MENURUT Imam al-Ghazali, sakit merupakan balâ’ muqayyad, yakni musibah yang terbatas atau bersifat relatif.
Maksudnya, musibah sakit bisa menjadi sesuatu yang baik, bisa pula menjadi
sesuatu yang buruk. Mengenai hal itu, setidaknya ada tiga tolok ukur yang bisa
dijadikan ‘tanda’ untuk menentukan apakah sakit yang diderita oleh seseorang
merupakan suatu yang baik atau suatu yang buruk. Tiga tanda tersebut adalah
mengenai (1) apa penyebabnya, (2) bagaimana
dia menyikapinya, dan (3) apa akibatnya.
Pertama, penyebab sakit. Jika sakit itu disebabkan oleh suatu yang buruk,
maka sakit tersebut berpotensi besar untuk menjadi keburukan. Misalnya, orang
yang sakit karena mengonsumsi atau melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama.
Maka, sakit tersebut berpotensi besar untuk menjadi sebuah keburukan, meskipun hal
itu tidak mutlak. Sebaliknya, jika sakit itu disebabkan oleh hal-hal yang baik,
maka tentu saja berpotensi besar untuk menjadi sebuah kebaikan.
Penyebab sakit
yang paling ‘mulia’ di dunia tasawuf adalah sakit karena ‘merindukan’ Sang
Kekasih (Allah). Konon, Imam Junaid al-Baghdadi pernah menjenguk Sari
as-Saqathi ketika beliau sedang sakit. Imam al-Junaid bertanya, “Bagaimana
keadaanmu?” Sari as-Saqathi menjawab dengan sebuah syair, “Bagaimana mungkin
aku mengadukan sakitku kepada Sang Tabib... sementara sakitku ini gara-gara
Sang Tabib (Allah).”
Kedua, menyikapi sakit. Sakit bisa menjadi sesuatu yang buruk bila
disikapi dengan buruk. Sikap standar terhadap sakit dalam tasawuf adalah tidak
mengeluh dan sabar. Yang lebih tinggi dari itu adalah sikap tawakal, ridha,
lalu syukur. Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’
Ulûmiddîn menyatakan:
اِعْلَمْ أَنَّ كِتْمَانَ المَرَضِ وَإِخْفَاءَ
الفَقْرِ وَأَنْوَاعِ البَلاَءِ مِنْ كُنُوْزِ البِرِّ وَهُوَ مِنْ أَعْلَى المَقَامَاتِ:
لأَنَّ الرِّضَا بِحُكْمِ اللهِ وَالصَّبْرِ عَلَى بَلاَئِهِ مُعَامَلَةٌ بَيْنَهُ
وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكِتْمَانُهُ أَسْلَمُ عَنِ الآفَاتِ
“Ketahuilah,
bahwa menyembunyikan sakit, kesengsaraan dan musibah merupakan gudang kebaikan.
Ini termasuk maqâm yang paling tinggi,
sebab rela terhadap segala ketetapan Allah dan sabar atas segala ujian-Nya
merupakan cara untuk membina hubungan antara dirinya dan Allah. Maka, dengan menyembunyikan
ujian, dia akan lebih mudah terhindar dari efek negatif ujian tersebut.”
Namun demikian, bukan
berarti dunia tasawuf tidak memperkenankan seseorang menampakkan penyakit yang
dideritanya sama sekali. Mengekspresikan sakit itu boleh-boleh saja asalkan disertai
niat yang baik, dan bukan karena mengeluh atas penyakit yang diterimanya.
Menurut Imam
al-Ghazali, setidaknya ada tiga motivasi yang diakui oleh tasawuf dalam
menampakkan penyakit yang diderita. Motivasi yang pertama adalah untuk mengobati
sakitnya. Yakni, dia menceritakan penyakitnya kepada tabib, bukan untuk
mengeluh, tapi agar si tabib bisa mendiagnosa lalu memberikan pengobatan yang tepat. Jadi, dalam
kondisi itu, dia tidak dalam konteks syikâyah
atau mengeluh,
tapi dalam konteks hikâyah atau menceritakan
tentang takdir Allah yang dirasakan oleh dirinya. Imam Ahmad bin Hanbal pernah
menceritakan penyakit yang dideritanya. Lalu, beliau berkata:
إِنَّمَا أَصِفُ قُدْرَةَ اللهِ تَعَالَى
فِيَ
“Aku hanya bermaksud
menceritakan kekuasaan Allah yang terjadi padaku.”
Motivasi yang
kedua adalah untuk memberikan teladan kepada orang lain agar menyikapi sakit
dengan ketabahan, atau bahkan menyambutnya dengan rasa syukur.
Jadi, pada tingkat yang lebih tinggi, seorang sufi justru menganggap sakit
sebagai sebuah nikmat yang membuahkan pahala dan kebaikan-kebaikan yang lain. Oleh karena sakit
itu merupakan nikmat, maka perlu diceritakan kepada orang lain. Sebab, seperti
dinyatakan dalam QS ad-Dhuha: 11, Allah memerintahkan untuk menceritakan nikmat
sebagai bentuk syukur. Mengenai hal itu Imam Hasan al-Bashri berkata, “Jika
orang yang sakit memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya, lalu dia menceritakan
penyakitnya, maka hal itu jelas bukanlah keluhan.”
Motivasi yang ketiga
adalah untuk menunjukkan betapa lemah dan betapa butuh dirinya kepada Allah. Motivasi
yang ketiga ini hanya relevan untuk orang yang sudah sangat teruji ketabahan
dan ketegarannya dalam menghadapi sakit. Sedangkan bagi orang yang belum
teruji, maka menampakkan rasa sakit tidaklah dianjurkan. Sebab, jika orangnya
belum teruji ekspresi sakit biasanya bukanlah bentuk ungkapan rasa lemah dan
rasa butuhnya kepada Allah, melainkan murni karena mengeluhkan penderitaan.
Mengenai
motivasi ketiga ini, konon saat Sayidina Ali bin Thalib sedang sakit, seseorang
menanyai keadaannya. Beliau menjawab, “Aku hanyalah manusia.” Mendengar jawaban
itu, orang-orang saling berpandangan, seolah-olah mereka tidak setuju dengan
jawaban beliau. Mereka menganggap ucapan itu sebagai keluhan. Melihat reaksi
mereka tersebut, Sayidina Ali berkata:
أَتَجَلَّدُ عَلَى اللهِ؟
“Apakah
aku akan menampakkan kegagahan di hadapan Allah!?”
Sayidina Ali bin
Abi Thalib dikenal sebagai orang yang sangat tegar dan kuat menghadapi
penderitaan seberat apapun, apalagi hanya sekadar menghadapi sakit. Maka, kalau
suatu ketika beliau mengekspresikan rasa sakitnya, hal itu sama sekali bukan
karena mengeluh, tapi semata-mata menunjukkan bahwa dirinya adalah makhluk Allah
yang lemah.
Ketiga, akibat dari sakit. Sakit menjadi suatu yang buruk bila hal itu mengakibatkan
seseorang melanggar ajaran agama, yakni meninggalkan kewajiban atau melanggar
larangan. Meskipun ada banyak kewajiban yang ditoleransi untuk orang sakit,
namun juga ada banyak hal yang masih tetap menjadi keharusannya meskipun dalam
kondisi sakit parah. Misalnya salat, selagi seseorang masih dalam kondisi sadar
dan memiliki pikiran normal, maka salat masih menjadi kewajiban yang tidak
boleh ditinggalkan. Salat merupakan kewajiban yang paling sering diabaikan oleh
orang yang sedang sakit. Salat di saat sakit bisa dijadikan salah satu tanda
pembeda: siapa orang yang benar-benar teguh memegang ajaran agama meskipun
dalam kondisi sulit; dan siapa pula orang yang komitmen kepatuhannya mudah
patah hanya karena sedikit godaan dan sedikit kesulitan.
Rasulullah r bersabda:
مَنْ تَرَكَ الصَّلاةَ مُتَعَمِّدًا ،
فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ الله
“Orang yang meninggalkan salat secara sengaja
maka dia telah lepas dari jaminan Allah.” (HR Ahmad, al-Baihaqi,
at-Thabarani, dll.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar