Rabu, 07 Oktober 2020

Panah Asmara dari Eropa

 



ADA sebuah kisah, entah ini sejarah atau sekadar alegori. Yang jelas kisah ini mengandung hikmah yang sangat besar. Kira-kira di awal Abad 15 Masehi, Kerajaan Castilla (Spanyol) mengirim mata-mata untuk mengintip kekuatan umat Islam di Andalusia. Ketika sampai di Sungai Tagus, mata-mata itu melihat sekelompok pemuda Muslim yang sedang berlatih memanah, berkuda, dan keterampilan perang lainnya di tepi sungai.

Di tengah latihan itu, dia melihat seorang pemuda yang duduk menyendiri dan menangis tersedu-sedu. Diapun menghampirinya dan bertanya, “Apakah gerangan yang membuat engkau menangis?” Pemuda itu menjawab, “Dari sepuluh anak panah yang aku lepaskan, ada satu yang meleset dari sasaran.”

“Itu sudah sangat hebat. Kenapa engkau masih menangisinya?”

“Dalam latihan, engkau bisa saja bilang itu hebat. Tapi, di saat perang, jika satu anak panah yang aku lepaskan meleset, maka sangat mungkin ada temanku yang akan terbunuh atau aku sendiri yang terbunuh.”

Mata-mata Castilla itu segera pulang untuk melapor. Dia menceritakan kejadian tersebut kepada Raja, lalu dia berkata, “Menurutku, ini bukan saat yang tepat untuk berperang dengan umat Islam. Jika anak remajanya saja sudah seperti itu, maka bagaimana dengan para prajurit mereka!?”

Beberapa puluh tahun kemudian, mata-mata yang dikirim Castilla menemukan kejadian yang hampir sama. Saat lewat di tepi Sungai Tagus dia melihat seorang pemuda duduk di atas batu dan menangis tersedu-sedu. Dia menanyai apa yang membuatnya menangis. Pemuda itu menjawab, “Gadis yang sangat aku cintai telah meninggalkanku. Dia menolak cintaku.”

Mendengar jawaban tersebut, mata-mata Castilla itu bergegas pulang. Dia segera melapor kepada Ratu Castilla (Isabella) dan berkata, “Ini saat yang tepat untuk menyerbu Andalusia!”

Ternyata benar! Ratu Isabella dari Castilla bersama suaminya (Raja Ferdinand dari Aragon) menyerang umat Islam. Mereka berhasil menghabisi seluruh kerajaan Islam yang ada di Andalusia pada akhir Abad 15 Masehi dan mengusir umat Islam dari seluruh daratan Siberia.

Entah kebetulan atau tidak, menurut sebagian versi sejarah, kekalahan kaum Muslimin Andalusia itu terjadi pada tanggal 14 Pebruari 1492 M, yakni tanggal yang dirayakan oleh Eropa (dan oleh anak-anak muda kita) sebagai hari Valentine atau hari asmara.

*****

Kisah Andalusia itu seperti terulang kembali. Saat ini, Eropa dan Barat terus berusaha meruntuhkan dunia Islam dengan gigih, tepatnya pada saat anak-anak muda kita memuja-muja asmara. Ketika para pemuda sudah banyak terbuai asmara, maka hal itu merupakan pertanda kuat bahwa para orangtua sudah banyak melakukan pembiaran. Orangtua sudah tidak melakukan upaya keras dalam membentuk karakter dan jiwa yang kuat dalam diri anak-anak mereka. Saat hal itu terjadi, maka sudah jelas bahwa sebuah bangsa sedang berada dalam kondisi lemah dan lengah.

Oleh karena itu, Barat tidak henti-hentinya menjadikan panah asmara sebagai senjata untuk meruntuhkan militansi dan kekokohan jiwa anak-anak muda kita. Mereka mengekspor budaya pacaran, pergaulan bebas, dan semacamnya melalui berbagai macam media. Ilusi-ilusi keindahan cinta membuat anak-anak muda kita menerima dan mengambil apapun yang bertema cinta. Karena itulah konten, simbol, momen-momen bertema asmara, selalu laku keras di kalangan muda-mudi kita.

Tidak sedikit remaja dan pemuda kita yang kecanduan asmara. Hidup mereka didominasi oleh urusan asmara, seolah-olah tidak ada tema lain dalam hidup ini. Mereka mudah tertawa karena asmara dan mudah menangis juga karena asmara. Asmara menjadi semacam berhala. Dibela hingga mengorbankan segala kehormatan, juga keselamatan.

Lalu, apa yang bisa diharapkan dari generasi muda yang seperti ini!? Bagaimana mungkin mereka memperjuangkan idealisme jika mereka tidak memiliki idealisme!? Bagaimana mungkin mereka memperjuangkan agama jika perhatian mereka terhadap agama sudah tertutup tebal dengan debu-debu asmara!? Oleh karena itu, cukup sulit bagi kita menemukan remaja yang peduli dengan syiar agama yang makin pudar. Cukup sulit bagi kita menemukan remaja yang peduli untuk menghalau arus budaya buruk yang mengerikan. Cukup sulit menemukan pemuda yang berbicara lantang tentang ketidakadilan sosial, kemerosotan moral, dan pikiran-pikiran besar lainnya.

Meskipun sebenarnya Islam menaruh hormat terhadap kosa kata “cinta”, tapi bukan cinta dalam arti “asmara”. Memang tidak ada yang salah dengan asmara senyampang tidak melanggar aturan agama dan nilai-nilai luhur budaya. Akan tetapi, sangat perlu diketahui, bahwa membangun hubungan asmara dengan tanpa melanggar agama merupakan suatu yang sangat sulit terjadi, kecuali jika asmara itu hanya dipendam di dalam hati atau dirajut dengan lawan jenis yang sudah halal baginya. Seandainya pun asmara itu tidak diekspresikan dengan hal-hal yang melanggar ajaran, maka kesibukan pikiran dengan urusan asmara sudah cukup sebagai sisi negatif baginya. Sebab, keterpakuan terhadap asmara berpotensi besar membuat seseorang melalaikan hal-hal penting dalam hidupnya.

Maraknya perayaan Hari Valentine di tengah kita adalah puncak gunung es dari penyakit moral yang melanda anak-anak muda kita. Mereka begitu terbuka menerima perayaan ini, tanpa filter, tanpa reserve, tanpa berpikir apa itu Hari Valentine, bagaimana dan untuk apa? Hubungan asmara seolah-olah menjadi menu wajib di bangku-bangku sekolah dan dalam setiap sudut hubungan sosial para remaja. Padahal, dalam persoalan asmara, kaum lelaki seringkali menjadi lemah dan kaum wanita seringkali menjadi murah.

Kita tahu, banyak orang yang memuji kisah Qais dan Laila, kisah cinta dari klan Bani Amir yang sangat legendaris dalam sejarah dan mendapatkan aspresiasi yang luar biasa di dunia sastra. Tapi, tahukah kita bahwa Bani Amir sendiri justru merasa malu dengan kisah itu!?. Abu al-Farj al-Ashfihani bercerita dalam al-Aghâni, ketika orang-orang Bani Amir ditanya mengenai keberadaan Qais al-Majnun, mereka justru menjawab:

هَيْهَاتَ بَنُوْ عَامِرٍ أَغْلَظُ أَكْبَادًا مِنْ ذَاكَ

 “Tidak mungkin. Orang Bani Amir memiliki hati yang jauh lebih kuat untuk menjadi gila gara-gara asmara.”

Bani Amir menganggap kisah asmara yang mendayu-dayu bukanlah suatu yang indah, melainkan sesuatu yang memalukan. Hal itu yang juga dirasakan oleh marga Bani Umayyah ketika Khalifah Yazid bin Abdil Malik mati mengenaskan karena meratapi kematian kekasihnya, Habbabah. Tidak ada Bani Umayyah yang membanggakan kisah Yazid bin Abdil Malik. Mereka justru menganggap hal itu sebagai aib sejarah. Jatuh cinta memang hal wajar bagi manusia, tapi jika sampai runtuh gara-gara asmara, maka dialah orang yang benar-benar lemah jiwa.

Jadi, fenomena maraknya Hari Valentine bukan sekadar masalah kelatahan budaya belaka, namun jauh lebih rumit dari itu. Hari Valentine merupakan simpul dari keruntuhan nilai-nilai ketimuran, serta puncak dari penyakit mental yang melanda generasi muda kita.

Semua ini tidak lepas dari kesalahan orangtua yang semakin akhir semakin bersikap permisif terhadap anak-anak mereka. Kesalahan berpikir terbesar adalah ketika kita memaklumi penyimpangan anak-anak muda hanya karena mereka masih muda.

Maka, dalam memandang anak-anak muda, sering-seringlah kita mengingat Sayidina Ali yang menjadi pahlawan kemenangan Badar dalam usia 21 tahun. Sayyidah Aisyah yang menjadi sumber utama Hadis dan keilmuan Islam dalam usia 18 tahun. Usamah bin Zaid, panglima yang melumat pasukan Romawi dalam usia 18 tahun.  Imam Syafii yang menjadi mufti dalam usia 15 tahun.  Sultan Muhammad al-Fatih yang meruntuhkan Romawi dalam usia 21 tahun. Dan, Imam as-Suyuthi yang sudah mulai mengarang kitab sejak usia 17 tahun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...