Pengukuhan Kesayidan Ahmad Al-Muhajir
(Komentar Untuk Tulisan Gus Kholili Kholil)
Di salah satu WA group, saya terlibat diskusi merespon tulisan Kyai Kholili Kholil. Perang singkat selama beberapa hari, saya rangkum dan edit beberapa bagiannya dalam tulisan berikut. Saya bagikan bukan karena tulisan ini cukup layak, tapi sekedar ingin sumbang pemikiran saja. Mohon maaf jika editingnya tidak sempurna karena jadwal pengajian di panggung yang cukup padat 😀
Pertama, pangkal masalah adalah 'syak' dari penduduk Hadramaut terhadap kesahihan nasab Ahmad al-Muhājir maupun keturunan Ahmad al-Muhājir. Oleh karenanya Syuhrah wal Istifadlāh perlu dikaji ulang.
a). Betul bahwa masyarakat Hadramaut membutuhkan pengukuhan atas ke-sayid-an Ahmad al-Muhājir. Hal itu wajar sebagai "pendatang" di negeri antah berantah. Asumsi 'syak' ini muncul dari redaksi yang dikutip oleh Kyai Kholili dari kitab Tārīkh Bāmakhramah. Bunyi redaksinya begini,
لما قدم أحمد بن عيسى اعترف له أهل حضرموت بالفضل وما أنكروه ، ثم إنهم بعد ذلك أرادوا إقامة البينة توكيدا لما ادعوه ، وكان بتريم إذ ذاك ثلاث مئة مفت ، فسار الإمام المحدث علي بن محمد بن جديد إلى العراق ورجع بالنِّسْبَة
الشريفة
Dari teks ini, Kyai Kholili berpendapat, kesyarifan Ahmad al-Muhājir diragukan selama ratusan tahun.
Namun, jika kita rujuk pada sumber sumber otoritatif sejarah Yaman, pembacaannya berbeda dengan pakar nasab, sejarawan, maupun ulama yang mengutip redaksi tersebut. Alih alih meragukan, sebagian besar mereka, saat mengutip redaksi Bāmakhramah, justru hendak menceritakan "pengukuhan" terhadap keabsahan nasab Bā'alawī. Seperti Muhammad bin 'Ālī Bāhannān (w. 1383 H) dalam Jawāhir Tārīkh al-Ahqāf. Ia menuliskan fasal "Ijla' al-Ibādliyyah wa Itsbāt nasab al-Sādah Banī 'Alāwī" (Bahanān, 2008). Bahkan Bāmakhramah sendiri mengutip nama nama yang mengakui validitas nasab Ba'alawi. (Bāmakhramah, 2008). Tak hanya Bāmakhramah, redaksi asli al-Khatīb (w. 855 H) yang dikutip oleh Bāmakhramah, yakni al-Jauhar al-Syaffāf, pun menuturkan kelompok ulama yang mengukuhkan nasab Ahmad al-Muhājir dan rombongan besarnya.
Namun tentu sah saja jika pembacaan Kyai Kholili berbeda.
Setelah saya baca berulang ulang, seharusnya ada "part" penting pada rentang peristiwa Hijrahnya Ahmad al-Muhājir sampai diutusnya 'Alī Jadīd ke Basrah yang terpotong. Jika benar keraguan itu pada masa Ahmad al-Muhājir, kenapa baru di masa 'Alī Jadīd yang bertolak ke Bashrah? Padahal jarak 'Alī Jadīd pada Ahmad al-Muhājir adalah dua abad.
Setelah saya coba cermati dengan segala keterbatasan referensi, saya menemukan "potongan part" yang saya cari dalam buku Shālih al-Hāmid (w. 1387 H) bertajuk Tārīkh Hadramaut . Tārīkh Hadramaut sendiri, berdasar pengakuan pengarangnya, mengutip dari Kitab Tatsbīt al-Fu'ād karangan Ahmad bin Abdul Karīm Al-Sahhāwī, salah seorang murid Abdullah bin 'Ālawī al-Haddad (w. 1132 H).
Dalam Tarikh Hadramaut diperjelas, “itsbat nasab” terjadi dua kali. Pertama, saat kedatangan Ahmad bin 'Īsā ke Yaman. Kemudian dimufakati keabsahan nasabnya. Riwayat panjang itsbāt di periode Ahmad al-Muhajir ini termaktub dalam buku al-Sahhāwī bertajuk Tatsbīt al-Fu’ād dan dikutip oleh al-Hāmid dalam Tārīkh Hadramaut. Kemudian isu nasab Ahmad al-Muhājir selesai. (Shālih, 2003)
Sementara penguatan kedua terjadi dua abad paska kurun Ahmad bin 'Īsā. Penguatan kedua ini mempunyai bidikan: benarkah keturunan yang ada di Hadramaut tersambung secara genealogis pada Ahmad bin 'Īsā. Bertolaklah 'Āli Jadīd ke Bashrah.
Ini adalah cerita redaksi "tiga ratus Mufti" yang disebut oleh Kyai Kholili dalam kesimpulannya: "selama ratusan tahun, kesyarifan Ahmad al-Muhājir diragukan secara turun temurun."
Namun, sejatinya redaksi ثم انهم بعد ذلك ....الخ sedang menceritakan kejadian 200 tahun paska Ahmad al-Muhājir. Dengan kata lain, paragraf itu sedang membidik keturunan Ahmad al-Muhājir. Ini paska mereka bersepakat akan keabaahan nasab Ahmad al-Muhājir. Peristiwa ini dituturkan oleh Ahmad Bawāzir dalam al-Tuhfah al-Nurāniyyah sebagai berikut:
ثم بعد دهر وزمان ، وتقادم سنين واعوام اراد بعض أئمة ذلك الزمان اعترافه بفضلهم وحرمتهم وشريف نسبتهم ان توطد وتوكد تلك النسبة الأحمدية والوصلة المحمدية بتحقيق بينة ، وإشراق بصيرة شرعية ، وكان بتریم حضرموت ذلك الوقت من جموع العلماء خلائق لا يحصون ، وكان المفتون منهم في ذلك ثلاثمائة مفت، فسار الفقيه الأوحد والامام الامجد ، والبحر المعتمد وحيد ،وقته وغريب دهره الشريف الحسيني علي بن محمد ابن ابي جديد، وهو من ذرية الشيخ جديد بن عبد الله بن احمد بن عيسى رضي الله عنهم ونفع بهم الى البصرة
Singkatnya begini: Jika Ahmad al Muhājir disangsikan kesyarifannya selama ratusan tahun, tentu persoalan yang dibidik pada keturunannya tidak "apakah bersambung pada Ahmad bin Isa" lagi, tapi Ba'alawi bukan keturunan Nabi sebab Ahmad bin Isa saja masih disangsikan kesyarifannya.
Dua objek yang sama sekali berbeda.
Jika kemudian dipersoal, berdasar kutipan dari al-Syillī, ternyata keturunannya pun tetap diperkarakan oleh penduduk Hadramaut (redaksi al-Syillī akan saya ulas dan kutip di point selanjutnya). Artinya nasab Ba'alawi tetap saja problematik. Menurut saya ini asumsi aneh. Karena di lembaran berikutnya, al-Syillī juga menyebut nama nama sejarawan yang mengutip konsensus Nasab Bā'alawī.
Artinya, perkara Bā'alawī apakah tersambung pada Ahmad al-Muhājir atau tidak, sebenarnya juga telah selesai.
b). Bā'alawī dituntut memvalidasi nasab tak lain karena keturunan 'Banī 'Ālawī berkembang dan bermetamorfosa cukup banyak. Sementara kala itu bukti tertulis sangat susah diakses oleh penduduk Yaman. Menurut sejarawan agung, 'Alawī bin Thāhir (w. 1382 H) pengarang al-Syāmil, malah bukti itu sengaja dihilangkan (Thāhir, 2017). Diakui pula oleh Bāhannan dalam Tārīkhnya, bahwa ada segmen yang hilang dari runtutan peristiwa Ahmad al-Muhajir ke 'Ālī Jadīd. Periode ini disebut gelap dan samar (ghumūd) karena referensi otoritatif telah hilang (Bāhannan, 2008).
Mari kita lihat komentar Shālih al-Hāmid selanjutnya,
"...Dibutuhkan pengukuhan kedua karena lamanya rentang waktu Ahmad al-Muhajir dan keturunannya, sementara tak lazim pembuktian peristiwa sejarah di Hadramaut ketika itu. Keturunannya diminta untuk memvalidasi nasab sebagai penguat (ta'kid) dan ada kekhawatiran punahnya pengukuhan pertama: Kemudian mereka akan mempertanyakan kembali Ahmad al-Muhājir..."
Ia juga menyebut, pergantian generasi telah membuat banyak orang mempertanyakan pengakuan ke-sayidan Bā'alawī. Pada lembaran lain, Shālih mengatakan "...silih bergantinya generasi yang pergi dan keluar, ada yang pergi kemudian melahirkan ke generasi baru, kemudian hijrah ke Hadramaut, sementara masyarakat di sana juga telah melahirkan generasi baru, akhirnya membutuhkan pada pengukuhan baru..."
Abu Bakar al-'Adni dalam Silsilah A'lām Hadramaut: al-Imām Ahmad bin 'Isā, merinci pengukuhan kedua, "problematisasi tersebut sejatinya muncul belakangan, namun hilang sendiri setelah ada argumentasi kuat paska Ālī Jadīd kembali membawa bukti validitas ketersambungan nasab keturunan Imam Muhājir pada kakek kakeknya." (Al-'Adni, 2002)
Abu Bakar al-Adni melanjutkan, "tidak mudah bagi Ali Jadid untuk memvalidasi nasab setelah lewat beberapa tahun paska wafatnya sang ayah (Muhammad) jika nasab ini tidak valid dan tidak populer di Bashrah."
Pelbagai asumsi terhadap Bā'alawi akhirnya juga tuntas setelah 'Ālī Jadīd bertolak ke Bahsrah dengan membawa bukti validitas nasab hingga ke Ahmad al-Muhājir. Artinya kasus kedua juga selesai. Yang berbicara bukan saya, tapi sejarawan yang dikutip sendiri oleh Kyai Kholili.
Kedua, kurang jitu jika Kyai Kholili mengutip Al-Syillī dalam al-Masyra' al-Rawī untuk menopang keraguan nasab Bā'alawī. Redaksi Al-Syillī adalah sebagai berikut,
فزعم أن قولهم آل باعلوي يدل على أنهم من ذرية علي من غير الحسن والحسين وقد وقع هذا أيضًا لأبناء هذا الوقت ممن كبه الخزي والمقت
Yang dipermasalahkan adalah "istilah Bā'alawī" bermuara ke siapa. Bukan menyangsikan ke-sayidan keturunan Ahmad bin 'Isā. Part ini seharusnya ditulis pada saat perpindahan istilah Bani 'Alawī menjadi Bā'alawi sehingga menimbulkan "gagal paham" penduduk Yaman. Karena penyebutan 'kunyah' untuk nisbat pada kakek, seperti disebutkan dalam al-Mu'jam al-Lathīf, dimulai setelah keturunan 'Alawī semakin banyak (al-Syāthiri, 1986). Sebelumnya hanya disebut nama maupun julukan saja (laqab). Oleh karenanya, al-Syillī sebelumnya mengatakan,
ووقع لبعضهم في فهم هذه النسبة مزيد خلل فاقدم علي امر ليته عنه نكل
"Sebagian gagal paham memahami nisbat (Ba'alawi). Akhirnya mereka bertindak untuk sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan."
Al-Syillī sendiri memperjelas kasus ini dalam paragraf setelahnya,
وهذا الزعم البارد، الذي لا يصدر إلا من جاهل معاند ، مدفوع بأن هذا عرف لأهل الديار الحضرمية، وإن لم يكن من وضع العربية فيلزمون الكنية الألف بكل حال على لغة القصر فيقولون لبني حسن باحسن ولبني حسين با حسين، ولبني علوي باعلوي
“Persangkaan hambar --yang tak muncul kecuali dari orang bodoh nan keras kepala-- tertolak, sebab istilah tersebut lahir dari tradisi masyarakat Hadramaut, meskipun bukan produksi resmi Arab. Mereka melazimkan Kunyah pada alif berdasar varian qashr. Mereka menyebut Bani Hasan dengan Bāhasan, Bani Husein dengan Bāhusein, dan untuk Bani Alawi dengan Bā'alawi."
Mempermasalahkan istilah "Ba'ālawī" sebagai "marga" yang bermuara ke siapa, tentu berbeda dengan memperkarakan genealogi Bā'alawī terkonfirmasi pada Ahmad al-Muhājir atau tidak. Meski mungkin saja, karena kekeliruan paham pada istilah tersebut berkembang pada perkara nasab Bā'alawī. Bertolaknya 'Alī Jadīd ke Bashrah bertujuan mengukuhkan nasab keturunan Ahmad Muhajir, membuktikan yang dipersoalkan bukanlah seperti yang dikutip dari al-Syillī.
Jika sudah memahami runut cerita tersebut, maka kutipan al-Syillī di atas kurang tepat sasaran. Kenapa demikian? Karena potongan redaksi al-Syillī di atas tidak "satu jalur" dengan rekaman kedatangan Ahmad al-Muhajir dan bertolaknya 'Ālī Jadīd ke Bashrah. Kyai Kholili merunut potongan kejadian tersebut seolah itu adalah runtutan logika sejarah yang menjadi premis untuk kesimpulan yang hendak ia bidik.
Al-Syillī menyebut tuntutan pada Bā'alawī untuk memverifikasi nasab mereka bukan pada redaksi yang dikutip oleh Kyai Kholili. Akan tetapi pada redaksi berikut,
وقد ذكر علماء هذا الفنّ حكاية تشير إلى تفاصيل أصله وتدل عليه بمختصر القول وفصله وهي أن السادة بني علوي لما استقروا بحضرموت أراد بعض أئمة ذلك الزمان أن يؤكد تلك النسبة المحمدية، والوصلة الأحمدية، فطلب منهم تصحيح نسبهم الشريف، وتحقيق شرفهم المنيف بحجة شرعية وأدلة مرضية والظاهر أن الحامل له بعض من عنده نزغة أباضية، أو شغفة شيطانية، فسافر الإمام شيخ الإسلام الحافظ المجتهد بو الحسن علي بن محمد بن جديد إلى العراق وأثبت نسبهم وأشهد على ذلك حو مائة عدل ممن يريد الحج ثم أثبت ذلك بمكة المشرفة، وأشهد على ذلك بع من حج من أهل ،حضرموت فقدم هؤلاء الشهود في يوم مشهود هدوا بثبوت نسبتهم المحمدية وسلسلتهم ،النبوية، وجرت في ذلك اليوم اء أعجب بها ،كماته وسلم الفضل لهم حماته، فعند ذلك انقشعت سحب الاوهام، وتبلجت غرة الشرف وأميط عنها اللثام
Namun kasus itu juga sudah selesai, seperti disebut pada alinea akhir.
Ketiga, pengukuhan nasab di masa Ahmad al-Muhājir memang tidak disebutkan semisal oleh Abdurrahman Al-Khatib dalam al-Jauhar al-Syaffāf, Bāwazīr dalam al-Tuhfah, tidak dinukil oleh penganggit al-'Iqd al-Nabawī, tidak pula al-Syillī dalam al-Masyra' al-Rawī. Akan tetapi tidak lantas menafikan kemungkinan peristiwa tersebut. Kemungkinan penggalan yang sangat mungkin diharmoniskan disinggung oleh al-Hāmid dalam Tārīkhnya (al-Hāmid, 2003).
Dan apakah seandainya ada gugatan nasab Ahmad bin 'Īsā (pada saat hijrah ke Yaman) kemudian menafikan bahwa nasab ini mustafādl? Tentu saja tidak demikian. Justru ia menjadi mustafādl karena ada pengukuhan dua kali, yakni oleh Abdullah bin Ahmad al-Muhājir dan oleh 'Ālī Jadīd. Redaksi yang dituturkan oleh al-Syillī di lembaran selanjutnya bagi saya sudah cukup untuk menguatkan klaim ini.
Saya tak ingin menuliskan Syuhrah wal Istifadlāh terlalu panjang. Penjabaran Syuhrah wa al-Istifādlah saya pikir sudah cukup banyak dari para Kyai yang dari awal terlibat "perang pemikiran" dalam isu nasab ini.
Demikian komentar saya. Saya akan sangat senang jika ada yang berkenan menanggapi dengan santai dan rileks. Tak niati sambil memperdalam bab nasab