Sangat logis bahwa yang
paling pantas menafsiri al-Quran adalah orang yang membawa al-Quran itu
sendiri, Nabi Muhammad e. Beliaulah yang paling
memahami apa yang dimaksud dalam al-Quran. Jelas.
Dan sangat rasional bahwa
yang paling mengerti pada apa yang dikehendaki Nabi e adalah para sahabatnya.
Mereka paham betul pada kondisi saat itu, karakter lawan bicara dalam teks
hadis, dan hal-hal lain yang tak tertulis dalam teks. Selain itu, mereka juga
memiliki karakter bahasa Arab yang masih murni, sehingga lebih kuat dalam
memahami nash al-Quran dan Hadis. Saksi sejarah jelas lebih paham dari sekadar
peneliti sejarah.
Dalam sebuah Hadis sahih
Rasulullah e bersabda, “Sebaik-baik
manusia adalah zamanku, lalu orang-orang setelahnya, lalu orang-orang
setelahnya. Kemudian datanglah golongan-golongan yang persaksiannya mendahului
sumpahnya, dan sumpahnya mendahului persaksiannya”[1]. Tiga generasi awal
itulah yang disebut dengan salaf, yaitu masa Rasulullah e beserta sahabat, masa tabiin, dan
masa tabi tabiin. Merekalah golongan yang dipastikan baik oleh Rasulullah e. Sehingga golongan manapun yang
berusaha untuk sama dengan mereka, juga akan berada dalam kebaikan seperti
mereka.[2]
Aswaja adalah paham untuk
meniru ajaran Rasulullah e dan para sahabatnya. Di mana
ajaran itu mencakup semua aspek kehidupan beliau dan para sahabat yang dipahami
oleh generasi tabiin serta para ulama selanjutnya.
Secara umum, ideologi dan
perilaku Aswaja dapat terangkum dalam tiga ajaran pokok, yaitu Iman, Islam, dan
Ihsan. Iman terwujud dengan meyakini semua hal yang telah diajarkan oleh
Rasulullah e. Islam dapat terwujud
dengan melaksanakan hukum dan aturan fikih yang telah ditetapkan oleh al-Quran
dan Hadis dengan berbagai perangkat pemahamannya. Sedangkan Ihsan dapat
terwujud dengan menghayati hidup dan bertasawuf mengharap ridha Allah I seperti yang dilakukan oleh
Rasulullah e dan para sahabat dalam
kehidupan mereka sehari-hari. Untuk itu berikut jabaran dari ketiga ajaran
tersebut:[3]
1.
Iman
Iman adalah keyakinan hati
seorang mukmin terhadap kebenaran ajaran-ajaran Islam, baik itu meliputi
hal-hal tentang ketuhanan, tentang kenabian, dan tentang hal-hal gaib yang
telah dijelaskan dalam al-Quran dan Hadis.
a.
Keyakinan tentang ketuhanan
Secara umum, rangkuman
keyakinan tentang Tuhan ini adalah untuk memproteksi seorang mukmin agar tidak
meyakini salah tentang Tuhan dengan mengetahui ciri-ciri Tuhan itu sendiri. Dalam
karyanya Umm al-Barahin, ad-Dasuqi mendefinisikan Tuhan dengan sangat
gamblang, beliau menyatakan: Tuhan adalah dzat yang tidak butuh pada apapun dan
segala sesuatu selain dia butuh pada-Nya. Untuk itu, harus diyakini bahwa Tuhan
maha sempurna. Segala kekurangan dan ketidak-layakan tidak boleh disandarkan
pada-Nya. Misalnya, Tuhan itu berubah menjadi manusia (keyakinan trinitas umat
Kristen). Itu akan menyebabkan bahwa Tuhan – yang asalnya kuat (tanpa
kelemahan) – tiba-tiba menjadi lemah, butuh pada makanan dan minuman, butuh
pada udara, dan lain sebagainya.
Untuk
itu, kita perlu mengetahui ciri-ciri (sifat) Tuhan Yang Maha Kuasa. Di mana
sifat-sifat kesempurnaan-Nya terangkum dalam:
-
Meyakini bahwa Allah memiliki
sifat-sifat mulia yang terangkum dalam 20 sifat wajib bagi Allah
-
Meyakini bahwa Allah tidak memiliki
satupun sifat kekurangan yang terangkum dalam 20 sifat mustahil bagi Allah
-
Meyakini bahwa Allah dalam mentakdirkan
dan menentukan sesuatu tanpa keterpaksaan
b.
Keyakinan tentang kenabian
-
Meyakini bahwa para nabi dan utusan
Allah berperangai dengan sifat-sifat mulia yang terangkum dalam 4 sifat wajib,
dan tidak mungkin memiliki perangai buruk yang terangkum dalam 4 sifat mustahil,
sekaligus mereka berhak untuk melakukan perilaku manusiawi.
-
Meyakini kebenaran kitab-kitab Allah
yang diturunkan kepada para nabi dan utusan
-
Meyakini kebenaran mukjizat-mukjizat
para nabi dan utusan
c.
Keyakinan tentang hal-hal gaib
-
Meyakini bahwa Allah menciptakan
makhluk gaib seperti dalam al-Quran dan Hadis, yaitu malaikat, setan, dan jin
dengan segala sifat dan perilakunya
-
Meyakini bahwa hari kiamat dan
hal-hal gaib setelahnya seperti kebangkitan dari kubur, hisab, syafaat nabi, surga
dan neraka adalah benar
-
Meyakini cerita al-Quran dan Hadis
tentang peristiwa-peristiwa sebelum kiamat seperti Dajjal, Yakjuj Makjuj, dan
turunnya Nabi Isa adalah benar
2.
Fikih
Fikih adalah aturan yang
ditetapkan Allah tentang segala perilaku mukmin. Aturan itu dipahami dari
al-Quran dan Hadis oleh para ulama yang memiliki kemampuan tentang itu yang
terjabarkan dalam bentuk aliran fikih yang disebut madzhab. Untuk saat ini,
dari sekian banyak madzhab yang berkembang di masa awal Islam, hanya ada 4
madzhab yang sanggup bertahan untuk disampaikan dari generasi ke generasi,
yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali. Sedangkan yang lain sudah
tidak ada generasi yang meneruskan, maka madzhabnya tidak terjaga keasliannya.[4]
Secara global cakupan
fikih meliputi:
a.
Fikih ibadah, yaitu aturan fikih yang
berkenaan dengan tata-cara beribadah kepada Allah dan hal-hal terkait
b.
Fikih muamalah, yaitu aturan fikih
yang berkenaan dengan bersosial, melakukan transaksi, hukum perdata, dan
hal-hal terkait
c.
Fikih faraid, yaitu aturan fikih yang
berkenaan dengan hukum warisan
d.
Fikih munakahah, yaitu aturan fikih
dalam pernikahan dan hal-hal terkait
e.
Fikih jinayah, yaitu aturan fikih
yang berkenaan dengan politik, hukum pidana, perbudakan, dan hal-hal terkait
3.
Tasawuf
Tasawuf adalah usaha untuk
menjaga hati agar dalam berperilaku dan bertingkah laku selalu menuju satu
harapan, yakni mengharap ridha Allah SWT sebagai wujud dari Ihsan. Hal itu
terwujud dengan mengetahui seluk-beluk penyakit hati dan mengobatinya dengan
senantiasa bermujahadah dengan amal baik serta selalu bermunajat kepada Allah
SWT. Secara umum konsep tasawuf terbagi menjadi dua bagian:
a.
Menghiasi diri dengan perangai baik
yang secara global terangkum dalam beberapa sifat berikut:
-
Takwa, artinya senantiasa takut
kepada Allah yang terwujud dalam bentuk mentaati aturan-Nya dan menghindari
larangan-Nya
-
Tawakkal, artinya senantiasa pasrah
dan berperasangka baik kepada Allah atas semua yang Dia takdirkan
-
Ikhlas, artinya senantiasa murni mengharap
ridha Allah dengan tidak mengharap hal-hal duniawi
-
Zuhud, menghindari hal-hal duniawi
-
Introspeksi diri dan Rendah hati,
artinya senantiasa melihat kekuarang diri sendiri dan tidak menganggap diri
lebih baik dari orang lain
-
Mujahadah, artinya melatih hati
dengan terus-menerus melakukan hal-hal baik
b.
Menghindari perangai buruk yang
secara global terangkum dalam beberapa sifat berikut:
-
Tamak, artinya mengharap kenikmatan
orang lain agar berpindah padanya
-
Dengki, artinya tidak suka bila
melihat orang lain mendapatkan nikmat
-
Sombong, artinya menganggap diri
sendiri lebih baik dari orang lain
-
Riya’, artinya dalam berperilaku
selalu pamrih dan mengharap hal-hal duniawi
Selain penjelasan sifat-sifat di atas, tasawuf sejatinya
terletak pada perilaku bukanlah pada teori. Penghayatan terhadap sejarah Nabi r, sahabat y, para ulama, dan para
sufi adalah bagian terbesar dalam menumbuhkan dasar-dasar tasawuf di dalam
hati. Di mana selanjutnya mujahadah melawan nafsu dan mensucikan hati adalah
suatu kewajiban guna mencari ridha Allah I, karena jiwa setiap
mukmin, bahkan setiap manusia pastilah merindukan Tuhannya. Wallahu A’lam.
[1] Hadis ini
diriwayatkan oleh Muhammad bin Katsir bercerita padanya Sufyan dari Mansur dari
Ibrahim dari Abidah dari Abdullah t dari Nabi r
(2652, Shahih Bukhari), oleh Hasan bin Ali al-Hulwani bercerita padanya Azhar
bin Said as-Samman dari Ibnu Aun dari Ibrahim dari Abidah dari Abdullah dari
Nabi r
(6635, Shahih Muslim).
[2] Sesuai dengan
keterangan dalam al-Quran at-Thur ayat 21: “Dan orang-orang yang beriman yang
keturunan mereka mengikuti mereka dengan iman, Kami akan temukan dengan mereka
keturunan mereka.”
[3] Keterangan
berikut adalah disarikan dari Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Allam al-Ghuyub,
Muhammad Amin bin Fath Zadah al-Kurdi.
[4] Keterangan
lebih lengkap, baca: Nadzrah Tarikhiyah fi Huduts al-Madzahib al-Fiqhiyah
al-Arba’ah, Ahmad Timur Basya, hal. 47-48, Dar al-Qadiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar