Siapa
yang tidak ingin Islam kembali jaya seperti masa-masa keemasan. Ilmu agama
tersebar ke seluruh penjuru, dipimpin oleh satu pemimpin yang adil dan sanggup
menjalankan syariat Islam secara total. Itu adalah cita-cita seluruh umat Islam
di dunia.
Kemudian
Hizbut Tahrir, yang berdiri pada tahun 1928 oleh Taqiyuddin an-Nabhani, datang
dengan mengusung dakwah penegakan khilafah yang dipimpin khalifah tunggal di
muka bumi. Dia menawarkan konsep yang telah ia susun tentang khilafah dan
pemerintahan Islam. Menurutnya kelemahan Islam saat ini lebih disebabkan oleh
tidak adanya khilafah yang memimpin seluruh umat Islam di dunia.
Hizbut
Tahrir telah menyusun konsep khilafah dengan sangat rinci. Banyak poin-poin
yang jarang menjadi pembahasan dalam konsep ahlusunah diatur oleh mereka,
seperti struktur kepemerintahan yang terdiri dari 13 jihaz (jabatan) dan pembatasan calon khalifah
(maksimal enam orang). Mereka melandaskan aturan-aturan itu pada fakta histori dan
apa yang dilakukan oleh Nabi saw dan para khulafaur rasyidin. Jumlah enam itu
diambil karena calon yang ditetapkan oleh sayidina Umar t hanya berjumlah enam orang. Namun apakah hal itu
menjadi suatu aturan yang harus diterapkan? Dan bila tidak apakah kemudian
pemerintahannya tidak dianggap sama sekali? Ataukah itu hanya sebuah konsep
ideal yang tidak menutup terjadinya realita berbeda sehingga pemerintahannya
tetap sah?
Sebenarnya
memang ada perbedaan antara konsep khilafah ala HT dan ahlusunah, perbedaan ini
berawal dari perbedaan sudut pandang mengenai apakah konsep itu merupakan harga
mati ataukah sebuah konsep ideal. Untuk itu, berikut penulis tampilkan beberapa
diantaranya:
Pertama, mereka menyebutkan dalam kitab Ajhizatu
Daulah al-Khilafah, hal 60, “Kaum
Muslim di seluruh dunia wajib berada dalam satu negara dan wajib pula hanya ada
satu Khalifah bagi mereka. Secara syar‘i, kaum Muslim di seluruh dunia haram
memiliki lebih dari satu negara dan lebih dari seorang khalifah.” Menurut
mereka khalifah di muka bumi harus satu orang dan itu harga mati. Jika khilafah
telah ditegakkan di suatu daerah maka seluruh umat Islam di dunia harus tunduk
dan patuh kepadanya.
Memang
pendapat jumhur ulama sunni menyatakan bahwa Imam tidak boleh lebih dari satu
dalam satu masa. Namun Imam al-Harâmain dan Imam al-Juwaini serta sebagian
ulama Syafi’iyah dan Malikiyah memperbolehkan dilantiknya imam lebih dari satu
bila memang tidak memungkinkan.
Perbedaan
ini berdampak pada dianggap sah tidaknya seorang pemimpin negara. Bisa jadi
pemimpin negara, presiden
Namun
di sisi lain, untuk saat ini penegakan Imam tunggal di muka bumi sangatlah
sulit untuk diwujudkan mengingat terpecahnya umat Islam tidak hanya atas
golongan melainkan juga terkotak-kotak oleh negara-negara. Tentu saja
perdebatan tentang penegakan khalifah tunggal dan khilafah sentral akan sangat
alot karena setiap kelompok enggan memberikannya kepada kelompok lain. Pesimis?
Bukan tapi realistis. Melihat realita yang ada bangunan Islam di Indonesia
tetap kita sempurnakan tapi bukan merombak dan membangunnya dari awal lagi.
Kedua,
dalam Dustur Hizbut Tahrir, hal. 66 dan asy-Syahsyiah
al-Islamiyah, Juz II bagian III, hal. 107-108 tentang hal-hal yang
dapat melengserkan khalifah seketika itu di antaranya adalah “perbuatan fasiq
yang jelas”. An-Nabhani juga berkata dalam bukunya Nidzam
al-Islam, hal 79, “dan jika seorang khalifah menyalahi syara’ atau
tidak mampu melaksanakan urusan-urusan negara maka wajib dilengserkan
seketika.”
Pendapat
ini jelas berbeda dengan pendapat ahlusunnah. Ulama ahlusunnah menetapkan bahwa
seorang khalifah tidak dapat dilengserkan sebab ia berbuat maksiat, hanya saja
ia tidak ditaati dalam kemaksiatannya. Karena fitnah yang akan timbul dari
dilengserkannya lebih besar dari perbuatan maksiat yang dilakukannya. Imam
an-Nawawi menjelaskan, “Ahlusunnah menyepakati bahwa seorang sultan tidak
dilengserkan karena perbuatan fasik yang dilakukan olehnya.” Pendapat
ini juga searah dengan hadis Nabi, “(kita diperintahkan juga agar) tidak
memberontak terhadap para penguasa kecuali jika kalian telah melihatnya
melakukan kekufuran yang jelas” (HR al-Bukhori dan Muslim). Dan hadis,
“Barangsiapa membenci sesuatu dari amirnya hendaklah ia bersabar atasnya,
karena tidak seorangpun membangkang terhadap seorang sultan kemudian mati dalam
keadaan seperti itu maka ia mati jahiliyah” (HR Muslim).
Ketiga,
tentang Darul
Islam mereka menyebutkan dalam Kitab
Hizbut Tahrir. Hal. 17, “Daerah-daerah yang kita tempati sekarang
ini adalah darul-kufr sebab hukum-hukum
yang berlaku adalah hukum-hukum kekufuran. Kondisi ini menyerupai
Menurut
Imam ar-Rafi’i dan beberapa ulama lain dengan mengutip pendapat kalangan
Syafi’iyah dar al-Islam ada tiga macam. Pertama, tempat bermukim para
muslimin. Kedua, daerah yang ditaklukan oleh umat Islam. Ketiga, tempat yang
ditinggali umat Islam tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir.
Memang
mayoritas ulama menyatakan bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum
muslimin tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir daerah itu tetap disebut
dar al-Islam.
Keempat,
kewajiban berbaiat, mereka menyebutkan, “Barang siapa yang mati tanpa berbaiat
kepada seorang khalifah maka ia mati jahiliyah” (asy-Syahshiyah al-Islamiyah,
Juz II, hal. 13). Mereka mengambil dasar dari sebuah hadis Ibnu Umar t,
“Dan barang siapa yang mati tanpa baiat di lehernya maka dia mati jahiliyah”(HR
Muslim).
Hadis
di atas sebenarnya terpotong.
Hal
ini diperkuat dengan hadis Ibnu Abbas t,
“Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya maka hendaknya dia
bersabar, karena siapa pun yang keluar sejengkal dari [ketaatan terhadap]
pemimpinnya dan mati dalam keadaan itu maka dia mati jahiliyah” (HR
al-Bukhori). Kata “famâta alaihi” (kemudian mati dalam keadaan itu [keluar dari
ketaatan]) dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang
yang membangkang terhadap imam. Dan juga hadis Abi Hurairah t,
“Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memisah dari jamaah kemudian mati
maka dia mati jahiliyah” (HR Muslim).
Walhasil,
konsep khilafah Hizbut Tahrir memang lebih kaku dari konsep Ahlusunah.
Ahlusunah memiliki konsep ideal tapi juga bisa menjadi lebih longgar bila realita
memang tidak memungkinkan.
Terlepas
dari itu semua, coba anda bayangkan jika konsep khilafah ditegakkan namun
dengan akidah mereka. Maka bisa jadi setelah khilafah tegak mereka akan menekan
umat yang tidak sepaham dengan mereka. Ingat! Taqiyuddin an-Nabhani dengan
tegas menyatakan bahwa Ahlusunah hakikatnya adalah Jabariyah (asy-Syahsiyah
al-Islamiyah,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar