Jumat, 16 Agustus 2024

Al Kafi Al-Muntakhob dan Salah Paham Penafi Nasab



"Kesalahan Kyai Imad dalam Memahami Teks dalam Al Kafi Al Muntakhob"


Dalam tulisan terbarunya Ki Imad bertendensi dengan pernyataan dari Dr. Abdurrahman bin Majid al Qaraja dalam kitabnya Al Kafi al Muntakhob untuk menetapkan bahwa sejarawan tidak boleh di dahulukan  atas apa yg sudah ditetapkan oleh ahli nasab, berikut pernyataanya:

ولا يقدم بحال على ما يثبته النسابة خصوصا ان كانوا اقرب زمانا او مكانا

“Sejarawan tidak boleh didahulukan dari penetapan ahli nasab khususnya jika ahli nasab itu lebih dekat masanya atau tempatnya” (Al Kafi al Muntkhab, h. 71).

Selanjutnya kita perhatikan di bawah ini pemahaman dari kyai Imad dari teks diatas.

Kyai Imad ; Perhatikan apa yang dikatakan oleh Dr. Abdurrahman bin Majid tentang kitab sezaman atau yang lebih dekat zamannya dengan objek penelitian. Disebutkan dalam kitab tersebut bahwa kitab sejarah tidak boleh didahulukan dari kitab nasab apalagi jika kitab nasab itu zamannya lebih dekat. Dari situ jelas kitab sezaman atau yang mendekati adalah instrumen dalam penelitian kesahihan nasab.

https://www.facebook.com/share/p/iw54Lu6pLr5Mt9nQ/?mibextid=oFDknk

Jawaban: 
Pertama; 
Kyai Imad memahi kata² على ما يثبته النسابة adalah Nasab yg ditetapkan dengan  kitab se zaman atau yang mendekati. Ia mengasumsikan bahwa adanya kitab se zaman adalah syarat mutlak dalam penetapan nasab, sehingga tidak boleh mendahulukan sejarawan dari pada kitab se zaman. Padahal dalam kitab tersebut menyebutkan Amud nasab tidak menjadi syarat dalam penetapan nasab, melainkan hanya sebatas qorinah saja. 
Berikut teksnya: 
لا يشترط للشهرة والإستيفاظة وجود عمود نسب متصل الى ان قال 
وانما تعتبر كقرينة ثبوت عند من تعذرت له الإستيفاظة والشهرة لعلة مقبولة شرعا وعقلا
Jadi, penetapan adanya kitab sezaman sebagai syarat mutlak adalah ketentuan yg dibuat² oleh kyai Imad.

Kedua; maksud yg benar dari pernyataan di atas adalah nasab yg sudah ditetapkan oleh ahli nasab dengan adanya syuhroh wal istifadzhoh ketika bertentangan dengan ahli sejarah maka tidak boleh mendahulukan ahli sejarahnya, sebab para ahli nasab sudah menetapkan nasab tersebut sesuai dengan standar syariat, sedangkan sejarawan hanya sebatas menuqil atas apa yg ia dengar saja, terkadang hanya menuqil dari satu orang yg kenyataanya orang tersebut tidak tau menau tentang keadaan nasab, atau bahkan hanya berdasarkan asumsi saja. 

Kedua; 
Kyai Imad hanya memahami sepotong atau sepenggal teks tanpa melihat latar belakang munculnya teks tersebut. Teks diatas bermula dari masalah ketika adanya Syuhroh wal istifadhoh bertentangan dengan ahli sejarah. Lalu manakah yg dikedepankan? Jelas  perkataan dari Ahli sejarah tidak berpengaruh terhadap ke absahan syuhron wal istifadhoh terkecuali ahli sejarah yg memiliki keunggulan² yg bisa menghasilkan pengetahuan lebih dalam lagi seputar nasab. 

Dr. Abdurrahman bin Majid mensyaratkan beberapa ketentuan terkait adanya sejarawan yg bisa diterima perkataanya, diantaranya 1. Penduduk asli 2, lebih dekat masanya 3. Mengerti tentang kaidah penetapan nasab 4. Mengetahui tentang keadaan nasab yg dikajinya 5. Dalam rangka kemaslahatan 6. Harus ditetapkan adil dan jauh dari hawa nafsu. Jika tidak memenuhi satu syarat saja maka tidak akan mengalahkan ketetapan melalui syuhroh wal istifadhoh.

Saran saya kepada kyai Imad, bacanya jangan sepotong-sepotong, jujur dalam menyampaikan ilmu, lengkap dalam mengutip jangan ambil se enaknya sendiri dan jangan mengikuti nafsu.

Ibnu Halil Senen 12 Agustus 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adab-adab berdoa

Adab-adab berdoa  Doa berarti memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala terhadap sesuatu yang bersifat baik. Seperti berdoa m...