Rabu, 19 Mei 2021

Sejarah Hari Raya Ketupat


Tanggal 8 Syawal merupakan Hari Raya Ketupat, hari yang istimewa bagi sebagian masyarakat Indonesia.

Dinamakan Hari Raya, karena memang sebuah perayaan bagi mereka yang sudah melakukan puasa sunnah 6 hari di bulan Syawal, juga dilaksanakan masih dalam momen hari raya idul fitri.

Disebut ketupat, karena yang dihidangkan dalam perayaan itu kebanyakan adalah ketupat.

Hari Raya Ketupat merupakan budaya peninggalan Walisongo yang bertahan sampai hari ini. 

Disebagian tempat Hari Raya Ketupat dilakukan pada awal Hari Raya Idul Fitri. 

SEJARAH KETUPAT 

Adalah Sunan Kalijaga yang pertama kali memperkenalkan pada masyarakat Jawa. 

Sunan Kalijaga membudayakan 2 kali BAKDA, yaitu bakda Lebaran dan bakda Kupat yang dimulai seminggu sesudah Lebaran.

Arti Kata Ketupat

Dalam filosofi Jawa, ketupat memiliki makna khusus. Ketupat atau KUPAT merupakan kependekan dari Ngaku 
Lepat dan Laku Papat.
Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan.
Laku papat artinya empat tindakan.

Ngaku Lepat

Tradisi sungkeman menjadi implementasi ngaku lepat (mengakui kesalahan) bagi orang jawa.
Sungkeman mengajarkan pentingnya menghormati orang tua, bersikap rendah hati, memohon keikhlasan dan ampunan dari orang lain.

Laku Papat

1. Lebaran
2. Luberan
3. Leburan
4. Laburan

Lebaran

Sudah usai, menandakan berakhirnya waktu puasa. 

Luberan

Meluber atau melimpah, ajakan bersedekah untuk kaum miskin. 

Leburan

Sudah habis dan lebur. Maksudnya dosa dan kesalahan akan melebur habis karena setiap umat islam dituntut untuk saling memaafkan satu sama lain.

Laburan

Berasal dari kata labur, dengan kapur yang biasa digunakan untuk penjernih air maupun pemutih dinding.  Maksudnya supaya manusia selalu menjaga kesucian lahir dan batinnya.

FILOSOFI KUPAT - LEPET

KUPAT

Kenapa mesti dibungkus janur? 
Janur, diambil dari bahasa Arab 'Ja'a nur' (telah datang cahaya).

Bentuk fisik kupat yang segi empat ibarat hati manusia. Saat orang sudah mengakui kesalahannya maka hatinya seperti kupat yang dibelah, pasti isinya putih bersih, hati yang tanpa iri dan dengki, kenapa? karena hatinya sudah dibungkus cahaya (ja'a nur).

LEPET

Lepet = silep kang rapet.

Mangga dipun silep ingkang rapet (mari kita kubur/tutup yang rapat). 

Jadi setelah ngaku lepat, meminta maaf, menutup kesalahan yang sudah dimaafkan, jangan diulang lagi, agar persaudaraan semakin erat seperti lengketnya ketan dalam lepet.

Minggu, 14 Maret 2021

Doa Untuk Sakit Gigi

 



 

قُلْ هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ (سبع مرات)

Qul huwallazdī ansya`akum wa ja'ala lakumus sam'a wal-abshāra wal-af`idah, qalīlam mā tasykurụn

 

Artinya: “Katakanlah wahai Muhammad: ‘Dialah Yang menciptakan kalian dan menjadikan bagi kalian pendengaran, penglihatan dan hati’. (Tetapi) amat sedikit kalian bersyukur.” [QS. Al-Mulk: 23]

 

Nabi bersabda: “Barangsiapa yang sakit giginya maka letakkan jari-jarinya pada gigi yang sakit dan ucapkanlah ayat ini tujuh kali”

[HR: Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas]

 

 

Refrensi: Ad-Da’awat al-Kabir lil Baihaqi 2/256

Solusi Jitu buat Wanita Karir

 


Pada era milenium seperti sekarang ini, para wanita turut meramaikan berbagai sektor penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Di Indonesia misalnya, perempuan banyak mengisi pos-pos strategis pemerintahan, mulai Mentri, Polisi, Bupati, Wali kota, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sampai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di sektor ekonomi dan bisnis tak jauh berbeda. Kaum Hawa punya peran penting di beberapa perusahaan adidaya. Perempuan-perempuan seperti merekalah yang kemudian membomingkan istilah wanita karir.

Dalam surah al-Ahzab, ayat 33, Allah berfirman:

"وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا"

“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS. al-Ahzab [33]: 33)

Imam al-Qurthubi dalam al-Jâmi‘ li Ahkâmil-Qur’ân-nya menguraikan bahwa maksud dari ayat ini adalah perintah agar wanita berdiam diri di dalam rumah dan larangan keluar rumah kecuali darurat. Lebih lanjut al-Qurthubi membeberkan bahwa meski secara tekstual ayat ini ditujukan kepada keluarga Nabi, namun secara kontekstual menyeluruh terhadap muslimah sedunia.

Hanya saja menurut Imam Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm-nya, ayat tersebut menjelaskan larangan perempuan keluar rumah tanpa hajat yang dibenarkan oleh syariat. Pandangan Ibnu Katsir ini diikuti oleh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsîr al-Munîr-nya.

Terlepas dari perbedaan ulama mengenai faktor yang menyebabkan perempuan boleh keluar rumah, semua ulama sepakat bahwa yang terbaik bagi perempuan adalah berdiam diri di dalam rumah dan meminimalisir aktifitas di luar rumah. Alasan paling mendasar adalah segala kebutuhan seorang perempuan ditanggung oleh laki-laki, sehingga tidak ada hal yang begitu mendesak dan menuntutnya beraktifitas di luar. Terlebih, ketika seorang perempuan keluar rumah, setan-setan menyambutnya dengan bahagia dan dihiasi berbagai pemikat penggoda mata lelaki. Bahkan dalam sebuah Hadis, Rasulullah menegaskan bahwa keadaan perempuan yang paling dekat dengan Allah adalah yang berdiam diri di dalam rumah. (HR. Ibnu Khuzaimah dan at-Tirmidzi)

Meskipun boleh beraktifitas di luar, ada beberapa hal yang wajib dipenuhi oleh wanita yang hendak keluar rumah. Di antaranya adalah a) meminta izin kepada orang tua bagi yang masih lajang dan kepada suami bagi yang sudah berumah tangga; b) karena keperluan mendesak atau hajat yang dibenarkan oleh syariat; c) menutup aurat dengan benar; d) tidak berdandan atau bersolek; e) tidak berbaur dengan lawan jenis; f) menjaga adab dan tatakrama sehingga tidak memancing fitnah. Salah satu dari ketentuan-ketentuan itu tidak terpenuhi, maka ia tidak boleh keluar rumah.

Untuk wanita karir, sejatinya hal itu sudah ada sejak zaman Nabi. Istri pertama Baginda saudagar kaya raya yang menghibahkan seluruh hartanya untuk dakwah Baginda. Beliau adalah Sayidah Khadijah al-Kubra. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah wanita karir yang bisnisnya berkembang pesat. Rasulullah adalah salah satu pegawainya yang membuatnya jatuh cinta karena kejujuran dan kepandaiannya.

Pada zaman Nabi, ada pula seorang wanita yang mengadu kepada Baginda. Wanita itu mengeluh karena ia yang menanggung segala kebutuhan keluarga. Suaminya selalu gagal dalam usaha mencari nafkah. Rasulullah menyarankannya agar meminta cerai. Wanita itu tidak mau dan meminta pilihan lain. Rasulullah kemudian memberi pilihan agar dia yang memenuhi nafkah keluarga dengan imbalan pahala berlipat ganda. Pahala membahagiakan suami, pahala memberi rezeki dan nafkah kepada keluarga, serta pahala silaturahim dengan anak-anaknya. Wanita mulia itu memilih penawaran tersebut dengan wajah berseri-seri.

Agama Islam memang tidak melarang wanita untuk bekerja atau meniti karir. Akan tetapi, harus dipahami bahwa hal tersebut hanya sekedar meringankan beban suami atau dalam kondisi terpaksa. Tidak lantas dijadikan rutinitas prioritas. Apalagi, sampai melalaikan tugas pokok sebagai ibu rumah tangga.

Selain itu, ia juga harus memahami etika berinteraksi dengan lawan jenis agar bisa menjaga diri saat terjun dalam bisnis. Sebagai tauladan saat bekerja adalah dua putri Nabi Syuaib. Dalam al- Quran disebutkan :

وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا شَيْخٌ كَبِيرٌ

“Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. (QS. al-Qashash [28]: 23)

            Maka, alangkah bijaksananya jika para wanita yang ingin berkarir di tengah kewajibannya sebagai seorang istri untuk meneladani sosok Sayidah Khadijah al-Kubro. Untuk berdagang menjual hewan ternak ke negara Syam, beliau tidak perlu repot-repot susah-payah menggiring hewan ternak sendiri ke sana. Cukup baginya mencari orang-orang terpercaya yang akan diamanahi menjualkan hewan ternaknya. Dengan begitu beliau tetap bisa berkarir meski tanpa keluar rumah. Langkah cerdas Sayidah Khadijah ini banyak ditiru oleh istri-istri para ulama. Bahkan, istri Baginda yang lain ada yang berprofesi sebagai penjahit yang upahnya disedekahkan kepada fakir miskin. Apalagi di era gadget seperti saat ini, peluang bisnis online lebih menjajikan. Cukup bermodal smartphone dan paket data, bisa bekerja tanpa keluar rumah. Silahkan mencoba!


Penaklukan Kota Belgrade



Belgrade atau Beograd adalah Ibu kota Serbia dan salah satu kota tertua di Eropa dan Dunia. Kota ini sekarang menjadi ibu kota Serbia, di masa lalu kota ini ditaklukkan oleh Romawi di bawah pemerintahan Agustus dan dianugerahi hak kota Romawi pada pertengahan abad ke-2. Pada tahun 927 H. / 1521 M. Beograd kemudian jatuh ke tangan Dinasti Usmani Ottoman dan menjadi tempat pusat kebudayaan Islam di Eropa selama berabad-abad.

Kronologi jatuhnya Beograd

Diawal dengan pengiriman utusan Usmani kepada Krajaan Hongaria sebagai bentuk jalinan diplomasi kepada mereka, sesampainya utusan ke kota Beograd bukan sambutan yang ia terima, melainkan nyawa melayang karena sifat pengecut raja Hongaria, setelah mendengar utusannya dibunuh, Sultan Usmani Saat itu, Sulaiman al-Qanuni bergerak cepat untuk segera mengepung Beograd.

Pengepungan Belgrade atau Beograd berlangsung mulai akhir Akhir Sya’ban sampai akhir Ramadhan 927 H atau Juli hingga 29 Agustus 1521 M. Sultan Suleiman I turun langsung bertempur melawan tantara Hungaria. Pasukan Usmani berhasi maju dan mengepung benteng Kerajaan Hongaria di Nándorfehérvár (nama Beograd dalam bahasa Hongaria).  Tak butuh waktu lama untuk berhasil masuk menerobos benteng dan berhasil ditaklukan. Beograd kemudian menjadi markas militer yang penting untuk melancarkan operasi militer di Eropa.

Jasa besar Sultan Sulaiman

Yang paling berjasa dalam penaklukan Beograd ini tentu saja sang Sultan Sulaiman al-Qonuni bin Salim, orang-orang Barat Suleiman the Magnificent (Sulaiman yang Agung). Keputusannya yang cepat dan tepat membuat Krajan Hongaria tak bisa menyiapkan pertempuran secara maksimal, Ia juga memimpin sendiri pasukan menuju Beograd yang tentu saja menjadi faktor penting meningkat mental bawahannya dalam menghadapi pertempuran.

Sultan Sulaiman merupakan sultan yang masa berkuasanya cukup panjang namun sangat bijak dan dicintai rakyat dan umat. Pemerintahannya berlangsung selama 48 tahun, dimulai dari tahun 926 H hingga 974 H. Selama memerintah negara kekhalifahan Utsmani, ia berhasil menjadikan dinasti Usmani begitu kuat dan disegani. Pada masa Sultan Sulaiman luas Dinasti usmani mencapai batas puncak, Eropa timur dan Alazair di bagian barat, Laut Hitam diwilayah Utara, Jazirah Arab dan Persia di bagian timur dan Mesir di wilayah selatan Hal itu sangat tampak pada batas-batas wilayah Utsmani, yang luasnya belum pernah disaksikan pada masa sebelumnya.

Sultan Sulaiman juga orang yang dalam pengetahuan ilmu agamanya. Saat Belgrade berhasil ditaklukan, sekitar 284. 500 kaum Muslimin mengadakan shalat Jumat raksasa yang diimami langsung oleh Khalifah Sulaiman. Shalat Jumat dilakukan di halaman gereja, pinggir kota Belgrade.

Semenjak ditaklukan Belgrade itu menjadi tempat pangkalan militer Utsmani dalam ekpansinya di Benua Eropa, dan menjadikan suplai senjata dan akomodasi lebih mudah, terbukti setelah itu penaklukan demi penaklukan berhasil dicapai oleh dinasti Usmani di Eropa, puncaknya pada 10 Dzul Qo’dah 932 H/29 Agustus 1526 M, tepat lima tahun pasca penaklukan Belgrade, Dinasti Utsmani mendapat kemenangan gemilang dalam pertempuran Mohacs, pertempuran antara persekutuan Raja-raja Eropan melawan kekuatan Islam, dan berakhir dengan kemenangan Islam. kemenangan ini sangat berpengaruh bagi perkembangan Dinasti Utsmani di Eropa, sampai tahun 1529 M, Dinasti Utsmani mencapai pintu gerbang Vienna (Wina) Austria yang menandakan separuh Eropa sudah berhasil dikuasai.


Senin, 08 Maret 2021

Marj-Dabiq: Permulaan Perang Saudara Usmani-Mamluk

 



Pendahuluan

Pertempuran Marj Dābiq adalah pertempuran antara tantara Usmani Turki dengan tantara Mamluk Mesir yang terjadi di Desa Dābiq, 44 Kilometer utara Aleppo, Suriah. Marj Dābiq dalam bahasa Arab berarti Padang Rumput Dābiq (The meadow of Dābiq).

Pertempuran ini adalah bagian awal dari peperangan antara Khilafah Turki Utsmani melawan Kesultanan Mamluk sepanjang tahun 922-923 H./1516-1517 yang berakhir dengan kemenangan pada Turki Utsmani. Akibat kekalahan Mamluk di Marj-Dabiq adalah lepasnya seluruh wilayah Syam dari tangan Dinasti Mamluk.

Usmani pura-pura lemah

Sultan Al-Asyraf Qansuh al-Ghawri menyiapkan pasukannya pada permulaan tahun 922 H. untuk memasuki perbatasan Turki Utsmani di sebelah timur Anatolia, dan persiapan Sultan sangat maksimal kali ini. Ketika ia hendak berangkat, datanglah utusan Dinasti Usmani yang membawa berita bahwa Dinasti Usmani akan menunjuk wakil dari Mesir sebagai penguasa wilayah perbatasan antara Turki Utsmani dan Mamluk. Sultan al-Asyraf menginginkan bahwa perbatasan, khususnya propinsi Dulkadir dalam wilayah Turki Utsmani, tunduk pada perintahnya atas nama Mamluk yang berkuasa di Mesir. Diantara janji yang juga dibawa oleh utusan Sultan Selim I adalah membuka perbatasan untuk perlintasan perdagangan dan bahkan menyerahkan sebagian wilayah taklukan bekas Krajaan Safawi kepada Sultan al-Asyraf.

Pada hari Ahad 16 Rabi’uts Tsani 922 Hijriah (18 Mei 1516), Sultan al-Asyraf berangkat dari Kairo bersama pasukan yang banyak termasuk 20 ribu Kavileri;. Al-Asyraf menugaskan Tuman Bey II sebagai pemimpin di Kairo selama ia memimpin ekspedisi tersebut; keberangkatan yang mewah dengan pertunjukan yang meriah melepas keberangkatan pasukan al-Asyraf. Ikut bersama pasukan ini tidak kurang dari 15 amir, kesatuan kawal kesultanan 5.000 kavaleri Mamluk, dan satuan milisi Beduin (Badw, Badui) lainnya yanh bergabung di sepanjang perjalanan di Syam.

Khilafah ‘Abbasiyah di Kairo

Pada rombongan terkawal paling belakang terdapat Khalifah al-Mutawakkil III dari Daulah ‘Abbasiyah. Daulah ‘Abbasiyah berdiri di Kairo setelah Baghdad dihancurkan oleh Mongol pada tahun 1258. Kesultanan Mamluk menerima dan melindungi institusi kekhalifahan pada tahun 1261 ketika Sultan Baybars I al-Bunduqdārī secara resmi mengangkat Khalifah al-Mustanshir sebagai pelanjut Daulah ‘Abbasiyah di Kairo.

Dalam rombongan belakang ini terdapat juga Ahmed yang merupakan keponakan Selim I yang memiliki hak atas kekhilafahan Turki Utsmani. Al-Asyraf membawa serta Ahmed dengan tujuan dapat menarik simpati para pemimpin dari pihak lawannya. Al-Asyraf melaju pelan sehingga baru sampai ke Damakus pada tanggal 9 Juni. Ia pun diterima di kota ini dengan karpet terbentang serta perayaan besar lagi mewah yang disediakan oleh Amir Sibay, gubernur Mamluk untuk Damaskus. Setelah itu ia terus bergerak menuju kota Hims dan Hammah dengan penerimaan yang sama mewahnya hingga persiapan menuju Aleppo (Halab).

Diantara yang menyebabkan lambannya pasukan Mamluk yang dahulu terkenal gesit adalah bahwa setiap pasukan membawa perlengkapam dan persenjataan dalam jumlah yang berlebihan. Hal ini disebabkan oleh besarnya pembagian bonus dana perang yang diberikan oleh al-Asyraf kepada setiap pasukan elit kavalerinya berupa; 100 dinar, 4 bulan gaji ke depan, serta dana pembelian unta.

Sementara itu tiba pula utusan dari pihak Turki Utsmani dengan membawa hadiah yang mahal kepada al-Asyraf maupun al-Mutawakkil III serta para pemuka lainnya. Disampaikan oleh utusan bahwa Sultan Selim I memelas untuk diberikan gula khas Mesir serta kue dan gula-gula lainnya. Di kemudian hari ternyata ditemukan bahwa aksi diplomasi ini ditujukan agara al-Asyraf dan para pemimpin Mamluk menganggap remeh Sultan Selim I yang justru sedang bersiap tempur tanpa disadarinya.

Utusan dari al-Asyraf datang ke tenda Selim I dengan membawa hadiah ala kadarnya sebagai balasan merendahkan utusan sebelumnya. Sultan Selim I mengerti pesan simbolik pelecehan itu dan menangkap utusan serta mengembalikannya setelah dicukur hingga gundul dan ditunggangkan di atas keledai. Balasan ini mengangetkan al-Aysraf yang mengira Sultan Selim I akan tunduk dan patuh pada perintahnya begitu saja.

Gejala Pengkhianatan pada Barisan Mamluk

Di kota Aleppo, gubernur Mamluk yang dijabat oleh Khair Bey menerima rombongan al-Asyraf dengan kemewahan yang sama dengan kota-kota sebelumnya untuk menyembunyikan perjanjian rahasianya dengan Sultan Selim I. Penduduk Aleppo sebenarnya tidak menyukai al-Asyraf karena kekejamannya terhadap Aleppo di masa silam.

Kurang hangatnya penerimaan penduduk Aleppo sangat kontras dibandingkan dengan jamuan Kair Bey sehingga para penasihat al-Asyraf memberi masukan agar ia siaga. Al-Asyraf merasa tidam nyaman di Aleppo kemudian mengambil lagi janji setia para komandan dengan membagikan hadiah kepada mereka; sebagian yang tidak atau kurang mendapatkan bagian mulai merasa tersisihkan. Pertimbangan untuk menangkap Khair Beg Malbai karena tingkah-lakunya yang mencurigakan sudah disampaikan kepada al-Asyraf namun perintah itu digagalkan oleh Amir Janberdi Al-Ghazali.

 

Pertempuran

Pada hari Rabu 21 Rajab 922 Hijriah (20 Agustus 1516) pasukan Mamluk sudah sampai di padang rumput Marj-Dabiq sekitar 1 hari perjalanan dari Aleppo. Al-Asyraf yang tiba lebih dahulu di tempat ini tidak segera menyusun barisan tempurnya sehingga kehadiran pasukan Turki Utsmani yang datang belakangan masih dapat memilih lokasi yang menguntungkannya.

 

Pertempuran dimulai dengan serbuan kavaleri Mamluk yang legendaris itu, sayap kanan dipimpin Amir Sibay dari Damaskus dan sayap kiri dipimpin Amir Khair Beg Malbai. Serangan keras ini berhasil memukul mundur sayap kiri Turki Utsmani setelah dibantu oleh infanteri Panglima Amir Su’dun, bahkan dalam catatan resmi diperoleh keterangan bahwa Selim I sudah mempertimbangkan untuk mundur. Namun, barisan meriam lapangan Turkk Utsmani berhasil menewaskan panglima Amir Su’dun dan gubernur Amir Sibay dalam serangan balasan. Pada kondisi genting ini, sebenarnya Mamluk masih dapat meneruskan terjangan jika barisan kavaleri sayap kirinya terus mendesak maju. Hanya saja, Amir Kahir Beg Malbai menarik pasukannya sesuai komitment rahasianya dengan Selim I pada situasi tersebut sehingga sisa kavaleri dan infanteri Mamluk kini justru terkepung. Hampir semuanya terbunuh dengan tembakan jitu Janisari yang kini dilengkapi dengan senapan api Musket yang canggih untuk zamannya. Kavaleri Mamluk yang legendaris itu tercabik-cabik oleh peluru meriam lapangan yang ditembakkan secara terkoordinir dari berbagai arah.

Sisa pasukan Mamluk di garis belakang mundur secara panik karena sinyal komando mundur ditiupkan oleh Amir Khair Beg Malbai ketika barisan masih mencoba bertahan. Sia-sialah uoaya menyusun ulang barisan karena kini semua pasukan sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing. Masalah semakin bertambah karena kota Aleppo atas perintah Amir Kahir Beg Malbai menutup pintu gerbangnya. Sultan al-Asyraf Qansuh al-Ghawri terbunuh ketika ia mengalami stroke selagi menunggangi kudanya dan jatuh.

Khalifah al-Mutawakkil III memilih untuk menyerah dan berpindah pihak berikut beberapa amir yang sedari awal tidak merasa diperhatikan oleh Sultan al-Asyraf.

 

Hasil akhir

Yavuz Sultan Selim I masuk dan diterima oleh penduduk Aleppo sebagai sang pembebas dari kekejaman mendiang al-Asyraf. Sultan Selim I menerima dengan hangat Khalifah al-Mutawakkil III namun ia menmarahi para ‘ulama yang menurut Selim I tidak berhasil menasihati sang sultan yang bertindak semena-mena di wilayah Syam serta tidak memerangi syi’ah di Kerajaan Safawi.

Kamis, 11 Februari 2021

Agar Cinta Selalu Bersemi

 





            Ketika awal-awal memasuki bahtera rumah tangga, istri tercinta bak bidadari turun dari surga. Mulai tatapan matanya, kerlingan manjanya, wangi katsutri badannya, membuat hidup melayang sampai ke kayangan. Semua indah tiada tara. Bagaikan dunia ini hanya milik berdua. Akan tetapi, setelah hari demi hari dilalui bersama, detik merajuk menit, lalu membingkai jam, kesempurnaanya mulai berkurang. Yang semula senyumnya bak artis India, kini mulai tampak menua. Yang dulunya suaranya merdu bak penyanyi Korea, kini gatal didengar telinga.

            Problema semacam ini banyak menimpa kehidupan berumah tangga. Bosan, sudah pasti mengiringi kebersamaan yang dibina dalam waktu bertahun-tahun. Terlebih, seiring perjalanan waktu, sedikit demi sedikit keburukan dan aib pasangan mulai terbuka, menambah retak harmoni cinta. Apalagi, jika teman hidup kurang pandai merawat diri, memancing mata melirik lain hati. Makanya, penting sekali bagi kedua pasangan untuk saling membina tali ikatan yang dibangun atas dasar cinta suci. Dan untuk menjaga cinta agar terus bersemi, kaum Hawa patut meneladani Sang Ratu Sejati, Sayidan Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq.

            Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sayidah Aisyah, dikisahkan bahwa para shahabat memilih momen yang tepat ketika hendak mengirim hadiah kepada Rasulullah. Momen terbaik itu adalah ketika Rasulullah berada di rumah Sayidah Aisyah. Sebab, saat berada di rumah Aisyah suasana hati Rasulullah selalu bahagia, dan kebahagiaan itu akan kian bertambah dengan hadiah dari para Shahabat. Sehingga, tujuan para shahabat untuk membahagiakan Rasulullah akan berhasil. Bukankah ketika suasana hati sedang berbunga-bunga, semuanya akan terasa indah bahagia.

            Saking besarnya cinta Rasulullah kepada Sayidah Aisyah, ketika sakit parah dan ajal hendak menjemput, Rasulullah bertanya-tanya; dimanakah besok saya akan tinggal? Bersama siapa besok saya bermalam? Mengisyaratkan keinginan besar Beliau agar tiba giliran Sayidah Aisyah. Lihatlah betapa besar cinta Rasulullah kepada Sayidah Aisyah, bahkan menjelang ajal sekalipun, cinta Baginda kian deras tak terbendung, sampai-sampai ingin wafat dalam rangkulan kekasih tercinta, Sayidah Aisyah. Bukannya kian hari kian pudar, cinta Rasulullah semakin hari malah semakin bersemi. Berikut beberapa sikap Sayidah Aisyah kepada Rasulullah hingga bikin cinta Baginda terus bersemi.

Memahami Karakter Suami

            Semua perempuan pasti ingin membahagiakan pasangannya. Begitu pula dengan Sayidah Aisyah. Sayangnya, tidak semua cara yang dilakukan ditangkap dengan baik oleh belahan jiwa. Bahkan tak jarang, maksud hati mengulum senyum, malah muram durja diterima.

            Suatu hari, Sayidah Aisyah bermaksud memberi kejutan kepada Baginda. Aisyah merapikan dan merias ulang kamar tidurnya. Beliau membeli bantal empuk yang nyaman di kepala. Tak lupa aroma wangi menggairahkan dituang di semua sudut kamar. Saat Baginda hendak masuk, beliau terdiam di depan pintu. Bukannya bahagia, raut wajah Baginda yang biasanya berseri-seri, justru berubah drastis merah padam. Aisyah membaca dengan baik ekspresi itu, beliau langsung sadar ada yang tidak beres. Sebab, kalau Baginda sudah seperti itu, biasanya selalu ada yang salah. Tanpa mereka-reka lebih panjang, Aisyah langsung memohon ampunan.

            “Wahai Rasulullah aku bertaubah kepada Allah dan kepadamu atas dosa yang telah aku lakukan,” ucap Aisyah, padahal Beliau belum tahu apa letak kesalahannya. “Apa yang engkau pikirkan dengan bantal ini?,” tanya Baginda. “Saya membelinya khusus untuk engkau dan agar engkai gunakan.” Lalu Rasulullah menjelaskan kesalahan Aisyah. “Sesungguhnya orang yang memiliki gambar-gambar seperti ini akan disiksa di hari kiamat kelak. Dikatakan kepada mereka,”Hidupkan apa yang telah engkau ciptakan!” Sesungguhnya rumah yang ada gambar semacam ini tidak akan dimasuki malaikat.”

            Sayidah Aisyah bersikap sangat dewasa menanggapi ekspresi Rasulullah terhadap kejutan yang disiapkannya. Padahal, untuk menyiapkan kejutan itu beliau sampai mengeluarkan biaya. Sama sekali Aisyah tidak membuka egonya untuk membalas sikap Baginda. Sangat sulit bisa seperti Sayidah Aisyah. Pengertian semacam ini bermuara dari pemahaman utuh soal karakter pasangan, serta berpikir positif tentang pasangan. Seandainya Sayidah Aisyah tidak mengerti karakter Baginda dan tidak bisa membaca ekspresinya dengan cepat, niscaya Beliau akan salah paham atas sikap Baginda. Dan salah paham inilah yang kerap terjadi akibat kurangnya pengertian antara kedua belah pihak yang akhirnya berimbas pada pudarnya cinta.

Setia dalam Suka dan Duka

            Roda kehidupan yang selalu berputar sudah pasti membuat kehidupan naik-turun. Suka-duka silih berganti menghampiri. Urusan ekonomi juga demikian. Adakalanya suami dilimpahi kemudahan untuk memenuhi tanggung jawab nafkah kepada istri. Dan adakalanya pula sedang diuji, sulit mendapat sesuap nasi. Seorang istri dituntut setia dalam suka dan duka. Ketika dimudahkan rezeki mengingatkan untuk bersyukur, dan saat diuji mengingatkan untuk bersabar.

            Kehidupan Rasulullah penuh dengan cobaan. Dalam segi keuangan, dapur Baginda kerap tidak mengepulkan asap untuk beberapa pekan. Dikisahkan dari Sayidah Aisyah sendiri. Beliau berkata kepada Shahabat Urwah, keponakannya sendiri, “Kita menunggu hilal (bulan) silih berganti sampai tiga kali dalam dua bulan, dan (selama itu pula dapur) rumah-rumah Baginda Rasulullah tidak mengepulkan api.” “Wahai bibiku! Dengan apa kalian bertahan hidup?,” tanya Shahabat Urwan penasaran. “Dengan kurma dan air. Dan kadang-kadang tetangga Rasulullah dari Shahabat Anshar mengirimi Baginda susu, kamipun minum susu dari mereka.”

            Betapa sabar Sayidah Aisyah menemani hari demi hari kehidupan sulit Baginda. Beliau tidak pernah mengeluh, justru selalu menerima apa adanya. Tidak pernah menuntut ini itu, bahkan selalu lapang dengan kondisi suaminya. Tentu istri yang bisa bersikap seperti ini akan membuat cinta suaminya tambah lengket setiap hari.

Mesra dan Manja

            Cinta yang bersemayam dalam hati tidak boleh dibiarkan layu dan mati. Ia harus selalu disiram dengan kata-kata mesra dan tindakan-tindakan manja. Seorang suami akan sangat sedang bila istrinya bersikap manja. Demikian pula bila sang istri memancingnya agar mengeluarkan kata-kata mesra.

            Sayidah Aisyah pernah berkata kepada Baginda, “Wahai Rasulullah! Seandainya engkau turun ke sebuah jurang. Di sana ada dua pohon. Satunya sudah dimakan (daunnya) sementara yang lain belum tersentuh orang. Kemanakah akan engkau bawa untamu?” Maksud perkataan Sayidah Aisyah ini adalah memancing Rasulullah untuk mengatakan kalau Aisyah adalah istri yang paling dicintai Rasulullah. Pohon yang daunnya sudah dimakan orang mengisyaratkan istri Baginda yang lain yang sudah berstatus janda, sementara pohon yang belum tersentuh orang adalah dirinya yang masih perawan. Semakin sering istri bersikap manja dan memancing suaminya berkata mesra, akan semakin lengket pula cinta suaminya.

Bukan Wali



            Pada masa hidup tokoh sufi kesohor, Abu Yazid al-Busthami, seorang ahli ibadah membuat decak kagum banyak orang. Sepanjang hari ia selalu berpuasa dan semalam suntuk senantiasa beribadah. Selain itu, dia jarang berbaur dengan masyarakat dan lebih suka uzlah mengasingkan diri. Biasanya dia baru keluar rumah ketika azan sudah berkumandang. Orang-orang meyakininya sebagai salah satu waliyullah. Dari mulut ke mulut namanya disebut-sebut, sampai terdengar ke telingan Syekh Abu Yazid al-Busthami.

Syekh Abu Yazid penasaran dengan sosok ahli ibadah yang menjadi buah bibir dan menarik banyak perhatian itu. Beliau lalu mendatangi masjid tempat si ahli ibadah biasanya mengimami. Selesai shalat, Syekh Abu Yazid menunggu lama tanpa sepengetahun lelaki itu. Beliau mengamati dengan seksama gerak-gerik lelaki tadi. Ketika hendak pulang, lelaki itu meludah ke dinding masjid. Melihat itu, spontan Syekh Abu Yazid langsung berkomentar, “Bagaimana mungkin orang yang berbuat seperti itu (meludah ke dinding masjid) wali?.

Disadur dari Risâlatul-Mu‘âwanah 

Bermimpi Rasulullah

 



Seorang lelaki shaleh melihat Rasulullah dalam mimpinya. Dengan wajah berseri-seri lelaki itu mendekati Rasulullah. Sayangnya meski sudah berada tepat di samping Baginda, Beliau sama sekali tidak menoleh ke arah lelaki itu. “Wahai Rasulullah! Apakah engkau marah kepadaku?,” tanya lelaki itu. “Tidak,” jawab Baginda. “Lalu mengapa engkau tidak menoleh kepadaku?,” lanjut sang lelaki. “Aku tidak mengenalmu,” jawab Baginda.

Mendengar itu lelaki tadi bagai disambar petir. “Bagaimana mungkin engkau sampai tidak mengenaliku wahai Rasulullah! Aku adalah umatmu. Bukankah engkau akan mengenali semua umatmu?,” sedih lelaki itu. “Iya benar. Aku akan mengenali semua umatku. Akan tetapi, aku mengenali mereka menurut kadar bacaan shalawat yang mereka lantunkan.” Lelaki itu lalu terbangun dari mimpinya. Iapun menangis sedih luar biasa. Setelah kejadian itu, lelaki tersebut mengharuskan kepada dirinya sendiri untuk membaca shalawat minimal seratus kali dalam sehari.

Disadur dari Mukâsyafatul-Qulûb karya Imam al-Ghazali 

Karena Tidak Menghadap Qiblat

 

Gara-Gara tidak Menghadap Kiblat




Diceritakan, dua pemuda Arab dengan kemampuan yang sama-sama baiknya diperintah guru mereka melanjutkan rihlah ilmiah ke negara Yaman. Tanpa berpikir panjang, keduanya menyutujui perintah sang guru.

Setiba di Yaman, keduanya menuntut ilmu dengan bersungguh-sungguh, bahkan tidak pernah telat dalam mengikuti setiap pengajian para ulama Yaman. Dalam belajar, keduanya juga memperhatikan betul adab seorang penuntut ilmu. Hanya saja, salah satu dari mereka pernah belajar tidak menghadap kiblat.

Setelah lama melanglang buana di negeri seribu wali, keduanya memutuskan pulang ke kampung halaman. Ternyata, ketika berbaur ke tengah masyarakat, hanya salah satunya saja yang dicocoki masyarakat dan ilmunya bermanfaat.

Mendengar nasib dua murid kesayangannya yang berbeda jauh, sang guru mendatangi muridnya yang bernasib buruk. “Apakah engkau pernah belajar dalam keadaan hadas?,” tanya gurunya. “Tidak wahai guru, saya senantiasa dalam keadaan suci,” jawabnya. “Bagaimana dengan menghadap kiblat? Apakah engkau pernah belajar tidak menghadap kiblat?”  Iya pernah. Kala itu aku tidak menghadapnya karena ada suatu hal.”  Ketahuilah muridku, jika engkau menganggap hal itu sebagai perbuatan sepele, maka itulah penyebab engkau gagal memperoleh ilmu manfaat dan barokah.

*disarikan dari Ta'limul Mutaallim

Nasib Istri “Bang Thoyyib” Dalam Pandangan Fikih






            Status kepala rumah tangga yang dipikul oleh seorang suami menuntutnya untuk bertanggung jawab penuh atas kehidupan keluarganya, mulai kesehatan anggota keluarga, pendidak anak, sandang pangan harian, dan lain sebagainya. Karena itu, para suami bekerja keras memeras keringat demi meraup rupiah demi rupiah. Bahkan, ketika sekitar tempat tinggal tak menjanjikan, sulit menjumpai lapangan pekerjaan, mereka rela jauh dari keluarga merantau ke kota tetangga, atau bahkan sampai jauh ke negara sebelah, seperti negeri Jiran, Malaysia.

            Kehidupan perantauan yang serba tidak tertebak, terkadang berimbas buruk pada hubungan keluarga. Banyak di antara mereka yang putus komunikasi dengan sanak famili dan raib entah kemana. Akhirnya nasib sang istri di rumah terkatung-katung tidak jelas. Punya suami tapi tidak ketemu batang hidungnya.

            Nasib serupa juga sering menimpa wanita pesisir. Tempat tinggal yang dekat laut membuat mata pencaharian mereka digantungkan pada kekayaan laut. Para pemanggul nafkah memilih menjadi nelayan dan berburu ikan. Sialnya, ombak tak selalu bersahabat dan ramah menyambut kedatangan mereka. Ada kalanya tiba-tiba ombak besar menghantam perahu kecil nelayan dengan keras sampai terporak-poranda. Sang istri yang tidak tahu musibah tersebut harap-harap cemas di depan pintu menunggu kepulangan suaminya. Sehari, seminggu, sebulan, sampai setahun.

            Karena banyaknya perempuan yang mengalami nasib semacam ini, dengan faktor yang berbeda-beda tentunya, lahirlah lagu lawas yang cukup populer, Bang Thoyyib. Bagaimana nasib istri Bang Thoyyib atau perempuan-perempuan lain yang bernasib sama dengannya dalam pandangan syariat Islam?

            Dalam literatur Fikih, Bang Thoyyib atau suami yang tak pulang-pulang disebuat dengan al-Mafqûd (suami yang hilang). Secara definitif al-Mafqûd adalah orang yang raib dari tempat tinggalnya dalam waktu lama, hilang kabar beritanya, serta tidak jelas nasibnya; apakah masih hidup atau sudah tiada, seperti yang tertulis di kitab al-Fiqh al-Manhajî. Oleh karena itu, suami yang masih diketahui tempat tinggal atau kabar beritanya, tidak bisa dikategorikan al-Mafqûd meskipun dia tak pulang pulang dan tak pernah mengirim surat kabar. Sehingga, istri dari suami tersebut tidak boleh kawin lagi. Ini adalah konsensus ulama sebagaimana ungkap Imam Syarafuddin an-Nawawi dalam al-Majmû’ Syarhul-Muhadzdzab. Kecuali istrinya tadi kesulitan biaya hidup dari harta suaminya yang pergi, maka dia boleh mengajukan fasakh (perusakan akad nikah) kepada hakim, lalu hakimlah yang mem-fasakh tali pernikahan antara mereka.

            Adapun suami yang benar-banar raib ditelan bumi, menurut qaul jadîd (pendapat Imam asy-Syafi’i setelah hijrah ke Mesir) istrinya juga tidak boleh menikah lagi sampai meyakini kematian atau pentalakan suaminya. Hal ini dilandasi atsar yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i sendiri dari Shahabat Ali bin Abi Thalib “Istri Mafqûd (suami yang hilang) sedang diuji, maka bersabarlah! Dan jangan menikah (lagi) sampai datang kabar kematian suaminya.” Maksud yakin di sini adalah praduga kuat (dzan). Sehingga seandainya di tengah raibnya sang suami, ada satu orang adil mengabarkan kematiannya, maka si istri boleh menikah lagi.

            Dari penjabaran singkat ini, bisa disederhanakan bahwa kewajiban bagi istri al-Mafqûd adalah menunggu suaminya pulang. Namun pertanyaannya, sampai kapan dia harus menunggu suaminya pulang? Seumur hidupkah? Sampai malaikat maut datang menjemputkah?

            Ketika para ulama terdahulu (mutaqaddimîn) mengulas masa penantian istri atas suaminya yang tak kunjung pulang, mereka cenderung menguniversalkannya. Hal ini seolah-olah berimpas pada kewajiban penantian seumur hidup. Akan tetapi, saat mengurai persoalan harta peninggalan orang yang raib ditelan bumi dalam kaitannya dengan hak ahli waris, ulama membatasinya sampai waktu sekiranya orang tersebut tidak akan bertahan hidup melebihi waktu itu. Nah, batas waktu seperti ini juga diberlakukan oleh para ulama belakangan (muta’akhkhirin) dalam penantian istri al-Mafqûd, seperti dilansir dari Mughnil-Muhtâj fî Syarhi Minhâjith-Thâlibîn. Jadi, seandainya penantian tersebut sudah melewati batas lumrahnya si suami diprediksi bertahan hidup, maka istrinya boleh kawin lagi, tidak perlu menunggu ajal menjemput.

            Sedangkan menurut qaul qadîm (pendapat Imam asy-Syafi’i semasa tinggal di kota Baghdad), ketentuan bagi perempuan yang mengalami nasib seperti istri Bang Thoyyib adalah menjalani penantian selama empat tahun terhitung dari hilangnya kabar sang suami, kemudian melakukan iddah wafat selama empat bulan sepuluh hari. Setelah iddahnya selesai dia bebas dari kekang pernikahan dan boleh kawin lagi. Pendapat ini menjustifikasi putusan Sayidina Umar bin Khaththab. Imam al-Baihaqi menambahkan, keputusan senada juga diriwayatkan dari Sayidina Utsman bin Affan dan Shahabat Abdullah bin Abbas.

Selain berdalil dengan beberapa riwayat dari para shahabat tadi, pendapat ini juga menggunakan metodologi qiyas. Mereka menganalogikan kasus ini dengan kasus fasakh tersebab impotensi. Hemat mereka, kalau seorang istri boleh melepas ikatan pernikahan dikarenakan penyakit impotensi suaminya, maka seharusnya dia juga boleh mem-fasakh nikah disebabkan hilangnya sang suami, sebab dalam kedua kasus tersebut istri sama-sama kehilangan nafkah batin.

            Hanya saja pendapat Imam asy-Syafi’i semasa tinggal di kota Baghdad (qaul qadim) ini telah dianulir oleh pendapat beliau yang baru (qaul qadim). Faktor penganuliran tersebut adalah pendapat beliau yang lama hakikatnya mengekor pada ijtihad Sayidina Umar, sementara dalam metode pencetusan hukum yang beliau ciptakan (Ushul Fikih), seorang mujtahid tidak boleh bertaklid pada mujtahid lain.

            Maka, istri yang kehilangan jejak suaminya tetap tidak boleh menikah lagi dan masih berstatus sebagai istri dari suaminya yang hilang, sampai diyakini kematian suaminya. Namun, jika selama raibnya sang suami dia kehilangan nafkah lahir, dengan artian suaminya tidak meninggalkan harta untuk biaya hidupnya, maka dia boleh mengajukan fasakh kepada hakim, bahkan tidak perlu menunggu waktu lama. Mayoritas ulama menyatakan, ketika seorang istri kesulitan mendapat nafkah lahir dari suaminya selama tiga hari saja, ia boleh mengajukan pelepasan ikatan pernikahan (fasakh) kepada hakim, baik suaminya berada di sisinya atau raib entah kemana.

Sementara untuk faktor nafkah batin, tidak bisa dijadikan alasan fasakh nikah dalam kasus hilangnya suami. Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alawi dalam kumpulan fatwa yang dihimpunnya bertajuk Bughyatul-Mustarsyidîn menuturkan bahwa fasakh tersebab derita lamanya penantian atau hasrat birahi, tidak dilegalkan.

            Kemudian jika dalam pelaksanaannya hakim atau muhakkam tidak ada, atau ada tetapi sulit untuk memproses fasakh lewat hakim, semisal hakim meminta bukti bahwa sang suami tidak meninggalkan harta untuk biaya hidup istri sementara si istri tidak punya bukti, maka dia boleh mem-fasakh sendiri. Pendapat inilah yang diunggulkan dalam kitab-kitab referentatif fikih.

Oleh: Saharudin Yusuf


Sejarah Ilmu Hadis dari masa ke masa

 



Abad Pertama

Sahabat tidak selalu menghadiri majlis Nabi, hal ini berakibat perbedaan dalam cara menerima hadis dari Nabi. Setidaknya ada tiga cara: pertama musyafahah, yaitu dengan berhadapan langsung dengan Nabi. Kedua dengan mendengar dari sahabat lain yang mendengar dari Nabi. Dan yang ketiga dengan melihat pekerjaan Nabi atau ketetapan beliau.[1]

Sahabat, mayoritas memang menghafalkan hadis yang diterima dari Nabi. Namun tidak semuanya melalui jalan ini. Di samping menghafal ada sebagian sahabat yang juga menulis hadis yang dihafalnya, sehingga terbukukan. Ditemukan bahwa penulisan hadis sudah dimulai pada saat Nabi masih hidup. Hanya corak penulisan hadis itu tidak sama dengan al-Quran. Artinya buku-buku itu tidak dijadikan sebagai referensi sebagaimana al-Quran, akan tetapi hanya sebagai file pribadi yang dikonsumsi sendiri. Ini adalah periode pertama penulisan hadis. Pada periode ini banyak kitab-kitab hadis yang terbukukan. Ditemukan hampir semua Sahabat mempunyai naskah hadis dalam kasus-kasus tertentu. Yang paling terkenal di antara naskah-naskah itu adalah Sahifah Abdullah bin Amr bin al-Ash yang disebut dengan as-Shadiqah, kitab ini kemudian berpindah tangan kepada cucunya, Amr bin Syuaib, Sahifah Ali bin Abi Thalib. Sahifah ini memuat ukuran-ukuran diyât dan hukum mengenai melepas tawanan dan Sahifah Saad bin Ubadah. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Putra Saad, dia berkata

“Kami temukan dalam kitab Saad bahwa Nabi membuat ketetapan hukum dengan sumpah dan saksi.[2]

Pada awal-awal abad pertama Khulafaur Rasyidun dan Sahabat yang lain memperhatikan hadis dan menghafalnya dan mayoritas dari mereka memilih tidak meriwayatkan hadis. Hal itu mereka lakukan karena beberapa motif: hawatir hadis didistorsi oleh orang munafik, kemungkinan terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh muktsirin (orang yang banyak meriwayatkan hadis). Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khatab, Amirul Mukminin Sahabat dituntut untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Hal itu dilakukan karena beberapa pertimbangan. Di antaranya adalah agar hadis tidak disalah-gunakan oleh orang munafik dan agar al-Quran tidak ditinggalkan. Secara tegas Khalifah Umar memerintahkan semua sahabat untuk meminimalisir riwayah (iqlalur riwayah). Bahkan sahabat Abu Hurairah berhenti sementara meriwayatkan hadis pada masa Khalifah Umar.

Di antara sahabat yang memilih iqlalur riwayah adalah Sahabat Abu Bakar. Abu Bakar termasuk sahabat yang banyak mendengar hadis dari Nabi, namun beliau memilih iqlal, Sahabat Abu Ubaidah, Abbas bin Abdul Muthalib, Said bin Zaid, sampai dinyatakan bahwa hanya dua atau tiga hadis yang diriwayatkan dari beliau, Ubai bin Imarah, beliau hanya meriwayatkan hadis tentang mengusap muzah, Abdullah bin Zubair, beliau pernah ditanya tentang sikapnya yang memilih iqlal, Beliau menjawab “bukan Saya berbeda tapi Saya mendengar Rasulullah bersabda

من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار

Masih banyak para Sahabat yang memilih iqlal. Kalau kita cermati sikap Sahabat di atas adalah bentuk kehati-hatian yang lebih dari mereka dalam urusan hadis.

Sedangkan sahabat yang banyak meriwayatkan hadis (al-Mukstirun) sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Katsir adalah: Abu Hurairah dengan 5364 hadis, Ibnu Umar dengan 2630 hadis, Anas dengan 2286 hadis, Aisyah dengan 2210 hadis, Ibnu Abas dengan 1660, Jabir dengan 1540 dan Abu Said al-Khudri dengan 1170 hadis.[3]

Pada pertengahan dasawarsa ke delapan abad pertama dimulai kodifikasi hadis secara resmi. Hal ini atas perintah khalifah Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam yang meminta seseorang yang bernama Katsir bin Murah al-Hadrami[4] untuk menulis hadis-hadis yang didengarnya lalu dikirimkannya kepada Khalifah kecuali hadis riwayat Sahabat Abu Hurairah. Sebab hadis riwiyat Abu Hurairah sudah dimilikinya. Setelah disepakati, kemudian hadis yang ditulis oleh Katsir bin Murah dikumpulkan dengan hadis riwiyat Abu Hurairah yang ada milikinya.[5]


 

Abad Kedua

Memasuki abad kedua pada saat ulumul Quran menyebar, semakin banyak penghafal al-Quran dan pembacanya, dan aman dari keserupaan dengan al-Quran maka dimulailah kodifikasi umum; dijadikan rujukan. Komudifikasi ini atas seruan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 102) beliau meneruskan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Ini adalah periode kedua penulisan hadis.

Pada abad ini sebenarnya sudah mulai bagus geliat penulisan hadis dan ilmu-ilmu yang lain. Hal itu dimulai dengan munculnya kitab al-Muwattha’ karya monumental Imam Malik bin Anas. Perbedaan corak kodifikasi abad ini dengan abad-abad sebelumnya terletak pada konsep penulisan. Imam Malik melakukan penulisan dengan sangat sistematis. Penyusunannya dirangkai berdasarkan bab dalam kitab-kitab fikih. Hanya kitab ini tidak hanya merangkum hadis, atsar dan fatwa sahabat juga dicantumkan oleh Malik dalam kitabnya ini.

Kemudian, pada abad ini juga tampak sekali peran pemerintah Abbasiyah dalam pergerakan aktivitas kodifikasi. Dalam banyak referensi disebutkan, bahwa khalifah Abu Jakfar atau al-mansur lah yang menunjukkan Imam Malik kepada metode penulisan yang sistematis. Dia juga yang menyarankan Imam Malik untuk mempromosikan kitab al-Muwatthaknya kepada masyarakat. Sehinnga tidak heran kalau kitabnya yang satu ini telah tersebar dan terkenal pada saat Malik masih hidup.

 


 

Abad Ketiga

Kondisi Politik Abad Ke Tiga:

Kondisi politik pada abad ini sangat tidak memihak kepada ahlul hadis. Banyak ulama yang mendapatkan penyikasaan dari khalifah, bahkan dibunuh seperti Imam al-Buwaithi. Hal itu berawal dari statement negatif Muktazilah masalah afalul ibad, sifat ma’ani dan yang paling parah adalah khalqul Quran, dan memantik ketegangan antar Ahlul Kalam dan Ahlul Hadis.

Melihat ketegangan dua kelompok tidak kunjung menemukan titik temu khalifah al-Makmun (w. 218) mempertemukan dua kelompok dalam forum debat dan diskusi dengan tujuan menyatukan keduanya dalam satu kalimat.

Khalifah al-Makmun terjangkiti paham muktazilah. Maka dari itu sejak tahun 212. H dia menyerukan paham ini kepada rakyatnya. Dia beranggapan ketika dia yang menyampaikan rakyat akan menerimanya. Akan tetapi kenyataan berbalik. Rakyat tidak menerima seruan itu, bahkan dia dibidahkan dan oleh sebagian rakyatnya dikafirkan. Hingga pada akhirnya dengan status sosialnya sebagai Khalifah, al-Makmun menggiring ahlul hadis tehadap pemikirannya.[6]

Kodifikasi Hadis Pada Abad Ini Terbagi Dalam Tiga Teori:

Bantahan Terhadap Ahlul Kalam Pada Masa Itu.

Sudah dijelaslan di muka ketegangan ahlul hadis dan ahlul kalam. Ulama hadis kemudian mendata sederet sanggahan-sanggahan mereka, baik dalam hal ‘adalah dan dabt para rawi maupun kualitas hadisnya dan kemudian membantahnya. Teori ini dilakukan oleh Imam Ibnu Qutaibah dan merangkumnya dalam kitabnya dengan judul Ta’wilu Mukhtalafil Hadis Fir Raddi Ala A’dail Hadis.

Merangkum Hadis Dalam Masanid:

Yaitu rangkuman seorang muhaddis hadis-hadis yang diterimanya dari sahabat menurut profil Sahabat. dalam terori ini sebagia ulama merangkum hadis sesuai klan Sahabat. sebagian yang lain meninjau kapan keislaman Sahabat. Di antara kitab-kitab dengan teori ini adalah Musnadul Imam Ahmad (w. 241), Musnadul Imam Abdullah bin Musa (w. 213) dan Musnadul Hamidi (w.218).

Rangkuman Hadis Sekaligus Takhrijnya Menurut Bab-bab fikih.

Dalam teori ini ada dua kecendrungan. Ada ulama yang hanya merangkum hadis-hadis yang sahih seperti yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari dalam al-Jamiknya Sahihul Bukhari dan Imam Muslim dalam Sahih Muslim. Ada ulama yang mengumpulkan hadis sahih, hasan dan daif, seperti yang dilakukan oleh Imam at-Tirmidzi. Abu Daud dan an-Nasai.[7]

Di antara tahapan hadis adalah teori penulisan dengan klasifikasi tertentu. Ini yang disebut dengan tajrid. Kitab hadis pertama yang mengumpulkan hadis sahih adalah kitab Sahihul Bukhari dan disusul Sahihu Muslim[8]. Al-Imam an-Nasai saat menyelesaikan bukunya yang berjudul as-Sunan al-Kubra mengajukannya kepada seorang raja di daerah Ramlah. Kemudian raja bertanya “apakah semua hadis yang ada dalam kitab ini sahih ?” beliau menjawab tidak. Maka kemudian raja memerintahkan Imam an-Nasai untuk mengklasifikasi hadis-hadis yang sahih. Maka ditulislah al-Mujtaba.[9]

Tahapan berikutnya dalam kodifikasi hadis adalah tanqih. Tanqih adalah proses pemurnian hadis dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian ulama sekaligus bantahan-bantahannya. Kodifikasi ini pernah dilakukan oleh Imam az-Zarkasyi terhadap kitab Sahihul Bukhari. Dalam kitab itu Imam az-Zarkasyi banyak membantah dan memurnikan kesalahan yang banyak terjadi dalam kitab Sahihiul Bukhari. Misalnya dikatakan bahwa hadis ini sahih padahal tidak maka dibantah sekaligus ditampilkan Jarhu dan takdilnya.

Istikhraj, seorang hafidh merangkum satu kitab dan mentakhrijnya dengan jalur mata rantainya sendiri. Kitab dalam model ini di antaranya: Mustakhrajul Hafidh Abi Bakar al-Ismaili al-Jurjani (w. 371) dan Mustakhrajul Hafidh Abi Bakar al-Burqoni (w. 425) keduanya adalah kitab yang meng-istikhraj Sahihul Bukhari. Mustakhrajul Hafidh Ahmad bin Salamah an-Naisaburi al-Bazzar (w. 286), Mustakhrajul Hafidh Abi Awanah, Yakqub bin Ishaq al-Isfiraini (w. 316) keduanya adalah kitab yang meng-istikhraj Sahihu Muslim.

Istidrak, merangkkum hadis menurut ketentuan-ketentuan salah satu al-mushanifaini yang tidak ditakkhrij olehnya. Kitab model ini di antaranya: al-Mustadrak li Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Muhammd bin Hamdawaih al-Hakim an-Naisaburi (w. 405), al-Mustadrak Alas Sahihaini lil Hafid Abi Dzarrin Abd bin Ahmad bin Muhammad bin Abiullah al-Anshari al-Harawi (w. 434).[10]

Di antara kitab yang berkembang pada aba ke tiga di kalangan ulama hadis yang memenuhi dalam khazanah ilmiyah hadis adalah kitab Amaalii. Kitab ini dalam ensiklopedi kitab, Kasyfud Dzunun diartikan Amaali adalah plural dari kata imla’. Memililki data-data ilmu yang telah didengar dari guru dalam majelis ilmu[11]

Imla’ dan istimla’ jelas tidak bisa lepas dari perjalanan hadis pada awal-awal risalah Rasulullah. Ketika Nabi mendapatkan wahyu (baik al-Quran atau Hadis) Nabi akan meng-imla’-kan wahyu itu kepada shahabat.

Dan kalau kita lacak dalam literatur-literatur sejarah perjalanan kodifikasi hadis maka sudah pasti kita akan banyak temukan naskah-naskah kitab kumpulan hadis yang ditulis sebagian sahabat.[12]

Sekalipun begitu, kemunkinan terbesar istilah kitab amali baru ditemukan pada kisaran abad ke tiga.

Model ini juga memilii makaniyah di kalangan ulama hadis. Imam Abu Bakar bin Abu Syaibah (w. 235 H) mengatakan

Seseorang yang belum menulis 20 ribu hadis dengan cara imla’ maka belum bisa disebut pakar dalam hadis[13].

Kitab model ini dalam salah satu referensi dimulai pada akhir abad 7 dan diprakarsai oleh Abul Fadl al-Iraqi, pada tahun 796 H. Beliau mengimla’ di dalam lebih 400 majelis sampai beliau wafat yaitu pada tahun 806 H[14].

Menurut Imam Nawawi bahwa kebiasaan ulam dalam imla’ adalah mentakhrij hadis-hadis imla’ lalu merumuskannya dalam sebuah kertas, kemudian mengimlakkannya dengan hafalan[15].

Hanya keterangan dalam kitab Tadribur Rawi belum bisa diterima, sebab kenyataannya kitab amali sudah banyak ditemukan pada kisaran abad ke lima, empat atau bahkan pada abad sebelumnya. Seperti kitab amali karya Imam as-Sayid al-Murtadha Abul Qasim Ali bin Tahir al-Husaini pada 436 H[16]. Seperti juga kitab amali karya Ibnul Jarrah ‘Isa bin Ali bin ‘Isa bin Daud bin al-Jarrah pada kisaran tahun 302 sd 391 H[17]. Abu ali al-Qali kisaran 288 sampai pertengahan abad ke 4.


 

Abad Keempat

Pada abad ini ulama hanya mengumpulkan hadis dari kitab-kitab ulama sebelumnya. Teori penulisan pada abad ini dengan cara mengumpulkan hadis-hadis yang terpisah-pisah atau dengan mengambil redaksi hadisnya tanpa menyebut sanadnya dan dengan cara meruntut dengan bab-babnya masing-masing.  Karena itulah jika kita ingin melihat hadis beserta sanadnya kita harus melihat pada kitab-kitab abad terdahulu.

Pada abad itu banyak ulama yang mengumpulkan hadis dan membentuk golongan yang besar untuk mengumpulkan hadis. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis pada masa itu: al-Hakim, ad-Daraqutni, Ibnu Hibban dan at-Tabrani.


 

Abad Kelima

Pada abad kelima sebagian ulama hadis mengumpulkan hadis dan menjadikannya berbab-bab dan sebagian yang lain hanya mengambil hadis yang sahih.

Di antara kitab yang ditulis pada masa itu adalah:

Aljam’u Bainas Sahihaini karya Imam Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnul Farrat (w. 414) dan Imam muhammad bin nashr al-Hamidi al-Andalusi (w. 488).

Aljam’u Baina Kutubis Sittah karya Imam Ahmad bin Zain bin Muawiyah as-Sarqatthi (w. 535).

Aljam’u Baina Ahadisin Min Kutubin Mukhtalifatin, seperti Mashabiihus Sunnah karya Imam Husain Bin Mas’ud Al-Baghowi (w. 516) beliau dalam kitabnya ini merangkum 4484 hadis sahih (dari Syaikhain) dan hasan (dari Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi dan yang lain), Jamiul Masanid Wal Alqab karya Imam Abil Faraj Abdur Rahman bin Ali Al-Juzi (w. 597) beliau merangkum hadis yang ada dalam Sahihain dan Musnadul Imam Ahmad dan Jamik Tirmidzi. Kitab ini telah diruntut oleh Imam Abul Abbas Ahmad Bin Abdullah Almakruf  Bil Muhib At-Tabri (w. 964).

Di antara jenis kitab hadis yang berkembang adalah al-Mu’jam. Model ini ada dua :

Kitab yang merangkum hadis berdasarkan masanid shahabat seperti kitab al-Mu’jamul Kabir karya Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad at-Thabarani. Dalam kitab ini penulisnya menyusun nama-nama shahabat berdasarkan huruf-huruf mu’jam, kecuali musnad Abu Hurairah. Untuk hal ini beliau menjadikannya dalam sekmen khusus.

Kitab yang menyusun hadis berdasarkan masanid syuyukh seperti kitab al-Mu’jamul Ausath karya at-Thabarani juga[18].

Kitab selanjutanya adalah jenis kitab atl-Athraf. Kitab ini adalah kitab yang merangkum kata awal suatu hadis yang menunjukkan kepada sisanaya, dan diiringi dengan penyebutan isnad yang bertujuan untuk isti’ab atau alasan tertentu.

Model perkembangan hadis ini memberikan kemudahan bagi pengkaji hadis dalam menentukan ahad, masyhur, ghorib atau mutawatir-nya.



[1] As-Sunah qablat Tadwin, Muhammad Ajjad Khatib, hal 60 dan al-Hadis wal Muhaddisun hal 47

[2] Al-Mustadrak karya Imam al-Hakim dan Manhajun Naqdi hal 45

[3] Usdul Ghobah

[4] Beliau menututi 70 ahli Badar

[5] As-Sunah Qablat Tadwin, wau Dr. Muhamad Ajjad Khatib, Darul Fikr

[6] Al-Hadis wal Muhaddisun Abu Zahwu 317-318

[7] Al-Hadis wal Muhaddisun Abu Zahwu 363-367

[8] At-Taisir fi Mustalahil Hadis, Mahmud  at-Tahhan, al-Haramain

[9] Muqaddimmah Al-Mujtaba, Imam an-Nasai

[10] Al-Hadis wal Muhaddistun Abu Zahwu

[11] Kasyfud Dzunun versi maktabah syamilah juz 1 hal 160

[12] Lihat di halaman 33

[13] As-Sam’ani Adabul Imla’ hal 11 versi maktabah syamilah. Dalam kitab Tadribur Rawi-nya Imam as-Suyuthi dalam bab Alqabul Muhadditsin menampilkan pernyataan bahwa gelar ilmiyah dalam hadis berbeda sesuai kondisi waktu. Ketentuan yang ada sebelumnya tidak tentu relevan dipakai pada periode selanjutnya.

Contoh, ahli hadis yang bisa bergelar al-Hafidh harus sudah pernah menulis 20 ribu hadis yang diimlakkan oleh guru. Hal ini tidaklah bisa dijadikan patokan untuk masa setelahnya.

[14] An-Nawawi Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi juz ll hal  42 versi maktabah syamilah

[15] An-Nawawi Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi juz ll hal  42 versi maktabah syamilah

[16] Fihrisul faharis wal atsbat wa m’jamul ma’ajim wal masyikhat wal musalsalat juz l hal 330 versi maktabah syamilah

[17] Mawaridul musnad al-Muhit al-Mu’allal hal 10 versi maktabah syamilah

[18] Dr. Muhammad al-Khusyu’i (pengajar hadis di Universitas al-Azhar, Mesir) at-Takhrij wa Dirasatul Asanid hal 6 (dalam bentuk word)


Adab-adab berdoa

Adab-adab berdoa  Doa berarti memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala terhadap sesuatu yang bersifat baik. Seperti berdoa m...