Jumat, 02 Oktober 2020

Jilbab.... Perisai Suci Wanita

 



يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(Q.S.Al-Ahzâb [33] :59)

Diriwayatkan dari Imam as-Suddi bahwasannya dahulu laki-laki fasik sering mengganggu atau mengusik para wanita ketika para wanita tersebut keluar rumah pada malam hari untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ketika wanita yang mereka lihat mengenakan cadar, mereka tidak mengganggunya dan berkata: “wanita itu bukan budak”. Namun, bila wanita itu tidak mengenakan cadar mereka berkata: “wanita itu seorang budak” lalu mereka berbuat senonoh padanya. Kemudian diturunkanlah ayat di atas.

Di era modern seperti saat ini, banyak sekali kaum wanita yang menganggap jilbab hanyalah sekedar mode atau trend. Bahkan, ada juga yang beranggapan bahwa jilbab hanyalah simbol dari wanita muslim. Padahal sebenarnya, mengenakan jilbab adalah perintah dari Allah yang tidak boleh tidak kita sebagai umat islam harus mematuhinya.

Dalam ayat tersebut Allah  pertama kali menyebut isteri-isteri Rasul  kemudian puteri-puteri beliau untuk berhijab. Hal ini mengindikasikan bahwa mereka adalah panutan bagi seluruh wanita muslim. Karena itu, mereka wajib berpegang teguh pada aturan syari’at agar menjadi contoh bagi seluruh wanita. Sedangkan ajakan dari seorang panutan tidak akan digubris bila ia tidak memulai dari diri sendiri dan keluarganya. Hal ini merupakan hikmah kenapa mereka didahulukan dalam khithôb di dalam firman Allah : قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ

Firman Allah : ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ di sini disebutkan alasan atau hikmah diwajibkannya berhijab, dan biasanya hukum-hukum syara’ disyari’atkan karna ada alasan atau hikmah tertentu. Sebagian besar pakar tafsir mengatakan bahwa ayat “أَنْ يُعْرَفْنَ” maksudnya adalah supaya para wanita diketahui (dengan berhijab) bahwa mereka adalah wanita yang suci, tertutup, dan terjaga. Karena, wanita yang tertutup dengan menjaga kesuciannya dengan sungguh-sungguh, ia tidak akan diganggu dan tidak akan manjadi sasaran orang-orang jahat. Beda halnya dengan perempuan yang sering mempertontonkan perhiasan dan kecantikannya kepada orang lain, ia selalu diincar oleh mereka.

Fakta sejarah mengatakan bahwa dahulu para muslimah di madinah sering keluar rumah pada malam hari karna ada suatu kebutuhan. Pada waktu itu, di madinah ada sebagian dari orang-orang fasik yang sering mengganggu budak wanita akan tetapi mereka tidak mengganggu wanita merdeka. Para wanita merdeka keluar pada malam hari dengan mengenakan pakaian yang tak jauh beda dengan wanita budak karna pada masa itu pakaian mereka masih belum dibedakan. Sehingga, orang-orang fasik mengganggu dan berbuat tidak senonoh kepada mereka karna orang-orang fasik itu mengira bahwa mereka adalah budak.

Maka, Allah I memberi perintah kepada Rasulullah  untuk mewajibkan kepada isteri-isteri dan puteri-puteri beliau serta seluruh wanita muslim untuk mengenakan jilbab. Ketika mereka semua mematuhi dan melaksanakan perintah beliau dan hal ini diketahui oleh orang-orang fasik, maka orang-orang fasik tersebut berhenti mengganggu mereka.

Namun, ada riwayat lain dari al-Kalbi dan adl-Dlohhak bahwasannya dahulu di kota madinah ada sekelompok laki-laki yang suka berzina sering menguntit perempuan-perempuan yang keluar rumah pada malam hari karna ada kebutuhan. Setelah itu, mereka memberi isyarat mata kepada perempuan tersebut. Bila perempuan tersebut diam saja, mereka mengikutinya dan bila perempuan tersebut membentak mereka, mereka menghentikan perbuatan mereka. Hal itu mereka lakukan hanya untuk mencari perempuan budak dan pada saat itu mereka masih belum bisa membedakan antara perempuan budak dan merdeka karena pakaian mereka sama. Pada akhirnya hal ini mereka adukan kepada para suami mereka dan suami-suami tersebut melapor kepada Rasulullah r yang kemudian turunlah surat al-Ahzâb ayat 59 di atas.

Para ulama tafsir banyak mengeluarkan pendapat mengenai pengertian dari lafadz “جَلَابِيب” (bentuk plural dari kata جِلْبَابٌ) pada ayat di atas. Syekh Muhammad ‘Ali as-Sâyis berkomentar bahwa “جَلَابِيب” (bentuk plural dari kata جِلْبَابٌ) adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh. Syekh ibnu Mandzhur dalam Lisân al-‘Arâb nya mengatakan bahwa yang dikatakan jilbab adalah pakaian yang lebarnya melebihi kerudung, namun tidak selebar selendang. Namun, diriwayatkan dari Imam ibnu Sirin bahwa beliau pernah bertanya kepada ‘Abidah as-Salmani tentang ayat يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ , kemudian ‘Abidah mengambil sebuah selimut dan memakainya sebagai kerudung cadar. Ia menutup seluruh kepala sampai kedua alisnya dan ia menutup wajah kecuali mata kirinya. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam ibnu Sirin dari jalur ibnu ‘Abbas. Namun, bagaimana sebenarnya yang dimaksud jilbab oleh syari’at?

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi sehingga jilbab atau hijab yang dipakai oleh seorang wanita dapat dianggap cukup oleh syari’at.

Pertama, hijab harus menutupi seluruh tubuh berdasarkan ayat: يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka", sebagaimana arti jilbab menurut para pakar tafsir di atas.

Kedua, kain hijab harus tebal, karena yang menjadi tujuan dari berhijab adalah menutupi anggota tubuh. Bila kain yang dikenakan adalah kain transparan, maka tidak dianggap sebagai hijab karena anggota tubuh masih bias terlihat sebagimana hadits yang diriwayatkan oleh sayidah ‘Aisyah bahwasannya Rasulullah  pernah berpaling dari Asma’ binti Abi Bakar karna beliau (Asma’) memakai pakaian yang tipis.

Ketiga, pada kain hijab tidak terdapat hiasan atau warna yang mencolok sehingga dapat memancing pandangan orang lain. Karena dalam surat an-Nûr ayat 31 Allah  berfirman: وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا  sedangkan makna إِلاَّ مَا ظَهَرَ مِنْهَا adalah tanpa ada unsur kesengajaan. Karna itu kain yang terdapat hiasan tidak diperbolehkan untuk dikenakan sebagai hijab dan memang tidak dikatakan sebagai hijab karena hijab adalah pakaian untuk menutupi “perhiasan” dari orang lain.

Keempat, memakainya harus longgar, tidak ketat sehingga lekukan tubuhnya jelas dan menonjolkan auratnya. Di dalam kitab shohih muslim diriwayatkan bahwa Rasulullah r pernah bersabda: “Ada dua golongan ahli neraka yang belum pernah kulihat: kaum yang memegang cemeti seperti ekor sapi yang mereka gunakan untuk mencambuk orang-orang serta para wanita yang berpakaian namun telanjang, memikat dan berlenggak-lenggok, Kepalanya seperti punuk unta. Para wanita itu tidak bisa masuk surga dan tidak bisa merasakan wanginya, padahal wangi surga itu bisa tercium dari jarak perjalanan sekian-sekian”. Dalam riwayat lain dikatakan: “Wanginya dapat dirasakan dari jarak perjalanan lima ratus tahun” (H.R. Muslim)

Maksud dari sabda beliau “para wanita yang berpakaian namun telanjang” adalah wanita yang secara dhohir berpakaian namun sebenarnya mereka telanjang disebabkan mereka memakai pakaian yang menutupi lekukan tubuh dan menampakkan auratnya. Padahal, fungsi pakaian adalah untuk menutupi tubuh. Kalau pakaian yang dipakai tidak bisa menutupi tubuh, berarti pemakainya masih dikatakan telanjang.

Kelima, hijab tidak boleh diberi wewangian yang dapat memberi kesan kapada laki-laki karena Rasulullah r bersabda: “Wanita yang memakai wewangian dan melintas di sekelompok orang agar wanginya tercium, maka ia tergolong zâniyah(pezina).” Ada riwayat lain dari shahabat Musa bin Yasar t mengatakan: “Ada seorang wanita yang berpapasan dengan Abu Hurairah dan wangi wanita tersebut tercium. Abu Hurairah bertanya padanya: “Kemana anda akan pergi?” , “Ke masjid” jawab wanita itu. “Anda memakai parfum?” Tanya Abu Hurairah, Wanita itu menjawab: “Iya”. Kemudian Abu Hurairah berkata: “Pulang dan mandilah! Karna aku pernah mendengar Rasulullah r bersabda: “Allah tidak akan menerima shalat seorang perempuan yang pergi ke masjid dan wanginya tercium sehingga dia pulang dan mandi”.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...