Latar Belakang dan Urgensi Kodifikasi Al-Qur'an
Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW pada tahun 11 Hijriyah (632 Masehi), umat Islam dihadapkan pada tantangan besar, yaitu menjaga kemurnian dan keutuhan Al-Qur'an. Meskipun Al-Qur'an telah dihafal oleh banyak sahabat dan sebagiannya telah ditulis di berbagai media (seperti pelepah kurma, tulang belulang, kulit, dan batu), namun belum terkumpul dalam satu mushaf yang sistematis.
Pemicu utama untuk melakukan kodifikasi Al-Qur'an di masa Abu Bakar adalah Perang Yamamah pada tahun 12 Hijriyah (633 Masehi). Perang ini melibatkan pasukan Muslim melawan Musailamah Al-Kadzdzab, seorang nabi palsu. Dalam perang tersebut, banyak dari para hafiz (penghafal) Al-Qur'an yang syahid. Diperkirakan sekitar 700 penghafal Al-Qur'an gugur dalam pertempuran ini.
Kekhawatiran akan hilangnya sebagian Al-Qur'an jika para penghafal terus berkurang mendorong para sahabat untuk bertindak. Umar bin Khattab, yang melihat dampak mengerikan dari gugurnya para penghafal, merasa sangat cemas.
Inisiatif Umar bin Khattab dan Persetujuan Abu Bakar
Melihat situasi tersebut, Umar bin Khattab mendatangi Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq dan mengusulkan untuk segera mengumpulkan dan membukukan Al-Qur'an.
Awalnya, Abu Bakar ragu-ragu. Ia berkata kepada Umar, "Bagaimana mungkin aku melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW?"
Umar dengan gigih menjelaskan urgensi masalah ini, bahwa jika tidak segera dilakukan, banyak bagian Al-Qur'an yang mungkin akan hilang seiring berjalannya waktu dan meninggalnya para penghafal. Ia terus meyakinkan Abu Bakar hingga akhirnya Allah melapangkan hati Abu Bakar untuk menerima usulan tersebut.
Abu Bakar kemudian berkata, "Sesungguhnya Allah telah melapangkan dadaku untuk menerima apa yang telah dilapangkan dada Umar."
Penugasan Zaid bin Tsabit sebagai Ketua Tim Kodifikasi
Setelah memutuskan untuk melakukan kodifikasi, Abu Bakar memilih Zaid bin Tsabit sebagai ketua tim. Zaid bin Tsabit adalah salah satu penulis wahyu terbaik di masa Nabi Muhammad SAW dan dikenal memiliki hafalan yang kuat, kecerdasan, serta integritas yang tinggi.
Awalnya, Zaid bin Tsabit juga merasa berat dengan tugas ini. Ia berkata kepada Abu Bakar, "Demi Allah, seandainya kalian memerintahkan aku untuk memindahkan salah satu gunung, itu lebih ringan bagiku daripada memerintahkan aku untuk mengumpulkan Al-Qur'an."
Namun, Abu Bakar dan Umar terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Zaid menerima tugas mulia ini.
Metodologi Pengumpulan Al-Qur'an
Tim yang dipimpin oleh Zaid bin Tsabit menerapkan metodologi yang sangat cermat dan teliti untuk memastikan keotentikan setiap ayat yang dikumpulkan:
Mengumpulkan Tulisan yang Ada: Zaid dan timnya mulai mengumpulkan semua tulisan Al-Qur'an yang tersebar di berbagai media yang disebutkan sebelumnya (pelepah kurma, batu, tulang, kulit, dll.) dari para sahabat.
Verifikasi Ganda (Verifikasi Dua Saksi): Setiap ayat atau bagian Al-Qur'an yang ditemukan harus diverifikasi oleh dua orang saksi yang adil dan dapat dipercaya, yang keduanya pernah mendengarnya langsung dari Nabi Muhammad SAW. Ini adalah standar yang sangat tinggi untuk memastikan keakuratan.
Membandingkan dengan Hafalan Para Penghafal: Tulisan-tulisan yang terkumpul juga dibandingkan dan dicocokkan dengan hafalan para penghafal Al-Qur'an yang masih hidup. Ini menjadi lapisan verifikasi tambahan.
Menuliskan Ulang dengan Hati-hati: Setelah melalui proses verifikasi yang ketat, ayat-ayat tersebut kemudian dituliskan ulang secara bersih dan sistematis di lembaran-lembaran (suhuf). Proses ini membutuhkan ketelitian tinggi dalam penulisan dan penyusunan.
Pengawasan Langsung dari Abu Bakar dan Umar: Abu Bakar dan Umar senantiasa mengawasi proses pengumpulan ini, memberikan arahan, dan memastikan tidak ada kesalahan yang terjadi.
Hasil dan Penyimpanan Mushaf
Hasil dari kerja keras tim Zaid bin Tsabit ini adalah terkumpulnya seluruh Al-Qur'an dalam satu mushaf yang lengkap dan sistematis. Mushaf ini kemudian dikenal sebagai Mushaf Abu Bakar atau Mushaf Ash-Shiddiq.
Mushaf ini awalnya disimpan oleh Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar wafat, mushaf tersebut diwariskan kepada Umar bin Khattab. Setelah Umar wafat, mushaf tersebut diamanahkan kepada putrinya, Hafsah binti Umar, yang juga salah seorang istri Nabi Muhammad SAW (Ummul Mukminin).
Pentingnya Kodifikasi di Masa Abu Bakar
Kodifikasi Al-Qur'an di masa Abu Bakar adalah salah satu peristiwa paling monumental dalam sejarah Islam. Pentingnya tindakan ini adalah:
Menjaga Keaslian Al-Qur'an: Proses ini memastikan bahwa tidak ada satu pun ayat Al-Qur'an yang hilang atau terlupakan, dan bahwa Al-Qur'an tetap terjaga kemurniannya dari segala bentuk perubahan atau pemalsuan.
Standarisasi Teks: Meskipun belum dalam bentuk mushaf yang seragam seperti di masa Utsman, pengumpulan ini menjadi fondasi awal untuk standarisasi teks Al-Qur'an.
Mempermudah Umat Islam: Dengan terkumpulnya Al-Qur'an dalam satu mushaf, memudahkan umat Islam untuk mempelajarinya, menghafalnya, dan membacanya.
Landasan bagi Kodifikasi Utsmani: Mushaf yang dikumpulkan di masa Abu Bakar ini menjadi rujukan utama dan dasar bagi proyek kodifikasi Al-Qur'an yang lebih luas dan standarisasi bacaan di masa Khalifah Utsman bin Affan.
Singkatnya, pengumpulan Al-Qur'an di masa Abu Bakar merupakan langkah visioner dan krusial yang diprakarsai oleh Umar bin Khattab, dieksekusi dengan cermat oleh Zaid bin Tsabit, dan didukung penuh oleh Khalifah Abu Bakar, yang pada akhirnya menyelamatkan Al-Qur'an dari potensi kehilangan dan menjamin kelestarian wahyu Allah hingga hari kiamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar