Selasa, 23 Juli 2024

Sejarah Pembuatan Kertas Dalam Islam(Part-I)



Tradisi tulis menjadi tonggak pembeda antara masa prasejarah dan awal sejarah. Sejak 3000 tahun sebelum Masehi (SM), berbagai bangsa telah mengenal komunikasi melalui tulisan.


Sebut saja peradaban kuno yang tumbuh dan berkembang di Meso potamia (kini Irak), Mesir, atau Cina. Bermacam-macam alat mereka pakai untuk alas menulis, semisal batu, loh dari lempung yang dibakar, atau kulit hewan yang telah disamak.


Di antara perangkat itu, papirus menjadi medium yang cukup tersohor karena keandalannya. Peradaban Mesir Kuno menggunakan papirus sebagai media tulis-menulis.


Benda itu berasal dari olahan saripati tanaman Cyperus papyrus, yang banyak ditemui di sekitar Sungai Nil. Papirus cukup tebal sehingga tidak mudah koyak. Bobotnya pun ringan sehingga cukup ringkas untuk dibawa-bawa, tidak seperti prasasti batu atau kayu.


Pada masa sebelum Masehi, papirus banyak dipakai beragam bangsa di Asia, Afrika Utara, dan Eropa. Pengaruhnya terus bertahan hingga ratusan tahun, khususnya sebelum maraknya penggunaan kertas. Malahan, ia identik sebagai alas menulis. Kata kertas dalam bahasa Inggris, paper, berakar dari nama tumbuhan Cyperus papyrus.


Orang-orang Mesir Kuno disebut sebagai yang pertama menginisiasi pembuatan lembaran papirus. Caranya dengan pertama-tama menghilangkan lapisan yang berserat dari batang Cyperus papyrus. Selanjutnya, lembaran-lembaran batang tanaman yang telah dipipihkan itu diletakkan secara berdampingan.


Setelah dibasahi secukupnya, satu sama lain ditumpuk lalu ditekan hingga mampat. Begitu kering, getah tanaman itu akan berfungsi sebagai perekat alami. Papirus pun siap dipakai untuk menulis.


Banyak artefak peninggalan Mesir Kuno dan Yunani Kuno yang berupa lembaran-lembaran papirus. Berbeda dengan kertas, permukaan papirus cenderung kasar karena menyisakan serabut-serabut kecil batang tanaman pada permukaannya. Alhasil, tulisan yang terdapat pada benda itu tidak bisa benar-benar rata atau tampak seperti bergelombang.


Popularitas papirus lama kelamaan tergerus oleh kertas. Cina menjadi tempat lahirnya penemuan revolusioner itu. Michael H Hart dalam bukunya yang mengulas daftar 100 tokoh dunia paling berpengaruh di sepanjang sejarah, bahkan menempatkan sang penemu kertas, Ts'ai Lun, dalam urutan 10 besar. Tepatnya, peringkat ketujuh --setelah Santo Paulus dan sebelum Johann Gutenberg.


Ts'ai Lun (sering pula disebut Ts'ai Lung atau Cai Lun) hidup pada era Dinasti Han. Wangsa itu menguasai sebagian Cina antara abad pertama dan kedua Masehi. Ia diperkirakan lahir pada tahun 50 dan meninggal dunia 71 tahun kemudian.


Menurut Hart, banyak rumor yang mengeklaim sosok Ts'ai Lun hanyalah legenda. Beberapa orang menyebut, nama itu semata-mata julukan bagi umumnya pengrajin kertas pada zaman Cina klasik. Namun, lanjut Hart, berbagai penelitian sejarah era kontemporer berhasil memastikan, sosok itu nyata adanya. Lelaki kelahiran Kota Leiyang itu bahkan sempat menjadi pejabat di lingkungan istana.



Bangsa Cina sudah memiliki perangkat untuk menulis, setidaknya dua abad sebelum lahirnya Ts'ai Lun. Namun, sang kasim yang mengabdi pada Kaisar He itu berhasil menghadirkan inovasi. Caranya memproduksi dan mengolah kertas dari bahan-bahan tenaman mengubah sama sekali teknologi menulis.


Pada tahun 105, Ts'ai Lun menghadap kaisar sembari membawa contoh kertas yang berhasil diciptakannya. Dikisahkan, sang raja begitu terkesima dengan kualitas naskah yang dibawa seorang rakyatnya itu.


Permukaan kertas buatan lelaki itu terasa lebih halus daripada lembaran-lembaran yang biasa dipakainya untuk menuliskan titah kerajaan. Sejak saat itu, Ts'ai Lun diterima sebagai pejabat resmi kekaisaran.


Sebelum adanya kertas hasil inovasi Ts'ai Lun, orang-orang Cina, layaknya bangsa-bangsa lain kala itu kerap menggunakan serat tanaman sebagai naskah. Biasanya, kulit kayu dipergunakan bila tulisan yang hendak diguratkan cukup pendek. Namun, bila teksnya lebih panjang, serat kulit bambulah yang dipakai.


Pihak istana kerap kewalahan bila menyimpan naskah-naskah resmi yang berupa gelondongan kulit kayu atau bambu. Sebab, benda-benda itu memakan cukup banyak tempat. Di samping itu, bahan-bahan tersebut mudah rapuh, rentan menjadi sasaran rayap, dan lapuk bila dibiarkan lembab. Para petugas istana pun terpaksa sering-sering menyalin isi dari masing-masing naskah sebagai cadangan.


Memang, ada beberapa alternatif di luar kulit kayu atau bambu sebagai medium menulis. Sebagai contoh, para bangsawan Cina kerap memanfaatkan kain atau sutra untuk alas tulisan. Namun, hal itu tentunya memiliki kekurangan.


Dari segi ekonomis, menulis dengan kain atau sutra cenderung boros. Apalagi, jika teks yang harus dituliskan atau disalin cukup panjang, tidak sekadar pesan singkat atau aforisme. Tekstil yang sedianya dipakai untuk bahan membuat pakaian justru akan terbuang sia-sia.


Oleh karena itu, inovasi yang dihadirkan Ts'ai Lun menjadi solusi praktis bagi kaisar. Menurut Hart, tokoh Tiongkok itu menjadikan bambu sebagai bahan dasar pembuatan kertas. Serat bambu itu lalu ditambahkan dengan sedikit kain perca, jejaring, dan--yang terpenting--serpihan kulit kayu murbai (mulberry) atau cendana (sandalwood).


Semua bahan itu dicampur, lalu direbus dalam tungku yang dipanaskan api. Dalam keadaan mendidih, seluruh komposisi itu pun berubah menjadi bubur kertas. Saat itulah, si pengrajin terus mengaduk adonan tersebut dengan tongkat batu atau kayu, sembari menambahkan air dalam takaran tertentu hingga alot.


Bahan perekat khusus lalu dituangkan ke dalamnya. Akhirnya, adonan itu diratakan pada cetakan dan diperas sampai air yang masih terkandung di dalamnya dapat keluar. Hasilnya, kertas yang benar-benar kering sehingga bisa dipakai untuk menulis.


Para sejarawan modern umumnya meyakini, penemuan Ts'ai Lun bukanlah sesuatu yang datang tiba-tiba, melainkan berasal dari pengamatan yang gradual terhadap kerajinan pembuatan kertas yang sudah ada pada masa itu. Ia hanya menyempurnakan proses pengolahan bubur serat bambu sebagai bahan utama kertas, sesuatu yang sudah dikenal peradaban Cina setidaknya sejak 200 SM.


Sinolog Joseph Needham dalam buku Science and Civilisation in China (1985) menerangkan, ada dugaan bahwa Ts'ai Lun terinspirasi kebiasaan penduduk kampung kelahirannya, Leiyang. Mereka diketahui kerap memanfaatkan kulit pohon murbai sebagai bahan pembuatan kain murahan.


Oleh karena kualitasnya kalah jauh dibandingkan sutra, orang-orang Leiyang tak jarang menjadikan kain itu sebagai alas menulis. Bagaimanapun, Needham menekankan, hal itu tidak lantas menjadi alasan untuk mengesampingkan ketokohan Ts'ai Lun. Sebab, hasil inovasinya terbukti monumental dalam sejarah tidak hanya bagi bangsa Cina, melainkan juga kemanusiaan umum. Pantaslah bila Michael H Hart memasukkannya ke dalam daftar figur-figur pengubah sejarah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...