Nisfu Sya’ban artinya separuh Sya’ban, yakni tanggal 15 dari bulan tersebut.
Apa saja keistimewaan Malam Nishfu Sya'ban?
Menurut sebagian ulama malam Nisfu Sya’ban tidak memiliki keistimewaan, karena hadits-hadits yang menyebutkan tentang keutamaan malam Nisfu Sya’ban semuanya lemah bahkan sebagiannya palsu.
Imam Ibnu Arabi rahimahullah berkata:
لَيْسَ فِي لَيْلَة النّصْف من شعْبَان حَدِيث يُسَاوِي سَمَاعه
“Tidak ada satu haditspun tentang malam Nisfu Sya’ban yang layak untuk didengarkan.”. [Imam Ibnu Arabi, kitab 'Aridotul al Ahwadzi Syarh Sunan At-Tirmidzi, 2/201]
Sedangkan mayoritas ulama, malam nisfu sya'ban memiliki keistimewaan, karena ada hadits tentang Nisfu Sya’ban yang dinilai derajatnya baik diantaranya hadist :
عن أبي عبد الرحمن الحُبُلّي عن عبد الله بن عمرو، أن رسول الله -صلي الله عليه وسلم - قال: "يَطَّلِعُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِعِبَادِهِ إِلَّا لِاثْنَيْنِ مُشَاحِنٍ وَقَاتِلِ نَفْسٍ".
“Diriwayatkan dari Abu Abdurrahman Al-Hubulli dari Abdullah bin Umar bahwa Rasulullah -Shalallahu 'alaihi wa sallam- bersabda: Allah ‘azza wajalla memandang makhluk-Nya pada malam nisfu Sya’ban, kemudian Allah mengampuni hamba-hamba-Nya kecuali bagi dua orang yaitu orang yang bermusuhan dan orang yang membunuh jiwa (dalam satu riwayat: dan orang musyrik).” [Imam Ahmad bin Hambal, Kitab Musnad Ahmad, Cet: Syakir, 6/198, Imam Adz-Dzahabi, kitab Takhlis al-'ilal al-mutanahiyah, hlm. 184, Imam Ibnu Syaibah, kitab Mushonaf Ibnu Syaibah, 16/639, Imam As-Shon'ani, kitab At-Tanwir Syarh Al-Jami' As-Shoghir, 3/344, Imam Al-Mundziri, kitab At-Targhib wa At-Tarhib, 3/392, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, kitab Al-Zawajir, 2/43]
Ulama berbeda pendapat tentang status haditsnya. Sebagian muhadits seperti Imam Adz-Dzahabi, Imam Ibnu Syaibah dan Imaam As-Shon'ani menyatakan hadits ini lemah.
Sedangkan Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dan Imam Al-Mundziri menilai sanad hadits ini baik.
Hukum menghidupkan malam Nisfu Sya’ban?
Mayoritas ulama berpendapat bahwa menghidupkan malam Nisfu Sya’ban tanpa ada pengkhususan amalan tertentu hukumnya disunnahkan, seperti dengan shalat malam, membaca Qur’an, dzikir dan doa.
Dalam sebuah hadits disebutkan,
إِذَا كَانَتْ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَقُومُوا لَيْلَتَهَا، وَصُومُوا يَوْمَهَا، فَإِنَّ اللهَ تَعَالَى يَقُولُ: أَلَا مِنْ مُسْتَغْفِرٍ فَأَغْفِرَ لَهُ، أَلَا مِنْ مُسْتَرْزِقٍ فَأَرْزُقَهُ، أَلَا مِنْ سَائِلٍ فَأُعْطِيَهُ، أَلَا كَذَا أَلَا كَذَا حَتَّى يَطْلُعَ الْفَجْرُ "
"Apabila telah tiba malam pertengahan pada bulan Sya’ban, maka shalatlah di malam harinya dan berpuasalah di siang harinya. Sesungguhnya Allah turun ke langit bumi pada saat itu ketika matahari terbenam, kemudian Dia berfirman, ‘Adakah orang yang meminta ampun kepada-Ku?, maka Aku akan mengampuninya. Adakah orang yang meminta rezeki?, maka Aku akan memberinya rezeki. Adakah orang yang meminta pada-Ku?, maka akan Aku beri. Adakah yang begini, dan adakah yang begini, hingga terbit fajar’." [Imam Al-Bayhaqi, Abu Bakar, kitab Syu'ab Al-Iman, 5/354]
Malam Nishfu Sya'ban adalah salah satu malam mustajabnya doa. Sebagaimana diriwayatkan oleh imam Syafii dalam kitab Al-Umm
وَبَلَغَنَا أَنَّهُ كَانَ يُقَالُ: إنَّ الدُّعَاءَ يُسْتَجَابُ فِي خَمْسِ لَيَالٍ فِي لَيْلَةِ الْجُمُعَةِ، وَلَيْلَةِ الْأَضْحَى، وَلَيْلَةِ الْفِطْرِ، وَأَوَّلِ لَيْلَةٍ مِنْ رَجَبٍ، وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ
“Telah datang riwayat kepada kami bahwaannya dikatakan: Sungguh doa itu diijabah pada lima malam malam, yaitu: pada malam Jumat, malam idul Adha, malam idul Fitri, awal malam bulan Rajab dan malam Nisfu Sya'ban”. [Imam As-Syafi'i, kitab Al-Umm li As-Syafi'i, 1/264]
Hukum Menghidupkan Malam Nisfu Sya'ban Secara Berjamaah?
Mmengenai menghidupkan malam nisfu syaban secara berjamaah, Menurut mayoritas ulama hukumnya boleh, tetapi makruh. Disebutkan dalam Al Mausu’ah al Fiqhiyyah al Kuwaitiyyah :
جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ عَلَى كَرَاهَةِ الاِجْتِمَاعِ لإِِحْيَاءِ لَيْلَةِ النِّصْفِ من شعبان
“Mayoritas ulama fiqih berpendapat makruh hukumnya melaksanakan ibadah secara berjamaah untuk menghidupkan malam Nisfu Sya’ban.”. [Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuaitiyah, 2/236]
Imam Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah berkata:
أنه يكره الإجتماع فيها في المساجد للصلاة والقصص والدعاء ولا يكره أن يصلي الرجل فيها لخاصة نفسه وهذا قولُ الأوزاعيِ إمامِ أهل الشام وفقيههم وعالمهم وهذا هو الأقرب إن شاء الله تعالى
“Bahwasannya dimakruhkan berkumpul di masjid-masjid untuk shalat, membacakan cerita dan berdoa. Akan tetapi tidak dimakruhkan seseorang melakukannya secara sendiri. Dan ini pendapat Imam al-Auza’iy, yaitu Imamnya penduduk Syam, serta ulama fiqih mereka dan juga ulamanya mereka. Dan inilah pendapat yang lebih mendekati (kebenaran) in sya Allah.”. [Imam Ibnu Rajab, kitab Lathaif al Ma’arif hal. 137]
Imam Ibnu Shalah As-Syafi’i rahimahullah juga berkata:
وأما ليلة النصف من شعبان، فلها فضيلة، وإحياؤها بالعبادة مستحب، ولكن على الانفراد
“Dan adapun malam Nisfu Sya’ban, maka ia memiliki fadhilah. Menghidupkannya dengan ibadah adalah sunnah, namun dikerjakan dengan sendiri-sendiri.” [Imam Ibnu Shalah As-Syafi’i, kitab Al-Musajalah hal. 43]
Apa saja ibadah yang dianjurkan pada malam nisfu syaban?
1. Berdoa
Sebagaimana telah disebutkan diatas bahwa malam Nisfu Sya'ban adalah salah satu malam yang mustajab berdoa pada malam tersebut.
2. Sholat Tasbih
Syekh Abdul Hamid Al-Makki dalam kitab Kanzu An-Najah wa As-Surur menyebutkan:
والأولى للإنسان : أن يصلي في هذه الليلة صلاة التسابيح التي علمها النبي صلى الله عليه وسلم لعمه العباس رضي الله تعالى عنه ، ولغيره من أقاربه صلى الله تعالى عليه وسلم
Yang lebih utama bagi seseorang (yang hendak menghidupkan malam Nisfu Sya'ban) agar mengerjakan sholat tasbih pada malam tersebut, yang diajarkan oleh Nabi shalallahu alaihi wasallam, kepada pamannya, yaitu Al-'Abbas Radhiallahu Anhu, dan kepada yang lainnya dari kerabat Nabi shalallahu ta'ala alaihi wasallam. [Syekh Abdul Hamid Al-Makki, kitab Kanzu An-Najah wa As-Surur, halaman 175-176]
Lalu bagaimana tata cara melakukan shalat tasbih?
Imam Ibnu Hajar Al-Haitami di dalam kitabnya Al-Minhâjul Qawîm menuliskan:
و صلاة التسبيح وهي أربع ركعات يقول في كل ركعة بعد الفاتحة والسورة: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر، زاد في الإحياء: ولا حول ولا قوة إلا بالله خمس عشرة مرة وفي كل من الركوع والاعتدال وكل من السجدتين والجلوس بينهما والجلوس بعد رفعه من السجدة الثانية في كل عشرة فذلك خمس وسبعون مرة في كل ركعة
“dan (termasuk shalat sunnah) adalah shalat tasbih, yaitu shalat empat rakaat di mana dalam setiap rakaatnya setelah membaca surat Al-Fatihah dan surat lainnya membaca kalimat subhânallâh wal hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar—di dalam kitab Ihyâ ditambah kalimat: wa lâ haulâ wa lâ quwwata illâ billâh—sebanyak 15 kali, dan pada tiap-tiap ruku’, i’tidal, sujud, duduk di antara dua sujud, dan duduk setelah sujud yang kedua masing-masing membaca (kalimat tersebut) sebanyak 10 kali. Maka itu semua berjumlah 75 kali dalam setiap satu rakaat.” [Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Al-Minhâjul Qawîm, Beirut: Darul Fikr, tt., hlm. 203]
Dari penjelasan Ibnu Hajar di atas dapat disimpulkan tata cara pelaksanaan shalat tasbih sebagai berikut:
1. Pada dasarnya tata cara pelaksanaan shalat sunnah tasbih tidak jauh berbeda dengan tata cara pelaksanaan shalat-shalat lainnya, baik syarat maupun rukunnya. Hanya saja di dalam shalat tasbih ada tambahan bacaan kalimat thayibah dalam jumlah tertentu.
2. Setelah membaca Al-Fatihah dan surat , sebelum ruku’ terlebih dahulu membaca kalimat subhânallâh wal hamdu lillâh wa lâ ilâha illallâhu wallâhu akbar (selanjutnya kalimat ini disebut tasbih) sebanyak 15 kali. Setelah itu baru kemudian melakukan ruku’.
3. Pada saat ruku’ sebelum bangun untuk i’tidal terlebih dahulu membaca tasbih sebanyak 10 kali. Setelah itu baru kemudian bangun untuk i’tidal.
4. Pada saat i’tidal sebelum turun untuk sujud terlebih dahulu membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian sujud.
5. Pada saat sujud yang pertama sebelum bangun membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian bangun untuk duduk.
6. Pada saat duduk di antara dua sujud sebelum melakukan sujud kedua membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian melakukan sujud yang kedua.
7. Pada saat sujud kedua sebelum bangun membaca tasbih sebanyak 10 kali.
8. Setelah sujud yang kedua tidak langsung bangun untuk berdiri memulai rakaat yang kedua, namun terlebih dahulu duduk untuk membaca tasbih sebanyak 10 kali. Setelah itu barulah bangun untuk berdiri kembali memulai rakaat yang kedua.
Dengan demikian maka dalam satu rakaat telah terbaca tasbih sebanyak 75 kali. Untuk rakaat yang kedua tata cara pelaksanaan shalat dan jumlah bacaan tasbihnya sama dengan rakaat pertama, hanya saja pada rakaat kedua setelah membaca tasyahud sebelum salam terlebih dahulu membaca tasbih sebanyak 10 kali, baru kemudian membaca salam sebagaimana biasa sebagai penutup shalat. Jika dijumlahkan keseluruhan tasbihnya maka menjadi 300 tasbih.
Hukum mengerjakan shalat tertentu pada malam Nisfu Sya'ban?
Mayoritas ulama mazhab berpendapat tidak adanya amalan khusus di malam nisfu Sya’ban apapun bentuknya, seperti melakukan shalat Nisfu sya'ban atau dzikir tertentu dan mereka menegaskan larangan melakukannya. Disebutkan dalam Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah Al-Kuaitiyah, 2/236:
وَبَيَّنَ الْغَزَالِيُّ فِي الإِْحْيَاءِ كَيْفِيَّةً خَاصَّةً لإِِحْيَائِهَا، وَقَدْ أَنْكَرَ الشَّافِعِيَّةُ تِلْكَ الْكَيْفِيَّةَ وَاعْتَبَرُوهَا بِدْعَةً قَبِيحَةً ، وَقَال الثَّوْرِيُّ هَذِهِ الصَّلاَةُ بِدْعَةٌ مَوْضُوعَةٌ قَبِيحَةٌ مُنْكَرَةٌ
"Imam Al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya' ulumi ad-din, ada cara tertentu untuk menghidupkan malam Nisfu sya'ban, dan ulama Syafi’i mengingkari cara tersebut dan menganggapnya sebagai bid'ah yang jelek, dan Imam Al-Tsauri mengatakan Sholat ini adalah bid'ah yang maudu', jelek dan tercela (3)."
_________________
(3) Ittihaf as-Sadah al-Muttaqin bi Syarh Ihya’ Ulum ad-Din 3/423
Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzzab mengingatkan, agar jangan tertipu dengan apa yang ada didalam kitab Ihya' dan Qut al-qulub mengenai shalat malam Nisfu Sya'ban:
وَلَا يُغْتَرُّ بِذِكْرِهِمَا فِي كِتَابِ قُوتِ الْقُلُوبِ وَإِحْيَاءِ عُلُومِ الدِّينِ وَلَا بِالْحَدِيثِ الْمَذْكُورِ فِيهِمَا فَإِنَّ كُلَّ ذَلِكَ بَاطِلٌ وَلَا يُغْتَرُّ بِبَعْضِ مَنْ اشْتَبَهَ عَلَيْهِ حُكْمُهُمَا مِنْ الْأَئِمَّةِ فَصَنَّفَ وَرَقَاتٍ فِي اسْتِحْبَابِهِمَا فَإِنَّهُ غَالِطٌ فِي ذَلِكَ
Janganlah tertipu dengan penyebutan sholat raghaib dan sholat malam nisfu sya'ban itu dalam kitab “Qut al-qulub dan Ihya' ulumi ad-din”, maupun dengan hadits yang disebutkan di dalam keduanya, karena semua itu adalah batil, dan janganlah tertipu oleh sebagian para imam yang bingung dengan hukum kedua sholat tersebut, sehingga mereka menulis lembaran-lembaran yang menyatakan kesunnahan keduanya, karena mereka keliru dalam hal itu. [Imam An-Nawawi, Kitab Al-Majmu' Syarh Al-Muhadzzab 4/56]
Hadist yang dimaksud oleh Imam An-Nawawi tersebut adalah sebagai berikut:
وروينا عن الحسن قال: حدثني ثلاثون من أصحاب النبي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أن من صلّى هذه الصلاة في هذه الليلة نظر الله عزّ وجلّ إليه سبعين نظرة وقضى له بكل نظرة سبعين حاجة أدناها المغفرة
Kami meriwayatkan dari Al-Hasan, beliau berkata: Tiga puluh sahabat Nabi shalallahu alaihi wasallam, meriwayatkan hadits kepada saya bahwa siapa pun yang sholat pada malam ini, maka Allah azza wajalla memandangnya tujuh puluh kali dan penuhi baginya tujuh puluh kebutuhan dengan setiap pandangan, yang terkecilnya adalah ampunan. [Abu Thalib al-Makki (w 386 H), Kitab Qut al-qulub fi mu'amalah al-mahbub wa washfi thoriqi al-murid ila maqomi at-tauhid, 114/1]
Kesimpulannya, sesuai dengan kaidah fiqih yang ditulis oleh Syekh As-Syarwani dalam hasiyah (catatan kaki) nya atas kitab Tuhfat Al-Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj:
وَالْأَصْلُ أَنَّ الْعِبَادَةَ إذَا لَمْ تُطْلَبْ لَمْ تَنْعَقِدْ
Prinsip dasarnya adalah bahwa, apabila ibadah itu tidak dituntut (oleh syariat), maka ibadahnya tidak sah. [Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfat Al-Muhtaj fi Syarh Al-Minhaj wa Hawasyai As-Syarwani wa Al-'Ubadi, 11/2]
Atas dasar kaidah itu, para ulama menyatakan keharaman melaksanakan shalat raghaib, shalat nishfu sya’ban, dan lain sebagainya. Sebab shalat-shalat yang demikian itu tidak berlandaskan dalil yang sahih.
Lain halnya dengan shalat sunnah mutlak, maka boleh dilaksanakan kapan saja, berapa pun rakaatnya, di mana pun tempatnya, ada sebab ataupun tidak ada sebab, kita boleh secara bebas melaksanakannya, asalkan tidak dilakukan di waktu-waktu terlarang.
Maka dari itu, Syekh Abdul Hamid Al-Makki dalam kitab Kanzu An-Najah wa As-Surur mengatakan yang lebih utama adalah mengerjakan solat tasbih pada malam Nisfu Sya'ban.
Bagaimana dengan bacaan Yasin 3 kali pada malam Nishfu Sya'ban?
Mengenai pembacaan Yasin tersebut Syaikh Muhammad bin Darwis mengatakan dalam kitabnya:
وَأَمَّا قِرَاءَةُ سُوْرَةِ يس لَيْلَتَهَا بَعْدَ الْمَغْرِبِ وَالدُعَاءِ الْمَشْهُوْرِ فَمِنْ تَرْتِيْبِ بَعْضِ أهْلِ الصَّلاَحِ مِنْ عِنْدِ نَفْسِهِ قِيْلَ هُوَ الْبُوْنِى وَلاَ بَأْسَ بِمِثْلِ ذَلِكَ
“Adapun pembacaan surat Yasin pada malam Nishfu Sya’ban setelah Maghrib merupakan hasil ijtihad sebagian ulama, konon ia adalah Syeikh Al Buni (pengarang kitab Syamsul Ma'arif), dan tidak ada yang salah dengan itu” [Syaikh Muhammad bin Darwis, kitab Asna Al-Matholib fi Ahadist Mukhtalifah Al-Marotib, halaman 234]
3. Puasa
Dalam kitab Masu'ah al-fiqhi al-islami, Syekh At-Tuaijiri mengatakan bahwa, disunnahkan memperbanyak punya pada bulan syaban. Berdasarkan hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha beliau berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - يَصُومُ حَتَّى نَقُولَ لا يُفْطِرُ، وَيُفْطِرُ حَتَّى نَقُولَ لا يَصُومُ، فَمَا رَأيْتُ رَسُولَ اللهِ - صلى الله عليه وسلم - اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ إِلا رَمَضَانَ، وَمَا رَأيْتُهُ أكْثَرَ صِيَاماً مِنْهُ فِي شَعْبَانَ. متفق عليه
”Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam senantiasa berpuasa sehingga kami berkata beliau tidak berbuka, dan beliau senantiasa berbuka sehingga kami berkata beliau tidak berpuasa. Maka aku tidak melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyempurnakan puasa satu bulan penuh kecuali Ramadahan, dan aku tidak melihat puasa beliau yang lebih banyak dibandingkan puasa bulan Sya’ban.” Muttafaq alaih. [Syekh At-Tuaijiri, Muhammad bin Ibrahim, kitab Masu'ah al-fiqhi al-islami, 3/193]
Dalam sebuah hadits juga disebutkan:
أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَلِيٍّ، عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ، قَالَ: حَدَّثَنَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ أَبُو الْغُصْنِ، شَيْخٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أُسَامَةُ بْنُ زَيْدٍ، قَالَ: قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، لَمْ أَرَكَ تَصُومُ شَهْرًا مِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَانَ، قَالَ: ذَلِكَ شَهْرٌ يَغْفُلُ النَّاسُ عَنْهُ بَيْنَ رَجَبٍ وَرَمَضَانَ، وَهُوَ شَهْرٌ تُرْفَعُ فِيهِ الْأَعْمَالُ إِلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ، فَأُحِبُّ أَنْ يُرْفَعَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
“Amer bin Ali mengabarkan kepada kami, dari Abdurrahman, beliau berkata: Tsabit bin Qais Abu Al-Gushn, seorang Syekh dari penduduk Madinah, meriwayatkan hadits kepada kami, beliau berkata: Abu Sa'id Al-Maqburi meriwayatkan hadits kepadaku, beliau berkata: Usama bin Zaid meriwayatkan hadits kepadaku, beliau berkata: “Aku bertanya pada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku tidak pernah melihat engkau berpuasa dalam sebulan sebagaimana engkau lakukan di bulan Sya’ban.” Rasulullah menjawab, “Bulan itu (Sya’ban) adalah bulan yang banyak orang lalai darinya, karena berada di antara bulan Rajab dan Ramadan, dan pada bulan Sya’ban, amalan diangkat kepada Tuhan semesta alam, maka aku menyukai agar amalanku diangkat selagi aku sedang berpuasa.” [Imam An-Nasai, kitab Sunan An-Nasai, 4/201]
Para ulama Syafi’iyyah berpendapat tentang kebolehan berpuasa pada Nisfu Sya’ban dan pada hari setelahnya.
لما صح من قوله صلى الله عليه وسلم: "إذا انتصف شعبان فلا تصوموا" "إلا لورد" بأن اعتاد صوم الدهر أو صوم يوم وفطر يوم أو صوم يوم معين كالاثنين فصادق ما بعد النصف. "أو نذر" مستقر في ذمته "أو قضاء" لنفل أو فرض "أو كفارة" فيجوز صوم ما بعد النصف عن ذلك وإن لم يصل صومه بما قبل النصف لخبر الصحيحين: "لا تقدموا" أي لا تتقدموا "رمضان بصوم يوم أو يومين إلا رجل كان يصوم يومًا ويفطر يومًا فليصمه" وقيس بالورد الباقي بجامع السبب. "أو وصل" صوم "ما بعد النصف بما قبله" ولو بيوم النصف وإن اقتضى ظاهر الحديث السابق الحرمة في هذه الصورة أيضًا حفظًا لأصل مطلوبية الصوم.
Karena berdasarkan hadits sahih dari Nabi shalallahu alaihi wasallam: “Ketika telah tiba pertengahan Sya'ban, janganlah kalian berpuasa” “kecuali karena wirid,” gambarannya adalah ia terbiasa berpuasa dahr (sepanjang masa), atau berpuasa pada suatu hari dan berbuka pada hari yang lain, atau berpuasa pada hari tertentu misalnya hari senin, kemudian dia kebetulan bertemu hari setelah Nisfu Sya'ban, “atau puasa nazar” yang telah ditetapkan atas kewajibannya, “atau puasa qodho” baik sunah ataupun wajib, "atau puasa kafarat" maka dibolehkan berpuasa setelah Nisfu Sya'ban, meskipun puasanya tidak disambung dengan hari sebelum Nisfu Sya'ban, berdasarkan hadits sahih Bukhari Muslim: “Janganlah kalian mendahului” maksudnya janganlah kalian mendahului “Ramadhan dengan berpuasa satu atau dua hari, kecuali bagi seorang laki-laki, ia biasa berpuasa satu hari dan berbuka satu hari, maka biarlah dia berpuasa pada hari itu.” Dan disamakan dengan wirid yang tersisa, karena sama-sama mempunyai sebab. “atau menyambung” puasa “setelah Nisfu Sya'ban dengan hari sebelumnya“, meskipun dengan hari Nisfu Sya'ban tersebut, meskipun makna yang tampak dari hadist sebelumnya mengharuskannya diharamkan dalam hal ini juga. Untuk menjaga hukum asal dituntutnya puasa. [Imam Ibnu Hajar Al-Haitami, kitab Al-Minhaj Al-Qawim Sharh Al-Muqaddimah Al-Hadramiyyah, halaman 249]
Akan tetapi, Nisfu Sya'ban pada tahun ini bertepatan dengan hari Minggu, padahal dalam madzhab Syafi'i, makruh hukumnya mengkhususkan puasa pada hari Minggu saja. Maka agar tidak makruh puasanya, sebaiknya puasanya dilanjutkan dengan hari setelahnya, yaitu hari Senin.
(ويكره إفراد الجمعة) بالصوم؛ لصحة النهي عن صومه، إلا أن يصوم يوماً قبله أو يوماً بعده ... (و) إفراد (السبت والأحد) بالصوم؛ للنهي عن الأول، وقيس به الثاني بجامع أن اليهود تعظم الأوّل، والنصارى تعظم الثاني، فقصد بذلك الشارع مخالفتهم ... وخرج بـ (الإفراد): جمع اثنين منها ولو الجمعة والأحد، وجمع غيرها معها، فلا كراهة؛ إذ المجموع لم يعظمه أحد.
(Dimakruhkan mengkhususkan hari Jumat) untuk puasa. Karena sahihnya hadist larangan puasa tersebut, kecuali dia berpuasa sehari sebelum atau sehari sesudahnya ... (dan) mengkhususkan (hari Sabtu dan Minggu) untuk berpuasa. Karena ada larangan pada yang pertama {hari Sabtu}, dan disamakan yang awat tersebut dengan yang kedua {hari Minggu}, sebab sama-sama bahwa orang-orang Yahudi mengagungkan yang pertama {hari Sabtu}, dan orang-orang Nasrani mengagungkan yang kedua {hari Minggu}. Oleh karena itu, As-Syari' (Nabi) bermaksud menyelisihi mereka ... dan dikecualikan dengan (mengkhususkan): yaitu menggabungkan dua dari ketiganya, walaupun itu hari Jumat dan Minggu, dan menggabungkan dengan yang lainnya dengan ketiga hari tersebut, maka tidak dimakruhkan. Sebab hari yang dikumpulkan itu tidak diagungkan oleh siapapun. [Syekh Sa'id Ba'isyan, kitab Syarh al-Muqaddimah al-Hadramiyyah yang dinamakan dengan kitab Busyro al-Karim bi Syarh Masa'il at-Ta'lim, halaman 585-586]
Sumber: Ust. Riyadul Jinan, Pandeglang Banten, 15 Sya'ban 1445 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar