Konon, ada seorang raja di datangi oleh malaikat maut. Kemudian terjadi perbincangan
antara keduanya. “Siapa kamu?” kata sang raja. Malaikat maut menjawab, “Saya
malaikat maut yang datang untuk mencabur nyawamu!” Lantaran kaget, sang raja
menjawab, “Aku mohon tangguhkan dulu selama tujuh tahun untuk mempersiapkan
diriku menjemput kematian.”
Saat itu, Allah I memberi wahyu kepada Malaikat
Izrail u agar memberinya kesempatan terakhir. Setelah itu,
malaikat maut pergi
dari hadapan raja.
Sepeninggal
malaikat
maut, sang raja memerintahkan prajuritnya untuk membuat benteng yang kokoh dilengkapi tujuh parit di
depannya. Selain itu ia
memerintah
agar dibuatkan beberapa kamar dengan
pintu terbuat dari besi dan timah. Di dalam benteng, ia juga membuat istana
kokoh dengan penjagaan ekstra ketat di depan pintu untuk berjaga-jaga dari
malaikat maut. “Jangan biarkan seorang pun masuk ke sini selamanya!” kata raja memperingatkan penjaga pintu.
Selama tujuh tahun, sang raja disibukkan dengan pembuatan
benteng dan penjagaan, hingga suatu ketika tibalah masa tujuh tahun itu.
Malaikat maut masuk ke
dalam benteng kokoh itu
dengan mudah dan menemui raja. Dengan penuh heran, sang raja bertanya: “Dari mana kamu
datang? Dari mana kamu masuk? Siapa yang memperbolehkan kamu masuk?” “Saya
dipersilahkan oleh pemilih rumah,” sambut malaikat maut.
Sang raja memanggil para penjaga pintu. “Kenapa kamu
biarkan orang ini masuk?” Mereka menjawab sambil bersumpah tidak melihat seorang pun, dan tak melihat orang lain masuk. Pintu dalam
keadaan terkunci dan dijaga.
Malaikat maut memecah keheranan orang-orang dengan
berkata, “Pemilik rumah ini tidak butuh pagar pembatas. Dinding pembatas dan
jurang tidak bisa mencegah utusan-Nya.”
“Apa maksudmu?”
“Saya akan mencabut nyawamu!”
“Apakah harus dengan cara (mendadak) seperti ini?”
“Iya.”
“Kemana aku akan pergi jika ruhku dicabut?”
“Ke rumah yang telah engkau bangun.”
“Apakah aku telah mempersiapkan rumahku sendiri?”
“Iya.”
“Dimana?”
“Di tempat api yang bergolak; yang mengelupaskan kulit kepala; yang
memanggil orang-orang pembangkang agama, serta suka menumpuk
harta dunia.” (QS al-Ma’ârij [70]: 15-18)
Setelah itu, Malaikat Izrail u mencabut nyawa sang raja dan berlalu.
***
Yang muncul saat kematian dibicarakan biasanya pikiran dan pertanyaan: kapan saya akan mati?
Seperti apa keadaan
saya setelah mati? Siapkah saya menghadapi kepada-Nya? Pertanyaan seperti
itu terus menghantui pikiran, meskipun kita yakin
bahwa kematian adalah kepastian yang tidak mungkin dihindari. Kematian tidak memilih usia atau
tempat. Jika waktunya sudah tiba, maut pasti menjemput. Inilah pelajaran
berharga dalam hidup, agar manusia selalu hati-hati dalam menapaki hidup.
Secara umum, dapat dikatakan bahwa
pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang menyenangkan bagi kita, karena kematian
dinilai sebagai hal yang tabu dan menakutkan. Keengganan untuk mati mungkin disebabkan praduga,
bahwa kehidupan dunia lebih baik daripada setelah kematian. Atau mungkin karena
khawatir meninggalkan keluarga, sehingga takut menghadapi kematian. Atau alasan
lain yang kesimpulannya sama: takut mati.
Sebagian orang justru memandang
kematian adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari kesulitan dunia, sehingga
ia memutuskan bunuh diri. Atau memandang kematian sebagai hidup yang sebenarnya,
sehingga kematian baginya tidaklah menakutkan. Justru, kedatangan maut kadang
di dambakan.
Konon, al-Maghfûrlah KH
Hasani Nawawie (Sidogiri) saat bertemu dengan orang yang beliau kenal selalu
meminta do'a agar cepat meninggal. Hal itu, karena beliau sudah yakin bahwa kehidupan
yang sebenarnya adalah setelah kematian, bukan kehidupan dunia fana ini.
Adapun perasaan takut hanyalah
pengaruh kekhawatiran yang memang bagian dari permainan dunia; khawatir
kehilangan anak, istri, suami dan semua orang yang dicintai. Padahal semua itu pasti akan ditinggalkan.
Meski demikian, bukan berarti kematian adalah segala-galanya. Justru ketika
kematian dilakukan dengan cara yang tidak wajar, semisal bunuh diri, maka akan
memperkeruh masalah.
Meskipun secara umum menakutkan,
namun pada sisi lain kematian justru membawa
inspirasi positif agar selalu waspada terhadap nasib buruk setelah kematian, disamping
juga terdapat kehidupan indah yang telah dijanjikan Allah I bagi
mereka yang beruntung.
Setelah kematian, pengadilan Allah I menunggu;
ialah saat seorang
hamba harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Dengan demikian, hamba selalu
dituntut untuk berbuat baik dan menjahui segala tindakan negatif yang menjurus
pada kesengsaraan setelah kematian.
Dalam situasi lain, kematian memiliki
peranan penting dalam memantapkan percaya diri. Tidak heran jika kemudian
setiap agama menjadikan kematian sebagai teguran atau peringatan kepada mereka
yang lalai akan aturan Allah I. Dalam agama Islam, dianjurkan untuk
memperbanyak ingat mati, karena dengan mengingatnya kita akan lebih waspada
menjalani hidup di dunia.
Dalam beberapa
kesempatan, Rasulullah r terus mewanti-wanti agar senantiasa belajar
pada peristiwa kematian.
Dalam sebuah hadis digambarkan, bahwa orang
yang cerdas ialah mereka yang bisa menundukkan
nafsu dan mempersiapkan
bekal
kematian dengan
baik. Bahkan untuk mengasah
ketajaman spiritualitasnya, Khalifah
Umar
bin Khaththab t menuliskan kalimat pendek di cincinnya: “Cukuplah kematian yang menjadi
petunjukmu wahai Umar!”
Bagaimana
pun, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah transmisi dari
kehidupan panjang menuju kehidupan lain yang jauh lebih panjang. Setelah
kematian akan terkuak misteri siapa jati diri kita sebenarnya. Apa yang kita
sebut “diri”, ternyata bukan jasad yang telah mati. Saat itulah, kita menyadari
sesuatu yang sama sekali tak pernah terpikirkan semasa hidup di dunia. Wallâhu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar