Senin, 05 Oktober 2020

Rumah Sakit Para Kekasih Allah (1): Jatuh Sakit karena Merindukan Dokter



 

MENURUT Imam al-Ghazali, sakit merupakan balâ’ muqayyad, yakni musibah yang terbatas atau bersifat relatif. Maksudnya, musibah sakit bisa menjadi sesuatu yang baik, bisa pula menjadi sesuatu yang buruk. Mengenai hal itu, setidaknya ada tiga tolok ukur yang bisa dijadikan ‘tanda’ untuk menentukan apakah sakit yang diderita oleh seseorang merupakan suatu yang baik atau suatu yang buruk. Tiga tanda tersebut adalah mengenai  (1) apa penyebabnya, (2) bagaimana dia menyikapinya, dan (3) apa akibatnya.

Pertama, penyebab sakit. Jika sakit itu disebabkan oleh suatu yang buruk, maka sakit tersebut berpotensi besar untuk menjadi keburukan. Misalnya, orang yang sakit karena mengonsumsi atau melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama. Maka, sakit tersebut berpotensi besar untuk menjadi sebuah keburukan, meskipun hal itu tidak mutlak. Sebaliknya, jika sakit itu disebabkan oleh hal-hal yang baik, maka tentu saja berpotensi besar untuk menjadi sebuah kebaikan.

Penyebab sakit yang paling ‘mulia’ di dunia tasawuf adalah sakit karena ‘merindukan’ Sang Kekasih (Allah). Konon, Imam Junaid al-Baghdadi pernah menjenguk Sari as-Saqathi ketika beliau sedang sakit. Imam al-Junaid bertanya, “Bagaimana keadaanmu?” Sari as-Saqathi menjawab dengan sebuah syair, “Bagaimana mungkin aku mengadukan sakitku kepada Sang Tabib... sementara sakitku ini gara-gara Sang Tabib (Allah).”

Kedua, menyikapi sakit. Sakit bisa menjadi sesuatu yang buruk bila disikapi dengan buruk. Sikap standar terhadap sakit dalam tasawuf adalah tidak mengeluh dan sabar. Yang lebih tinggi dari itu adalah sikap tawakal, ridha, lalu syukur. Imam al-Ghazali dalam Ihyâ’ Ulûmiddîn menyatakan:

اِعْلَمْ أَنَّ كِتْمَانَ المَرَضِ وَإِخْفَاءَ الفَقْرِ وَأَنْوَاعِ البَلاَءِ مِنْ كُنُوْزِ البِرِّ وَهُوَ مِنْ أَعْلَى المَقَامَاتِ: لأَنَّ الرِّضَا بِحُكْمِ اللهِ وَالصَّبْرِ عَلَى بَلاَئِهِ مُعَامَلَةٌ بَيْنَهُ وَبَيْنَ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ فَكِتْمَانُهُ أَسْلَمُ عَنِ الآفَاتِ

“Ketahuilah, bahwa menyembunyikan sakit, kesengsaraan dan musibah merupakan gudang kebaikan. Ini termasuk maqâm yang paling tinggi, sebab rela terhadap segala ketetapan Allah dan sabar atas segala ujian-Nya merupakan cara untuk membina hubungan antara dirinya dan Allah. Maka, dengan menyembunyikan ujian, dia akan lebih mudah terhindar dari efek negatif ujian tersebut.”

Namun demikian, bukan berarti dunia tasawuf tidak memperkenankan seseorang menampakkan penyakit yang dideritanya sama sekali. Mengekspresikan sakit itu boleh-boleh saja asalkan disertai niat yang baik, dan bukan karena mengeluh atas penyakit yang diterimanya.

Menurut Imam al-Ghazali, setidaknya ada tiga motivasi yang diakui oleh tasawuf dalam menampakkan penyakit yang diderita. Motivasi yang pertama adalah untuk mengobati sakitnya. Yakni, dia menceritakan penyakitnya kepada tabib, bukan untuk mengeluh, tapi agar si tabib bisa mendiagnosa lalu memberikan pengobatan yang tepat. Jadi, dalam kondisi itu, dia tidak dalam konteks syikâyah atau mengeluh, tapi dalam konteks hikâyah atau menceritakan tentang takdir Allah yang dirasakan oleh dirinya. Imam Ahmad bin Hanbal pernah menceritakan penyakit yang dideritanya. Lalu, beliau berkata:

إِنَّمَا أَصِفُ قُدْرَةَ اللهِ تَعَالَى فِيَ

“Aku hanya bermaksud menceritakan kekuasaan Allah yang terjadi padaku.”

Motivasi yang kedua adalah untuk memberikan teladan kepada orang lain agar menyikapi sakit dengan ketabahan, atau bahkan menyambutnya dengan rasa syukur. Jadi, pada tingkat yang lebih tinggi, seorang sufi justru menganggap sakit sebagai sebuah nikmat yang membuahkan pahala dan kebaikan-kebaikan yang lain. Oleh karena sakit itu merupakan nikmat, maka perlu diceritakan kepada orang lain. Sebab, seperti dinyatakan dalam QS ad-Dhuha: 11, Allah memerintahkan untuk menceritakan nikmat sebagai bentuk syukur. Mengenai hal itu Imam Hasan al-Bashri berkata, “Jika orang yang sakit memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya, lalu dia menceritakan penyakitnya, maka hal itu jelas bukanlah keluhan.”

Motivasi yang ketiga adalah untuk menunjukkan betapa lemah dan betapa butuh dirinya kepada Allah. Motivasi yang ketiga ini hanya relevan untuk orang yang sudah sangat teruji ketabahan dan ketegarannya dalam menghadapi sakit. Sedangkan bagi orang yang belum teruji, maka menampakkan rasa sakit tidaklah dianjurkan. Sebab, jika orangnya belum teruji ekspresi sakit biasanya bukanlah bentuk ungkapan rasa lemah dan rasa butuhnya kepada Allah, melainkan murni karena mengeluhkan penderitaan.

Mengenai motivasi ketiga ini, konon saat Sayidina Ali bin Thalib sedang sakit, seseorang menanyai keadaannya. Beliau menjawab, “Aku hanyalah manusia.” Mendengar jawaban itu, orang-orang saling berpandangan, seolah-olah mereka tidak setuju dengan jawaban beliau. Mereka menganggap ucapan itu sebagai keluhan. Melihat reaksi mereka tersebut, Sayidina Ali berkata:

أَتَجَلَّدُ عَلَى اللهِ؟

“Apakah aku akan menampakkan kegagahan di hadapan Allah!?”

Sayidina Ali bin Abi Thalib dikenal sebagai orang yang sangat tegar dan kuat menghadapi penderitaan seberat apapun, apalagi hanya sekadar menghadapi sakit. Maka, kalau suatu ketika beliau mengekspresikan rasa sakitnya, hal itu sama sekali bukan karena mengeluh, tapi semata-mata menunjukkan bahwa dirinya adalah makhluk Allah yang lemah.

Ketiga, akibat dari sakit. Sakit menjadi suatu yang buruk bila hal itu mengakibatkan seseorang melanggar ajaran agama, yakni meninggalkan kewajiban atau melanggar larangan. Meskipun ada banyak kewajiban yang ditoleransi untuk orang sakit, namun juga ada banyak hal yang masih tetap menjadi keharusannya meskipun dalam kondisi sakit parah. Misalnya salat, selagi seseorang masih dalam kondisi sadar dan memiliki pikiran normal, maka salat masih menjadi kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan. Salat merupakan kewajiban yang paling sering diabaikan oleh orang yang sedang sakit. Salat di saat sakit bisa dijadikan salah satu tanda pembeda: siapa orang yang benar-benar teguh memegang ajaran agama meskipun dalam kondisi sulit; dan siapa pula orang yang komitmen kepatuhannya mudah patah hanya karena sedikit godaan dan sedikit kesulitan.

Rasulullah r bersabda:

مَنْ تَرَكَ الصَّلاةَ مُتَعَمِّدًا ، فَقَدْ بَرِئَتْ مِنْهُ ذِمَّةُ الله

Orang yang meninggalkan salat secara sengaja maka dia telah lepas dari jaminan Allah.” (HR Ahmad, al-Baihaqi, at-Thabarani, dll.)

Menurut Imam Abdul Wahhab asy-Sya’rani dalam al-‘Uhûd al-Muhammadiyah, melalui sabda ini Rasulullah r mengikrar kaum Muslimin agar jangan sampai meninggalkan salat meskipun sedang dalam keadaan sakit parah. Dalam kondisi sakit sekalipun, kita masih wajib melakukan salat dengan semampunya, baik dalam hal bersuci maupun dalam hal pelaksanaan rukun-rukun salat. Kita tidak boleh mengambil yang lebih ringan jika masih mampu melakukan yang lebih lengkap. Menurut Imam Sya’rani, begitu banyak dari kalangan orang-orang besar yang melanggar kewajiban salat saat sakit, apalagi dari kalangan masyarakat awam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...