Senin, 21 September 2020

Menguak Hakikat Poligami (1)

 


Definisi Poligami

Poligami berarti sebuah sistem perkawinan di mana salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan (KBBI). Selanjutnya, dalam pengertiannya yang masih umum, poligami terbagi menjadi dua  kategori, yaitu poligini dan poliandri. Poligini adalah pernikahan seorang laki-laki dengan dua orang perempuan atau lebih. Sedangkan poliandri adalah pernikahan seorang perempuan dengan dua orang laki-laki atau lebih. Di dalam Islam, poligini diizinkan secara terbatas dan dengan seperangkat persyaratan yang cukup ketat. Sedangkan poliandri diharamkan secara mutlak.[1] Pada pembahasan selanjutnya kata “poligami” akan dikonotasikan pada makna “poligini”.

 

 Poligami dalam Agama Non-Islam

Perlu kami tegaskan sebelumnya bahwa Islam bukan agama pertama yang menerapkan sistem perkawinan secara poligamis. Jauh sebelum kedatangan Islam poligami telah diterapkan di berbagai daerah di penjuru dunia. Bahkan saat itu perkawinan secara poligamis dilakukan hingga jumlah yang tak terbatas.

Di Australia, misalnya, seorang laki-laki boleh menikahi perempuan secara poligamis hingga jumlah yang tak terbatas selama dia mampu untuk menafkahi istri-istrinya.[2] Akal halnya Australia, di Mesir poligami juga dilakukan hingga jumlah yang tidak terbatas. Penduduk Mesir Kuno, khususnya kalangan elit (baca: penguasa), banyak yang melakukan perkawinan secara poligami. Di antara raja-raja Mesir yang berpoligami adalah Amenhotep I, Amenhotep II, Amenhotep III, Amenopes II, Amenopes III, Amenopes IV dan Ramses II. Konon Ramses II memiliki keturunan sebanyak 162 anak dimana 111 di antaranya adalah laki-laki.

Pada zaman Mesir kuno raja-raja memperbanyak istri sebagai kepentingan politik. Umumnya mereka menikahi perempuan dari daerah yang menjadi rival politiknya. Dengan pernikahan ini diharapkan dapat terjalin sebuah hubungan yang harmonis antara kedua kubu politik yang saling bersitegang itu.

Sementara itu Hamurabi, seorang raja Babilonia yang hidup satu periode dengan Nabi Ibrahim u, memiliki undang-undang khusus yang terdiri dari 282 item. Undang-undang dibuat untuk mengatur masalah kekeluargaan, yang salah satu isinya, antara lain, seorang laki-laki diperbolehkan berpoligami.

Sungguhpun demikian, menurut Dr. Mahmud Salam Zanaty undang-undang Hamurabi, khusunya yang menyangkut masalah poligami, hanya boleh dilakukan apabila memenuhi salah satu dari tiga persyaratan berikut:

1.    Laki-laki boleh berpoligami apabila istrinya memiliki sifat yang tidak baik. Misalnya selalu  keluar rumah, jarang pulang atau merendahkan martabat suaminya.

2.    Apabila sang istri mandul dan melarang suaminya untuk menikah lagi.

3.    Sang istri dalam keadaan sakit sehingga tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang istri.

Selain Hamurabi ada juga kaum ash-Shobiah, para penyembah bintang, yang membahas secara rinci mengenai poligami. Seperti halnya Australia dan Mesir, mereka juga memperbolehkan perlawinan secara poligamis hingga jumlah yang tidak terbatas.

Cina juga termasuk salah satu negara yang melegalkan poligami. Cina mempunyai gagasan untuk mentiadakan undang-undang pernikahan dan perceraian dan memberikan kebebasan yang absolut kepada penduduknya untuk melakukan apapun yang dianggap baik oleh mereka.

Bahkan Cina memperbolehkan masyarakatnya untuk membeli para gadis dengan sistem nikah muth’ah (kawin kontrak). Mereka juga menetapkan bahwa anak dari hasil perkawinan tersebut dianggap sebagai anak yang sah. Sungguhpun demikian, di Cina poligami hanya di khususkan bagi kalangan elit. Sehingga bagi kalangan non-elit tidak boleh berpoligami kecuali jika istri mereka tidak bisa memberi keturunan selama rentang waktu dua puluh tahun.

Di Persia (Iran) keadaannya tidak jauh berbeda dengan negara-negara sebelumnya. Setelah datangnya ajaran Zoroaster, Persia memberikan kebebasan kepada penduduknya untuk berpoligami hingga jumlah yang tak terbatas. Bahkan, Iran menghalalkan perkawinan seorang ayah dengan puteri kandungnya. Itulah sebabnya mengapa Yazdasir II, yang memerintah pada pertengahan abad kelima Masehi, mengawini anak kandung perempuannya.[3]

Sedangkan Yunani memiliki filsafat sendiri tentang poligami. Umumnya masyarakat Yunani menganut filsafat Plato yang mengatakan bahwa poligami adalah asas bagi tatanan rumah tangga. Karenanya, adalah wajar apabila Philip dan Alexander Agung, misalnya, memiliki istri lebih dari satu. Yunani juga berpendapat bahwa poligami boleh dilakukan tanpa batas. Bahkan mereka melegalkan praktek penjualan kaum wanita (illegal loging).

Romawi juga termasuk negara yang sangat mendukung terhadap praktek poligami. Akan tetapi, pada akhirnya mereka membuat semacam kebijakan untuk membatasi perkawinan hanya dengan seorang perempuan saja (monogami). Namun demikian seorang lelaki yang telah beristri tetap diperkenankan memiliki budak perempuan hingga jumlah yang tidak terbatas.

Sementara Arab, sebagai tanah kelahiran Islam, keadaannya tidak jauh berbeda dengan negara-negara sebelumnya. Pada masa jahiliyah mayoritas penduduk Arab mempunyai istri lebih dari satu bahkan sampai sepuluh, yang tujuannya adalah memperbanyak keturunan, khususnya anak laki-laki, untuk mengantisipasi terjadinya peperangan dan untuk dijadikan pemimpin. Fakta ini setidaknya dapat dilihat dari peristiwa sahabat Ghilan ats-Tsaqafi pada awal-awal masuk Islam yang memiliki sepuluh orang istri.[4]

Bahkan, selain sistem perkawinan poligami (ta’adduduz zaujât), orang-orang Arab jahilyah memiliki sistem perkawinan yang lain. Macam-macam perkawinan yang kemudian dihapus oleh Rasulullah r itu, antara lain (1) Nikah al-Khidln, yaitu perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan secara sembunyi-sembunyi tanpa akad yang sah. Bagi masyarakat Arab perkawinan semacam ini bukanlah suatu kesalahan selama dilakukan dalam keadaan yang sangat rahasia dan terjaga, (2) Nikah al-Badal, yaitu pernikahan yang dilakukan oleh dua orang suami yang bersepakat tukar-menukar istri tanpa talak. Tujuan dari pernikahan ini tiada lain kecuali untuk memuaskan nafsu seksual belaka, (3) Nikah al-Istibdha’ , yaitu perkawinan antara seorang lelaki dengan seorang perempuan, lalu isterinya diperintah oleh suaminya untuk berhubungan badan dengan laki-laki lain yang dipandang terhormat karena status sosialnya. Setelah diketahui hamil, suami mengambil kembali istrinya, dan bergaul sebagaimana layaknya pasangan suami-istri. Tujuan utama dari pernikahan ini adalah untuk memperoleh anak yang memiliki sifat-sifat terpuji yang dimiliki oleh orang terhormat tersebut, (4) Nikah al-Rahthu (kelompok), yaitu perkawinan beberapa orang lelaki dengan seorang perempuan. Setelah hamil dan melahirkan, perempuan itu memanggil semua laki-laki yang menggaulinya, lalu menunjuk salah seorang di antara mereka sebagai ayah dari bayi yang dilahirkannya, tanpa ada toleransi untuk menolak, dan (5) Nikah asy-Syighar, yaitu seorang laki-laki mengawinkan anak perempuannya tanpa menerima mahar, tetapi dengan imbalan laki-laki itu memberikan pula anak perempuan atau saudara perempuan yang ada dalam pemeliharannya.[5]

Dr. Ali Abdul Wahid Wafi, yang dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam fiqh as-Sunnah-nya, mengatakan bahwa sejatinya poligami telah dilakukan di berbagai daerah di penjuru dunia seperti Rusia, Estonia, Bolonia, Jerman, Almania, Belgia, Holandia, Danmark, Nerwijk dll. Bahkan, tambahnya, sampai saat ini poligami terus dilakukan di negara-neagra non-Islam seperti Afrika, India dan Cina.[6]

Hingga kini, kecenderungan berpoligami tidak dapat dihilangkan dari sebagian masyarakat Afrika. Mereka memperbolehkan poligami tanpa batas. Hanya saja, penduduk muslim Afrika lebih membatasi diri dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam syariat Islam. Sedangkan penduduk Kristen, mereka selalu dihadapkan pada dua opsi, (1) mereka menolak terhadap poligami karena mengikuti ajaran gereja. Dan (2) mendukung serta melakukan poligami untuk melestarikan kebudayaan yang telah mengakar kuat dalam masyaratnya.

Hal yang serupa juga terjadi di Sudan dan Nigeria. Kedua daerah tersebut memperbolehkan poligami dalam jumlah yang tak terbatas. Bahkan di Kongo, ditemukan seorang raja yang memiliki 415 istri selama masa hidupnya antara tahun 1873-1894 Masehi. Ada juga seorang raja dari kabilah Bakuya, klan yang dukup populer di Kongo, yang memiliki 300 orang istri.[7]

Selanjutnya, fakta yang juga perlu kami ungkapkan disini adalah, bahwa pada masa pra Islam kaum perempaun tidak memiliki hak dan kedudukan apapun di mata masyarakat. Dalam ajaran Hamurabi, misalnya, status kaum perempuan dianggap tak lebih dari sekadar hewan peliharaan. Sehingga ketika ada seorang laki-laki membunuh seorang perempuan, misalnya, ia berkewajiban menyerahkan anak perempuannya untuk dibunuh atau dimiliki. Sedangkan bagi bangsa Romawi seorang laki-laki memiliki kekuasaan penuh atas seorang wanita; laki-laki boleh memiliki perempuan seperti halnya benda-benda tak berharga, seorang perempuan tidak mempunyai hak apapun dalam segala hal, termasuk kemerdekaan untuk memilih seorang suami.

Dalam tradisi yang sudah mengakar di bangsa Iran perempuan boleh diperjual-belikan layaknya sebuah barang dagangan. Iran menempatkan posisi kaum perempuan tak lebih dari seorang budak tawanan yang tak memiliki kedudukan apapun sehingga boleh diperjual-belikan. Yang lebih parah lagi, bangsa Iran memperbolehkan menikahi perempuan yang memiliki hubungan darah (mahram). Menikahi ibu, bibik, dan saudari sekandung adalah hal yang wajar dan legal bagi bangsa Iran.

Sedangkan bangsa India menganggap kaum wanita tidak memilki hak independen dari suami dan orang tuanya. Menurut mereka, perempaun tidak memiliki hak untuk hidup setelah ditinggal mati oleh suaminya, ia wajib dimusnahkan pada saat kematian suaminya dengan cara dibakar bersama suaminya dalam satu perapian yang sama. Menurut salah satu ajaran bangsa India perempuan adalah makhluk yang paling paling menjijikkan di muka bumi. Sebab kematian, racun dan neraka ada di bawah kaki mereka.

Sementara menurut bangsa Cina perempuan tidak lebih dari alat untuk melakukan kesenangan dan pemuas nafsu. Di Cina eksploitasi terhadap kaum wanita  terjadi secara besar-besaran. Bahkan, dinasti Kun yang berkuasa pada waktu itu memiliki sekitar tiga puluh ribu perempuan.

Sementara itu bangsa Yahudi menganggap kaum wanita sebagai makhluk terkutuk karena telah menjerumuskan Nabi Adam u pada lembah kemaksiatan. Di dalam kitab Talmud dijelaskan bahwa kaum wanita lebih pahit daripada kematian dan orang yang baik di sisi Allah I akan diselamatkan darinya. Sedangkan menurut ajaran Kristen, sebagaimana yang dikemukakan oleh pemuka agama mereka, penikahan merupakan suatu yang kotor dan rendah yang harus dijauhi. Pada gilirannya paradigma ini memunculkan pandangan lain di kalangan Kristen, bahwa orang yang memfokuskan diri untuk beribadah kapada Allah I lebih baik dari orang yang menikah.

Sedangkan di kalangan masyarakat Arab, yang merupakan jalur penghubung kegiatan perdagangan antara Barat dan Timur, telah terjadi penyimpangan agama dari jalan lurus yang telah digariskan oleh Nabi Ibrahim, Musa dan Isa u. Sehingga wajar jika bansa Arab jahiliyah menerapkan beberapa sistem pernikahan seperti poligami, nikah kontrak (muth’ah), nikah hidln dll. Membunuh anak perempuan hidup-hidup dan memposisikan kaum wanita sebagai warisan dari ayah kepada anak-anaknya adalah fakta yang nyaris menjadi tradisi menyeluruh di kalangan bangsa Arab.

Bagi bangsa Arab jahilyah, perempuan tidak memiliki status dan kedudukan apapun di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak diperkenankan mengambil bagian dari harta warisan. Harta warisan hanya berhak dimiliki oleh kaum laki-laki yang memiliki peran penting dalam memeberikan perlindungan dan melaksanakan peperangan. Bagi mereka, kekerabatan dari jalur wanita sama sekali tidak diperhitungkan.

Dalam kaitannya dengan kebudayaan orang Arab, seorang istri tidak memiliki kehormatan apapun di rumah suaminya. Bahkan, bagi sebagian kabilah, seorang istri yang ditinggal mati oleh suaminya akan menjadi warisan anak laki-laki tertua yang dihasilkan dari istrinya yang lain. Lebih dari itu, sebagian masyarakat Arab menganggap kelahiran seorang anak perempuan sebagai suatu aib sehingga tak jarang dari mereka yang mengubur anak perempuannya hidup-hidup demi menghindari hinaan kerabat dan anggota kabilahnya. Allah I berfirman:

وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُمْ بِالْأُنْثَى ظَلَّ وَجْهُهُ مُسْوَدًّا وَهُوَ كَظِيْمٌ يَتَوَارَى مِنَ الْقَوْمِ مِنْ سُوْءِ مَابُشِّرَ بِهِ أَيُمْسِكُهُ عَلَى هُوْنٍ أَمْ يَدُسُّهُ فِي التُّرَابِ أَلَا سَاءَ مَا يَحْكُمُونَ (النحل [16]: 58-59)

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)?. Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl [16]: 58-59).

وَإِذَا الْمَوْءُدَةُ سُئِلَتْ بِأَيِّ ذَنْبٍ قُتِلَتْ (التكوير [81]: 8-9)

“Dan apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur hidup-hidup ditanya, karena dosa apakah dia dibunuh.” (QS. At-Takwir [81]: 8-9).

Dan diriwayatkan dari Imam Muslim dari Umar bin Khattab t bahwa beliau berkata:

“Demi Allah, pada masa jahiliyah wanita tidak kami anggap sebagai apapun. Sehingga Allah menurunkan bagi mereka tuntunan yang menjelaskan kemaslahatan bagi mereka dan Allah memberi bagian harta tertentu dalam perkara warisan.” (HR. Muslim).

Demikianlah gambaran singkat mengenai sejarah poligami dan kedudukan kaum perempuan pada masa pra-Islam. Selanjutnya, kita bisa melihat dengan jelas bahwa tuduhan deskrimintif yang dialamatkan kepada Islam selama ini adalah tuduhan yang tidak didasarkan pada fakta apapun. Jika selama ini Islam dituduh sebagai agama yang ajaran-ajarannya menyudutkan dan merendahkan martabat kaum wanita, di sini justru kita melihat fakta yang paradoksal. Maka, pada akhirnya kita bisa menyimpulkan bahwa orang-orang yang selama ini melabeli Islam dengan stigma-stigma negatif, sejatinya mereka sedang meneriaki kebodohannya sendiri.



[1] Dr. Zakir Naik, Mereka bertanya Islam menjawab: Pertanyaan Mengganjal tentang Islam yang sering diajukan Orang Awam dan non-Muslim, hal 133

[2] ‘Athiyah Shaqr, Mausu’ah al-Usrah Tahta Ri’âyah al-Islâm: Musykilât al-Usrah, vol. 6 hal 36.

[3] Dr. Sa’id Ramadhan al-Buthy, Sirah an-Nabawiyyah, hal 8

[4] Athiyyah Syaqr, op. cit, vol. 6 hal. 36-39

[5]Lihat dalam: Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il bin Ibrahim ibnu al-Mughirah bin Bardizbah al-Bukhari al-Ju’fi, Shahih al-Bukhari, nomro Hadis: 5112 dan 5115, Shafi ar-Rahmân al-Mubârakfûri, Ar-Rahîq al-Makhtûm, hal. 43-44, Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, vol. 2 hal. 6

[6] Ibid, hal. 109

[7] Athiyyah Syaqr, op. cit, vol. 6 hal. 85-86

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...