Kenapa
Hanya Empat?
Barangkali ada sebagian orang yang bertanya: mengapa poligami
hanya dibatasi pada empat orang perempuan saja, mengapa bukan dua atau tiga dan
seterusnya? Untuk menjawab pertanyaan ini, akan kami tampilkan
pendapat-pendapat para ulama yang telah meneliti tentang hikmah di balik
pembatasan tersebut.
Setidaknya ada empat pendekatan yang digunakan oleh para ulama dalam
menguraikan hikmah di balik pembatasan jumlah pasangan dalam berpoligami. Tetapi, menurut Athiyah Shaqr, pendekatan yang digunakan oleh
mereka tidak cukup kuat untuk dijadikan alasan.
Pertama, mereka menggunakan
pendekatan siklus menstruasi yang—bagi perempuan normal—hampir terjadi
setiap bulan. Mereka berpendapat bahwa seandainya satu orang laki-laki memiliki
empat orang istri dan memberi jatah gilir selama satu minggu untuk setiap
istri, maka jatah tersebut akan pas selama satu bulan. Namun msalahnya, kadang pembagian
giliran semacam ini tidak bisa dilakukan secara maksimal, mengingat kadang
salah satu dari istri mengalami menstruasi pada saat jatah gilirannya,
padahal seorang suami tidak boleh berhubungan dengan istri yang sedang menstruasi.
Sehingga, dalam keadaan demikian, suami mempuyai peluang untuk berhubungan
degan istrinya yang lain.
Akan tetapi alasan sperti ini tidak dapat diterima oleh logika agama,
sebab ketika istri sedang menstruasi sekalipun, suami tetap berkewajiban
untuk menginap di rumah istrinya yang sedang menstruasi tersebut tanpa
harus melakukan hubungan intim dengannya. Dengan demikian, maka alasan ini
tidak dapat diterima oleh logika agama.
Kedua, dalam kitab Hâdil
Arwâh, karangan Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dijelaskan bahwa hikmah
pemabatasan empat orang perempuan di dalam berpoligami sebenarnya mengacu pada
eksistensi musim yang bergulir dalam satu tahun. Tentu saja alasan ini sangat
tidak mungkin untuk dilogikakan, karena memang tidak ada hubungan dan kausa
yang jelas antara pembatasan jumlah pasangan hingga empat orang perempuan
dengan eksistensi musim yang biasanya berganti empat kali dalam satu tahun,
kecuali kita hanya melihat dari aspek jumlahnya saja yang—kebetulan—sama-sama
berjumlah empat.
Keitga, seorang laki-laki
hendaknya mendatangi masing-masing istrinya minimal satu hari dalam empat hari.
Sebab, istri tidak akan gundah dan kesepian jika ditinggalkan suami dalam
rentang waktu empat hari. Oleh karena itu, seandainya suami menjatah
masing-masing istrinya selama satu hari dalam empat hari, maka hal tersebut
dapat ditanggulangi. Hikmah ini tentunya tidak kuat untuk dijadikan alasan
pembatasan jumlah poligami hingga empat orang perempuan. Sesungguhnya alasan
ini akan lebih tepat jika digunakan untuk membuat sistem yang ideal dalam
memberikan jarah giliran kepada istri.
Keempat, menurut Dr. Wajih
Zainal Abidin, setelah para dokter melakukan penelitian tentang kesanggupan seorang
wanita untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri mereka berkesimpulan
bahwa perempuan hanya sunggup melayani suaminya secara maksimal dalam kurun
waktu sembilan puluh dua hari dalam satu tahun. Kesimpulan ini setelah
mengurangi jumlah hari yang beredar dalam satu tahun dengan jumlah masa
kehamilan, nifas, menstruasi dan hilangnya hasrat melakukan hubungan seksual.
Dengan demikian, suami bisa beralih kepada istri-istrinya yang lain saat salah
satu istrinya sedang hamil, menstruasi atau tidak memiliki hasrat untuk
melakukan hubungan seksual.[1]
Bagaimanapun, alasan-alasan yang telah dikemukakan para ulama barusan sangatlah jauh dari kesan rasional. Sehingga tak ada alasan yang kuat untuk
dijadikan argumen dalam masalah ini.
Akan tetapi, bukan berarti pertanyaan di atas
tidak memiliki jawaban. Pembahasan kita ini masih berhenti di tanda koma (,).
Sebab masih ada pertanyaan yang perlu kita jawab: apakah setiap doktrin agama harus didasarkan pada alasan-alasan
rasional, yang pada gilirannya akan menutup ruang terhadap diterimanya suatu
ketetapan yang tidak bisa diterima oleh akal? Tenju saja jawabannya adalah tidak. Sebab Islam adalah agama yang
didasarkan pada wahyu Ilahi, yakni al-Qur’an dan Hadis Nabi r. Islam tidak didasarkan pada rasio an sich yang kemudian
menutup ruang untuk menerima ajaran yang sama sekali jauh dari jangkauan akal
manusia. Itulah sebabnya dalam salah satu atsâr Sayyidina Ali t berkata:
لَوْ كَانَ الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى
بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلَاهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ. (رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ)
“Seandainya
agama didasarkan pada alasan-alasan rasional niscaya mengusap bagian bawah
sepatu lebih baik daripada mengsuap bagian atasnya. Akan tetapi saya
benar-benar telah milihat Rasulullah mengusap bagian atas sepatunya.” (HR. Abu Dawud dengan isnad hasan).
Atsar Sayyidina Ali t ini adalah dasar yang dijadikan pedoman oleh umat
Islam ahlus sunnah wal jamaah yang kerap menggunakan pendekatan ta’abbudy atau ghairu
ma’kul al-makna untuk menerima ketetapan agama yang tidak mampu untuk
dinalar. Umat Islam sepakat bahwa keabsahan ajaran agama Islam tidak didasarkan
pada alasan-alasan rasional. Maka, menurut Syaikh Atiyyah
Shaqr, cara terbaik untuk menyikapi
pembatasan empat orang perempuan dalam berpoligami adalah tidak memberikan
alasan apapun dan menerima ketetapan Allah I dengan apa adanya. Sebab, bagaimanapun, kita memang tidak perlu alasan apapun untuk
menerima ketetapan agama semisal pembatasan jumlah pasangan dalam berpoligami.
Dan, lebih dari itu, pada dasarnya alasan-alasan pembatasan jumlah
poligami yang telah dikemukakan oleh para ulama dia atas sejatinya mengacu pada
hikmah. Dan sebagaimana dimaklumi, hikmah tidak harus berupa alasan yang
rasional serta mundlabith (memiliki batasan dan karakteristik yang
jelas) seperti halnya illat (kausa). Mengenai pembahasan hikmah dan illat
ini, akan kami bahas pada pembahasan selanjutnya. walLâhu a’lamu bish
shawâb.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar