Senin, 21 September 2020

Tarik Ulur Sampainya Pahala kepada Mayit

 



Hadiah pahala, doa, istighfar, dan amal baik lain yang diperuntukkan kepada mayit merupakan sesuatu yang sangat diharapkan oleh orang yang telah tutup usia. Mereka yang tidak bisa mengantongi kebaikan lagi setelah mati sangat menanti yang seperti demikian. Namun begitu, di internal ulama masih bersilang pendapat antara yang mengesahkan aktivitas ini secara mutlak dan yang membatasinya pada mendoakan, istighfar dan amal baik lain selain pahala bacaan al-Quran.

Karenanya, di sini penulis ingin menyuguhkan beberapa silang pendapat itu secara ringkas. Dalam memperkukuh pendapatnya, kelompok ulama yang tidak melegitimasi menghadiahkan pahala bacaan al-Quran kepada mayit di antaranya adalah ayat berikut:

وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى

Artinya: “dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. An-Najm; {53}: 39)

Dengan sangat tegas ayat ini, menurut kelompok ini, hanya membatasi amal sendiri yang bisa diambil buahnya di akhirat nanti. Adapun hadiah pahala dari orang lain, baik pada waktu hidup atau setelah mati tidak dapat memberikan manfaat apa-apa. Di samping itu, ada hadis yang berbunyi:

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

Artinya: “Ketika anak Adam mati maka amalnya terputus kecuali tiga; shadakah jariah, ilmu manfaat, dan anak shalih yang mendoakan yang medoakannya.” (HR. Muslim)

Hadis ini menegaskan, hanya tiga hal yang dapat dimanfaatkan oleh seseorang yang telah wafat dan pahala bacaan al-Quran yang dihadiahkan oleh orang lain tidak masuk dalam pengecualian. Jika demikian adanya, berarti hadiah pahala tidak memberikan manfaat apa-apa kepada mayit.

Selain itu, kelompok ulama ini melanjutkan, sebuah taklif merupakan cobaan, ujian, dan benah diri dalam mencapai kebahagian di hari pembalasan yang tidak bisa orang lain menduduki di posisinya (la yaqbal an-niyâbah) sebagai pengganti. Ibarat orang sakit, jika ia ingin sembuh maka harus berobat dan melakukan terapi sendiri sesuai saran dokter. Bukan orang lain. Termasuk ulama yang ada dalam kelompok ini adalah Imam Syafii.

Adapun dalil kelompok ulama—termasuk di dalamnya Imam Ahmad dan sebagian Ashhabus Syafii—yang melegitimasi menghadiahkan pahala bacaan al-Quran di antaranya adalah hadis berikut:

ويس قلب القرآن لا يقرؤها رجل يريد الله والدار الآخرة إلا غفر له اقرؤوها على موتاكم

Artinya: “dan (surah) Yasin adalah hati al-Quran. Tidak membacanya seorang laki-laki yang menginginkan (ridha) Allah dan ad-dar al-akhirah kecuali Allah mengampuni (dosa)-nya. Bacakanlah untuk orang-orang mati kalian!” (HR. An-Nasai)

Pemahaman secara eksplisit dari hadis ini melegalkan membaca al-quran yang hadiahnya diperuntukkan kepada mereka yang sudah mati. Setelah itu, kelompok ini menjawab beberapa dalil yang dikemukakan kelompok pertama di atas. Surah an-Najm: 39 yang dijadikan hujjah, menurut kelompok ini jika ditelisik dari relasi antar ayat akan menyisakan konklusi, dalam syariah Nabi Ibrahim dan Musa sebuah dosa ditanggung oleh pelakunya dan sebuah pahala tidak bisa dihadiahkan kepada orang lain. Sedangkan untuk umat Nabi Muhammad SAW. tidak begitu. Apalagi, ternyata ayat ini masih diperbincangkan di internal mufasir, baik maksud, muatan hukum, dan mansukh dan tidaknya. Oleh karena itu, ayat ini kurang kuat untuk dijadikan hujjah.

Adapun hadis di muka yang dijadikan dalil dalam memperkukuh ketidak-sampaian hadiah pahala kepada mayit, Nabi SAW. mengungkapkannya “inqatha’a amaluhu” yang memberikan pengertian, hanya amalnya yang terputus sedang manfaat sebuah amal yang dilakukan orang lain tidak. Andai beliau memaksudkan manfaat amal juga terputus, lanjut kelompok ini, niscaya beliau bersabda, “inqatha’a nanf’uhu”. Namun faktanya tidak demikian.

Terkait hasr (pembatasan hukum) yang ada dalam hadis, kelompok ini menjawab, pengertian hadis di atas hanya menyatakan amal orang yang sudah mati sudah terputus sedang pahala yang dihadiahkan kepada orang yang mati tidak ada kata tegas yang menyatakan tidak sampai. Karenanya, butuh dalil lain untuk menyatakan tidak sampainya hadiah pahala kepada mayit.

Sedangkan nalar yang ditawarkan oleh kelompok permata ‘Ibarat orang sakit, jika ia ingin sembuh maka harus berobat dan melakukan terapi sendiri sesuai saran dokter’ kurang tepat dan dianggap tidak sesuai dengan syariah oleh kelompok kedua. Menurutnya, implikasi dari nalar ini, jika ada orang berdosa, saat ingin bertaubat, ia harus mengakui kesalahannya sendiri. Jika saat bertaubat malah mengakui kesalahan orang lain maka tidak akan diterima dan demikian itu dinilai kurang baik. Padahal, as-Suyuthi menyebutkan sebuah hadis dalam kitab Jam’ul Jawâmi’nya begini:

أكثروا من المعارف المؤمنين فإن لكل مؤمن شفاعة عند الله يوم القيامة

Artinya: “Perbanyaklah berbuat baik kepada umat Muslimin karena setiap Mukmin itu (memberi) syafaat di sisi Allah pada hari kiamat.” (HR. Hakim dan ad-Dilami)

Oleh karena itu, dalam agama Islam juga mensyariahkan istighfar dan doa yang diperuntukkan kepada orang lain. Itu semua merupakan pengejawantahan dari hadis tadi.

Di kalangan asy-Syafiiyah sendiri, as-Subki berberkata, “Yang lebih sesuai dengan hadis dengan melalui istinbat adalah, ketika bacaan al-Quran ditujukan untuk memberikan manfaat kepada orang mati atau meringankan bebannya maka demikian itu berguna bagi mereka. Sebab, disebutkan dalam sebuah hadis bahwa salah seorang sahabat mengobati orang badui yang tersengat ulat dengan membacakan surah al-Fatihah dan ditiupkan ke air lalu dimimumkan ternyata mujarab. Jika untuk sengatan saja bermanfaat, apalagi untuk orang yang mati.”

Lebih tegas lagi, al-Ghazali menyebutkan dalam kitabnya yang bertajuk Ihya’ Ulûmiddîn bahwa Imam Ahmad berkata, “Ketika kalian ziarah kubur, bacalah surah al-Fatihah, al-Ihlash, dan al-Mu’awwidzain. Setelah itu, pahalanya dihadiahkan kepada ahli kubur tersebut karena yang demikian itu sampai dan bermanfaat untuk mereka”. Allahu A’lam bish-Shawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adab-adab berdoa

Adab-adab berdoa  Doa berarti memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala terhadap sesuatu yang bersifat baik. Seperti berdoa m...