ADA
sebuah kisah, entah ini sejarah atau sekadar alegori. Yang jelas kisah ini mengandung
hikmah yang sangat besar. Kira-kira di awal Abad 15 Masehi, Kerajaan Castilla
(Spanyol) mengirim mata-mata untuk mengintip kekuatan umat Islam di Andalusia.
Ketika sampai di Sungai Tagus, mata-mata itu melihat sekelompok pemuda Muslim
yang sedang berlatih memanah, berkuda, dan keterampilan perang lainnya di tepi
sungai.
Di
tengah latihan itu, dia melihat seorang pemuda yang duduk menyendiri dan
menangis tersedu-sedu. Diapun menghampirinya dan bertanya, “Apakah gerangan
yang membuat engkau menangis?” Pemuda itu menjawab, “Dari sepuluh anak panah
yang aku lepaskan, ada satu yang meleset dari sasaran.”
“Itu
sudah sangat hebat. Kenapa engkau masih menangisinya?”
“Dalam
latihan, engkau bisa saja bilang itu hebat. Tapi, di saat perang, jika satu
anak panah yang aku lepaskan meleset, maka sangat mungkin ada temanku yang akan
terbunuh atau aku sendiri yang terbunuh.”
Mata-mata
Castilla itu segera pulang untuk melapor. Dia menceritakan kejadian tersebut
kepada Raja, lalu dia berkata, “Menurutku, ini bukan saat yang tepat untuk
berperang dengan umat Islam. Jika anak remajanya saja sudah seperti itu, maka
bagaimana dengan para prajurit mereka!?”
Beberapa
puluh tahun kemudian, mata-mata yang dikirim Castilla menemukan kejadian yang
hampir sama. Saat lewat di tepi Sungai Tagus dia melihat seorang pemuda duduk
di atas batu dan menangis tersedu-sedu. Dia menanyai apa yang membuatnya
menangis. Pemuda itu menjawab, “Gadis yang sangat aku cintai telah
meninggalkanku. Dia menolak cintaku.”
Mendengar
jawaban tersebut, mata-mata Castilla itu bergegas pulang. Dia segera melapor
kepada Ratu Castilla (Isabella) dan berkata, “Ini saat yang tepat untuk
menyerbu Andalusia!”
Ternyata
benar! Ratu Isabella dari Castilla bersama suaminya (Raja Ferdinand dari Aragon)
menyerang umat Islam. Mereka berhasil menghabisi seluruh kerajaan Islam yang
ada di Andalusia pada akhir Abad 15 Masehi dan mengusir umat Islam dari seluruh
daratan Siberia.
Entah
kebetulan atau tidak, menurut sebagian versi sejarah, kekalahan kaum Muslimin Andalusia
itu terjadi pada tanggal 14 Pebruari 1492 M, yakni tanggal yang dirayakan oleh
Eropa (dan oleh anak-anak muda kita) sebagai hari Valentine atau hari asmara.
*****
Kisah
Andalusia itu seperti terulang kembali. Saat ini, Eropa dan Barat terus berusaha
meruntuhkan dunia Islam dengan gigih, tepatnya pada saat anak-anak muda kita memuja-muja
asmara. Ketika para pemuda sudah banyak terbuai asmara, maka hal itu merupakan
pertanda kuat bahwa para orangtua sudah banyak melakukan pembiaran. Orangtua
sudah tidak melakukan upaya keras dalam membentuk karakter dan jiwa yang kuat
dalam diri anak-anak mereka. Saat hal itu terjadi, maka sudah jelas bahwa sebuah
bangsa sedang berada dalam kondisi lemah dan lengah.
Oleh
karena itu, Barat tidak henti-hentinya menjadikan panah asmara sebagai senjata
untuk meruntuhkan militansi dan kekokohan jiwa anak-anak muda kita. Mereka
mengekspor budaya pacaran, pergaulan bebas, dan semacamnya melalui berbagai
macam media. Ilusi-ilusi keindahan cinta membuat anak-anak muda kita menerima
dan mengambil apapun yang bertema cinta. Karena itulah konten, simbol, momen-momen
bertema asmara, selalu laku keras di kalangan muda-mudi kita.
Tidak
sedikit remaja dan pemuda kita yang kecanduan asmara. Hidup mereka didominasi
oleh urusan asmara, seolah-olah tidak ada tema lain dalam hidup ini. Mereka mudah
tertawa karena asmara dan mudah menangis juga karena asmara. Asmara menjadi
semacam berhala. Dibela hingga mengorbankan segala kehormatan, juga
keselamatan.
Lalu,
apa yang bisa diharapkan dari generasi muda yang seperti ini!? Bagaimana
mungkin mereka memperjuangkan idealisme jika mereka tidak memiliki idealisme!?
Bagaimana mungkin mereka memperjuangkan agama jika perhatian mereka terhadap
agama sudah tertutup tebal dengan debu-debu asmara!? Oleh karena itu, cukup
sulit bagi kita menemukan remaja yang peduli dengan syiar agama yang makin
pudar. Cukup sulit bagi kita menemukan remaja yang peduli untuk menghalau arus
budaya buruk yang mengerikan. Cukup sulit menemukan pemuda yang berbicara
lantang tentang ketidakadilan sosial, kemerosotan moral, dan pikiran-pikiran
besar lainnya.
Meskipun
sebenarnya Islam menaruh hormat terhadap kosa kata “cinta”, tapi bukan cinta
dalam arti “asmara”. Memang tidak ada yang salah dengan asmara senyampang tidak
melanggar aturan agama dan nilai-nilai luhur budaya. Akan tetapi, sangat perlu
diketahui, bahwa membangun hubungan asmara dengan tanpa melanggar agama
merupakan suatu yang sangat sulit terjadi, kecuali jika asmara itu hanya
dipendam di dalam hati atau dirajut dengan lawan jenis yang sudah halal
baginya. Seandainya pun asmara itu tidak diekspresikan dengan hal-hal yang
melanggar ajaran, maka kesibukan pikiran dengan urusan asmara sudah cukup
sebagai sisi negatif baginya. Sebab, keterpakuan terhadap asmara berpotensi
besar membuat seseorang melalaikan hal-hal penting dalam hidupnya.
Maraknya
perayaan Hari Valentine di tengah kita adalah puncak gunung es dari penyakit
moral yang melanda anak-anak muda kita. Mereka begitu terbuka menerima perayaan
ini, tanpa filter, tanpa reserve, tanpa
berpikir apa itu Hari Valentine, bagaimana dan untuk apa? Hubungan asmara
seolah-olah menjadi menu wajib di bangku-bangku sekolah dan dalam setiap sudut hubungan
sosial para remaja. Padahal, dalam persoalan asmara, kaum lelaki seringkali
menjadi lemah dan kaum wanita seringkali menjadi murah.
Kita
tahu, banyak orang yang memuji kisah Qais dan Laila, kisah cinta dari klan Bani
Amir yang sangat legendaris dalam sejarah dan mendapatkan aspresiasi yang luar
biasa di dunia sastra. Tapi, tahukah kita bahwa Bani Amir sendiri justru merasa
malu dengan kisah itu!?. Abu al-Farj al-Ashfihani bercerita dalam al-Aghâni, ketika orang-orang Bani Amir
ditanya mengenai keberadaan Qais al-Majnun, mereka justru menjawab:
هَيْهَاتَ بَنُوْ عَامِرٍ أَغْلَظُ أَكْبَادًا مِنْ ذَاكَ
“Tidak mungkin. Orang
Bani Amir memiliki hati yang jauh lebih kuat untuk menjadi gila gara-gara
asmara.”
Bani
Amir menganggap kisah asmara yang mendayu-dayu bukanlah suatu yang indah,
melainkan sesuatu yang memalukan. Hal itu yang juga dirasakan oleh marga Bani
Umayyah ketika Khalifah Yazid bin Abdil Malik mati mengenaskan karena meratapi
kematian kekasihnya, Habbabah. Tidak ada Bani Umayyah yang membanggakan kisah
Yazid bin Abdil Malik. Mereka justru menganggap hal itu sebagai aib sejarah.
Jatuh cinta memang hal wajar bagi manusia, tapi jika sampai runtuh gara-gara
asmara, maka dialah orang yang benar-benar lemah jiwa.
Jadi,
fenomena maraknya Hari Valentine bukan sekadar masalah kelatahan budaya belaka,
namun jauh lebih rumit dari itu. Hari Valentine merupakan simpul dari keruntuhan
nilai-nilai ketimuran, serta puncak dari penyakit mental yang melanda generasi
muda kita.
Semua
ini tidak lepas dari kesalahan orangtua yang semakin akhir semakin bersikap permisif
terhadap anak-anak mereka. Kesalahan berpikir terbesar adalah ketika kita
memaklumi penyimpangan anak-anak muda hanya karena mereka masih muda.
Maka,
dalam memandang anak-anak muda, sering-seringlah kita mengingat Sayidina Ali
yang menjadi pahlawan kemenangan Badar dalam usia 21 tahun. Sayyidah Aisyah
yang menjadi sumber utama Hadis dan keilmuan Islam dalam usia 18 tahun. Usamah
bin Zaid, panglima yang melumat pasukan Romawi dalam usia 18 tahun. Imam Syafii yang menjadi mufti dalam usia 15
tahun. Sultan Muhammad al-Fatih yang
meruntuhkan Romawi dalam usia 21 tahun. Dan, Imam as-Suyuthi yang sudah mulai
mengarang kitab sejak usia 17 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar