Mujtahid Mutlak/Mujtahid Mustaqil
Mujtahid yang mampu
mencetuskan suatu hukum melalui sumbernya (al-Quran, hadis, ijmak dan qiyas)
secara langsung dengan menggunakan teori ushûl-nya sendiri. Seperti, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i
dan Imam Ahmad bin Hanbal.
Syarat-Syarat Mujtahid Mutlak
§ Harus mukallaf, beragama Islam, kredibel,
kapabel, tidak memiliki catatan hitam yang dapat memvonisnya sebagai orang fasik
dan tidak pernah
melakukan hal-hal yang dapat mencoreng nama baik.
§ Mampu mengetahui
hukum-hukum syar’i melalui al-Quran, sunah, ijmak dan qiyas.
§ Cakap dalam
bidang ‘ulûmul-Qu’rân, hadis, nasikh mansukh, nahwu
(gramatika), lughat (bahasa), tashrîf (morfologi atau cabang linguistik) dan ragam pendapat ulama baik yang mufakat atau yang berbeda
pendapat.
Mujtahid Mutlak
Muntasib/Mujtahid Mazhab
Mujtahid yang mampu
mencetuskan suatu hukum dengan menggunakan metode penggalian hukum para mujtahid
mustaqil.
Syarat-Syarat Mujtahid Muntasib
§ Tidak ber-taqlîd
(mengikuti) pada mujtahid
mustaqil baik dalam bermazhab atau dalam menentukan dalil yang dijadikan landasan suatu hukum, karena
mujtahid tipe ini memiliki sifat-sifat (ciri khas) mujtahid mustaqil,
hanya saja dalam berijtihad masih menggunakan teori istinbâth (penggalian hukum) para mujtahid mustaqil.
Di antara mujtahid
muntasib dari mazhab Syafi’i
1.
Ishaq bin Rahawaih (161-238 H)
Bernama lengkap Abu Ya’kub Ishaq bin Ibrahim bin
Mukhallad bin Ibrahim bin Mathar al-Hanthali al-Maruazi. Lebih populer dengan sebutan Ibnu
Rahawaih. Berasal dari Nisapur (Khurasan) dan tergolong pemuka agama di kota
tersebut. Beliau terkenal sebagai pakar fikih dan hadis, selain juga terkenal
wara’ dan takwa.
2.
Abu Tsaur (...-240 H)
Ibrahim bin Khalid Abu al-Yaman al-Kalbi al-Baghdadi atau yang lebih familiar dengan sebutan Abu Tsaur atau Abu Tsur. Beliau adalah pengikut mazhab Syafi’i yang tersohor. Mengenai hal itu Imam as-Subki dalam Thabâqat-nya memberi komentar tentang tokoh ini: “Beliau adalah Imam yang agung, salah satu ulama madzhab Syafi’i yang berasal dari Baghdad.”
Awal mulanya, Abu Tsaur mengikuti mazhab ahlur-ra’yi
yang pada saat itu sedang berkembang pesat di Irak, baru setelah kedatangan Imam
Syafi’i, beliau memilih untuk pindah mazhab dan kembali menggunakan teori ahlul-hadîs.
Hal ini seperti
yang ditulis Khatib al-Baghdadi
dalam Târikh-nya. Hal serupa juga disampaikan Ibnu Abdil Barr, beliau
memiliki nalar yang luar biasa. Selain itu, dalam meriwayatkan suatu hadis sangat
dipercaya. Akan tetapi dalam literatur fikih, seringkali ditemukan
statemen-statemennya yang dianggap lemah (syâdz). Seringkali Abu Tsaur menyalahi
pendapat mayoritas ulama. Kendati demikian, Abu Tsaur tetap diakui sebagai
salah satu pakar fikih. Sebagian ulama ada yang menyebutnya mujtahid mustaqil.
3.
Al-Marwazi (202-294 H)
Muhammad
Nashr al-Marwazi. Lahir di Baghdad, tumbuh besar di Nisapur dan menetap di
Samarkand. Khatib al-Baghdadi menyebutnya pakar perbandingan pendapat-pendapat
sahabat yang bertentangan. Di antara
kelebihannya, sangat
piawai dalam menulis. Abu Ishaq as-Syirazi menuturkan, “Al-Marwazi sangat cerdas dalam mengkombinasikan fikih dan hadis
ketika menulis.”
4. At-Thabari (224-310 H)
Abu
Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib at-Thabari. Dari tanah
kelahirannya, Thabaristan, ia
berkeliling ke pelbagai belahan dunia dalam rangka rihlah ilmiah. Beliau sangat
produktif bahkan, sampai ada yang bercerita bahwa dalam sehari beliau mampu
menulis sebanyak 40 lembar. Hal itu beliau lakukan selama 40 tahun.
5. Ibnu Huzaimah (223-311 H)
Abu
Bakar Muhammad bin Ishaq bin Huzaimah bin al-Mughirah bin Shalih bin Bakr
as-Sulami an-Naisaburi. Pernah belajar di Baghdad, Bashrah, Kufah, Syiria,
al-Jazirah dan Mesir. As-Subki menyebutkan, “Keutamaannya saya himpun dalam buku
yang cukup tebal.” Karya beliau lebih dari 140 kitab, di antaranya Fiqh Hadîts Barîrah.
6. Ibnu al-Mundzir (...-318 H)
Abu
Bakar Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundzir an-Naisaburi. Imam Mujtahid yang hâfizh dan wara’. Seperti yang disampaikan
as-Subki, beliau dan tiga Muhammad yang lain, yakni, al-Maruazi, at-Thabari dan
Ibnu Huzaimah sebenarnya sudah dapat dikatakan mujtahid mustaqil. Akan tetapi meski begitu beliau tetap bermazhab Syafi’i. Mereka menggali hukum menggunakan
teori ushûl Imam Syafi’i. Jadi, mereka tetap dikatakan pengikut mazhab Syafi’i. Sekalipun banyak
ditemukan pendapat-pendapat mereka yang berseberangan dengan Imam Syafi’i.