian ini adalah pendapat Sa’id bin Jubair, Qatadah dan as-Sudi seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya.

Ketiga, ayat ini merespon terhadap orang-orang yang takut memakan harta anak yatim secara zalim namun tidak takut untuk berbuat zina. Kemudian Allah I menegur mereka bahwa, seseorang yang takut berbuat zalim kepada perempuan yatim hendaknya juga takut untuk melakukan perzinahan. Itulah sebabnya mengapa Allah I memberikan kelonggaran pada mereka untuk menikahi perempuan yang mereka sukai; satu, dua, tiga hingga empat. Demikian ini adalah pendapat yang dikemukakan oleh al-Mujahid.

Keempat, ayat ini turun untuk merespon kebiasaan orang Qurasy yang menikah hingga jumlah tak tebatas. Dengan banyaknya istri, maka banyak pulalah beban yang harus mereka pikul, sementara mereka tidak memiliki cukup harta untuk menafkahi istri-istrinya. Pada akhirnya, mereka mengambil harta anak yatim yang ada dalam kekuasaan mereka untuk kemudian dinafkahkan kepada istri-istrinya.

Maka, berangkat dari penafsiran para ulama tafsir terkemuka yang telah kami kemukakan barusan, kita bisa melihat dengan jelas bahwa ayat tersebut menjelaskan, pertama, kewajiban berbuat adil kepada perempuan yatim yang berada dalam asuhan seorang wali laki-laki. Dan, kedua, kebolehan melakukan poligami dengan empat orang perempuan dengan syarat mampu untuk berbuat adil kepada mereka. Dan lebih dari itu, ayat di atas memberikan batasan tertentu terkait jumlah pasangan dalam berpoligami, yaitu empat.

Baik ath-Thabari, al-Mawardi, an-Naisaburi dan para pakar tafsir terkemuka lainnya tidak ada yang berpendapat bahwa poligami tidak boleh secara mutlak. Sungguhpun demikian, mereka menyaratkan adanya sikap adil dan mampu memberi nafkah bagi laki-laki yang hendak berpoligami. Demikianlah sesungguhnya pendapat yang disekati oleh ulama semenjak periode Nabi r, sahabat, tabi’in, tabi’i at-bai’in dan para generasi salaf ash-shalih selama empat belas abad lamanya.

Selain ayat di atas, legalitas berpoligami juga diperkuat dengan beberapa Hadis Nabi r. Misalnya Hadis yang disampaikan Nabi r kepada sahabat Ghilan ats-Tsaqafi yang memiliki sepuluh orang istri pada awal-awal memeluk Islam. Nabi r bersabda:

أَمْسِكْ عَلَيْكَ أَرْبَعًا وَفَارِقْ سَائِرَهُنَّ (رَوَاهُ التُّرْمُذِيُّ، وَابْنُ حِبَّانَ وَغَيْرُهُمَا)

“Tahanlah empat saja (sebagai istrimu) dan cerailah yang lainnya.” (HR. Al-Turmudzi, Ibnu Hibban dan yang lainnya).

Dalam Hadis yang lain Beliau bersabda:

أَنَّ عُمَيْرَةَ الْأَسَدِيَّ قَالَ: أَسْلَمْتُ وَعِنْدِيْ ثَمَانِيْ نِسْوِةٍ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِيِّ  rفَقَالَ إِخْتَرْ مِنْهُنَّ أَرْبَعًا. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ)

Bahwa Umairah al-Asadi berkata, “Aku masuk Islam sedangkan aku memiliki delapan orang istri. Lalu aku menceritakannya kepada Nabi. Beliau bersabda: ‘Pilihlah empat dari mereka (sebagai istrimu)’.” (HR. Abu Dawud).

Hal yang serupa juga terjadi pada Qais bin Tsabit yang memiliki delapan orang istri pada awal-awal memeluk Islam (HR. Ibnu Majah), dan juga Naufal bin Mu’awiyah yang memiliki lima orang istri.

Bahkan, dalam Shahih al-Bukhari dijelaskan bahwa Sa’id bin Jubair berkata: “Ibnu Abbas bertanya kepada saya: ‘Apakah kamu sudah menikah?’ Aku menejawab: ‘Tidak.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Menikahlah, karena sebaik-baiknya umat ini adalah yang paling banyak istrinya.”

Ibnu Hajar mengemukakan dalam Fath al-Bâri-nya bahwa pengertain dari Hadis tersebut adalah sebaik-baiknya umat Muhammad r adalah orang yang memiliki istri lebih banyak dibandingkan yang lain.

Al-hasil, dari apa yang telah kami kemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Islam bukanlah agama yang “anti” terhadap poligami. Namun demikian Islam tidak membukanya secara longgar. Dalam konteks ini, Islam lebih memilih jalan yang moderat (mu’tadil) di antara dua kutub ekstream yang mengarah pada sifat ghuluw (berlebih-lebihan) dan taqshîr (longgar).

Sementara ini ada asumsi yang beranggapan bahwa poligami hukumnya haram atau minimal makruh. Asumsi ini didasarkan pada Hadis Nabi r riwayat Imam Muslim berikut:

عَنِ الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ : أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَى الْمِنْبَرِ وَهُوَ يَقُولُ: إِنَّ بَنِي هِشَامٍ بْنِ الْمُغِيْرَةِ اسْتَأْذَنُونِيْ أَنْ يُنْكِحُوا اِبْنَتَهُمْ عَلِيَّ بْنِ أَبِيْ طَالِبٍ فَلَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لَا آذَنُ لَهُمْ إِلَّا أَنْ يَّحِبَّ ابْنُ أَبِيْ طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِيْ وَيَنْكِحُ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِيْ بَضْعَةٌ مِنِّيْ يُرِيْبُنِيْ مَا رَابَهَا وَيُؤْذِيْنِي مَا آذَاهَا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

“Dari Miswar bin Makhramah beliau pernah mendengar Nabi r berpidato diatas mimbar. Beliau bersabda: ‘Sesungguhnya bani Hisyam bin Mughirah meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan Ali bin Abi Thalib, lalu aku tidak mengizinkannya, aku tidak mengizinkannya, dan aku tidak mengizinkannya, kecuali Ali bin Abi Thalib mau menceraikan putriku kemudian menikah dengan putri mereka.  Karena putriku adalah bagian dariku; apa yang meresahakannya juga meresahkanku dan apa yang menyakitinya juga menyakitiku.” (HR. Muslim).

Setelah membaca Hadis di atas barangkali kita sepakat bahwa Rasulullah r sangat anti terhadap poligami. Karena ternyata Beliau sangat tidak setuju, bahkan anti, ketika putri kesanyangan beliau akan dimadu oleh menantunya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib t.

Hanya saja, adalah keliru jika menjadikan Hadis di atas sebagai dalil yang melarang poligami. Karena Hadis di atas hanya menjelaskan ketidak-bolehan berpoligami bagi Sayyidina Ali t karena mengandung dua faktor eksternal yaitu, pertama, akan menyakiti hati Sayyidah Fatimah yang dengan demikian akan menyakiti hati Rasulullah r dan, kedua, perempuan yang akan dinikahi oleh Ali bin Abi Thalib t adalah putri musuh Allah I, yaitu Abu Jahal. Sedangkan putri musuh Allah I tidak akan pernah berkumpul dengan putri nabi-Nya.

 

Hal ini dapat kita pahami dari Hadis Rasulullah r berikut:

إِنِّي لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلَالًا وَلَا أُحِلُّ حَرَامًا وَلَكِنْ وَاللهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللهِ مَكَانَا وَاحِدًا أَبَدًا (رَوَاهُ مُسْلِمٌ)

Sesungguhnya aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak menghalalkan yang haram. Tapi, demi Allah, tidak akan berkumpul putri Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan putri musuh Allah selamanya”.  (HR. Muslim).

Kesimpulan yang dapat kita ambil dari dua Hadis di atas adalah sejatinya Rasulullah r tidak melarang terhadap praktek poligami. Larangan Beliau kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib t lebih didasarkan pada faktor ekternal seperti yang telah kami kemukakan sebelumnya. Hal ini terbukti bahwa pasca wafatnya Sayyidah Fatimah, Sayyidina Ali t melakukan poligami. Ali bin Rabi’ah berkata, “Dulu Ali memiliki dua istri”. (HR. Ahmad). Ini menunjukkan bahwa poligami tetap diamalkan oleh para sahabat sepeninggal Nabi r.

Asumsi lain berkaitan dengan masalah poligami adalah pendapat yang menyatakan bahwa poligami sangat mustahil untuk diterapkan. Dan jika dirumuskan, alasan penolakan mereka didasarkan pada ayat berikut:

وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا فِي الْيَتَمَى فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وْثُلَاثَ وَرُبَاعَ. فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّاتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ أيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلَّا تَعُوْلُوْا. (النساء [4] :3)

“Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ [4]: 3).

Pertama-tama ayat ini menjelaskan kewajiban berlaku adil kepada perempuan yatim. Kedua, ayat ini memberikan penjelasan yang tegas terkait legalitas hukum poligami. Namun, pada ayat selanjutnya, terdapat perintah untuk menikahi satu orang perempuan bagi laki-laki yang tidak mampu berbuat adil dalam berpoligami. Dengan demikian kebolehan poligami dibatasi dengan sifat adil, padahal berlaku adil adalah mustahil. Allah I berfirman:

وَلَنْ تَسْتَطِيْعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيْلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَأَنْ تُصْلِحُوا بَيْنَ النَّاسِ فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا.  (النساء [4]: 129)

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa’ [4]: 129).

Jika al-Qur’an memperbolehkan poligami dengan syarat adil, sementara adil merupakan suatu yang mustahil, maka pesan utama yang bisa kita tangkap dari kedua ayat di atas adalah hindarilah poligami.

Seperti asumsi sebelumnya, asumsi ini juga merupakan asumsi yang sangat rapuh. Alasannya, sangat tidak rasional apabila Allah I memperbolehkan melakukan sesuatu kemudian menghubungkannya dengan sesuatu yang mustahil. Dan, apakah ketentuan seperti itu memang ada di dalam Islam? Nampaknya ini hanya terjadi dalam maslaah poligami. Dan jika memang demikian, adakah pendapat semacam ini diadopsi dari para pakar yang memiliki otoritas untuk menafsiri al-Qur’an?

Itulah sebabnya mengapa para pakar tafsir menafsiri adil dalam ayat tersebut dengan adil yang berada dalam batas kemampuan umat manusia seperti memberi tempat tinggal, pakaian, makanan, minuman, giliran dan tatacara berinteraksi, bukan adil dalam membagi cinta kepada istri-istrinya. Karena bagaimanapun, berbuat adil dalam membagi cinta adalah tidak mungkin (mustahil) dilakukan oleh setiap individu. Sementara itu, Islam tidak pernah menganjurkan atau mewajibkan (taklif) untuk melakukan sesuatu yang tidak mereka mampu.Itulah sebabnya mengapa ada aturan rukhsah di dalam syariat.

Alasan berikutnya adalah poligami yang dilakukan oleh Nabi r, para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in dan para salaf as-shalih. Jika kita mengatakan poligami tidak boleh dilakukan karena alasan tidak ada seorangpun yang mampu berbuat adil, lalu adakah Nabi r, sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in itu telah menyalahi ketentuan yang ditentukan oleh syariat. Tentu saja, tidak ada seorangpun dari kalagan ahlus sunnah wa al-jamaah yang menyatakan bahwa Nabi r adalah tidak maksum sementara sahabat adalah orang yang tidak adil. Mereka justru mengatakan yang sebaliknya.

Asumsi lain yang sering dikemukan oleh kalangan yang tidak setuju terhadap poligami adalah  bahwa pada dasarnya hukum asal pernikahan adalah monogami (beristri satu) sedangkan poligami merupakan “penecualian” sehingga tidak boleh diamalkan kecuali dalam keadaan yang sangat mendesak.

Bagaimanapun, pendapat ini sangat lemah dan tidak bisa diterima oleh logika agama. Ayat yang menjelaskan poligami (QS. An-Nisa [4]: 3 dan 129) tidak memberikan penegasan apapun yang mendukung asumsi ini. Bahkan, jika kita lebih mencermati, justru poligamilah yang menjadi asal dalam ayat tersebut, sedangkan monogami menjadi pengecualian dari hukum aslinya.

Pendapat yang mengatakan bahwa poligami hanya boleh dilakukan dalam keadaan darurat sebetulnya lebih mendekati pada pengharaman poligami. Bagaimana tidak? Secara definitif kata darurat memiliki arti suatu kondisi yang andaikan seseorang tidak melakukan perkara yang dilarang, maka dia akan terjerumus pada kematian atau, setidaknya, mendekati kematian. Darurat adalah bagian dari rukhshah (dispensasi agama) yang hanya boleh dilakukan dalam keadaan tertentu dalam kondisi yang sangat mendesak. Kondisi darurat dapat “menyulap” suatu yang haram menjadi halal dan yang wajib dikerjakan boleh ditinggalkan. Selanjutnya, jika poligami hanya boleh diterapkan dalam kondisi darurat, apakah hakikat poligami itu memang diharamkan sehingga untuk melakukannya harus menunggu keadaan darurat? Sampai di sini pernyataan bahwa poligami adalah darurat tidak bisa dipertahankan. Kiranya, kami tidak perlu lebih memperpanjang argumentasi.

Menurut segian golongan yang juga anti terhadap poligami bahwa poligami tidak boleh dilakukan kecuali jika istri menderita suatu penyakit atau mengalami kemandulan. Pendapat semacam ini tentu saja tidak memiliki landasan apapun yang dapat diterima oleh agama. Sebab, dalam ayat yang melegalkan poligami tidak ada persyaratan apapun berkenaan dengan kemandulan atau mendapat persetujuan dari sang istri.

Dan juga, Rasulullah tidak pernah meminta sahabatnya yang berpoligami untuk memita izin kepada istrinya, Beliau hanya meminta para sahabatnya yang memiliki istri lebih dari empat untuk menceraikan sebagian dari mereka. Dan Rasulullah r juga tidak menyaratkan ada persetujuan dari istri bagi sahabatnya yang berpoligami. Jadi, pendapat yang menyatakan bahwa syarat berpoligami adalah istri menderita penyakit, mengalami kemandulan dan mendapatkan izin darinya adalah persyaratan yang dibuat-buat dan tidak memiliki landasan apapun yang bisa diterima oleh logika agama.

As-Syaikh Muhammad Abu Zahrah berkata demikian: “Memberi batasan (diluar yang sudah ditetapkan oleh agama) dalam poligami adalah bidah yang sesat di dalam agama yang tidak pernah terjadi pada periode Nabi r, sahabat dan para tabi’in.”

Jadi, menurut Islam poligami tidak disyaratkan harus mendapatkan izin dari istri atau boleh dilakukan ketika istri mengalami kemandulan atau penyakit. Sejak awal Islam telah melegalkan poligami sekalipun tanpa syarat barusan. Sehingga seorang muslim boleh melakukan poligami dalam batas yang telah ditentukan asalkan dia mampu untuk berbuat adil kepada istri-istrinya serta mampu untuk menafkahi mereka.

Bagaiamana mungkin seseorang bisa menetapkan persyaratan di atas padahal Umar bin al-Khatthab t menawarkan putrinya, Hafshah, kepada Abu bakar ash-Shiddiq t. Sementara itu Umar tahu bahwa Abu Bakar memiliki lebih dari satu istri dan di antara mereka tidak ada seorangpun yang mengalami kemandulan atau terkena penyakit. Umar juga menawarkan putrinya kepada Utsman bin Affan t sementara Utsman adalah suami dari putri Rasulullah r, dan Utsman tidak mendapatkan gugatan apapun, baik dari Rasulullah r ataupun dari putrinya.

Dan lagi pula, andaikan Nabi r tidak setuju terhadap poligami, mengapa Beliau menyuruh sahabatnya yang memiliki istri lebih dari empat untuk mentalak sebagiannya saja, bukan mentalak seluruhnya terkecuali satu saja sebagai istrinya?

Maka, kesimpulan dari apa yang telah kami paparkan secara ringkas barusan adalah jelas, bahwa Islam tidaklah anti terhadap poligami seperti halnya Islam tidak memproduk, apalagi berinovasi, poligami. Adalah benar jika dikatakan bahwa Islam hanya menetapkan apa yang sudah ada sebelumnya dengan mengacu pada tujuan yang mulia yang sama sekali berbeda dengan praktek poligami yang terdapat dalam lingkugan masyarakat etnis dan agama non-Islam.

Di dalam Islam, poligami  tidak lepas dari beberapa tujuan berikut, antara lain, untuk menghindari prakek perkawinan yang mengarah pada dehumanisasi perempuan. Tujuan ini dimanifestasikan dan direflesikan dengan melindungi hak-hak perempuan sebagai manusia, utamanya kaum perempuan yang lemah seperti janda dan anak yatim perempuan.

Upaya perlindungan hak kaum perempuan di dalam poligami, diwujudkan melalui penegakan adâlah (keadilan) yang merupakan esensi dari ajaran Islam yang sekaligus menjadi syarat yang harus dipenuhi oleh setiap laki-laki yang akan melangsungkan poligami.

Berdasarkan dalil-dalil yang telah kami kemukakan di atas, ulama sepakat bahwa poligami merupakan sistem perkawinan yang legal menurut Islam. Sungguhpun demikian, perlu dipahami bahwa secara umum Islam memiliki lima kategori perintah dan larangan yaitu, fardlu (harus dilakukan), sunnah (baik jika dilakukan), mubah (boleh dilakukan), makruh (tidak baik apabila dilakukan tapi tidak sampai berdosa) dan haram (tidak boleh dilakukan dan berdosa). Sedangkan poligami menempati posisi hukum yang bersifat moderat yaitu mubah (boleh dilakukan).

Jika poligami adalah mubah, maka perlu diketahui bahwa setiap perkara yang mubah dapat berevolusi menjadi sunnah, wajib, haram dan makruh (ta’tarîhi al-ahkâm al-khamsah) dengan melihat pada beberapa faktor eksternal (‘aridli). Jadi, setiap hukum yang bersifat mubah akan berubah status hukumnya dalam situasi dan kondisi yang berbeda, dengan melihat pada faktor-faktor eksternal yang menginfiltrasinya.

Misal, nikah pada dasarnya adalah mubah, akan tetapi menikah akan menjadi sunnah bagi orang yang memiliki hasrat untuk menikah dan memiliki kemampuanb memberi mahar dan nafkah. Nikah juga bisa menjadi wajib jika dengan tanpa menikah seseorang akan terjerumus pada perzinahan dan hal-hal yang diharamkan.

Nikah juga menjadi makruh bagi orang yang memiliki hasrat untuk menikah tetapi tidak memiliki biaya untuk melakukannya. Dan terakhir, nikah juga bisa menjadi haram bagi orang yang memiliki keyakinan tidak akan mampu untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada istri. Dan seperti itu juga hukum yang berlaku dalam poligami.

Jika poligami dilakukan dengan mengikuti aturan yang benar dan disertai dengan niatan untuk mengikuti sunnah Rasul r, maka melakukan poligami adalah sunnah. Sebagaimana yang disebutkan dalam Hadis:

أَنَّ سَعِيْدَ بْنَ جُبَيْرٍ قَالَ: وَقَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ: هَلْ تَزَوَّجْتَ؟ فَقُلْتُ: لَا . قَالَ: فَتَزَوَّجْ فَإِنَّ خَيْرَ هَذِهِ الْأُمَّةِ أَكْثَرُهَا نِسَاءً (رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ)

Bahwa Sa’id bin Jubair berkata: “Ibnu Abbas betanya kepadaku: ‘Apakah kamu sudah menikah?’ aku menjawab: ‘Tidak.’ Ibnu Abbas berkata: ‘Menikahlah, karena sebai-baik umat ini adalah paling banyak memiliki istri.” (HR. al-Bukhari).

Dalam al-Mughni-nya Ibnu Qudamah mengatakan demikian: “Dan karena Nabi melakukan pernikahan bahkan berpoligami. Dan ini juga dilakukan oleh para sahabatnya. Padahal Nabi dan para sahabatnya tidak pernah menyibukkan diri kecuali dengan melakukan perkara yang afdlal dan para sahabat tidak bersepakat untuk meninggalkan perkara yang afdlal lalu beralih pada pekerjaan yang lebih rendah.

Pernyataan ini beliau kemukakan ketika mengomentari Hadis yang menerangkan tabattul (memfokuskan diri untuk beribadah) yang pernah terjadi di kalangan sahabat.

Bahwa, para sahabat memiliki keinginan untuk meningkatkan kualitas ibadah mereka dengan meninggalkan gemerlap duniawi. Salah satu dari mereka malah mengatakan demikian: “Adapun aku tidak memakan daging.” Yang lain mengatakan: “Adapun aku melakukan salat dan tidak pernah tidur.” Sebagian lagi berkata: “Sedangkan aku berpuasa dan tidak pernah berbuka.” Yang lain mengatakan: “Adapun tidak menikahi seorang perempuan.” Lalu berita tentang sahabatnya ini di dengar oleh Nabi r sehingga beliau berpidato: “Aku mendengar ini dan itu. Sedangkan aku berpuasa dan berbuka, aku melakukan salat dan juga tidur, aku juga memakan daging dan menikahi beberapa orang perempuan (poligami). Barangsiapa yang membenci terhadap sunnah-ku, maka dia tidak termasuk dalam gologanku.” (HR. Muslim).

Bahkan Mahmud Syaltut mengatakan demikian: “Bahwa ayat pertama (an-Nisa [4]: 3) dan kedua (an-Nisa [4]: 129) saling bersinergi untuk menetapkan legalitas hukum poligami. Disamping itu, Nabi r, shabat, tabi’in dan para kaum muslimin dari generasi ke generasi melakukan poligami. Dan mereka berpendapat bahwa poligami yang disertai dengan sikap yang adil adalah perbuatan yang baik bagi seorang laki-laki kepada istrinya secara khusus dan masyarakat secara umum. Bahkan Mahmud Syaltut memberi label terhadap orang-orang yang mengatakan poligami tidak disyariatkan karena mengandung persyaratan yang mustahil dilakukan sebagai orang yang menentang terhadap ayat-ayat Allah I dan telah mengarahkan pemahaman ayat tersebut pada ranah yang tidak tepat.

Selanjutnya, poligami akan menjadi haram bagi orang yang tidak yakin bisa berlaku adil kepada istri-istrinya. Bagaimanapun, kita harus menyepakati bahwa poligami yang dilakukan oleh laki-laki yang tidak mampu berbuar adil maka hukumnya adalah haram. Namun demikian, nikahnya tetap sah jika sudah memenuhi persyaratan dalam menikah, hanya saja dia tetap mendapatkan dosa.

Nah, hal semcam inilah yang kami maksud dengan ta’tarîhi al-ahkâm al-khamsah dengan meninjau situasi dan kondisi yang berbeda. Sehingga kita tidak boleh memfonis secara mutlak bahwa ini adalah sunnah, ini adalah haram, ini makruh dan ini wajib terhadap suatu pekerjaan yang bersifat umum, terkecuali jita kita ingin terjerumus pada kesimpulan hukum yang fatal alias salah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...