Minggu, 15 Juni 2025

Pergeseran Makna Dakwah




Dakwah adalah kewajiban kolektif atau fardhu kifayah. Siapa pun boleh memikulnya, tapi tidak setiap orang mampu dan memiliki kualifikasinya. Menyampaikan ajaran Baginda Rasul bukanlah perkara fasih bicara, cakap beretorika, atau punya penguasaan panggung meyakinkan, namun soal ketajaman nurani, keluasan ilmu, dan keteguhan niat. Istilah dai, yang berakar dari kata da’a—mengajak, menyeru—adalah cermin jiwa yang memilih jalan terjal untuk menyuarakan kebenaran. Jalan yang panjang, sepi, dan kadang penuh luka.

Peran dai tak pernah kehilangan relevansi. Justru di zaman kita kini, ketika arus informasi mengalir deras, ketika batas antara opini dan kebenaran makin kabur, seorang dai dibutuhkan untuk menjaga nalar umat agar tak tenggelam. Tapi di sinilah letak persoalannya: menjadi dai hari ini terasa seperti menggenggam bara. Panasnya tidak hanya karena beratnya beban, juga karena dunia di sekitar kita berubah terlalu cepat—sementara nilai yang dibawanya menuntut untuk tetap utuh.

Beban itu kian berat karena godaan datang dari segala arah. Popularitas, misalnya. Ia datang tanpa mengetuk pintu, tapi langsung duduk di ruang tamu. Begitu nama mulai dikenal, wajah akrab di layar, dan suara sering dikutip, gairah untuk tampil pelahan menggeser niat untuk menyampaikan. Panggung yang dulu diniatkan sebagai ladang dakwah berubah jadi panggung pertunjukan. Yang dicari bukan lagi kebenaran, tapi decak kagum dan sorak-sorai penonton. Dan dari situ, ruh dakwah mulai bocor.

Lalu datang tuntutan publik, yang makin bising, makin tak masuk akal. Seorang dai ditarik untuk bicara soal apa saja: mulai dari politik sampai psikologi, dari investasi syariah sampai persoalan mental health. Da'i yang terhormat itu pun dituntut jadi kamus berjalan. Padahal, tak semua hal harus dan mampu dijawab. Bukankah da'i juga manusia yang jelas lebih banyak tidak tahunya daripada pintarnya. Tapi di dunia serba cepat ini, diam sering disalahpahami sebagai kelemahan, dan ketidaktahuan dianggap kegagalan. Maka banyak dai akhirnya memilih cara cepat "bunuh diri": berbicara tanpa dasar, menjawab sekadar menjaga wibawa. Yang penting kelihatan tahu. Walau sebenarnya sedang mengarang.

Di sisi lain, wajah dakwah makin hari makin mirip dunia hiburan. Ceramah harus lucu, santai, menggelitik. Dai yang dulu dikenal karena hikmah dan kedalaman, sekarang dipuja karena piawai melempar punchline. Tertawa dianggap lebih afdal dari berpikir. Di panggung-panggung yang disorot lampu, di layar-layar ponsel yang bisa dibolak-balik dengan jempol, dai bersaing dengan konten kreator. Untuk tetap bersinar, mereka harus jadi bintang—bukan lagi sebagai pembawa cahaya, tapi pencari kemilau sorot lampu panggung. Di situlah batas antara nasihat dan sensasi mengabur. Dan dalam kekaburan itu, pesan-pesan ilahi perlahan redup menuju pudur.

Dan belum selesai di situ. Uang mulai bicara dalam nada yang semakin keras. Amplop, honor, tarif ceramah, semuanya jadi obrolan yang tak lagi tabu. Ada dai yang mengatur jadwal berdasarkan besaran transfer. Ada juga yang menakar undangan bukan dari siapa yang mengundang, tapi dari seberapa besar mereka bisa membayar. Tentu, tak salah memberi penghargaan atas kerja dakwah. Sama sekali tidak salah. Kekeliruan itu hanya pada: isi ceramah bisa berubah demi menyenangkan sponsor. Kalau keberanian bersuara diredam oleh rasa sungkan pada pemberi amplop, maka dakwah bukan lagi panggilan hati. Ia berubah jadi komoditas. Tetap berbicara atas nama langit, tapi kaki berpijak pada pasar.

Lalu muncul paradoks: dai dituntut suci, tapi hidup dalam dunia yang berdosa dan penuh godaan. Ia harus hadir di tengah umat, tapi tak boleh terlalu dekat. Ia diharap sederhana, tapi juga tampil rapi, cakap, karismatik. Ia harus lantang bersuara, tapi tak boleh salah ucap. Ia dituntut jadi simbol keteladanan, tapi hidup dalam tekanan untuk viral. Maka banyak dai terjebak dalam dua kutub: antara menjaga integritas atau memenangkan algoritma.

Namun di balik semua kekusutan itu, masih ada harapan. Karena di antara para pemburu panggung, masih ada yang tetap setia pada jalan sunyi. Mereka yang memilih bicara pelan, tapi menembus hati. Mereka yang tak memaksa tampil, tapi selalu hadir saat dibutuhkan. Mereka yang tak memikirkan subscriber, tapi tetap menjawab pesan-pesan kecil dari santri, dari warga kampung, dari orang-orang yang ingin mengerti agama tanpa gaduh.

Barangkali kita perlu kembali ke titik awal: bahwa dakwah adalah kerja hati. Ia lahir semata dari rasa peduli, bukan lantaran hasrat ingin tampil dan untuk disanjung puji. Ia tidak menuntut panggung, tapi kehadiran. Ia tidak selalu bersuara keras, tapi selalu punya gema.

Menjadi da'i tidak harus sempurna. Tapi jujur, "sejak dalam pikiran". Harus punya keberanian untuk berkata, "Saya tidak tahu," ketika memang tidak tahu, apalagi di era "matinya kepakaran" begini. Harus siap dianggap membosankan, ketika yang disampaikan tak viral tapi benar. Harus rela kalah dalam popularitas, demi tetap menang dalam nilai.

Karena pada akhirnya, tugas dai bukan membuat orang terhibur. Tapi membuat orang tersadar. Dan kesadaran, sebagaimana kita tahu, sering kali datang dari kata-kata yang sunyi, bukan dari tawa, bukan dari sensasi, dan bukan dari tepuk tangan—apalagi tepuk dada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Kenapa Muharram Jadi Bulan Pertama Dalam Kalender Hijriyah? Berikut Penjelasannya

Bulan Muharram dijadikan bulan pertama dalam kalender Islam (Hijriyah) bukan karena peristiwa hijrah Nabi Muhammad ﷺ sebab Nabi ...