Definisi
Poligami
Poligami berarti sebuah sistem perkawinan di mana salah satu pihak
memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan
(KBBI). Selanjutnya, dalam pengertiannya yang masih
umum, poligami terbagi
menjadi dua kategori, yaitu poligini dan
poliandri. Poligini adalah pernikahan seorang laki-laki dengan dua orang
perempuan atau lebih. Sedangkan poliandri adalah pernikahan seorang perempuan
dengan dua orang laki-laki atau lebih. Di dalam Islam, poligini diizinkan
secara terbatas dan dengan seperangkat persyaratan yang cukup ketat. Sedangkan
poliandri diharamkan secara mutlak.[1] Pada pembahasan selanjutnya kata
“poligami” akan dikonotasikan pada makna “poligini”.
Poligami dalam Agama
Non-Islam
Perlu kami tegaskan sebelumnya bahwa Islam bukan agama pertama yang
menerapkan sistem perkawinan secara poligamis. Jauh sebelum kedatangan
Islam poligami telah diterapkan di berbagai daerah di penjuru dunia. Bahkan saat itu perkawinan secara poligamis dilakukan hingga jumlah yang tak terbatas.
Di Australia, misalnya, seorang laki-laki boleh
menikahi perempuan
secara poligamis hingga jumlah yang tak terbatas selama dia
mampu untuk menafkahi istri-istrinya.[2] Akal halnya Australia, di Mesir poligami juga dilakukan hingga jumlah yang tidak terbatas. Penduduk Mesir Kuno, khususnya kalangan elit (baca: penguasa), banyak yang melakukan
perkawinan secara poligami. Di antara
raja-raja Mesir yang berpoligami adalah Amenhotep I, Amenhotep II, Amenhotep III, Amenopes II, Amenopes III, Amenopes IV dan Ramses
II. Konon Ramses II memiliki keturunan sebanyak 162 anak dimana 111 di
antaranya adalah laki-laki.
Pada zaman Mesir kuno raja-raja memperbanyak
istri sebagai kepentingan politik. Umumnya mereka
menikahi perempuan dari daerah yang menjadi rival politiknya. Dengan pernikahan
ini diharapkan dapat terjalin sebuah hubungan yang harmonis antara kedua kubu politik yang saling bersitegang itu.
Sementara itu Hamurabi, seorang raja Babilonia yang hidup satu periode dengan Nabi
Ibrahim u, memiliki undang-undang khusus yang terdiri dari 282 item. Undang-undang dibuat untuk mengatur masalah kekeluargaan, yang salah satu isinya, antara lain, seorang laki-laki
diperbolehkan berpoligami.
Sungguhpun demikian, menurut Dr. Mahmud Salam Zanaty undang-undang Hamurabi, khusunya yang menyangkut masalah poligami, hanya boleh dilakukan apabila memenuhi salah satu dari tiga persyaratan berikut:
1.
Laki-laki boleh berpoligami apabila istrinya memiliki sifat yang
tidak baik. Misalnya selalu keluar rumah,
jarang pulang atau merendahkan martabat suaminya.
2.
Apabila
sang istri mandul dan melarang suaminya untuk menikah lagi.
3.
Sang istri dalam keadaan sakit sehingga tidak bisa memenuhi
kewajibannya sebagai seorang istri.
Selain Hamurabi ada juga kaum ash-Shobiah, para penyembah
bintang, yang membahas secara rinci mengenai poligami. Seperti halnya Australia dan Mesir, mereka juga memperbolehkan perlawinan secara poligamis hingga
jumlah yang tidak terbatas.
Cina juga termasuk salah satu negara yang
melegalkan poligami. Cina mempunyai gagasan untuk mentiadakan
undang-undang pernikahan dan perceraian dan memberikan kebebasan yang absolut kepada
penduduknya untuk melakukan apapun yang dianggap baik oleh mereka.
Bahkan Cina memperbolehkan masyarakatnya untuk membeli para gadis
dengan sistem nikah muth’ah (kawin kontrak). Mereka juga menetapkan
bahwa anak dari hasil perkawinan tersebut dianggap sebagai anak yang sah. Sungguhpun demikian, di Cina poligami
hanya di khususkan bagi kalangan elit. Sehingga bagi kalangan non-elit tidak
boleh berpoligami kecuali jika istri mereka tidak bisa memberi keturunan selama rentang waktu dua puluh tahun.
Di Persia (Iran) keadaannya tidak jauh berbeda dengan negara-negara
sebelumnya. Setelah datangnya ajaran Zoroaster, Persia
memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk berpoligami hingga jumlah yang
tak terbatas. Bahkan, Iran
menghalalkan perkawinan seorang ayah dengan puteri kandungnya. Itulah sebabnya mengapa Yazdasir II, yang memerintah pada
pertengahan abad kelima Masehi, mengawini anak kandung perempuannya.[3]
Sedangkan Yunani memiliki filsafat sendiri tentang poligami. Umumnya
masyarakat Yunani menganut filsafat Plato yang mengatakan bahwa poligami adalah
asas bagi tatanan rumah tangga. Karenanya, adalah wajar apabila Philip dan
Alexander Agung, misalnya, memiliki istri lebih dari satu. Yunani juga berpendapat
bahwa poligami boleh dilakukan tanpa batas. Bahkan mereka melegalkan
praktek penjualan kaum wanita (illegal loging).
Romawi juga termasuk negara yang sangat mendukung terhadap praktek
poligami. Akan tetapi, pada akhirnya mereka membuat semacam kebijakan untuk
membatasi perkawinan hanya dengan seorang perempuan saja (monogami). Namun
demikian seorang lelaki yang telah beristri tetap
diperkenankan memiliki budak perempuan hingga jumlah yang tidak terbatas.
Sementara Arab, sebagai tanah kelahiran Islam, keadaannya tidak jauh
berbeda dengan negara-negara sebelumnya. Pada masa jahiliyah mayoritas penduduk
Arab mempunyai istri lebih dari satu bahkan sampai sepuluh, yang tujuannya
adalah memperbanyak keturunan, khususnya anak laki-laki, untuk mengantisipasi
terjadinya peperangan dan untuk dijadikan pemimpin. Fakta ini setidaknya dapat dilihat
dari peristiwa sahabat Ghilan ats-Tsaqafi pada awal-awal masuk Islam yang memiliki
sepuluh orang istri.[4]
Bahkan, selain sistem
perkawinan poligami (ta’adduduz zaujât), orang-orang Arab jahilyah memiliki sistem
perkawinan yang lain. Macam-macam perkawinan yang kemudian dihapus oleh
Rasulullah r itu, antara lain (1) Nikah al-Khidln,
yaitu perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan secara
sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah. Bagi masyarakat Arab perkawinan semacam
ini bukanlah suatu kesalahan selama dilakukan dalam keadaan yang sangat rahasia
dan terjaga, (2) Nikah al-Badal, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh
dua orang suami yang bersepakat tukar-menukar istri tanpa talak. Tujuan dari
pernikahan ini tiada lain kecuali untuk memuaskan nafsu seksual belaka, (3) Nikah
al-Istibdha’ , yaitu perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang
perempuan, lalu isterinya diperintah oleh suaminya untuk berhubungan badan
dengan laki-laki lain yang dipandang terhormat karena status sosialnya. Setelah
diketahui hamil, suami mengambil kembali istrinya, dan bergaul sebagaimana
layaknya pasangan suami-istri. Tujuan utama dari pernikahan ini adalah untuk
memperoleh anak yang memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki oleh orang
terhormat tersebut, (4) Nikah al-Rahthu (kelompok), yaitu perkawinan
beberapa orang lelaki dengan seorang perempuan. Setelah hamil dan melahirkan,
perempuan itu memanggil semua laki-laki yang menggaulinya, lalu menunjuk salah
seorang di antara mereka sebagai ayah dari bayi yang dilahirkannya, tanpa ada
toleransi untuk menolak, dan (5) Nikah asy-Syighar, yaitu seorang
laki-laki mengawinkan anak perempuannya tanpa menerima mahar, tetapi dengan
imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuan
yang ada dalam pemeliharannya.[5]
Dr. Ali Abdul Wahid Wafi, yang dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam fiqh
as-Sunnah-nya, mengatakan bahwa sejatinya poligami telah dilakukan di
berbagai daerah di penjuru dunia seperti Rusia, Estonia, Bolonia, Jerman,
Almania, Belgia, Holandia, Danmark, Nerwijk dll. Bahkan, tambahnya, sampai saat
ini poligami terus dilakukan di negara-neagra non-Islam seperti Afrika, India
dan Cina.[6]
Hingga kini, kecenderungan berpoligami tidak dapat dihilangkan dari
sebagian masyarakat Afrika. Mereka memperbolehkan poligami tanpa batas. Hanya
saja, penduduk muslim Afrika lebih membatasi diri dengan mengikuti
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Sedangkan
penduduk Kristen, mereka selalu dihadapkan pada dua opsi, (1) mereka menolak
terhadap poligami karena mengikuti ajaran gereja. Dan (2) mendukung serta
melakukan poligami untuk melestarikan kebudayaan yang telah mengakar kuat dalam
masyaratnya.
Hal yang serupa juga terjadi di Sudan dan Nigeria. Kedua daerah
tersebut memperbolehkan poligami dalam jumlah yang tak terbatas. Bahkan di
Kongo, ditemukan seorang raja yang memiliki 415 istri selama masa hidupnya
antara tahun 1873-1894 Masehi. Ada juga seorang raja dari kabilah Bakuya, klan
yang dukup populer di Kongo, yang memiliki 300 orang istri.[7]
Selanjutnya, fakta yang juga perlu kami ungkapkan disini adalah,
bahwa pada masa pra Islam kaum perempaun tidak memiliki hak dan kedudukan
apapun di mata masyarakat. Dalam ajaran Hamurabi, misalnya, status kaum perempuan
dianggap tak lebih dari sekadar hewan peliharaan. Sehingga ketika ada seorang
laki-laki membunuh seorang perempuan, misalnya, ia berkewajiban menyerahkan
anak perempuannya untuk dibunuh atau dimiliki. Sedangkan bagi bangsa Romawi
seorang laki-laki memiliki kekuasaan penuh atas seorang wanita; laki-laki boleh
memiliki perempuan seperti halnya benda-benda tak berharga, seorang perempuan
tidak mempunyai hak apapun dalam segala hal, termasuk kemerdekaan untuk memilih
seorang suami.
Dalam tradisi yang sudah mengakar di bangsa Iran perempuan boleh
diperjual-belikan layaknya sebuah barang dagangan. Iran menempatkan posisi kaum
perempuan tak lebih dari seorang budak tawanan yang tak memiliki kedudukan
apapun sehingga boleh diperjual-belikan. Yang lebih parah lagi, bangsa Iran
memperbolehkan menikahi perempuan yang memiliki hubungan darah (mahram).
Menikahi ibu, bibik, dan saudari sekandung adalah hal yang wajar dan legal bagi
bangsa Iran.
Sedangkan bangsa India menganggap kaum wanita tidak memilki hak
independen dari suami dan orang tuanya. Menurut mereka, perempaun tidak
memiliki hak untuk hidup setelah ditinggal mati oleh suaminya, ia wajib
dimusnahkan pada saat kematian suaminya dengan cara dibakar bersama suaminya
dalam satu perapian yang sama. Menurut salah satu ajaran bangsa India perempuan
adalah makhluk yang paling paling menjijikkan di muka bumi. Sebab kematian,
racun dan neraka ada di bawah kaki mereka.
Sementara menurut bangsa Cina perempuan tidak lebih dari alat untuk
melakukan kesenangan dan pemuas nafsu. Di Cina eksploitasi terhadap kaum
wanita terjadi secara besar-besaran.
Bahkan, dinasti Kun yang berkuasa pada waktu itu memiliki sekitar tiga puluh
ribu perempuan.
Sementara itu bangsa Yahudi menganggap kaum wanita sebagai makhluk
terkutuk karena telah menjerumuskan Nabi Adam u pada lembah kemaksiatan. Di dalam kitab Talmud dijelaskan bahwa
kaum wanita lebih pahit daripada kematian dan orang yang baik di sisi Allah I akan diselamatkan darinya. Sedangkan menurut ajaran Kristen,
sebagaimana yang dikemukakan oleh pemuka agama mereka, penikahan merupakan
suatu yang kotor dan rendah yang harus dijauhi. Pada gilirannya paradigma ini
memunculkan pandangan lain di kalangan Kristen, bahwa orang yang memfokuskan
diri untuk beribadah kapada Allah I lebih baik dari orang yang menikah.
Sedangkan di kalangan masyarakat Arab, yang merupakan jalur
penghubung kegiatan perdagangan antara Barat dan Timur, telah terjadi
penyimpangan agama dari jalan lurus yang telah digariskan oleh Nabi Ibrahim,
Musa dan Isa u. Sehingga wajar jika bansa Arab jahiliyah menerapkan beberapa
sistem pernikahan seperti poligami, nikah kontrak (muth’ah), nikah hidln
dll. Membunuh anak perempuan hidup-hidup dan memposisikan kaum wanita sebagai
warisan dari ayah kepada anak-anaknya adalah fakta yang nyaris menjadi tradisi
menyeluruh di kalangan bangsa Arab.
Bagi bangsa Arab jahilyah, perempuan tidak memiliki status dan
kedudukan apapun di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak diperkenankan
mengambil bagian dari harta warisan. Harta warisan hanya berhak dimiliki oleh
kaum laki-laki yang memiliki peran penting dalam memeberikan perlindungan dan
melaksanakan peperangan. Bagi mereka, kekerabatan dari jalur wanita sama sekali
tidak diperhitungkan.
Dalam kaitannya dengan kebudayaan orang Arab, seorang istri tidak
memiliki kehormatan apapun di rumah suaminya. Bahkan, bagi sebagian kabilah,
seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya akan menjadi warisan anak
laki-laki tertua yang dihasilkan dari istrinya yang lain. Lebih dari itu,
sebagian masyarakat Arab menganggap kelahiran seorang anak perempuan sebagai
suatu aib sehingga tak jarang dari mereka yang mengubur anak perempuannya
hidup-hidup demi menghindari hinaan kerabat dan anggota kabilahnya. Allah I berfirman:
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا
وَهُوَ كَظِيْمٌ يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَابُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ
عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (النحل [16]:
58-59)
“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan
dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan
kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah
akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah
buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58-59).
وَإِذَا الْمَوْءُدَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (التكوير
[81]: 8-9)
“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya,
karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS.
At-Takwir [81]: 8-9).
Dan diriwayatkan dari Imam Muslim dari Umar bin Khattab t bahwa beliau berkata:
“Demi Allah, pada masa jahiliyah wanita tidak kami anggap sebagai apapun. Sehingga Allah menurunkan bagi mereka tuntunan yang
menjelaskan kemaslahatan bagi mereka dan Allah memberi bagian harta tertentu
dalam perkara warisan.” (HR.
Muslim).
Demikianlah gambaran singkat mengenai sejarah
poligami dan kedudukan kaum perempuan pada masa pra-Islam. Selanjutnya, kita bisa melihat dengan jelas bahwa tuduhan
deskrimintif yang dialamatkan kepada Islam selama ini adalah tuduhan yang tidak
didasarkan pada fakta apapun. Jika selama ini Islam dituduh sebagai agama yang ajaran-ajarannya
menyudutkan dan merendahkan martabat kaum wanita, di sini justru kita melihat
fakta yang paradoksal. Maka, pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa
orang-orang yang selama ini melabeli Islam dengan stigma-stigma negatif,
sejatinya mereka sedang meneriaki kebodohannya sendiri.
[1] Dr. Zakir
Naik, Mereka bertanya Islam menjawab: Pertanyaan Mengganjal tentang
Islam yang sering diajukan Orang Awam dan non-Muslim,
hal 133
[2]
‘Athiyah Shaqr, Mausu’ah
al-Usrah Tahta Ri’âyah al-Islâm: Musykilât
al-Usrah, vol. 6 hal 36.
[3] Dr. Sa’id
Ramadhan al-Buthy, Sirah an-Nabawiyyah, hal 8
[4]
‘Athiyyah
Syaqr, op. cit,
vol. 6
hal. 36-39
[5]Lihat dalam: Abi Abdillah
Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibnu al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari
al-Ju’fi, Shahih al-Bukhari, nomro Hadis: 5112 dan 5115, Shafi
ar-Rahmân al-Mubârakfûri, Ar-Rahîq al-Makhtûm, hal. 43-44,
Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol. 2 hal. 6
[6] Ibid, hal. 109
[7] Athiyyah
Syaqr, op. cit, vol. 6
hal. 85-86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar