Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan sebelumnya
Perang Talas pada 751 di Asia Tengah memperhadapkan antara Kekhalifahan Abbasiyah dan Dinasti Tang. Waktu itu, balatentara Muslimin bersekutu dengan Kerajaan Tibet yang kian terjepit oleh ekspansi dari Cina. Kedua belah pihak pun saling unjuk kekuatan di tepian Sungai Talas, yang alirannya membelah negeri Kirgizstan dan Kazakhstan modern.
Pertempuran itu pada akhirnya dimenangkan Abbasiyah. Cukup banyak musuh yang berhasil ditangkap sebagai tawanan. Beberapa di antaranya belakangan diketahui sebagai pengrajin kertas.
Menurut sejarawan Muslim dari abad ke-11, Thaalibi, inilah awal mulanya peradaban Islam mengadopsi kertas. Tak membutuhkan waktu lama, pabrik kertas pertama dalam wilayah Islam pun berdiri di Samarkand.
Khalifah Abbasiyah menyadari betapa revolusionernya penemuan yang dirintis seorang Cina, Ts'ai Lun, berabad-abad silam itu. Sebab, kertas yang diproduksi orang-orang Cina memiliki kualitas yang lebih halus, dengan bobot yang lebih ringan pula. Alhasil, bahan itu jauh lebih praktis sebagai alas menulis bila dibandingkan gulungan papirus, kulit hewan atau batu.
Memang, masyarakat yang menghuni Asia Tengah sudah membuat dan memakai kertas sejak ratusan tahun sebelum perang itu terjadi. Bagaimanapun, kontak budaya dengan Islam membuat teknologi pembuatan kertas itu lebih dikenal secara mondial.
Sejak zaman Abbasiyah, makin banyak pabrik kertas didirikan di berbagai kawasan dunia Islam. Dan, ratusan tahun berikutnya, masyarakat Eropa pun mengetahui kertas melalui kontak budaya dengan peradaban Islam, terutama di Andalusia (Spanyol).
Menjelang abad kedelapan, toko-toko kertas menjamur di Baghdad, ibu kota Kekhilafahan Abbasiyah. Seturut dengan itu, gerakan literasi pun semakin berkembang pesat. Teks-teks yang sebelumnya tercatat dalam berbagai medium--seperti gulungan papirus, permukaan batu, atau kulit hewan--kini disalin ulang pada kertas.
Secara otomatis, makin banyak perpustakaan di kota berjulukan seribu satu malam itu. Akhirnya, Baghdad kian solid sebagai kota kosmopolitan, tempat kejayaan Islam berpadu dengan keunggulan sains dan teknologi.
Pada periode awal, sempat ada beberapa kendala dalam menyebarluaskan teknik pembuatan kertas ke seluruh dunia Islam. Misalnya, tidak semua daerah Muslimin banyak ditumbuhi pohon murbai (mulberry) atau cendana (sandalwood).
Para ilmuwan Muslim pun memutar otak. Sebuah terobosan lain akhirnya tercipta. Mereka mengganti kulit pohon murbai dengan pohon linen, kapas, dan serat kayu yang ketebalannya kira-kira sama.
Inovasi lainnya berkaitan dengan proses fermentasi untuk mempercepat pemotongan linen dan serat. Para teknisi Muslim masa itu menambahkan pemutih atau bahan kimiawi lainnya sehingga permukaan kertas yang diperoleh menjadi lebih bersih.
Awalnya, proses pembuatan kertas sangat mengandalkan tenaga manusia (tukang). Namun, sejak 1151 M kaum Muslimin di Spanyol telah memanfaatkan kincir air untuk menggerakkan godam penumbuk adonan atau bubur kertas. Penggilingan bahan-bahan kertas pun tak lagi semata-mata bertopang pada tukang dalam jumlah banyak.
Oleh karena adanya efisiensi tenaga, kertas yang dihasilkan pun dapat dijual dengan harga yang lebih murah. Sejak saat itu, industri kertas menyebar dengan cepat ke negeri-negeri Muslim.
Tak hanya kertas, peradaban Islam pun mengadopsi teknik pembuatan tinta dari Cina. Bangsa Tiongkok umumnya membuat tinta dari campuran jelaga hasil pembakaran kayu cemara, lampu minyak, dan jelatin dari kulit binatang. Produksi tinta berkembang di setiap kerajaan dari masa ke masa, seperti Abbasiyah (749-1258), Seljuk (1055- 1243), Safawiyah (1520-1736), dan Mughal (1526-1857).
Sumber: Republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar