Saat menulis skripsi sebelum masuk ke bab dua dan seterusnya, terlebih dulu kita bergelut dengan yang namanya "penjelasan istilah" (paragraf ini tidak diperuntukkan bagi mereka yang skripsinya melalui jalur joki), bahasa kaidahnya الحكم على الشيء فرع عن تصوره. (Ini sebagai pengantar bagi tulisan di bawah meski kesannya sedikit takalluf).
Saya tidak akan bertali-tali dengan kaidah ini, silakan baca di https://www.facebook.com/share/p/HR6FY1o69zuqdfwV/?mibextid=CTbP7E
Ada tiga faktor penting dalam mengaplikasikan konsep anjuran "khuruj minal khilaf":
1. Tidak terjebak dalam khilaf lain.
2. Tidak menyalahi sunnah nabi yang tegas.
3. Argumentasi masing-masing pendapat cenderung kuat.
1. Tidak terjerumus dalam khilaf yang lain. Karena esensi dari "khuruj minal khilaf" adalah "mura'ah-nya", sehingga nantinya amalan yang kita lakukan mendapat legalitas dari masing-masing empunya khilaf.
Contoh: mazhab syafi'i berpendapat "cukup mengusap sebagian kepala" yang lain berkata "harus seluruh kepala" mazhab lain juga berpendapat "harus seperempat kepala". Lalu kita memilih mengusap seluruh kepala demi untuk menjaga harmonisasi khilaf disamping juga ketiga pemilik khilaf melegalkan perbuatan kita. Atas dasar ini maka maksud dari diksi "khuruj" adalah "khuruj" sepenuhnya atau "khuruj hakikat" bukan "khuruj iktibari"
2. Tidak menyalahi sunnah nabi yang tegas. Ini jelas karena hukum fikih semuanya dipayungi oleh Alquran dan hadis yang menjadi "mashdarul ula", sehingga bila suatu khilaf dirasa berlawanan arah dengan sunnah, tentu arah yang kita jadikan pijakan adalah pendapat yang selaras dengan sunnah.
Tetapi poin kedua ini perlu sedikit disclaimer bahwa status selaras tidaknya pendapat dengan sunnah itu adalah ranahnya faqih, bukan ranah kita orang awam yang bedanya "صحّحه المسلم" dengan "صحّحه بشرط المسلم" saja kita tidak tahu.
3. Argumentasi masing-masing pendapat cenderung kuat. Hal ini untuk menghindari pendapat-pendapat nyeleneh yang tidak berpatron pada logika dasar dan nushus syariat.
Misalnya, ada orang yang mengeluarkan pendapat bahwa shalat wajib dalam sehari semalam cukup hanya tiga kali dengan alasan manusia akhir zaman mulai banyak disibukkan oleh godaan yang luar biasa, sehingga kalau syariat masih mewajibkan shalat lima waktu akan berdampak pada "masyaqqah" yang kalau kita kekeh dengan lima kali, akan berimbas pada ditinggalkannya syariat islam oleh manusia. Pendapat semacam ini tidak masuk dalam diksi "khilaf" karena tidak lahir dari sumber yang kuat, ia lahir dari selera nafsu yang kuat.
Untuk poin ketiga ini, harusnya patut kita terapkan dalam konteks kita, wabil khusus di dunia maya, bila kita melihat orang yang tidak ada backgroud agama, tidak kita ketahui jalur pendidikan agama juga gurunya, lalu tiba-tiba ia berpendapat menyalahi dengan pendapat mayoritas ulama yang kealimannya sudah teruji zaman maka sikap kita adalah "pendapat ia tidak diterima". Entah ia memakai embel-embel penelitian, antitesis atau bahasa-bahasa ilmiyah lain, sikap kita sudah jelas, "pendapatnya tidak diterima".
Keterangan gambar: kitab Fawaidul Madaniyyah karya Syekh Sulaiman Kurdi 237
Tidak ada komentar:
Posting Komentar