Selasa, 09 Desember 2025

Amalan Jum'at Akhir Bulan Rajab: Solusi membaca amalan saat khotib berkhutbah



Amalan ini masyhur di kalangan ulama dan habaib. Sulthanul Ulama dari Yaman, al-Mukarram al-Syekh al-Habib Salim bin Abdullah al-Syathiri misalnya pernah mengijazahkan amalan tersebut untuk dibaca pada Jumat terakhir bulan Rajab. Amalannya berikut ini:

 أَحْمَدُ رَسُوْلُ اللهِ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ

Ahmad Rasûlullâh Muhammad Rasûlullâh

Artinya, “Ahmad utusan Allah, Muhammad utusan All

 Syaikh Hamid bin Muhammad Ali Quds dalam kitab Kanzun Najah was Surur yang menjelaskan bahwa Syaikh Ali al-Ajhuri menerangkan berikut ini:

أَنَّ مَنْ قَرَأَ فِيْ آخِرِ جُمُعَةٍ مِنْ رَجَبٍ وَالْخَطِيْبُ عَلَى الْمِنْبَرِأَحْمَدُ رَسُوْلُ اللهْ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهْ (خَمْسًا وَثَلَاثِيْنَ مَرَّةً) لَا تَنْقَطِعُ الدَّرَاهِمُ مِنْ يَدِهِ ذَلِكَ السَّنَةَ

Artinya, “Sesungguhnya barang siapa di akhir Jumat bulan Rajab, saat khatib berada di mimbar membaca; ‘Ahmadu Rasulullohi muhammadur rosulullohi’ (sebanyak 35 kali), maka dirham tidak akan putus dari tangannya pada tahun tersebut (selama setahun akan selalu memegang uang).”

Dalam kitab yang sama, Kanzun Najah was Surur dijelaskan bahwa amalan tersebut bisa dibaca di dalam hati, atau dibaca ketika khatib duduk di mimbar sebelum khutbah, atau ketika doa untuk para sahabat:

السؤال كيف يقرأ والخطيب على المنبر وهو فى نفس الوقت مأمور بالانصات الجواب أنه ليس من شروط القراءة التلفظ بل استحضارها بالقلب يكفي او يقرأ حال الجلوس على المنبر قبل الخطبة او يقرأ حال الدعاء او الترضي من الصحابة لان المراد بالانصات حال الخطبة هو الانصات حال استماع اركان الخطبة لاغير.اه‍


Artinya, "Bagaimana kita membacanya? Sedangkan khatib di atas mimbar, dan di waktu itu kita diperintahkan untuk diam mendengar khutbah? Jawabannya, tidak disyaratkan untuk membacanya dengan mulut akan tetapi di dalam hati saja sudah cukup, atau dibaca ketika khatib duduk di mimbar sebelum khutbah, atau ketika doa untuk para sahabat, karena yang dimaksud untuk diam di dalam khutbah (inshatu) adalah diam mendengarkan rukun khutbah, bukan yang lainnya.”

Minggu, 07 Desember 2025

𝟏𝟎 𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫; 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐛𝐢𝐛 𝐀𝐥𝐢 𝐛𝐢𝐧 𝐌𝐮𝐡𝐬𝐢𝐧 𝐀𝐥-𝐇𝐚𝐦𝐢𝐝 𝐝𝐢 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚, 𝐇𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐌𝐚𝐭𝐚 𝐊𝐢𝐫𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐁𝐮𝐭𝐚.

𝟏𝟎 𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫; 𝐉𝐞𝐣𝐚𝐤 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐇𝐚𝐛𝐢𝐛 𝐀𝐥𝐢 𝐛𝐢𝐧 𝐌𝐮𝐡𝐬𝐢𝐧 𝐀𝐥-𝐇𝐚𝐦𝐢𝐝 𝐝𝐢 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚, 𝐇𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐌𝐚𝐭𝐚 𝐊𝐢𝐫𝐢𝐧𝐲𝐚 𝐁𝐮𝐭𝐚. 

𝐃𝐚𝐧 𝐓𝐫𝐚𝐠𝐞𝐝𝐢 𝐊𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚: 𝐇𝐚𝐛𝐢𝐛 𝐔𝐦𝐚𝐫 𝐀𝐥-𝐇𝐚𝐦𝐢𝐝 & 𝐒𝐞𝐩𝐮𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐀𝐥𝐢 𝐀𝐥-𝐇𝐚𝐦𝐢𝐝 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐤𝐬𝐚 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐓𝐞𝐰𝐚𝐬 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐏𝐊𝐈

(Ibnu Abdillah Al-Katibiy, 17 November 2025)

Berdasarkan dokumen-dokumen penting yang saya peroleh langsung dari cucunya (jalur ibu), Habib Zainal Abidin Al-Habsyi, tersingkap sebuah fakta sejarah yang selama ini jarang terungkap kepada publik.

Dalam salah satu narasinya Bung Rhoma, (sang Kesatria Bergitar) pernah menyatakan seperti dalam video:

“𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝘀𝗲𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗽𝘂𝗻 𝗕𝗮‘𝗮𝗹𝗮𝘄𝗶 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗶𝗸𝘂𝘁 𝗯𝗲𝗿𝗽𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶 𝟭𝟬 𝗡𝗼𝘃𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿, 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗿𝘁𝗶𝗻𝘆𝗮 𝟭𝟬 𝗡𝗼𝘃𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿 𝗯𝗮𝗴𝗶 𝗸𝗮𝘂𝗺 𝗕𝗮‘𝗮𝗹𝗮𝘄𝗶.”

Pernyataan itu disampaikan dengan penuh keyakinan, namun tanpa riset sejarah, tanpa penelusuran dokumen, dan tanpa upaya mengenali siapa saja anak bangsa dari keturunan Ba‘alawi yang turut mempertaruhkan nyawa di Surabaya.

Karena itu, pada kesempatan ini saya hadirkan bukti sejarah yang sahih dan terverifikasi, bukan sekedar cerita. Salah satunya adalah kisah Habib Ali bin Muhsin Al-Hamid, pejuang 10 November yang bertempur langsung di Surabaya hingga mata kirinya buta akibat terkena mortir, serta catatan kelam keluarganya:

• 𝐇𝐚𝐛𝐢𝐛 𝐔𝐦𝐚𝐫 𝐀𝐥-𝐇𝐚𝐦𝐢𝐝 (adik kandung beliau) disiksa hingga cacat dan wafat oleh PKI.

• 𝐇𝐚𝐛𝐢𝐛 𝐀𝐥𝐢 𝐀𝐥-𝐇𝐚𝐦𝐢𝐝 (sepupunya) diculik dan dibunuh PKI tanpa pernah ditemukan makamnya.

Dan kisah ini baru satu dari sekian banyak bukti. Masih ada tokoh-tokoh lain seperti Habib Abu Bakar Al-Habsyi, dan banyak pejuang Ba‘alawi lainnya yang juga turun mengangkat senjata pada 10 November.

Namun dalam postingan ini, saya fokuskan pada satu nama:

Habib Ali bin Muhsin Al-Hamid, seorang habib pejuang yang harus dicatat dalam sejarah dengan tinta keberanian.

Habib Ali bin Mukhsin Al-Hamid lahir di Lumajang, Jawa Timur, pada tahun 1922, dan beralamat pada masa senja di Jl. Jawa Gg 4 No. 15B Pasuruan, Jawa Timur. Nama lengkap pada dokumen adalah ALI BIN MUKHSIN AL-HAMID dan tercatat sebagai pejuang kemerdekaan serta veteran Angkatan 45. Ia berasal dari keluarga Al-Hamid (Ba'alawi) yang dikenal menjaga tradisi agama dan kehormatan di Jawa Timur.

𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐣𝐚𝐣𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐉𝐞𝐩𝐚𝐧𝐠 (𝟏𝟗𝟒𝟒–𝟏𝟗𝟒𝟓)

Dokumen mencatat Habib Ali bin Mukhsin sebagai anggota KEYBU (Keibodan) di Lawang, Malang di bawah pimpinan Kapten Minami, dan juga pernah dikenakan kerja paksa Romusha oleh Jepang.

𝐊𝐢𝐩𝐫𝐚𝐡 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐧 𝟏𝟗𝟒𝟓 (𝐏𝐫𝐨𝐤𝐥𝐚𝐦𝐚𝐬𝐢 & 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚)

Pada tahun 1945, habib Ali tergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat), di bawah kepemimpinan Bp. Zen Muhammad dan Bp. Mutarib Noor Amir di Lawang-Surabaya. Ia juga tercatat berhubungan dengan tokoh nasional seperti Bung Tomo, Dr. Mustopo, dan A.A. Bahdim, serta aktif dalam berbagai laskar perjuangan di Lawang, Surabaya dan Malang.

𝐏𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐬𝐚𝐫 𝟏𝟎 𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫, 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚

Pada 10 November 1945, Habib Ali terjun langsung dalam pertempuran Surabaya. Ia mengalami luka parah: mata kiri buta dan tangan kanan cedera berat akibat mortir, dan dirawat oleh Dr. Sartono di Lawang. Beberapa sahabat seperjuangan gugur dalam pertempuran tersebut.

𝐇𝐢𝐳𝐛𝐮𝐥𝐥𝐚𝐡 & 𝐉𝐚𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫

Setelah sebagian pulih, habib Ali bergabung dengan Hizbullah sebagai Pembantu Kepala Perlengkapan dan menjabat Komandan Markas Batalyon Pertempuran Hizbullah Pandaan, serta staf Divisi Hizbullah Malang. Data dokumen menyebut ia berhubungan langsung dengan Bp. Moch Saidu, Bp. Abdul Qarim, dan Panglima Imam Sudjat dari Divisi VIII. Pada masa ini, ia berpangkat Letnan Dua (Lt. II) TNI AD.

𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐂𝐥𝐚𝐬𝐡 𝐈 & 𝐈𝐈

Habib Ali pernah bertugas di Banyuwangi, Muncar, Gempol, Tulangan, dan Pandaan dalam Clash I dan II (1946–1949). Ia tercatat dalam operasi gerilya bersama Hamid Rusdi, Brigade XVI Trunojoyo dan Batalyon Trunojoyo Malang, serta menghadapi pengepungan Belanda dan pertempuran gerilya di Lawang dan sekitarnya.

𝐏𝐞𝐧𝐮𝐠𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝟏𝟗𝟒𝟗–𝟏𝟗𝟓𝟎 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐧 𝟏𝟗𝟒𝟗.

Habib Ali masuk struktur resmi TNI/Komando Militer Kota Surabaya di bawah komando IR Sumantono dan Djardjo Subyantono. Tahun 1950, ia ditugaskan ke Makassar-Sulawesi Selatan dalam operasi penertiban DI/TII dan sisa kolonial, sebelum akhirnya mengajukan permohonan berhenti secara terhormat karena kondisi fisik akibat luka perang. Surat pemberhentian resmi menurut dokumen adalah No 213/SKL/ST/API/50, dan ia pensiun secara hormat sebagai Purnawirawan TNI AD dan aktif di PEPABRI maupun Legiun Veteran Republik Indonesia.

𝐓𝐫𝐚𝐠𝐞𝐝𝐢 𝐆𝟑𝟎𝐒/𝐏𝐊𝐈

Masa G30S/PKI menjadi periode tragis bagi keluarga habib Ali bin Mukhsin. Dokumen menyebut dua keluarga beliau menjadi korban kekejaman PKI: Adek kandung beliau; Umar bin Mukhsin, dipukul dan disiksa oleh orang-orang PKI di Ambulu-Jember hingga mengalami gagar otak selama hidupnya sampai meninggal dunia di Tanggul. Beliau meninggalkan seorang istri dan 6 anak putra-putri. 

Dan sepupu beliau; Ali bin Abdullah Al-Hamid, kala itu menjabat sebagai ketua Ansor Tanggul, diculik waktu malam dan dibunuh PKI, hingga makamnya tidak ditemukan sampai saat ini. Beliau meninggalkan seorang istri dan 5 anak putra-putri. 

Kisah ini diceritakan oleh habib Ali bin Muhsin Al-Hamid dengan melampirkan beberapa fakta singkat sebanyak 19 lembar dan diserahkan kepada Legiun Veteran Cabang Pasuruan dan Dewan Harian Nasional Angkatan 45 di Pasuruan. 

𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐓𝐮𝐚 & 𝐖𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐣𝐮𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧

Pada 27 Juli 1988, habib Ali menulis sendiri riwayat perjuangan secara singkat pada usia 73 tahun, seperti dalam dokumen-dokumen. Ia menegaskan bahwa banyak fakta-fakta sejarah yang masih disimpan dalam ingatan, meskipun tidak seluruhnya terdokumentasi secara lengkap. Ia dikenal sebagai sosok yang berani, loyal kepada ulama, dan tidak pernah lari dari gelanggang perjuangan meski mengalami cacat fisik tetap kembali ke medan perang hingga pensiun.

𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧 :

Habib Ali bin Mukhsin Al-Hamid adalah contoh nyata habaib pejuang yang tidak hanya berdakwah, namun ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, bahkan mengalami luka berat sebagai saksi sejarah langsung dari masa Revolusi.

Jumat, 05 Desember 2025

Seni Menyerang dengan Tenang: Menguasai Percakapan Tanpa Emosi


Seni Menyerang dengan Tenang: Menguasai Percakapan Tanpa Emosi

Ada kalimat yang sering menyesatkan dalam percakapan sehari-hari: “Dia lebih pintar ngomong.” Padahal, sering kali bukan soal pintar atau tidak, melainkan soal siapa yang mampu menjaga pikirannya tetap jernih ketika suasana memanas. Orang yang “kalah bicara” bukan berarti bodoh atau lemah—ia hanya belum memahami strategi berbicara yang tenang, tajam, dan terukur.

Sebuah studi komunikasi persuasif di Harvard menemukan bahwa 83% konflik verbal gagal diselesaikan bukan karena isi argumen, tetapi karena cara penyampaian yang terlalu defensif atau emosional. Artinya, masalahnya bukan di apa yang dikatakan, melainkan bagaimana dan kapan sesuatu dikatakan.
Di sinilah seni “menyerang dengan tenang” bekerja: kemampuan menguasai percakapan tanpa harus meninggikan suara.


1. Bicara Bukan Tentang Membalas, Tapi Membaca Situasi

Orang yang kalah bicara biasanya terburu-buru ingin membalas. Padahal, yang menang dalam percakapan bukanlah yang paling cepat merespons, melainkan yang paling cepat membaca arah lawan bicara.

Ketika seseorang menuduhmu “nggak ngerti-ngerti juga”, naluri membela diri langsung muncul. Di situlah jebakannya. Semakin kamu reaktif, semakin mudah terbaca emosimu.
Sementara mereka yang tenang memilih mengamati: jeda, intonasi, hingga pilihan kata lawan. Ia menunggu waktu yang tepat untuk menyerang, bukan dengan emosi, tapi dengan logika. Setiap kalimat balasannya seperti pukulan lembut yang membuat lawan kehilangan pijakan argumen.

Berbicara, dalam hal ini, bukan lagi pelampiasan emosi, melainkan permainan strategi.


2. Menang Bicara Dimulai dari Ketenangan Berpikir

Dalam psikologi komunikasi, otak manusia memiliki dua sistem dominan: rasional dan emosional. Ketika kita bicara dengan nada tinggi, sistem limbik (emosional) mengambil alih. Maka, kalimat pun sering berantakan.

Sebaliknya, orang yang bisa menyerang dengan tenang memakai neokorteks—bagian otak yang memproses logika dan makna.
Coba ingat seseorang yang bisa mematahkan argumenmu hanya dengan satu kalimat pendek tapi menenangkan. Itu bukan kebetulan, melainkan hasil dari pengendalian diri dan ketepatan timing.

Mereka tahu: bicara bukan soal siapa yang lantang, tapi siapa yang paling jernih pikirannya.


3. Orang yang Tenang Justru Lebih Berbahaya

Tenang bukan berarti pasif. Tenang adalah bentuk kendali.
Orang yang tidak terbawa arus emosi membuat lawan bicara kehabisan tenaga. Saat kamu tetap tersenyum di tengah serangan, itu bukan kelemahan—itu strategi.

Banyak tokoh besar seperti Nelson Mandela dan Mahatma Gandhi menguasai seni ini. Mereka “menyerang” dengan ketenangan, bukan dengan volume suara. Saat dunia berteriak, mereka menjawab dengan logika dan moralitas yang tak terbantahkan. Hasilnya? Mereka bukan hanya memenangkan debat, tetapi juga rasa hormat lawan.


4. Kalimat Tajam Lahir dari Pikiran yang Bersih

Kamu tak bisa berbicara jernih jika hatimu penuh amarah. Kata-kata kasar justru menunjukkan kamu sudah kalah sebelum perdebatan dimulai.
Kekuatan retorika bukan pada kerasnya suara, tapi ketepatan pilihan kata.

Bayangkan dalam rapat kerja, ketika seseorang berkata:

“Ide kamu nggak masuk akal.”



Reaksi spontan tentu ingin membantah. Tapi jika kamu menjawab dengan tenang:

“Menarik, bagian mana yang menurutmu tidak masuk akal?”



Kamu baru saja mengambil alih kendali percakapan. Kamu memaksa lawan menjelaskan lebih dalam—dan sering kali, logikanya mulai goyah di situ.


5. Mendengar Adalah Bentuk Serangan Paling Elegan

Kebanyakan orang bicara untuk menang, sedikit yang mendengar untuk memahami.
Padahal, mendengar adalah bentuk pengumpulan amunisi logika.

Dalam debat atau diskusi publik, pembicara hebat bukan yang paling banyak bicara, tetapi yang tahu kapan harus diam. Di balik diamnya, ia sedang memetakan arah pikiran lawan. Begitu waktunya tiba, satu kalimatnya bisa menutup semua ruang bantahan.


6. Bicara Tenang Bukan Berarti Tak Berani

Banyak yang keliru menganggap suara pelan berarti lemah. Padahal, orang yang tenang tak butuh membuktikan kekuatan dengan volume. Ia tahu nilainya tak ditentukan oleh kerasnya suara.

Di dunia kerja atau hubungan pribadi, kamu bisa melihat contohnya: orang yang paling tenang sering jadi penentu keputusan akhir.
Mereka tidak tergesa, tapi sekali berbicara, ucapannya mengguncang.
Itulah kekuatan mental yang tumbuh dari kejernihan berpikir, bukan ego.

7. Kemenangan dalam Bicara Adalah Saat Lawan Berhenti Membalas

Seni berbicara bukan tentang membuat lawan bungkam karena marah, tetapi membuatnya berhenti karena sadar argumennya runtuh.
Ketika kamu mampu berbicara dengan logika yang terstruktur dan sikap yang tenang, kamu bukan hanya memenangkan percakapan—kamu juga menghormati kecerdasanmu sendiri.

Menyerang dengan tenang berarti menaklukkan dirimu sebelum menaklukkan lawan.
Karena sejatinya, kekuatan berbicara lahir dari kemampuan mengendalikan pikiran, bukan dari keberanian meninggikan suara.


Kesimpulan: Jika kamu sering merasa “kalah bicara”, mungkin bukan karena kamu kurang pintar, tapi karena kamu belum belajar menenangkan pikiran sebelum berbicara.
Ingat, bicara yang efektif bukan tentang siapa yang paling keras, tapi siapa yang paling tenang.


Rabu, 03 Desember 2025

Tips Mengubah Canggung Berbicara Menjadi Ahli Orasi

“Banyak orang pintar gagal bukan karena tak punya ide, tapi karena tak tahu cara menyampaikannya.” Kalimat ini mungkin terdengar menyakitkan, tapi juga membangunkan kesadaran paling jujur tentang dunia komunikasi modern. Di kantor, di kelas, bahkan di media sosial, kemampuan berbicara bukan lagi sekadar pelengkap, tapi pembeda antara mereka yang didengar dan mereka yang diabaikan. Menariknya, riset dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi yang baik dapat meningkatkan peluang karier seseorang hingga 50 persen lebih tinggi dibanding yang hanya mengandalkan kemampuan teknis.

Mari jujur, kita semua pernah merasa canggung saat berbicara di depan orang lain. Jantung berdebar, tangan berkeringat, dan pikiran mendadak kosong. Tapi di balik rasa canggung itu sebenarnya tersembunyi potensi besar untuk menjadi komunikator yang cerdas—asal tahu cara melatihnya.

1. Rasa Canggung Bukan Tanda Lemah, Tapi Titik Awal Kesadaran Diri

Banyak orang menganggap rasa canggung sebagai kelemahan, padahal itu justru sinyal bahwa otak sedang belajar menyesuaikan diri dengan situasi baru. Saat berbicara di depan orang, tubuh melepaskan adrenalin yang membuat kita waspada. Ini bukan musuh, tapi mekanisme alami yang bisa diarahkan jadi energi positif. Misalnya, ketika Anda gugup saat mempresentasikan ide di rapat, alih-alih menahan diri, ubah fokus dari “takut dinilai” menjadi “berbagi gagasan”.

Semakin sering Anda menghadapi momen tersebut, semakin cepat tubuh dan pikiran beradaptasi. Canggung adalah bagian dari proses menuju versi diri yang lebih terampil. Itulah sebabnya banyak konten eksklusif di *Logikafilsuf* mengupas bagaimana mengubah tekanan psikologis menjadi momentum pertumbuhan—bukan sekadar motivasi, tapi strategi berbasis sains komunikasi dan psikologi modern.

2. Bicara Bukan Sekadar Kata, Tapi Struktur Pikiran yang Tersusun Rapi

Kecerdasan berbicara tidak diukur dari seberapa banyak kata yang keluar, melainkan seberapa jernih ide yang tersampaikan. Orang yang tampak percaya diri bukan karena tahu semua hal, tapi karena tahu apa yang ingin dikatakan. Lihat saja bagaimana seorang pemimpin bisa membuat audiens terdiam hanya dengan kalimat sederhana tapi padat makna. Itu bukan kebetulan, melainkan hasil latihan berpikir terstruktur sebelum berbicara.

Latihan ini bisa dimulai dari hal kecil, seperti membiasakan diri merangkum ide dalam tiga poin utama sebelum bicara. Cara sederhana ini melatih otak agar lebih efisien mengemas pesan, sehingga pembicaraan Anda terdengar meyakinkan tanpa berlebihan. Dengan kata lain, berbicara cerdas adalah berpikir jernih yang diekspresikan lewat kata.

3. Bahasa Tubuh Lebih Jujur dari Kalimat yang Diucapkan

Penelitian dari Albert Mehrabian menyebutkan, 55 persen dampak komunikasi berasal dari bahasa tubuh, bukan dari kata. Artinya, Anda bisa berbicara dengan sempurna namun tetap gagal menyampaikan makna jika tubuh Anda berkata sebaliknya. Dalam kehidupan sehari-hari, coba perhatikan: seseorang yang menunduk dan menghindari kontak mata, seberapa pun cerdas ucapannya, akan kehilangan daya kredibilitasnya.

Solusinya bukan berpura-pura percaya diri, melainkan mengarahkan tubuh agar selaras dengan isi pesan. Berdiri tegak, pandang audiens dengan tenang, dan beri jeda pada setiap kalimat penting. Tubuh yang tenang menular pada audiens, menciptakan atmosfer yang kondusif bagi kejelasan pesan.

4. Intonasi dan Tempo Adalah Musik dari Pikiran Anda

Bicara dengan nada datar membuat pesan kehilangan nyawa. Di sisi lain, terlalu banyak naik turun nada justru membuat pendengar bingung. Kuncinya ada pada ritme. Lihat bagaimana pembicara hebat memainkan intonasi seperti musisi memainkan melodi. Setiap jeda, tekanan, dan perubahan tempo menciptakan emosi yang menghidupkan kata-kata.

Untuk melatihnya, cobalah membaca teks keras-keras dengan variasi tempo dan jeda. Latihan sederhana ini membuat otak terbiasa mengatur aliran kalimat sesuai dengan konteks emosi. Dalam waktu singkat, Anda akan menyadari betapa intonasi bisa mengubah pidato yang biasa menjadi pesan yang menggugah.

5. Kecerdasan Emosional Adalah Fondasi Bicara yang Menggerakkan

Sebagus apa pun isi pesan Anda, audiens tidak akan tersentuh jika Anda gagal memahami perasaan mereka. Orang tidak hanya mendengar kata, mereka juga merasakan nada empati di baliknya. Itulah mengapa pembicara yang berpengaruh bukan yang paling pintar, tapi yang paling peka.

Di dunia kerja, kemampuan memahami emosi audiens bisa menjadi pembeda besar. Misalnya, saat menyampaikan kritik, gunakan nada dialogis, bukan konfrontatif. Saat memberi ide baru, bangun keterlibatan dengan menunjukkan bahwa Anda memahami tantangan orang lain. Bicara cerdas selalu berawal dari mendengar dengan hati sebelum membuka mulut.

6. Latihan Konsisten Mengubah Bicara dari Refleks Menjadi Keahlian

Tak ada yang langsung mahir berbicara hanya karena membaca teori. Sama seperti bermain gitar, kemampuan komunikasi terbentuk lewat repetisi. Setiap kali Anda berbicara, rekam, dengarkan, dan evaluasi. Dari situ, Anda akan tahu bagian mana yang terasa janggal, terlalu cepat, atau terlalu panjang.

Konsistensi ini yang sering diabaikan banyak orang. Mereka ingin hasil instan padahal keahlian berbicara adalah keterampilan otot dan pikiran yang harus diasah bersamaan. Dengan latihan teratur, Anda akan mulai merasa berbicara itu alami, bukan kewajiban. Dan jika Anda ingin memperdalam cara melatih pola komunikasi secara terarah, konten di *Logikafilsuf* membedahnya dengan pendekatan psikologi praktis yang bisa langsung diterapkan.

7. Bicara Cerdas Adalah Tentang Keberanian Menjadi Otentik

Di era digital, banyak orang berbicara bukan untuk didengar, tapi untuk disukai. Padahal, audiens justru tertarik pada pembicara yang autentik—yang berani menunjukkan ketidaksempurnaan namun tetap menyampaikan ide dengan keyakinan. Keaslian memberi rasa manusiawi yang tak bisa digantikan oleh retorika kosong.

Menjadi pembicara cerdas bukan soal meniru gaya orang lain, tapi menemukan suara sendiri. Orang tidak mencari pembicara sempurna, mereka mencari suara yang tulus dan berani jujur. Dan ketika Anda menemukan cara berbicara yang selaras dengan diri, Anda tak hanya terdengar pintar, tapi juga berpengaruh.

Setiap orang punya versi “cerdas” dalam dirinya, hanya perlu keberanian untuk melewati fase “canggung” terlebih dulu. Jika tulisan ini membuat Anda berpikir ulang tentang cara Anda berbicara, tinggalkan komentar atau bagikan ke teman yang sedang belajar tampil lebih percaya diri. Mungkin, dari percakapan kecil ini, lahir generasi baru yang tak hanya pintar berpikir, tapi juga cerdas menyampaikan pikirannya.

Selasa, 02 Desember 2025

Batasan Hormat Membungkuk Yang diperbolehkan & yang tidak diperbolehkan

MEMBUNGKUK HORMAT YANG MAKRUH

«أسنى المطالب في شرح روض الطالب» (4/ 186): 
«(قَوْلُهُ: وَحَنْيُ الظَّهْرِ مَكْرُوهٌ) قَالَ الشَّيْخُ عِزُّ الدِّينِ بْنُ عَبْدِ السَّلَامِ تَنْكِيسُ الرُّءُوسِ إنْ انْتَهَى إلَى حَدِّ الرُّكُوعِ فَلَا يُفْعَلُ كَالسُّجُودِ وَلَا بَأْسَ بِمَا يَنْقُصُ عَنْ حَدِّ الرُّكُوعِ لِمَنْ يُكْرَمُ مِنْ الْمُسْلِمِينَ»


(Ucapan mushannif: dan membungkukkan punggung itu makruh) Syaikh Izzuddin bin Abdus Salam berkata: Menundukkan kepala apabila sampai pada batas rukuk maka tidak boleh dilakukan, sebagaimana sujud. Tidak apa-apa membungkuk jika tidak sampai batas rukuk, untuk menghormati seorang Muslim yang dimuliakan."

Senin, 01 Desember 2025

Sikap Yang Membuat Orang Lain Merasa Nyaman

Membuat Orang Lain Merasa Nyaman Bukan Sekadar Kemampuan Berbicara, tetapi Soal Sikap yang Tulus

Pernahkah Anda bertemu seseorang yang membuat suasana terasa lebih tenang dan menyenangkan, bahkan saat baru pertama kali berkenalan? Biasanya bukan karena mereka pandai berbicara atau memiliki penampilan menarik, tetapi karena sikap mereka yang menghadirkan rasa nyaman.

Menjadi pribadi yang menyenangkan dan membuat orang lain betah berada di dekat kita bukanlah bakat bawaan, melainkan hasil dari kebiasaan dan sikap yang bisa dilatih. Berikut beberapa hal sederhana yang dapat Anda terapkan agar menjadi pribadi yang membuat suasana menjadi lebih baik:


---

1. Menjadi Pendengar yang Tidak Menghakimi

Banyak orang hanya ingin didengarkan, bukan dihakimi. Terkadang mereka bercerita bukan untuk mencari solusi, tetapi hanya ingin melepaskan beban. Maka dari itu, jadilah pendengar yang hadir sepenuh hati, tanpa tergesa-gesa memberikan penilaian.


---

2. Bersikap Sopan Tanpa Terlihat Kaku

Kesopanan tidak harus ditunjukkan dengan sikap formal yang berlebihan. Anda tetap bisa bersikap santai dan ramah tanpa mengabaikan tata krama. Sikap ini membuat orang lain merasa dihargai, namun tetap nyaman menjadi diri sendiri.


---

3. Memiliki Empati, Bukan Sekadar Simpati

Simpati hanya menunjukkan rasa iba, sedangkan empati melibatkan kemampuan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan. Dengan menunjukkan empati, orang lain akan merasa lebih dipahami dan diterima.


---

4. Menghindari Sikap Penuh Drama

Setiap orang memiliki masalah masing-masing, tetapi tidak semua orang ingin terlibat dalam konflik yang bukan miliknya. Bersikap tenang, dewasa, dan tidak reaktif dalam menghadapi persoalan menunjukkan kedewasaan dan membuat orang lain merasa lebih nyaman di sekitar Anda.


---

5. Jujur Namun Tetap Menjaga Perasaan

Kejujuran memang penting, tetapi cara penyampaiannya juga harus diperhatikan. Menyampaikan kebenaran tanpa menyakiti perasaan orang lain adalah bentuk kepekaan yang sangat dihargai dalam berkomunikasi.


---

6. Membawa Energi Positif

Seseorang yang membawa energi positif biasanya membuat suasana menjadi lebih hidup dan menyenangkan. Tidak harus selalu ceria, tetapi cukup dengan menunjukkan semangat, sikap terbuka, dan tidak mudah mengeluh, Anda bisa menjadi pribadi yang disenangi banyak orang.


---

7. Menerima Perbedaan Tanpa Menghakimi

Setiap individu memiliki latar belakang dan pandangan hidup yang berbeda. Menerima perbedaan tanpa memaksakan pendapat pribadi merupakan salah satu sikap dewasa yang membuat orang merasa diterima dan dihormati.


---

Penutup: Tidak Perlu Menjadi Sempurna, Cukup Tulus dan Otentik

Membuat orang lain merasa nyaman tidak membutuhkan kesempurnaan. Yang dibutuhkan hanyalah ketulusan dalam bersikap, kemauan untuk memahami, serta menghargai orang lain sebagaimana adanya.
Dengan menjadi pribadi yang jujur, empatik, dan bersikap positif, Anda tidak hanya disenangi oleh banyak orang, tetapi juga akan merasa lebih damai dengan diri sendiri.

Mari menjadi pribadi yang menghadirkan ketenangan di mana pun kita berada.


Minggu, 30 November 2025

Metodologi Ilmiah Ulama Salaf dalam Ilmu Hadits dan Nasab: Kajian Kritis dan Penyimpangan Penulis Modern dari Albantaniyyah

Metodologi Ilmiah Ulama Salaf dalam Ilmu Hadits dan Nasab: Kajian Kritis dan Penyimpangan Penulis Modern dari Albantaniyyah

Oleh: Mas Salam 

Muqaddimah

إذا أراد أن يتقدّم فليقرأ كتب المتقدّمين، وإذا أراد أن يتأخّر فليقرأ كتب المتأخّرين

“Barang siapa yang ingin maju dalam ilmu, maka bacalah kitab-kitab ulama terdahulu; dan barang siapa ingin mundur, maka sibukkanlah diri dengan karya orang-orang belakangan.”

Perkataan bijak ini menggambarkan sebuah kaidah fundamental dalam tradisi keilmuan Islam. Keunggulan metodologis para ulama salaf (terdahulu) dalam semua bidang ilmu, baik hadits, fikih, sejarah, maupun nasab, telah menjadi konsensus di kalangan ahli ilmu yang obyektif. Mereka meletakkan fondasi yang kokoh berdasarkan ketelitian (tatsabbut), kejujuran (amanah), dan sistem verifikasi (al-tahqiq) yang sangat ketat. Ilmu nasab, khususnya nasab keluarga Nabi Muhammad ﷺ, diperlakukan dengan tingkat kehati-hatian yang setara dengan ilmu hadits, karena konsekuensi religius dan sosial yang melekat padanya. Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah berkata:

تَعَلَّمُوا أَنْسَابَكُمْ تَصِلُوا أَرْحَامَكُمْ

“Pelajarilah nasab kalian,niscaya kalian akan menyambung tali silaturahmi.” (Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, al-Hakim)

Maka dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji metodologi ulama salaf dalam ilmu hadits dan nasab, menegaskan konsensus (ijmak) para ulama atas keshahihan nasab Ba ‘Alawi, serta mengkritik fenomena penyimpangan metodologis yang dilakukan oleh sebagian penulis modern, terutama penulis yang mengaku dari Kresek Al Bantaniyyah Al-'Inadiyyah.

1. Metodologi Verifikasi dalam Ilmu Hadits: Prototipe Keilmuan Islam

Ilmu hadits merupakan model ideal bagi semua disiplin ilmu dalam Islam karena sistem verifikasinya yang sangat rigor, ketat dan penuh kehati-hatian.

a. Spiritualitas dan Integritas Ilmiah Imam al-Bukhari

Imam al-Bukhari(w. 256 H) tidak hanya mengandalkan kapasitas intelektual, tetapi juga menyandarkan proses seleksinya pada pertimbangan spiritual yang dalam. Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) meriwayatkan:

كَانَ الْبُخَارِيُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُخْرِجَ الْحَدِيثَ اغْتَسَلَ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَخَارَ اللَّهَ تَعَالَى

“Adalah al-Bukhari,apabila hendak memasukkan sebuah hadits (ke dalam kitabnya), beliau mandi, shalat dua rakaat, dan memohon petunjuk kepada Allah Ta‘ala.” (Al-Khatib al-Baghdadi, Taqyīd al-‘Ilm, hlm. 52)

Dari ratusan ribu hadits yang beliau kumpulkan melalui rihlah ilmiah yang panjang, hanya sekitar 7.563 yang memenuhi kriteria kesahihan tertinggi. Kriteria ini, yang meliputi kesinambungan sanad, ke-‘adalahn dan ke-dhabth-an perawi, serta bebas dari cacat, menjadi standar emas hingga hari ini.

b. Koherensi Sanad dan Analisis Matan Imam Muslim

Imam Muslim(w. 261 H) dalam muqaddimah Shahih-nya menekankan:

إِنَّمَا أَلْزَمْنَا أَنْفُسَنَا إِخْرَاجَ هَذَا الْجَامِعَ مِنَ الْحَدِيثِ الْمُتَّصِلِ بِالْأَسَانِيدِ بِشُرُوطِنَا الَّتِي ذَكَرْنَاهَا

“Kami hanya mewajibkan diri kami untuk mengeluarkan kumpulan hadits yang bersambung sanadnya dengan syarat-syarat yang telah kami sebutkan.”(Muqaddimah Shahih Muslim, 1/15)

Beliau tidak hanya memeriksa sanad, tetapi juga menyusun hadits dengan metode tarājum al-abwāb (penjelasan tema bab) yang menunjukkan kedalaman pemahaman terhadap konteks dan makna matan hadits.

2. Paralelisme Metodologi dalam Ilmu Nasab dan Ijmak atas Keshahihan Nasab Ba ‘Alawi

Lihatlah, bagaimana para ulama Ahli Hadits dalam menghimpun hadits, penuh kegigihan, keuletan, kehati-hatian, dan butuh verifikasi sanad yang jelas dannvalid. Nah, Ilmu nasab para ulama salaf berjalan sejajar dengan ilmu hadits ini. Mereka menolak mentah-mentah setiap klaim nasab yang tidak didukung oleh bukti kuat, sanad yang bersambung, dan pengakuan dari para ahli yang terpercaya.

a. Prinsip Dasar Penerimaan Nasab

Imam Jalaluddin al-Suyuthi(w. 911 H) dalam Lubāb al-Ansāb menetapkan kaidah pokok:

لَا يُقْبَلُ النَّسَبُ إِلَّا مِنْ طَرِيقَيْنِ: الِاسْتِفَاضَةِ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، أَوِ الْبَيِّنَةِ الصَّحِيحَةِ الْمُتَّصِلَةِ

“Nasab tidak diterima kecuali melalui dua jalan:penyebaran yang mutawatir di kalangan ahli ilmu, atau bukti yang sahih dan bersambung.” (Al-Suyuthi, Lubāb al-Ansāb, hlm. 3)

Prinsip istifādhah (penyebaran yang luas dan diterima) ini setara dengan konsep tawatur dalam ilmu hadits, di mana suatu berita mustahil disepakati untuk dusta.

b. Ijmak Ulama atas Keshahihan Nasab Alawiyin

Nasab keluarga Ba‘Alawi (keturunan Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir) telah mencapai derajat istifādhah dan diterima oleh para ulama besar lintas generasi dan mazhab. Klaim ini bukan tanpa dasar, tetapi didukung oleh konsensus para pakar nasab terkemuka:

1. Al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), seorang ulama besar mazhab Syafi'i, berkata dalam Al-Fath al-Mubin li Syarh al-Arba'in:

   وَقَدِ اتَّفَقَ أَهْلُ النَّسَبِ عَلَى أَنَّ الْأَسْرَةَ الْعَلَوِيَّةَ مِنْ ذُرِّيَّةِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ الْمُهَاجِرِ... نَسَبُهُمْ صَحِيحٌ مُتَّصِلٌ إِلَى الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
  
 “Dan telah sepakat para ahli nasab bahwa keluarga Alawiyyin adalah dari keturunan Imam Ahmad al-Muhajir... nasab mereka sahih dan bersambung hingga kepada al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma.”

2. Al-Imam al-Murtadha al-Zabidi (w. 1205 H), penulis syarah Ihya ‘Ulum al-Din yang monumental, menegaskan dalam ‘Iqd al-Jawhar al-Tsamīn:

   وَهَذَا النَّسَبُ الشَّرِيفُ مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْأَنْسَابِ
  
 “Nasab yang mulia ini telah disepakati keshahihannya menurut para ahli ilmu nasab.”

3. Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur (w. 1320 H) dalam Syams al-Zhahirah menghimpun dengan sangat detail sanad-sanad nasab Ba Alawi ini, dilengkapi dengan dokumen tertulis (musyajarah) dan kesaksian para ulama (syahādāt) yang bersambung.

Konsensus ini bukanlah hasil kerja mudah, tetapi buah dari penelitian lapangan yang ekstensif, penelusuran arsip keluarga, dan verifikasi silang oleh ratusan ulama selama berabad-abad di masa di mana teknologi tidak ada, tidak sejaman, namun integritas, kejujuran dan ketelitian tetap dijunjung tinggi oleh mereka. Mana mungkin kebohongan sampai disepakati oleh sekian ratusan ulama bahkan ribuan, selama berabad-abad lamanya, sampai muncul penulis amatir dari Banten yang tiba-tiba hadir membongkar kebohongan para ulama-ulama terdahulu. Gak masuk akal. 

3. Kritik atas Penyimpangan Metodologis Penulis Modern

Di era modern, muncul penulis amatir dari Banten yang dengan mudahnya membatalkan nasab yang telah disepakati ulama selama berabad-abad. Mereka mengklaim telah melakukan penelitian “ilmiah” dan “kritis”, namun sejatinya metodologi mereka cacat dari akarnya:

a. Mengabaikan Konsensus dan Karya Monumental

Mereka mengabaikan begitu saja karya-karya otoritatif para ulama nasab seperti Ibnu Hajar,al-Suyuthi, al-Zabidi, dan lain-lain. Padahal, kaidah ilmiah menegaskan:

الْخُرُوجُ عَنْ إِجْمَاعِ الْأُمَّةِ مَمْنُوعٌ

“Keluar dari konsensus ulama adalah terlarang.”

Menganggap diri lebih tahu daripada kumpulan ulama pakar yang menghabiskan hidupnya untuk bidang ini adalah bentuk kesombongan intelektual (ghurur al-‘ilmi).

b. Metode “Copy-Paste” yang Tidak Komprehensif

Penulis ini sering kali hanya melakukan“copy-paste” selektif dari sumber-sumber sekunder yang lemah, dari situs2 Wahhabi, atau dari pernyataan ulama yang dipotong dan dicabut dari konteksnya. Mereka tidak melakukan rihlah ilmiah, tidak meneliti naskah-naskah manuskrip primer keluarga Ba ‘Alawi, dan tidak memahami konteks sosial-historis yang melatarbelakangi transmisi nasab tersebut.

c. Klaim Komprehensif yang Menyesatkan

Mereka mengaku memiliki metode yang lebih“komprehensif” dan “objektif” daripada ulama salaf. Ini adalah sebuah pengingkaran terhadap kaidah dasar keilmuan Islam. Imam al-Sakhawi (w. 902 H) mengingatkan:

وَمَنْ تَكَلَّمَ فِي غَيْرِ فَنِّهِ أَتَى بِالْعَجَائِبِ

“Barang siapa yang berbicara dalam bidang yang bukan keahliannya,niscaya ia akan mendatangkan hal-hal yang mengherankan.” (Al-Sakhawi, Fath al-Mughīth, 1/37)

Keterbatasan teknologi pada masa lalu justru memaksa ulama salaf untuk lebih hati-hati, teliti, dan mendalam. Sementara kemudahan teknologi justru sering disalahgunakan untuk menghasilkan karya yang instan, dangkal, dan penuh kesimpulan yang terburu-buru.

4. Penutup

Tradisi keilmuan Islam dibangun di atas fondasi sanad, amanah, dan tatsabbut. Nasab Ba ‘Alawi sebagai dzurriyah Nabi Muhammad ﷺ yang sahih telah menjadi konsensus para ulama yang tidak diragukan lagi kapabilitas dan integritasnya. Upaya-upaya untuk mendestruksi konsensus ini dengan dalih “kritik modern” justru mengungkapkan kedangkalan pemahaman terhadap metodologi keilmuan Islam itu sendiri.

Sebagaimana penutup Imam Malik bin Anas (w. 179 H):

لَا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ مِنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيهٍ يُعْلِنُ السَّفَهُ، وَصَاحِبِ هَوًى يَدْعُو إِلَيْهِ، وَمَنْ يُكَذِّبُ فِي حَدِيثِ النَّاسِ، وَمَنْ لَا يَعْرِفُ مَا يَقُولُ

“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang: 1). Orang dungu yang menampakkan kedunguannya, 2). Ahli hawa nafsu yang mengajak kepada hawa nafsunya, 3). Pendusta dalam perkataan kepada manusia, dan 4). Orang yang tidak mengetahui apa yang ia ucapkan.” (Ibnu ‘Abd al-Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Fadlih, 2/120)

Menjaga nasab yang sahih adalah bagian dari menjaga kemuliaan dzurriyah Nabi ﷺ, dan mengakui konsensus ulama tentangnya adalah bentuk adab kita kepada ilmu dan para ahlinya. Maka sangat disayangkan sekali, hanya berdasar sentimen pribadi, seseorang ahlil ilmi berubah menjadi begitu b*d*hnya dengan membuang pengetahuan yang dulu pernah dia dapatkan dan diketahui ketika belajar di Pesantren dan memilih pendapat yang cocok dengan hawa nafsunya, dan congkak dengan menolak ijmak para Ulama Salaf tentang hal ini. Semoga Allah swt memberikan hidayah kepada kita semua, terutama saudara-saudara kita yang telah terpapar oleh virus Inadiyah wal Ghufroniyah, wa buntetiyyah, wa Peler-etiyyah, wa Zukiyyah. Amin..  

Daftar Referensi (مصادر البحث)

1. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Al-Jami‘ al-Shahih. Beirut: Dar Tauq al-Najjah, 1422 H.
2. Al-Suyuthi, Jalaluddin. Lubāb al-Ansāb. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H.
3. Al-Khatib al-Baghdadi, Ahmad bin Ali. Taqyīd al-‘Ilm. Damaskus: Dar Ihya’ al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1974 M.
4. Al-Sakhawi, Muhammad bin ‘Abd al-Rahman. Fath al-Mughīth bi Syarh Alfiyyat al-Hadīth. Riyadh: Dar al-Minhaj, 1426 H.
5. Al-Zabidi, al-Murtadha. ‘Iqd al-Jawhar al-Tsamīn fī Ahl al-Bait al-Tahirin. Kairo: Maktabah al-Quds, t.th.
6. Ibnu Hajar al-Haitami. Al-Fath al-Mubin li Syarh al-Arba'in. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H.
7. Ibnu ‘Abd al-Barr, Yusuf bin Abdullah. Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Fadlih. Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 1414 H.
8. Al-Masyhur, Abdurrahman bin Muhammad. Syams al-Zhahirah fī Nasab Ahl al-Bait min Bani ‘Alawi. Jeddah: ‘Alam al-Ma‘rifah, 1404 H.
9. Muslim bin al-Hajjaj. Al-Jami‘ al-Shahih. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th.
10. Al-Hakim, Muhammad bin Abdullah. Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H.

Amalan Jum'at Akhir Bulan Rajab: Solusi membaca amalan saat khotib berkhutbah

Amalan ini masyhur di kalangan ulama dan habaib. Sulthanul Ulama dari Yaman, al-Mukarram al-Syekh al-Habib Salim bin Abdullah al-Syathiri mi...