Ilmu Fiqih merupakan satu dari tiga ilmu fardlu 'ain, dimana dua lainnya adalah; ilmu Tauhid dan ilmu Akhlak-Tazkiyah.
Di luar ketiga ilmu di atas, ilmu-ilmu yang memudahkan kehidupan keseharian hukumnya fardlu kifayah, seperi ilmu kedokteran, keperawatan, peternakan, pertanian, keamanan, arsitek, sipil, dsb.
Baca juga: Mengakhiri Polemik Ba'alawi
Ilmu fiqih yang hukumnya fardlu 'ain bukan ilmu fiqih secara keseluruhan, atau satu kitab fiqih dengan semua pembahasannya. Yang wajib diketahui hanyalah hukum-hukum fiqih yang langsung bersentuhan dengan kebsahan ibadah, muamalah, munakahah, dll.
Keabsahan suatu praktik, baik ibadah, muamalah, maupun munakah melibatkan syarat, rukun, serta larangan dan pembatalan..
الصحيح موافقة ذي الوجهين الشرع
Di dalam tradisi fiqih Syafi', perintah dan larangan, berdasarkan tersiarnya di masyarakat, dibedakan menjadi dua; yang nampak (dhohiroh), dan yang tersimpan (khofiah).
Masalah yang dhohiroh adalah masalah yang tersiar secara masif kepada masyarakat muslim, sehingga menjadi pengetahuan bersama.
Beberapa contoh masalah dhohiroh seperti; kewajiban wudhu, sholat, puasa beserta syarat dan rukunnya, keharaman zina, khamr, dan sebagainya.
Masalah khofiah atau langka adalah masalah yang tidak banyak tersiar di tengah masyarakat muslim, sehingga tidak menjadi pengetahuan umum. Masalah fiqih seperti ini hanya dikonsumsi kalangan peminat fiqih.
Beberapa contoh masalah fiqih yang tersimpan, seperti disebutkan dalam kitab fiqih yaitu; niat muballigh mengulang bacaan imam dengan keras, niat makmum membaca tasbih saat mengingatkan imam, tanahnuh atau dehem dalam sholat, mengqodho sholat bagi yang thuruwwul mani', menentukan darah haid saat melewati 15 hari, kesunahan takbir zawaid pada sholat Ied, membedakan sunah haiah dan ab'ad, dan yang lainnya.
Di luar apa yang disebutkan di atas, sangat mungkin terdapat masalah-masalah yang sebenarnya mudah diakses di kitab-kitab fiqih namun asing di telinga masyarakat awam.
Satu masalah fiqih menjadi dhohir atau tidak sangat bergantung sejauh mana masalah itu sering diangkat dan disampaikan ke publik.
Semakin masif suatu masalah disebarkan para ustadz maka semakin nampak masalah itu di permukaan (dhohir). Begitu pun sebaliknya, semakin jarang diungkap dan disebarkan maka semakin tersimpan (khofi) dan menjadi pengetahuan langka di masyarakat.
Pengetahuan bersama atas hukum fiqih sifatnya relatif. Sangat mungkin di satu tempat memiliki pengetahuan bersama yang berbeda dengan tempat lain. Menjadi pengetahuan bersama di satu tempat belum tentu menjadi pengetahuan bersama di tempat lain.
Bahkan di tempat yang sama sekalipun, yang tadinya menjadi pemahaman bersama, seiring berjalannya waktu, mungkin saja berubah menjadi pemahaman langka di masyarakat.
Dari dua model pembagian fiqih di atas, masyarakat umum ('awam) hanya berkewajiban mempelajari aturan-aturan fiqih yang dhohir, mereka tidak berkewajiban mempelajari aturan-aturan yang tersimpan (khofi).
Ketidaktahuan akan masalah khofi tidak dianggap sebagai kelalaian, karenanya syariat memberikan toleransi (ma'dzur). Hal ini dikemukakan salah satunya oleh Syaikh Ba'asyin dalam Busyrol Karim ;
العامي إنما يجب عليه تعلم المسائل الظاهرة دون الخفية، فلا تقصير منه فيه فعذر.
Untuk aturan fiqih yang samar dan rumit cukup diwakili para ustadz, ajengan, kyai, tuan guru setempat. Mereka inilah yang nantinya akan menyiarkan hukum-hukum fiqih itu di tengah masyarakat.
Dari gambaran singkat di atas, setidaknya ada beberapa hal yang dapat kita pikirkan:
Pertama, konsep ini menegaskan kembali akan takhfifat atau keringan syariat. Syariat tidak membebani aturan yang tidak diketahui karena tidak sampai.
Membebani mukallaf dengan hukum yang tidak diketahuinya (karena tidak mendapat akses) masuk dalam kategori at-taklif bima laa yuthoq, membebani dengan sesuatu yang tidak mampu diemban. Meski taklif seperti ini mungkin secara akal, tapi tidak dikenal dalam syariat Islam.
جائز عقلا لا شرعا
Kedua, sebagai acuan sekaligus pegangan bagi para ustadz, da'i untuk lebih cermat menilai orang awam dengan dosa dan maksiat. Jangan-jangan mereka keliru karena mereka sendiri tidak tahu, akibat jarangnya disampaikan para ustadz.
Ketiga, menjadi tantangan tersendiri bagi para pegiat dakwah bagaimana pengetahuan-pengetahuan itu tidak lagi langka tetapi menjadi pengetahuan bersama.
Para da'i tidak bisa berlama-lama membiarkan perintah dan larangan Syariat terlewat begitu saja dalam praktik keseharian masyarakat.
Karena di dalam setiap perintah tersimpan maslahat, sebagaimana di dalam larangan tersimpan mafsadah. Melewatkan perintah sama saja memperlambat penegakkan maslahat, padahal tegaknya maslahat adalah sasaran utama syariat.
Keempat, para ustadz dan da'i hendaknya tidak berhenti menambah pengetahuan-pengetahuan keislamannya. Menjadi tokoh tidak berarti berhenti belajar.
Pengetahuan masyarakat tentang agama sangat bergantung dan berbanding lurus dengan pengetahuan ustadz.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar