Senin, 28 September 2020

Khilafah Islamiyah: Dalam Sudut Pandang Kita dan Mereka



 

Siapa yang tidak ingin Islam kembali jaya seperti masa-masa keemasan. Ilmu agama tersebar ke seluruh penjuru, dipimpin oleh satu pemimpin yang adil dan sanggup menjalankan syariat Islam secara total. Itu adalah cita-cita seluruh umat Islam di dunia.

Kemudian Hizbut Tahrir, yang berdiri pada tahun 1928 oleh Taqiyuddin an-Nabhani, datang dengan mengusung dakwah penegakan khilafah yang dipimpin khalifah tunggal di muka bumi. Dia menawarkan konsep yang telah ia susun tentang khilafah dan pemerintahan Islam. Menurutnya kelemahan Islam saat ini lebih disebabkan oleh tidak adanya khilafah yang memimpin seluruh umat Islam di dunia.

Hizbut Tahrir telah menyusun konsep khilafah dengan sangat rinci. Banyak poin-poin yang jarang menjadi pembahasan dalam konsep ahlusunah diatur oleh mereka, seperti struktur kepemerintahan yang terdiri dari 13 jihaz (jabatan) dan pembatasan calon khalifah (maksimal enam orang). Mereka melandaskan aturan-aturan itu pada fakta histori dan apa yang dilakukan oleh Nabi saw dan para khulafaur rasyidin. Jumlah enam itu diambil karena calon yang ditetapkan oleh sayidina Umar t hanya berjumlah enam orang. Namun apakah hal itu menjadi suatu aturan yang harus diterapkan? Dan bila tidak apakah kemudian pemerintahannya tidak dianggap sama sekali? Ataukah itu hanya sebuah konsep ideal yang tidak menutup terjadinya realita berbeda sehingga pemerintahannya tetap sah?

Sebenarnya memang ada perbedaan antara konsep khilafah ala HT dan ahlusunah, perbedaan ini berawal dari perbedaan sudut pandang mengenai apakah konsep itu merupakan harga mati ataukah sebuah konsep ideal. Untuk itu, berikut penulis tampilkan beberapa diantaranya:

Pertama, mereka menyebutkan dalam kitab Ajhizatu Daulah al-Khilafah, hal 60, “Kaum Muslim di seluruh dunia wajib berada dalam satu negara dan wajib pula hanya ada satu Khalifah bagi mereka. Secara syar‘i, kaum Muslim di seluruh dunia haram memiliki lebih dari satu negara dan lebih dari seorang khalifah.” Menurut mereka khalifah di muka bumi harus satu orang dan itu harga mati. Jika khilafah telah ditegakkan di suatu daerah maka seluruh umat Islam di dunia harus tunduk dan patuh kepadanya.

Memang pendapat jumhur ulama sunni menyatakan bahwa Imam tidak boleh lebih dari satu dalam satu masa. Namun Imam al-Harâmain dan Imam al-Juwaini serta sebagian ulama Syafi’iyah dan Malikiyah memperbolehkan dilantiknya imam lebih dari satu bila memang tidak memungkinkan.

Perbedaan ini berdampak pada dianggap sah tidaknya seorang pemimpin negara. Bisa jadi pemimpin negara, presiden Indonesia misalnya, bukanlah seorang Imam yang harus ditaati karena memang bukan Khalifah. Dan sistem pemerintahan Indonesia harus dirombak karena memang bukan sistem khilafah.

Namun di sisi lain, untuk saat ini penegakan Imam tunggal di muka bumi sangatlah sulit untuk diwujudkan mengingat terpecahnya umat Islam tidak hanya atas golongan melainkan juga terkotak-kotak oleh negara-negara. Tentu saja perdebatan tentang penegakan khalifah tunggal dan khilafah sentral akan sangat alot karena setiap kelompok enggan memberikannya kepada kelompok lain. Pesimis? Bukan tapi realistis. Melihat realita yang ada bangunan Islam di Indonesia tetap kita sempurnakan tapi bukan merombak dan membangunnya dari awal lagi.

Kedua, dalam Dustur Hizbut Tahrir, hal. 66 dan asy-Syahsyiah al-Islamiyah, Juz II bagian III, hal. 107-108 tentang hal-hal yang dapat melengserkan khalifah seketika itu di antaranya adalah “perbuatan fasiq yang jelas”. An-Nabhani juga berkata dalam bukunya Nidzam al-Islam, hal 79, “dan jika seorang khalifah menyalahi syara’ atau tidak mampu melaksanakan urusan-urusan negara maka wajib dilengserkan seketika.”

Pendapat ini jelas berbeda dengan pendapat ahlusunnah. Ulama ahlusunnah menetapkan bahwa seorang khalifah tidak dapat dilengserkan sebab ia berbuat maksiat, hanya saja ia tidak ditaati dalam kemaksiatannya. Karena fitnah yang akan timbul dari dilengserkannya lebih besar dari perbuatan maksiat yang dilakukannya. Imam an-Nawawi menjelaskan, “Ahlusunnah menyepakati bahwa seorang sultan tidak dilengserkan karena perbuatan fasik yang dilakukan olehnya.” Pendapat ini juga searah dengan hadis Nabi, “(kita diperintahkan juga agar) tidak memberontak terhadap para penguasa kecuali jika kalian telah melihatnya melakukan kekufuran yang jelas” (HR al-Bukhori dan Muslim). Dan hadis, “Barangsiapa membenci sesuatu dari amirnya hendaklah ia bersabar atasnya, karena tidak seorangpun membangkang terhadap seorang sultan kemudian mati dalam keadaan seperti itu maka ia mati jahiliyah” (HR Muslim).

Ketiga, tentang Darul Islam mereka menyebutkan dalam Kitab Hizbut Tahrir. Hal. 17, “Daerah-daerah yang kita tempati sekarang ini adalah darul-kufr sebab hukum-hukum yang berlaku adalah hukum-hukum kekufuran. Kondisi ini menyerupai kota Mekkah, tempat diutusnya Rasulullah.” Juga pada hal. 32, “Dan di negeri-negeri kaum muslimin sekarang tidak satu negeri atau pemerintahan yang mempraktekkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung dar al-kufr meskipun penduduknya adalah muslimin.” Itu artinya saat ini bisa dikatakan tidak ada dar al-Islam karena tidak ada negara yang menerapkan ajaran islam meski kebanyakan penduduknya adalah muslim.

Menurut Imam ar-Rafi’i dan beberapa ulama lain dengan mengutip pendapat kalangan Syafi’iyah dar al-Islam ada tiga macam. Pertama, tempat bermukim para muslimin. Kedua, daerah yang ditaklukan oleh umat Islam. Ketiga, tempat yang ditinggali umat Islam tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir.

 Memang mayoritas ulama menyatakan bahwa daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum muslimin tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir daerah itu tetap disebut dar al-Islam.

Keempat, kewajiban berbaiat, mereka menyebutkan, “Barang siapa yang mati tanpa berbaiat kepada seorang khalifah maka ia mati jahiliyah” (asy-Syahshiyah al-Islamiyah, Juz II, hal. 13). Mereka mengambil dasar dari sebuah hadis Ibnu Umar t, “Dan barang siapa yang mati tanpa baiat di lehernya maka dia mati jahiliyah”(HR Muslim).

Hadis di atas sebenarnya terpotong. Ada kutipan sebelumnya yang berbunyi, “Barang siapa yang melepas tangan dari ketaatan maka dia akan bertemu Allah di hari kiamat tanpa ada hujjah baginya”. Maka kutipan hadis di atas sebenarnya diarahkan kepada mereka yang keluar dari ketaatan terhadap seorang imam. Itu artinya mati jahiliyah yang dimaksud bukan diarahkan kepada orang yang tidak berbaiat kepada seorang khalifah melainkan kepada orang yang keluar dari ketaatan dan memisah dari jamaah.

Hal ini diperkuat dengan hadis Ibnu Abbas t, “Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar, karena siapa pun yang keluar sejengkal dari [ketaatan terhadap] pemimpinnya dan mati dalam keadaan itu maka dia mati jahiliyah” (HR al-Bukhori). Kata “famâta alaihi” (kemudian mati dalam keadaan itu [keluar dari ketaatan]) dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang yang membangkang terhadap imam. Dan juga hadis Abi Hurairah t, “Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memisah dari jamaah kemudian mati maka dia mati jahiliyah” (HR Muslim).

Walhasil, konsep khilafah Hizbut Tahrir memang lebih kaku dari konsep Ahlusunah. Ahlusunah memiliki konsep ideal tapi juga bisa menjadi lebih longgar bila realita memang tidak memungkinkan.

Terlepas dari itu semua, coba anda bayangkan jika konsep khilafah ditegakkan namun dengan akidah mereka. Maka bisa jadi setelah khilafah tegak mereka akan menekan umat yang tidak sepaham dengan mereka. Ingat! Taqiyuddin an-Nabhani dengan tegas menyatakan bahwa Ahlusunah hakikatnya adalah Jabariyah (asy-Syahsiyah al-Islamiyah, Juz I. hal. 53-54). Hal itu bukan berarti kita tidak berusaha untuk merealisasikan penerapan ajaran Islam secara sempurna. Namun yang jelas kita berusaha untuk syariat Islam ala Ahlusunah, dengan akidah Ahlusunah dan tentu saja dengan cara yang realistis. Walaahu A’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...