HUKUM PENGGUNAAN SOUND HOREG
(PWNU Jatim)
Saya sama-sama hadir saat perumusan masalah Sound Horeg, baik saat di MUI Jatim atau di PWNU Jatim. Kesimpulan hukumnya sama. Ada perincian masing-masing. Di MUI kami menghadirkan narasumber Prof Nyilo Purnami dari dr Soetomo, Guru Besar bidang gangguan pendengaran karena kebisingan. Di PWNU Jatim dihadiri oleh dr Hardadi Airlangga dari Fakultas Kedokteran Unisma Malang. Berikut artikel KH Asyhar Sofwan, Wakil Katib PWNU Jatim yang disepakati oleh Tim 9:
"Penggunaan perangkat pengeras suara di kalangan masyarakat di saat ada momen tertentu yang menghadirkan banyak orang, baik itu hajatan keluarga, kelompok masyarakat, lembaga, sampai acara yang bersifat massal dan masyarakat umum sudah menjadi tradisi dan keniscayaan. Pengeras suara yang dulu bersifat sederhana dan digunakan sebatas kebutuhan sekaligus sebagai pengingat dan penanda bagi mereka yang diundang dan pihak lain yang memerlukan dan berkepentingan untuk ikut hadir di tempat acara, saat ini berkembang dan mengalami inovasi-inovasi jauh dari fungsi dan kegunaan asalnya. Sound system yang saat kemunculanya digunakan di ruang-ruang tertutup atau terbatas agar suasan terasa nyaman dan fokus, kemudian berkembang sampai menjadi sound system besar tentu dengan suara yang keras nan menggelegar. Sound system besar ini pada umumnya digunakan di ruang terbuka luas dalam even dengan jumlah pendengar dan pengunjung banyak seperti konser music dengan berbagai macam aliranya bahkan juga shalawatan. Entah sejak kapan mulainya, kemudian muncul istilah sound horeg yang pengertianya kurang-lebih adalah sound system besar yang distel dengan suara keras menggelegar hingga ruang-ruang disekitar letak perangkat ini menjadi bergetar sampai mengakibatkan atau setidaknya berpotensi pada kebisingan berlebihan, kerusakan pada benda-benda tertentu bahkan gangguan kesehatan. Konon terkadang pihak penyewa sound horeg memang bertujuan untuk men-horeg-kan (menggoncangkan) sasaran tertentu agar menjadi rusak sebagai bukti bahwa yang disewa benar-benar sound horeg. Sound system yang terakhir ini yaitu sound horeg akhir-akhir ini menuai banyak pihak yang mempersoalkan penggunaanya walaupun juga ada pihak yang merasa diuntungkan setidaknya tidak merasa terganggu. Terlepas dari pro-kontra penggunaan sound horeg, ada satu hal yang pasti atau setidaknya potensial yaitu timbulnya dampak negative di area tertentu yaitu kawasan yang berada disekitar jenggereng perangkat pengencang suara yang bernama soud horeg itu. PWNU Jawa Timur merasa terpanggil untuk ikut memberikan sikap atas fenomena ini sesuai otoritasnya sebagai Jama’iyyah Diniyyah-Ijtima’iyyah agar warga nahdliyyin dan warga masyarakat pada umumnya mendapatkan pencerahan yang memadai agar dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa senantiasa terjaga sikapnya yang saling-pengertian, gotong royong dengan tanpa menyelesihi apalagi meninggalkan kaidah-kaidah dalam syariat agamanya.
Sound horeg dengan pengertian sebagaimana dijelaskan diatas, maka menggunakannya adalah haram dan pelakunya wajib menanggung resiko kerugian yang diakibatkannya. Hukum dan resiko demikian itu jika memenuhi dua hal yaitu penggunaanya melebihi batas keumuman dan nyata menimbulkan kerugian atas pihak lain. Demikian pula haram dan wajib menanggung resiko akibat buruknya jika memang sound horeg dirancang demikian adanya di mana ketika dioperasikan sudah dapat dipastikan atau setidaknya diduga kuat berdampak negative dan merugikan pihak lain. Adapun apabila pengoperasian sound horeg dijalankan dengan standar keumuman secara wajar sesuai penerimaan masyarakat umum dan tidak sampai menimbulkan dampak negative dan merugikan pihak lain, maka diperbolehkan walaupun dimungkinkan masih ada saja pihak yang merasa terganggu."
«فتاوى الرملي» (3/ 12-13): المؤلف: شهاب الدين أحمد بن حمزة الأنصاري الرملي الشافعي (ت ٩٥٧هـ)
«(سُئِلَ) عَمَّا جَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ مِنْ عَمَلِ النَّشَادِرِ خَارِجَ الْبَلَدِ لِأَنَّ نَارَهُ يُوقَدُ بِالرَّوْثِ وَالْكِلْسِ فَإِذَا شَمَّتْ الْأَطْفَالُ دُخَانَهُ حَصَلَ لَهُمْ مِنْهُ ضَرَرٌ عَظِيمٌ فِي الْغَالِبِ وَرُبَّمَا مَاتَ بَعْضُهُمْ مِنْهُ فَعَمِلَ شَخْصٌ مَعْمَلَ نَشَادِرٍ فِي وَسَطِ الْبَلَدِ وَأَوْقَدَ عَلَيْهِ بِمَا ذُكِرَ فَشَمَّ دُخَانَهُ طِفْلٌ رَضِيعٌ فَمَرِضَ مَرَضًا شَدِيدًا فَهَلْ الْإِيقَادُ حَرَامٌ فَيَأْثَمُ بِهِ وَيُعَزَّرُ عَلَيْهِ وَيَجِبُ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ وَيُمْنَعُ مِنْهُ وَيَضْمَنُ مَا تَلِفَ بِهِ؟
(فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ الْإِيقَادُ الْمَذْكُورُ إذَا غَلَبَ عَلَى ظَنِّهِ تَضَرُّرُ الْغَيْرِ بِهِ فَيَأْثَمُ بِهِ وَلِلْحَاكِمِ تَعْزِيرُهُ عَلَيْهِ وَيَجِبُ الْإِنْكَارُ عَلَيْهِ بِسَبَبِهِ وَمَنْعِهِ مِنْهُ وَيَضْمَنُ مَا تَلِفَ بِسَبَبِهِ مُطْلَقًا فَقَدْ قَالُوا وَكُلُّ وَاحِدٍ مِنْ الْمُلَّاكِ يَتَصَرَّفُ فِي مِلْكِهِ عَلَى الْعَادَةِ وَلَا ضَمَانَ بِهِ إذَا أَفْضَى إلَى تَلَفٍ نَعَمْ لَوْ تَعَدَّى ضَمِنَ وَلَوْ أَوْقَدَ فِي مِلْكِهِ أَوْ فِي مَوْضِعٍ مُخْتَصٍّ بِهِ بِإِجَارَةٍ أَوْ عَارِيَّةٍ أَوْ فِي مَوَاتٍ وَطَارَ الشَّرَارُ إلَى بَيْتِ غَيْرِهِ أَوْ كَرْمِهِ أَوْ زَرْعِهِ وَأَحْرَقَهُ فَلَا ضَمَانَ إنْ لَمْ يُجَاوِزْ الْعَادَةَ فِي قَدْرِ النَّارِ وَلَمْ يُوقِدْ فِي رِيحٍ عَاصِفَةٍ فَإِنْ جَاوَزَ أَوْ أَوْقَدَ فِي عَاصِفَةٍ ضَمِنَ»
«نهاية المحتاج إلى شرح المنهاج» (5/ 337): المؤلف: شمس الدين محمد بن أبي العباس أحمد بن حمزة شهاب الدين الرملي (ت ١٠٠٤هـ)
«(وَيَتَصَرَّفُ كُلُّ وَاحِدٍ) مِنْ الْمُلَّاكِ (فِي مِلْكِهِ عَلَى الْعَادَةِ) فِي التَّصَرُّفِ وَإِنْ تَضَرَّرَ بِهِ جَارُهُ أَوْ أَفْضَى لِإِتْلَافِ مَالِهِ كَأَنْ سَقَطَ بِسَبَبِ حَفْرِهِ الْمُعْتَادِ جِدَارُ جَارِهِ، إذْ الْمَنْعُ مِنْ ذَلِكَ ضَرَرٌ لَا جَابِرَ لَهُ (فَإِنْ) (تَعَدَّى) فِي تَصَرُّفِهِ بِمِلْكِهِ الْعَادَةَ (ضَمِنَ) مَا تَوَلَّدَ مِنْهُ قَطْعًا أَوْ ظَنًّا قَوِيًّا كَأَنْ شَهِدَ بِهِ خَبِيرَانِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ لِتَقْصِيرِهِ، وَلِهَذَا أَفْتَى الْوَالِدُ - رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى - بِضَمَانِ مَنْ جَعَلَ دَارِهِ بَيْنَ النَّاسِ مَعْمَلَ نَشَادِرٍ وَشَمَّهُ أَطْفَالٌ فَمَاتُوا بِسَبَبِ ذَلِكَ لِمُخَالَفَتِهِ الْعَادَةَ»
«تحفة المحتاج في شرح المنهاج وحواشي الشرواني والعبادي» (6/ 209): المؤلف: أحمد بن محمد بن علي بن حجر الهيتمي
«وَيَتَصَرَّفُ كُلُّ وَاحِدٍ) مِنْ الْمُلَّاكِ (فِي مِلْكِهِ عَلَى الْعَادَةِ) وَإِنْ أَضَرَّ جَارَهُ كَأَنْ سَقَطَ بِسَبَبِ حَفْرِهِ الْمُعْتَادِ جِدَارُ جَارِهِ أَوْ تَغَيَّرَ بِحَشِّهِ بِئْرُهُ؛ لِأَنَّ الْمَنْعَ مِنْ ذَلِكَ ضَرَرٌ لَا جَابِرَ لَهُ (فَإِنْ تَعَدَّى) فِي تَصَرُّفِهِ بِمِلْكِهِ الْعَادَةَ (ضَمِنَ) مَا تَوَلَّدَ مِنْهُ قَطْعًا أَوْ ظَنًّا قَوِيًّا كَأَنْ شَهِدَ بِهِ خَبِيرَانِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ لِتَقْصِيرِهِ»
«الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي» (4/ 2870): المؤلف: أ. د. وَهْبَة بن مصطفى الزُّحَيْلِيّ، أستاذ ورئيس قسم الفقه الإسلاميّ وأصوله بجامعة دمشق - كلّيَّة الشَّريعة
«القاعدة الرابعة ـ الاستعمال غير المعتاد وترتب ضرر للغير: إذا استعمل الإنسان حقه على نحو غير معتاد في عرف الناس، ثم ترتب عليه ضرر للغير، كان متعسفاً، كرفع صوت المذياع المزعج للجيران والتأذي به»
«الفقه الإسلامي وأدلته للزحيلي» (4/ 2870-2871): المؤلف: أ. د. وَهْبَة بن مصطفى الزُّحَيْلِيّ، أستاذ ورئيس قسم الفقه الإسلاميّ وأصوله بجامعة دمشق - كلّيَّة الشَّريعة
«فإن كان الاستعمال معتاداً مألوفاً، ووقع الضرر فلا يعد تعسفاً، ولا يترتب على ذلك ضمان، كالطبيب الجراح الذي يجري عملية جراحية معتادة، ويموت المريض، فلا يضمن. ومثله من يوقد فرناً يتأذى الجيران بدخانه، أو يدير آلة يتضرر الجيران بصوتها المعتاد، فلا ضمان؛ لأن كل ذلك معتاد مألوف.وبناء عليه: من يشعل ناراً في أرضه، فطار منها شرر أحرق شيئاً لجاره، إن كان ذلك في أحوال عادية فلا ضمان عليه. وإن كان ذلك في وقت هبوب الرياح واشتدادها، فعليه الضمان»
Tidak ada komentar:
Posting Komentar