Metodologi Ilmiah Ulama Salaf dalam Ilmu Hadits dan Nasab: Kajian Kritis dan Penyimpangan Penulis Modern dari Albantaniyyah
Oleh: Mas Salam
Muqaddimah
إذا أراد أن يتقدّم فليقرأ كتب المتقدّمين، وإذا أراد أن يتأخّر فليقرأ كتب المتأخّرين
“Barang siapa yang ingin maju dalam ilmu, maka bacalah kitab-kitab ulama terdahulu; dan barang siapa ingin mundur, maka sibukkanlah diri dengan karya orang-orang belakangan.”
Perkataan bijak ini menggambarkan sebuah kaidah fundamental dalam tradisi keilmuan Islam. Keunggulan metodologis para ulama salaf (terdahulu) dalam semua bidang ilmu, baik hadits, fikih, sejarah, maupun nasab, telah menjadi konsensus di kalangan ahli ilmu yang obyektif. Mereka meletakkan fondasi yang kokoh berdasarkan ketelitian (tatsabbut), kejujuran (amanah), dan sistem verifikasi (al-tahqiq) yang sangat ketat. Ilmu nasab, khususnya nasab keluarga Nabi Muhammad ﷺ, diperlakukan dengan tingkat kehati-hatian yang setara dengan ilmu hadits, karena konsekuensi religius dan sosial yang melekat padanya. Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah berkata:
تَعَلَّمُوا أَنْسَابَكُمْ تَصِلُوا أَرْحَامَكُمْ
“Pelajarilah nasab kalian,niscaya kalian akan menyambung tali silaturahmi.” (Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, al-Hakim)
Maka dalam tulisan ini, penulis akan mengkaji metodologi ulama salaf dalam ilmu hadits dan nasab, menegaskan konsensus (ijmak) para ulama atas keshahihan nasab Ba ‘Alawi, serta mengkritik fenomena penyimpangan metodologis yang dilakukan oleh sebagian penulis modern, terutama penulis yang mengaku dari Kresek Al Bantaniyyah Al-'Inadiyyah.
1. Metodologi Verifikasi dalam Ilmu Hadits: Prototipe Keilmuan Islam
Ilmu hadits merupakan model ideal bagi semua disiplin ilmu dalam Islam karena sistem verifikasinya yang sangat rigor, ketat dan penuh kehati-hatian.
a. Spiritualitas dan Integritas Ilmiah Imam al-Bukhari
Imam al-Bukhari(w. 256 H) tidak hanya mengandalkan kapasitas intelektual, tetapi juga menyandarkan proses seleksinya pada pertimbangan spiritual yang dalam. Al-Khatib al-Baghdadi (w. 463 H) meriwayatkan:
كَانَ الْبُخَارِيُّ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُخْرِجَ الْحَدِيثَ اغْتَسَلَ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَاسْتَخَارَ اللَّهَ تَعَالَى
“Adalah al-Bukhari,apabila hendak memasukkan sebuah hadits (ke dalam kitabnya), beliau mandi, shalat dua rakaat, dan memohon petunjuk kepada Allah Ta‘ala.” (Al-Khatib al-Baghdadi, Taqyīd al-‘Ilm, hlm. 52)
Dari ratusan ribu hadits yang beliau kumpulkan melalui rihlah ilmiah yang panjang, hanya sekitar 7.563 yang memenuhi kriteria kesahihan tertinggi. Kriteria ini, yang meliputi kesinambungan sanad, ke-‘adalahn dan ke-dhabth-an perawi, serta bebas dari cacat, menjadi standar emas hingga hari ini.
b. Koherensi Sanad dan Analisis Matan Imam Muslim
Imam Muslim(w. 261 H) dalam muqaddimah Shahih-nya menekankan:
إِنَّمَا أَلْزَمْنَا أَنْفُسَنَا إِخْرَاجَ هَذَا الْجَامِعَ مِنَ الْحَدِيثِ الْمُتَّصِلِ بِالْأَسَانِيدِ بِشُرُوطِنَا الَّتِي ذَكَرْنَاهَا
“Kami hanya mewajibkan diri kami untuk mengeluarkan kumpulan hadits yang bersambung sanadnya dengan syarat-syarat yang telah kami sebutkan.”(Muqaddimah Shahih Muslim, 1/15)
Beliau tidak hanya memeriksa sanad, tetapi juga menyusun hadits dengan metode tarājum al-abwāb (penjelasan tema bab) yang menunjukkan kedalaman pemahaman terhadap konteks dan makna matan hadits.
2. Paralelisme Metodologi dalam Ilmu Nasab dan Ijmak atas Keshahihan Nasab Ba ‘Alawi
Lihatlah, bagaimana para ulama Ahli Hadits dalam menghimpun hadits, penuh kegigihan, keuletan, kehati-hatian, dan butuh verifikasi sanad yang jelas dannvalid. Nah, Ilmu nasab para ulama salaf berjalan sejajar dengan ilmu hadits ini. Mereka menolak mentah-mentah setiap klaim nasab yang tidak didukung oleh bukti kuat, sanad yang bersambung, dan pengakuan dari para ahli yang terpercaya.
a. Prinsip Dasar Penerimaan Nasab
Imam Jalaluddin al-Suyuthi(w. 911 H) dalam Lubāb al-Ansāb menetapkan kaidah pokok:
لَا يُقْبَلُ النَّسَبُ إِلَّا مِنْ طَرِيقَيْنِ: الِاسْتِفَاضَةِ بَيْنَ أَهْلِ الْعِلْمِ، أَوِ الْبَيِّنَةِ الصَّحِيحَةِ الْمُتَّصِلَةِ
“Nasab tidak diterima kecuali melalui dua jalan:penyebaran yang mutawatir di kalangan ahli ilmu, atau bukti yang sahih dan bersambung.” (Al-Suyuthi, Lubāb al-Ansāb, hlm. 3)
Prinsip istifādhah (penyebaran yang luas dan diterima) ini setara dengan konsep tawatur dalam ilmu hadits, di mana suatu berita mustahil disepakati untuk dusta.
b. Ijmak Ulama atas Keshahihan Nasab Alawiyin
Nasab keluarga Ba‘Alawi (keturunan Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir) telah mencapai derajat istifādhah dan diterima oleh para ulama besar lintas generasi dan mazhab. Klaim ini bukan tanpa dasar, tetapi didukung oleh konsensus para pakar nasab terkemuka:
1. Al-Allamah Ibnu Hajar al-Haitami (w. 974 H), seorang ulama besar mazhab Syafi'i, berkata dalam Al-Fath al-Mubin li Syarh al-Arba'in:
وَقَدِ اتَّفَقَ أَهْلُ النَّسَبِ عَلَى أَنَّ الْأَسْرَةَ الْعَلَوِيَّةَ مِنْ ذُرِّيَّةِ الْإِمَامِ أَحْمَدَ الْمُهَاجِرِ... نَسَبُهُمْ صَحِيحٌ مُتَّصِلٌ إِلَى الْحُسَيْنِ بْنِ عَلِيٍّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا
“Dan telah sepakat para ahli nasab bahwa keluarga Alawiyyin adalah dari keturunan Imam Ahmad al-Muhajir... nasab mereka sahih dan bersambung hingga kepada al-Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhuma.”
2. Al-Imam al-Murtadha al-Zabidi (w. 1205 H), penulis syarah Ihya ‘Ulum al-Din yang monumental, menegaskan dalam ‘Iqd al-Jawhar al-Tsamīn:
وَهَذَا النَّسَبُ الشَّرِيفُ مُتَّفَقٌ عَلَى صِحَّتِهِ عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ بِالْأَنْسَابِ
“Nasab yang mulia ini telah disepakati keshahihannya menurut para ahli ilmu nasab.”
3. Abdurrahman bin Muhammad al-Masyhur (w. 1320 H) dalam Syams al-Zhahirah menghimpun dengan sangat detail sanad-sanad nasab Ba Alawi ini, dilengkapi dengan dokumen tertulis (musyajarah) dan kesaksian para ulama (syahādāt) yang bersambung.
Konsensus ini bukanlah hasil kerja mudah, tetapi buah dari penelitian lapangan yang ekstensif, penelusuran arsip keluarga, dan verifikasi silang oleh ratusan ulama selama berabad-abad di masa di mana teknologi tidak ada, tidak sejaman, namun integritas, kejujuran dan ketelitian tetap dijunjung tinggi oleh mereka. Mana mungkin kebohongan sampai disepakati oleh sekian ratusan ulama bahkan ribuan, selama berabad-abad lamanya, sampai muncul penulis amatir dari Banten yang tiba-tiba hadir membongkar kebohongan para ulama-ulama terdahulu. Gak masuk akal.
3. Kritik atas Penyimpangan Metodologis Penulis Modern
Di era modern, muncul penulis amatir dari Banten yang dengan mudahnya membatalkan nasab yang telah disepakati ulama selama berabad-abad. Mereka mengklaim telah melakukan penelitian “ilmiah” dan “kritis”, namun sejatinya metodologi mereka cacat dari akarnya:
a. Mengabaikan Konsensus dan Karya Monumental
Mereka mengabaikan begitu saja karya-karya otoritatif para ulama nasab seperti Ibnu Hajar,al-Suyuthi, al-Zabidi, dan lain-lain. Padahal, kaidah ilmiah menegaskan:
الْخُرُوجُ عَنْ إِجْمَاعِ الْأُمَّةِ مَمْنُوعٌ
“Keluar dari konsensus ulama adalah terlarang.”
Menganggap diri lebih tahu daripada kumpulan ulama pakar yang menghabiskan hidupnya untuk bidang ini adalah bentuk kesombongan intelektual (ghurur al-‘ilmi).
b. Metode “Copy-Paste” yang Tidak Komprehensif
Penulis ini sering kali hanya melakukan“copy-paste” selektif dari sumber-sumber sekunder yang lemah, dari situs2 Wahhabi, atau dari pernyataan ulama yang dipotong dan dicabut dari konteksnya. Mereka tidak melakukan rihlah ilmiah, tidak meneliti naskah-naskah manuskrip primer keluarga Ba ‘Alawi, dan tidak memahami konteks sosial-historis yang melatarbelakangi transmisi nasab tersebut.
c. Klaim Komprehensif yang Menyesatkan
Mereka mengaku memiliki metode yang lebih“komprehensif” dan “objektif” daripada ulama salaf. Ini adalah sebuah pengingkaran terhadap kaidah dasar keilmuan Islam. Imam al-Sakhawi (w. 902 H) mengingatkan:
وَمَنْ تَكَلَّمَ فِي غَيْرِ فَنِّهِ أَتَى بِالْعَجَائِبِ
“Barang siapa yang berbicara dalam bidang yang bukan keahliannya,niscaya ia akan mendatangkan hal-hal yang mengherankan.” (Al-Sakhawi, Fath al-Mughīth, 1/37)
Keterbatasan teknologi pada masa lalu justru memaksa ulama salaf untuk lebih hati-hati, teliti, dan mendalam. Sementara kemudahan teknologi justru sering disalahgunakan untuk menghasilkan karya yang instan, dangkal, dan penuh kesimpulan yang terburu-buru.
4. Penutup
Tradisi keilmuan Islam dibangun di atas fondasi sanad, amanah, dan tatsabbut. Nasab Ba ‘Alawi sebagai dzurriyah Nabi Muhammad ﷺ yang sahih telah menjadi konsensus para ulama yang tidak diragukan lagi kapabilitas dan integritasnya. Upaya-upaya untuk mendestruksi konsensus ini dengan dalih “kritik modern” justru mengungkapkan kedangkalan pemahaman terhadap metodologi keilmuan Islam itu sendiri.
Sebagaimana penutup Imam Malik bin Anas (w. 179 H):
لَا يُؤْخَذُ الْعِلْمُ مِنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيهٍ يُعْلِنُ السَّفَهُ، وَصَاحِبِ هَوًى يَدْعُو إِلَيْهِ، وَمَنْ يُكَذِّبُ فِي حَدِيثِ النَّاسِ، وَمَنْ لَا يَعْرِفُ مَا يَقُولُ
“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang: 1). Orang dungu yang menampakkan kedunguannya, 2). Ahli hawa nafsu yang mengajak kepada hawa nafsunya, 3). Pendusta dalam perkataan kepada manusia, dan 4). Orang yang tidak mengetahui apa yang ia ucapkan.” (Ibnu ‘Abd al-Barr, Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Fadlih, 2/120)
Menjaga nasab yang sahih adalah bagian dari menjaga kemuliaan dzurriyah Nabi ﷺ, dan mengakui konsensus ulama tentangnya adalah bentuk adab kita kepada ilmu dan para ahlinya. Maka sangat disayangkan sekali, hanya berdasar sentimen pribadi, seseorang ahlil ilmi berubah menjadi begitu b*d*hnya dengan membuang pengetahuan yang dulu pernah dia dapatkan dan diketahui ketika belajar di Pesantren dan memilih pendapat yang cocok dengan hawa nafsunya, dan congkak dengan menolak ijmak para Ulama Salaf tentang hal ini. Semoga Allah swt memberikan hidayah kepada kita semua, terutama saudara-saudara kita yang telah terpapar oleh virus Inadiyah wal Ghufroniyah, wa buntetiyyah, wa Peler-etiyyah, wa Zukiyyah. Amin..
Daftar Referensi (مصادر البحث)
1. Al-Bukhari, Muhammad bin Ismail. Al-Jami‘ al-Shahih. Beirut: Dar Tauq al-Najjah, 1422 H.
2. Al-Suyuthi, Jalaluddin. Lubāb al-Ansāb. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H.
3. Al-Khatib al-Baghdadi, Ahmad bin Ali. Taqyīd al-‘Ilm. Damaskus: Dar Ihya’ al-Sunnah al-Nabawiyyah, 1974 M.
4. Al-Sakhawi, Muhammad bin ‘Abd al-Rahman. Fath al-Mughīth bi Syarh Alfiyyat al-Hadīth. Riyadh: Dar al-Minhaj, 1426 H.
5. Al-Zabidi, al-Murtadha. ‘Iqd al-Jawhar al-Tsamīn fī Ahl al-Bait al-Tahirin. Kairo: Maktabah al-Quds, t.th.
6. Ibnu Hajar al-Haitami. Al-Fath al-Mubin li Syarh al-Arba'in. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H.
7. Ibnu ‘Abd al-Barr, Yusuf bin Abdullah. Jāmi‘ Bayān al-‘Ilm wa Fadlih. Riyadh: Dar Ibn al-Jauzi, 1414 H.
8. Al-Masyhur, Abdurrahman bin Muhammad. Syams al-Zhahirah fī Nasab Ahl al-Bait min Bani ‘Alawi. Jeddah: ‘Alam al-Ma‘rifah, 1404 H.
9. Muslim bin al-Hajjaj. Al-Jami‘ al-Shahih. Beirut: Dar Ihya’ al-Turath al-‘Arabi, t.th.
10. Al-Hakim, Muhammad bin Abdullah. Al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1411 H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar