Hadiah pahala, doa, istighfar, dan
amal baik lain yang diperuntukkan kepada mayit merupakan sesuatu yang sangat
diharapkan oleh orang yang telah tutup usia. Mereka yang tidak bisa mengantongi
kebaikan lagi setelah mati sangat menanti yang seperti demikian. Namun begitu, di
internal ulama masih bersilang pendapat antara yang mengesahkan aktivitas ini secara
mutlak dan yang membatasinya pada mendoakan, istighfar dan amal baik lain
selain pahala bacaan al-Quran.
Karenanya, di sini penulis ingin
menyuguhkan beberapa silang pendapat itu secara ringkas. Dalam memperkukuh
pendapatnya, kelompok ulama yang tidak melegitimasi menghadiahkan pahala bacaan
al-Quran kepada mayit di antaranya adalah ayat berikut:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
Artinya: “dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya,” (QS. An-Najm;
{53}: 39)
Dengan sangat tegas ayat ini,
menurut kelompok ini, hanya membatasi amal sendiri yang bisa diambil buahnya di
akhirat nanti. Adapun hadiah pahala dari orang lain, baik pada waktu hidup atau
setelah mati tidak dapat memberikan manfaat apa-apa. Di samping itu, ada hadis
yang berbunyi:
إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له
Artinya: “Ketika
anak Adam mati maka amalnya terputus kecuali tiga; shadakah jariah, ilmu manfaat,
dan anak shalih yang mendoakan yang medoakannya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan, hanya tiga
hal yang dapat dimanfaatkan oleh seseorang yang telah wafat dan pahala bacaan
al-Quran yang dihadiahkan oleh orang lain tidak masuk dalam pengecualian. Jika
demikian adanya, berarti hadiah pahala tidak memberikan manfaat apa-apa kepada
mayit.
Selain itu, kelompok ulama ini
melanjutkan, sebuah taklif merupakan cobaan, ujian, dan benah diri dalam
mencapai kebahagian di hari pembalasan yang tidak bisa orang lain menduduki di
posisinya (la yaqbal an-niyâbah) sebagai pengganti. Ibarat orang sakit, jika
ia ingin sembuh maka harus berobat dan melakukan terapi sendiri sesuai saran
dokter. Bukan orang lain. Termasuk ulama yang ada dalam kelompok ini adalah
Imam Syafii.
Adapun dalil kelompok ulama—termasuk
di dalamnya Imam Ahmad dan sebagian Ashhabus Syafii—yang melegitimasi menghadiahkan
pahala bacaan al-Quran di antaranya adalah hadis berikut:
ويس قلب
القرآن لا يقرؤها رجل يريد الله والدار الآخرة إلا غفر له اقرؤوها على موتاكم
Artinya: “dan (surah) Yasin
adalah hati al-Quran. Tidak membacanya seorang laki-laki yang menginginkan
(ridha) Allah dan ad-dar al-akhirah kecuali Allah mengampuni (dosa)-nya.
Bacakanlah untuk orang-orang mati kalian!” (HR. An-Nasai)
Pemahaman secara eksplisit dari
hadis ini melegalkan membaca al-quran yang hadiahnya diperuntukkan kepada
mereka yang sudah mati. Setelah itu, kelompok ini menjawab beberapa dalil yang
dikemukakan kelompok pertama di atas. Surah an-Najm: 39 yang dijadikan hujjah, menurut
kelompok ini jika ditelisik dari relasi antar ayat akan menyisakan konklusi, dalam
syariah Nabi Ibrahim dan Musa sebuah dosa ditanggung oleh pelakunya dan sebuah
pahala tidak bisa dihadiahkan kepada orang lain. Sedangkan untuk umat Nabi
Muhammad SAW. tidak begitu. Apalagi, ternyata ayat ini masih diperbincangkan di
internal mufasir, baik maksud, muatan hukum, dan mansukh dan tidaknya. Oleh
karena itu, ayat ini kurang kuat untuk dijadikan hujjah.
Adapun hadis di muka yang dijadikan
dalil dalam memperkukuh ketidak-sampaian hadiah pahala kepada mayit, Nabi SAW.
mengungkapkannya “inqatha’a amaluhu” yang memberikan pengertian, hanya
amalnya yang terputus sedang manfaat sebuah amal yang dilakukan orang lain
tidak. Andai beliau memaksudkan manfaat amal juga terputus, lanjut kelompok
ini, niscaya beliau bersabda, “inqatha’a nanf’uhu”. Namun faktanya tidak
demikian.
Terkait hasr (pembatasan
hukum) yang ada dalam hadis, kelompok ini menjawab, pengertian hadis di atas
hanya menyatakan amal orang yang sudah mati sudah terputus sedang pahala yang
dihadiahkan kepada orang yang mati tidak ada kata tegas yang menyatakan tidak
sampai. Karenanya, butuh dalil lain untuk menyatakan tidak sampainya hadiah
pahala kepada mayit.
Sedangkan nalar yang ditawarkan
oleh kelompok permata ‘Ibarat orang sakit, jika ia ingin sembuh maka harus
berobat dan melakukan terapi sendiri sesuai saran dokter’ kurang tepat dan
dianggap tidak sesuai dengan syariah oleh kelompok kedua. Menurutnya, implikasi
dari nalar ini, jika ada orang berdosa, saat ingin bertaubat, ia harus mengakui
kesalahannya sendiri. Jika saat bertaubat malah mengakui kesalahan orang lain
maka tidak akan diterima dan demikian itu dinilai kurang baik. Padahal, as-Suyuthi
menyebutkan sebuah hadis dalam kitab Jam’ul Jawâmi’nya begini:
أكثروا من المعارف المؤمنين فإن لكل مؤمن شفاعة
عند الله يوم القيامة
Artinya: “Perbanyaklah berbuat
baik kepada umat Muslimin karena setiap Mukmin itu (memberi) syafaat di sisi
Allah pada hari kiamat.” (HR. Hakim dan ad-Dilami)
Oleh karena itu, dalam agama Islam
juga mensyariahkan istighfar dan doa yang diperuntukkan kepada orang lain. Itu
semua merupakan pengejawantahan dari hadis tadi.
Di kalangan asy-Syafiiyah sendiri,
as-Subki berberkata, “Yang lebih sesuai dengan hadis dengan melalui istinbat
adalah, ketika bacaan al-Quran ditujukan untuk memberikan manfaat kepada orang
mati atau meringankan bebannya maka demikian itu berguna bagi mereka. Sebab,
disebutkan dalam sebuah hadis bahwa salah seorang sahabat mengobati orang badui
yang tersengat ulat dengan membacakan surah al-Fatihah dan ditiupkan ke air
lalu dimimumkan ternyata mujarab. Jika untuk sengatan saja bermanfaat, apalagi
untuk orang yang mati.”
Lebih tegas lagi, al-Ghazali
menyebutkan dalam kitabnya yang bertajuk Ihya’ Ulûmiddîn bahwa Imam
Ahmad berkata, “Ketika kalian ziarah kubur, bacalah surah al-Fatihah,
al-Ihlash, dan al-Mu’awwidzain. Setelah itu, pahalanya dihadiahkan kepada ahli kubur
tersebut karena yang demikian itu sampai dan bermanfaat untuk mereka”. Allahu
A’lam bish-Shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar