Rabu, 19 Mei 2021
Sejarah Hari Raya Ketupat
Minggu, 14 Maret 2021
Doa Untuk Sakit Gigi
قُلْ
هُوَ الَّذِي أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ
وَالْأَفْئِدَةَ قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
(سبع مرات)
Qul huwallazdī
ansya`akum wa ja'ala lakumus sam'a wal-abshāra wal-af`idah, qalīlam mā tasykurụn
Artinya: “Katakanlah wahai
Muhammad: ‘Dialah Yang menciptakan kalian dan menjadikan bagi kalian pendengaran,
penglihatan dan hati’. (Tetapi) amat sedikit kalian bersyukur.” [QS. Al-Mulk:
23]
Nabi bersabda: “Barangsiapa yang
sakit giginya maka letakkan jari-jarinya pada gigi yang sakit dan ucapkanlah
ayat ini tujuh kali”
[HR: Al-Baihaqi dari Ibnu Abbas]
Refrensi: Ad-Da’awat al-Kabir lil Baihaqi 2/256
Solusi Jitu buat Wanita Karir
Pada era milenium
seperti sekarang ini, para wanita turut meramaikan berbagai sektor penting dalam
kehidupan sosial masyarakat. Di Indonesia misalnya, perempuan banyak mengisi
pos-pos strategis pemerintahan, mulai Mentri, Polisi, Bupati, Wali kota, Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) sampai Pegawai Negeri Sipil (PNS). Di sektor ekonomi
dan bisnis tak jauh berbeda. Kaum Hawa punya peran penting di beberapa
perusahaan adidaya. Perempuan-perempuan seperti merekalah
yang kemudian membomingkan istilah wanita karir.
Dalam surah al-Ahzab, ayat 33, Allah
berfirman:
"وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ
الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآتِينَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ
اللَّهَ وَرَسُولَهُ إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ
أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا"
“Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan
kamu sebersih-bersihnya. (QS. al-Ahzab [33]: 33)
Imam al-Qurthubi
dalam al-Jâmi‘ li Ahkâmil-Qur’ân-nya menguraikan bahwa maksud
dari ayat ini adalah perintah agar wanita berdiam diri di dalam rumah dan larangan
keluar rumah kecuali darurat. Lebih lanjut al-Qurthubi membeberkan bahwa meski
secara tekstual ayat ini ditujukan kepada keluarga Nabi, namun secara kontekstual
menyeluruh terhadap muslimah sedunia.
Hanya saja menurut
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Adhîm-nya, ayat tersebut
menjelaskan larangan perempuan keluar rumah tanpa hajat yang dibenarkan oleh
syariat. Pandangan Ibnu Katsir
ini diikuti oleh Wahbah az-Zuhaili dalam Tafsîr al-Munîr-nya.
Terlepas dari
perbedaan ulama mengenai faktor yang menyebabkan perempuan boleh keluar rumah, semua
ulama sepakat bahwa yang terbaik bagi perempuan adalah berdiam diri di dalam rumah
dan meminimalisir aktifitas di luar rumah. Alasan paling mendasar adalah segala
kebutuhan seorang perempuan ditanggung oleh laki-laki, sehingga tidak ada hal yang
begitu mendesak dan menuntutnya beraktifitas di luar. Terlebih, ketika seorang
perempuan keluar rumah, setan-setan menyambutnya dengan bahagia dan dihiasi
berbagai pemikat penggoda mata lelaki. Bahkan dalam sebuah Hadis, Rasulullah
menegaskan bahwa keadaan perempuan yang paling dekat dengan Allah adalah yang
berdiam diri di dalam rumah. (HR. Ibnu Khuzaimah dan at-Tirmidzi)
Meskipun boleh
beraktifitas di luar, ada beberapa hal yang wajib dipenuhi oleh wanita yang hendak
keluar rumah. Di antaranya adalah a) meminta izin kepada orang tua bagi yang
masih lajang dan kepada suami bagi yang sudah berumah tangga; b) karena
keperluan mendesak atau hajat yang dibenarkan oleh syariat; c) menutup aurat
dengan benar; d) tidak berdandan atau bersolek; e) tidak berbaur dengan lawan
jenis; f) menjaga adab dan tatakrama sehingga tidak memancing fitnah. Salah
satu dari ketentuan-ketentuan itu tidak terpenuhi, maka ia tidak boleh keluar
rumah.
Untuk wanita karir,
sejatinya hal itu sudah ada sejak zaman Nabi. Istri pertama Baginda saudagar
kaya raya yang menghibahkan seluruh hartanya untuk dakwah Baginda. Beliau
adalah Sayidah Khadijah al-Kubra. Sebelum menikah dengan Rasulullah, Khadijah
wanita karir yang bisnisnya berkembang pesat. Rasulullah adalah salah satu
pegawainya yang membuatnya jatuh cinta karena kejujuran dan kepandaiannya.
Pada zaman Nabi, ada
pula seorang wanita yang mengadu kepada Baginda. Wanita itu mengeluh karena ia
yang menanggung segala kebutuhan keluarga. Suaminya selalu gagal dalam usaha
mencari nafkah. Rasulullah menyarankannya agar meminta cerai. Wanita itu tidak
mau dan meminta pilihan lain. Rasulullah kemudian memberi pilihan agar dia yang
memenuhi nafkah keluarga dengan imbalan pahala berlipat ganda. Pahala
membahagiakan suami, pahala memberi rezeki dan nafkah kepada keluarga, serta
pahala silaturahim dengan anak-anaknya. Wanita mulia itu memilih penawaran tersebut
dengan wajah berseri-seri.
Agama Islam memang tidak
melarang wanita untuk bekerja atau meniti karir. Akan tetapi, harus dipahami
bahwa hal tersebut hanya sekedar meringankan beban suami atau dalam kondisi
terpaksa. Tidak lantas dijadikan rutinitas prioritas. Apalagi, sampai
melalaikan tugas pokok sebagai ibu rumah tangga.
Selain itu, ia juga
harus memahami etika berinteraksi dengan lawan jenis agar bisa menjaga diri
saat terjun dalam bisnis. Sebagai tauladan saat bekerja adalah dua putri Nabi
Syuaib. Dalam al- Quran disebutkan :
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ
يَسْقُونَ وَوَجَدَ مِنْ دُونِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُودَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لا نَسْقِي حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُونَا
شَيْخٌ كَبِيرٌ
“Dan tatkala ia
sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang
sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu,
dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah
maksudmu (dengan berbuat begitu)?” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat
meminumkan (ternak kami), sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan
(ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”. (QS. al-Qashash [28]: 23)
Maka,
alangkah bijaksananya jika para wanita yang ingin berkarir di tengah
kewajibannya sebagai seorang istri untuk meneladani sosok Sayidah Khadijah
al-Kubro. Untuk berdagang menjual hewan ternak ke negara Syam, beliau tidak
perlu repot-repot susah-payah menggiring hewan ternak sendiri ke sana. Cukup
baginya mencari orang-orang terpercaya yang akan diamanahi menjualkan hewan
ternaknya. Dengan begitu beliau tetap bisa berkarir meski tanpa keluar rumah.
Langkah cerdas Sayidah Khadijah ini banyak ditiru oleh istri-istri para ulama.
Bahkan, istri Baginda yang lain ada yang berprofesi sebagai penjahit yang
upahnya disedekahkan kepada fakir miskin. Apalagi di era gadget seperti saat
ini, peluang bisnis online lebih menjajikan. Cukup bermodal smartphone dan
paket data, bisa bekerja tanpa keluar rumah. Silahkan mencoba!
Penaklukan Kota Belgrade
Belgrade atau Beograd
adalah Ibu kota Serbia dan salah satu kota tertua di Eropa dan Dunia. Kota ini sekarang menjadi
ibu kota Serbia, di masa lalu kota ini ditaklukkan oleh Romawi di bawah
pemerintahan Agustus dan dianugerahi hak kota Romawi pada pertengahan abad
ke-2. Pada tahun 927 H. / 1521 M. Beograd kemudian jatuh ke tangan Dinasti Usmani Ottoman dan menjadi
tempat pusat kebudayaan Islam
di Eropa selama berabad-abad.
Kronologi jatuhnya
Beograd
Diawal dengan
pengiriman utusan Usmani kepada Krajaan Hongaria sebagai bentuk jalinan
diplomasi kepada mereka, sesampainya utusan ke kota Beograd bukan sambutan yang
ia terima, melainkan nyawa melayang karena sifat pengecut raja Hongaria, setelah
mendengar utusannya dibunuh, Sultan Usmani Saat itu, Sulaiman al-Qanuni
bergerak cepat untuk segera mengepung Beograd.
Pengepungan Belgrade atau Beograd
berlangsung mulai akhir Akhir Sya’ban sampai akhir Ramadhan 927 H atau Juli
hingga 29 Agustus 1521 M. Sultan Suleiman I turun langsung bertempur melawan
tantara Hungaria. Pasukan Usmani berhasi maju dan mengepung benteng Kerajaan
Hongaria di Nándorfehérvár (nama Beograd dalam bahasa Hongaria). Tak butuh waktu lama untuk berhasil masuk
menerobos benteng dan berhasil ditaklukan. Beograd kemudian menjadi markas
militer yang penting untuk melancarkan operasi militer di Eropa.
Jasa besar
Sultan Sulaiman
Yang paling
berjasa dalam penaklukan Beograd ini tentu saja sang Sultan Sulaiman al-Qonuni
bin Salim, orang-orang Barat Suleiman the Magnificent (Sulaiman yang Agung). Keputusannya
yang cepat dan tepat membuat Krajan Hongaria tak bisa menyiapkan pertempuran
secara maksimal, Ia juga memimpin sendiri pasukan menuju Beograd yang tentu
saja menjadi faktor penting meningkat mental bawahannya dalam menghadapi
pertempuran.
Sultan Sulaiman
merupakan sultan yang masa berkuasanya cukup panjang namun sangat bijak dan
dicintai rakyat dan umat. Pemerintahannya berlangsung selama 48 tahun, dimulai
dari tahun 926 H hingga 974 H. Selama memerintah negara kekhalifahan Utsmani,
ia berhasil menjadikan dinasti Usmani begitu kuat dan disegani. Pada masa
Sultan Sulaiman luas Dinasti usmani mencapai batas puncak, Eropa timur dan
Alazair di bagian barat, Laut Hitam diwilayah Utara, Jazirah Arab dan Persia di
bagian timur dan Mesir di wilayah selatan Hal itu sangat tampak pada
batas-batas wilayah Utsmani, yang luasnya belum pernah disaksikan pada masa
sebelumnya.
Sultan Sulaiman
juga orang yang dalam pengetahuan ilmu agamanya. Saat Belgrade berhasil
ditaklukan, sekitar 284. 500 kaum Muslimin mengadakan shalat Jumat raksasa yang
diimami langsung oleh Khalifah Sulaiman. Shalat Jumat dilakukan di halaman
gereja, pinggir kota Belgrade.
Semenjak
ditaklukan Belgrade itu menjadi tempat pangkalan militer Utsmani dalam ekpansinya
di Benua Eropa, dan menjadikan suplai senjata dan akomodasi lebih mudah,
terbukti setelah itu penaklukan demi penaklukan berhasil dicapai oleh dinasti
Usmani di Eropa, puncaknya pada 10 Dzul Qo’dah 932 H/29 Agustus 1526 M, tepat
lima tahun pasca penaklukan Belgrade, Dinasti Utsmani mendapat kemenangan
gemilang dalam pertempuran Mohacs, pertempuran antara persekutuan Raja-raja
Eropan melawan kekuatan Islam, dan berakhir dengan kemenangan Islam. kemenangan
ini sangat berpengaruh bagi perkembangan Dinasti Utsmani di Eropa, sampai tahun
1529 M, Dinasti Utsmani mencapai pintu gerbang Vienna (Wina) Austria yang
menandakan separuh Eropa sudah berhasil dikuasai.
Senin, 08 Maret 2021
Marj-Dabiq: Permulaan Perang Saudara Usmani-Mamluk
Pendahuluan
Pertempuran Marj
Dābiq adalah pertempuran antara tantara Usmani Turki dengan tantara Mamluk Mesir
yang terjadi di Desa Dābiq, 44 Kilometer utara Aleppo, Suriah. Marj Dābiq dalam
bahasa Arab berarti Padang Rumput Dābiq (The meadow of Dābiq).
Pertempuran ini
adalah bagian awal dari peperangan antara Khilafah Turki Utsmani melawan
Kesultanan Mamluk sepanjang tahun 922-923 H./1516-1517 yang berakhir dengan
kemenangan pada Turki Utsmani. Akibat kekalahan Mamluk di Marj-Dabiq adalah
lepasnya seluruh wilayah Syam dari tangan Dinasti Mamluk.
Usmani pura-pura lemah
Sultan Al-Asyraf
Qansuh al-Ghawri menyiapkan pasukannya pada permulaan tahun 922 H. untuk
memasuki perbatasan Turki Utsmani di sebelah timur Anatolia, dan persiapan
Sultan sangat maksimal kali ini. Ketika ia hendak berangkat, datanglah utusan Dinasti
Usmani yang membawa berita bahwa Dinasti Usmani akan menunjuk wakil dari Mesir
sebagai penguasa wilayah perbatasan antara Turki Utsmani dan Mamluk. Sultan
al-Asyraf menginginkan bahwa perbatasan, khususnya propinsi Dulkadir dalam
wilayah Turki Utsmani, tunduk pada perintahnya atas nama Mamluk yang berkuasa
di Mesir. Diantara janji yang juga dibawa oleh utusan Sultan Selim I adalah
membuka perbatasan untuk perlintasan perdagangan dan bahkan menyerahkan
sebagian wilayah taklukan bekas Krajaan Safawi kepada Sultan al-Asyraf.
Pada hari Ahad 16 Rabi’uts Tsani 922
Hijriah (18 Mei 1516), Sultan al-Asyraf berangkat dari Kairo bersama pasukan
yang banyak termasuk 20 ribu Kavileri;. Al-Asyraf menugaskan Tuman Bey II
sebagai pemimpin di Kairo selama ia memimpin ekspedisi tersebut; keberangkatan
yang mewah dengan pertunjukan yang meriah melepas keberangkatan pasukan
al-Asyraf. Ikut bersama pasukan ini tidak kurang dari 15 amir, kesatuan kawal
kesultanan 5.000 kavaleri Mamluk, dan satuan milisi Beduin (Badw, Badui)
lainnya yanh bergabung di sepanjang perjalanan di Syam.
Khilafah ‘Abbasiyah di Kairo
Pada rombongan terkawal paling belakang
terdapat Khalifah al-Mutawakkil III dari Daulah ‘Abbasiyah. Daulah ‘Abbasiyah
berdiri di Kairo setelah Baghdad dihancurkan oleh Mongol pada tahun 1258.
Kesultanan Mamluk menerima dan melindungi institusi kekhalifahan pada tahun
1261 ketika Sultan Baybars I al-Bunduqdārī secara resmi mengangkat Khalifah
al-Mustanshir sebagai pelanjut Daulah ‘Abbasiyah di Kairo.
Dalam rombongan belakang ini terdapat juga
Ahmed yang merupakan keponakan Selim I yang memiliki hak atas kekhilafahan
Turki Utsmani. Al-Asyraf membawa serta Ahmed dengan tujuan dapat menarik
simpati para pemimpin dari pihak lawannya. Al-Asyraf melaju pelan sehingga baru
sampai ke Damakus pada tanggal 9 Juni. Ia pun diterima di kota ini dengan karpet
terbentang serta perayaan besar lagi mewah yang disediakan oleh Amir Sibay,
gubernur Mamluk untuk Damaskus. Setelah itu ia terus bergerak menuju kota Hims
dan Hammah dengan penerimaan yang sama mewahnya hingga persiapan menuju Aleppo
(Halab).
Diantara yang menyebabkan lambannya pasukan
Mamluk yang dahulu terkenal gesit adalah bahwa setiap pasukan membawa
perlengkapam dan persenjataan dalam jumlah yang berlebihan. Hal ini disebabkan
oleh besarnya pembagian bonus dana perang yang diberikan oleh al-Asyraf kepada
setiap pasukan elit kavalerinya berupa; 100 dinar, 4 bulan gaji ke depan, serta
dana pembelian unta.
Sementara itu tiba pula utusan dari pihak
Turki Utsmani dengan membawa hadiah yang mahal kepada al-Asyraf maupun
al-Mutawakkil III serta para pemuka lainnya. Disampaikan oleh utusan bahwa
Sultan Selim I memelas untuk diberikan gula khas Mesir serta kue dan gula-gula
lainnya. Di kemudian hari ternyata ditemukan bahwa aksi diplomasi ini ditujukan
agara al-Asyraf dan para pemimpin Mamluk menganggap remeh Sultan Selim I yang
justru sedang bersiap tempur tanpa disadarinya.
Utusan dari al-Asyraf datang ke tenda Selim
I dengan membawa hadiah ala kadarnya sebagai balasan merendahkan utusan
sebelumnya. Sultan Selim I mengerti pesan simbolik pelecehan itu dan menangkap
utusan serta mengembalikannya setelah dicukur hingga gundul dan ditunggangkan
di atas keledai. Balasan ini mengangetkan al-Aysraf yang mengira Sultan Selim I
akan tunduk dan patuh pada perintahnya begitu saja.
Gejala Pengkhianatan pada Barisan Mamluk
Di kota Aleppo, gubernur Mamluk yang
dijabat oleh Khair Bey menerima rombongan al-Asyraf dengan kemewahan yang sama
dengan kota-kota sebelumnya untuk menyembunyikan perjanjian rahasianya dengan
Sultan Selim I. Penduduk Aleppo sebenarnya tidak menyukai al-Asyraf karena
kekejamannya terhadap Aleppo di masa silam.
Kurang hangatnya penerimaan penduduk Aleppo
sangat kontras dibandingkan dengan jamuan Kair Bey sehingga para penasihat
al-Asyraf memberi masukan agar ia siaga. Al-Asyraf merasa tidam nyaman di Aleppo
kemudian mengambil lagi janji setia para komandan dengan membagikan hadiah
kepada mereka; sebagian yang tidak atau kurang mendapatkan bagian mulai merasa
tersisihkan. Pertimbangan untuk menangkap Khair Beg Malbai karena
tingkah-lakunya yang mencurigakan sudah disampaikan kepada al-Asyraf namun
perintah itu digagalkan oleh Amir Janberdi Al-Ghazali.
Pertempuran
Pada hari Rabu
21 Rajab 922 Hijriah (20 Agustus 1516) pasukan Mamluk sudah sampai di padang
rumput Marj-Dabiq sekitar 1 hari perjalanan dari Aleppo. Al-Asyraf yang tiba
lebih dahulu di tempat ini tidak segera menyusun barisan tempurnya sehingga
kehadiran pasukan Turki Utsmani yang datang belakangan masih dapat memilih
lokasi yang menguntungkannya.
Pertempuran dimulai dengan serbuan kavaleri
Mamluk yang legendaris itu, sayap kanan dipimpin Amir Sibay dari Damaskus dan
sayap kiri dipimpin Amir Khair Beg Malbai. Serangan keras ini berhasil memukul
mundur sayap kiri Turki Utsmani setelah dibantu oleh infanteri Panglima Amir
Su’dun, bahkan dalam catatan resmi diperoleh keterangan bahwa Selim I sudah
mempertimbangkan untuk mundur. Namun, barisan meriam lapangan Turkk Utsmani
berhasil menewaskan panglima Amir Su’dun dan gubernur Amir Sibay dalam serangan
balasan. Pada kondisi genting ini, sebenarnya Mamluk masih dapat meneruskan
terjangan jika barisan kavaleri sayap kirinya terus mendesak maju. Hanya saja,
Amir Kahir Beg Malbai menarik pasukannya sesuai komitment rahasianya dengan
Selim I pada situasi tersebut sehingga sisa kavaleri dan infanteri Mamluk kini
justru terkepung. Hampir semuanya terbunuh dengan tembakan jitu Janisari yang
kini dilengkapi dengan senapan api Musket yang canggih untuk zamannya. Kavaleri
Mamluk yang legendaris itu tercabik-cabik oleh peluru meriam lapangan yang
ditembakkan secara terkoordinir dari berbagai arah.
Sisa pasukan Mamluk di garis belakang
mundur secara panik karena sinyal komando mundur ditiupkan oleh Amir Khair Beg
Malbai ketika barisan masih mencoba bertahan. Sia-sialah uoaya menyusun ulang
barisan karena kini semua pasukan sibuk menyelamatkan dirinya masing-masing.
Masalah semakin bertambah karena kota Aleppo atas perintah Amir Kahir Beg
Malbai menutup pintu gerbangnya. Sultan al-Asyraf Qansuh al-Ghawri terbunuh
ketika ia mengalami stroke selagi menunggangi kudanya dan jatuh.
Khalifah al-Mutawakkil III memilih untuk
menyerah dan berpindah pihak berikut beberapa amir yang sedari awal tidak
merasa diperhatikan oleh Sultan al-Asyraf.
Hasil akhir
Yavuz Sultan
Selim I masuk dan diterima oleh penduduk Aleppo sebagai sang pembebas dari
kekejaman mendiang al-Asyraf. Sultan Selim I menerima dengan hangat Khalifah
al-Mutawakkil III namun ia menmarahi para ‘ulama yang menurut Selim I tidak
berhasil menasihati sang sultan yang bertindak semena-mena di wilayah Syam
serta tidak memerangi syi’ah di Kerajaan Safawi.
Kamis, 11 Februari 2021
Agar Cinta Selalu Bersemi
Ketika awal-awal memasuki bahtera rumah tangga, istri
tercinta bak bidadari turun dari surga. Mulai tatapan matanya, kerlingan
manjanya, wangi katsutri badannya, membuat hidup melayang sampai ke kayangan.
Semua indah tiada tara. Bagaikan dunia ini hanya milik berdua. Akan tetapi,
setelah hari demi hari dilalui bersama, detik merajuk menit, lalu membingkai
jam, kesempurnaanya mulai berkurang. Yang semula senyumnya bak artis India,
kini mulai tampak menua. Yang dulunya suaranya merdu bak penyanyi Korea, kini gatal
didengar telinga.
Problema semacam ini banyak menimpa kehidupan berumah
tangga. Bosan, sudah pasti mengiringi kebersamaan yang dibina dalam waktu
bertahun-tahun. Terlebih, seiring perjalanan waktu, sedikit demi sedikit
keburukan dan aib pasangan mulai terbuka, menambah retak harmoni cinta. Apalagi,
jika teman hidup kurang pandai merawat diri, memancing mata melirik lain hati.
Makanya, penting sekali bagi kedua pasangan untuk saling membina tali ikatan
yang dibangun atas dasar cinta suci. Dan untuk menjaga cinta agar terus
bersemi, kaum Hawa patut meneladani Sang Ratu Sejati, Sayidan Aisyah binti Abu
Bakar ash-Shiddiq.
Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari
dari Sayidah Aisyah, dikisahkan bahwa para shahabat memilih momen yang tepat
ketika hendak mengirim hadiah kepada Rasulullah. Momen terbaik itu adalah ketika
Rasulullah berada di rumah Sayidah Aisyah. Sebab, saat berada di rumah Aisyah
suasana hati Rasulullah selalu bahagia, dan kebahagiaan itu akan kian bertambah
dengan hadiah dari para Shahabat. Sehingga, tujuan para shahabat untuk
membahagiakan Rasulullah akan berhasil. Bukankah ketika suasana hati sedang
berbunga-bunga, semuanya akan terasa indah bahagia.
Saking besarnya cinta Rasulullah kepada Sayidah Aisyah,
ketika sakit parah dan ajal hendak menjemput, Rasulullah bertanya-tanya; dimanakah
besok saya akan tinggal? Bersama siapa besok saya bermalam? Mengisyaratkan
keinginan besar Beliau agar tiba giliran Sayidah Aisyah. Lihatlah betapa besar
cinta Rasulullah kepada Sayidah Aisyah, bahkan menjelang ajal sekalipun, cinta
Baginda kian deras tak terbendung, sampai-sampai ingin wafat dalam rangkulan kekasih
tercinta, Sayidah Aisyah. Bukannya kian hari kian pudar, cinta Rasulullah semakin
hari malah semakin bersemi. Berikut beberapa sikap Sayidah Aisyah kepada
Rasulullah hingga bikin cinta Baginda terus bersemi.
Memahami Karakter Suami
Semua perempuan pasti ingin membahagiakan pasangannya. Begitu
pula dengan Sayidah Aisyah. Sayangnya, tidak semua cara yang dilakukan
ditangkap dengan baik oleh belahan jiwa. Bahkan tak jarang, maksud hati mengulum
senyum, malah muram durja diterima.
Suatu hari, Sayidah Aisyah bermaksud memberi kejutan
kepada Baginda. Aisyah merapikan dan merias ulang kamar tidurnya. Beliau membeli
bantal empuk yang nyaman di kepala. Tak lupa aroma wangi menggairahkan dituang di
semua sudut kamar. Saat Baginda hendak masuk, beliau terdiam di depan pintu. Bukannya
bahagia, raut wajah Baginda yang biasanya berseri-seri, justru berubah drastis merah
padam. Aisyah membaca dengan baik ekspresi itu, beliau langsung sadar ada yang tidak
beres. Sebab, kalau Baginda sudah seperti itu, biasanya selalu ada yang salah. Tanpa
mereka-reka lebih panjang, Aisyah langsung memohon ampunan.
“Wahai Rasulullah aku bertaubah kepada Allah dan kepadamu
atas dosa yang telah aku lakukan,” ucap Aisyah, padahal Beliau belum tahu apa letak
kesalahannya. “Apa yang engkau pikirkan dengan bantal ini?,” tanya Baginda.
“Saya membelinya khusus untuk engkau dan agar engkai gunakan.” Lalu Rasulullah
menjelaskan kesalahan Aisyah. “Sesungguhnya orang yang memiliki gambar-gambar
seperti ini akan disiksa di hari kiamat kelak. Dikatakan kepada
mereka,”Hidupkan apa yang telah engkau ciptakan!” Sesungguhnya rumah yang ada
gambar semacam ini tidak akan dimasuki malaikat.”
Sayidah Aisyah bersikap sangat dewasa menanggapi ekspresi
Rasulullah terhadap kejutan yang disiapkannya. Padahal, untuk menyiapkan
kejutan itu beliau sampai mengeluarkan biaya. Sama sekali Aisyah tidak membuka
egonya untuk membalas sikap Baginda. Sangat sulit bisa seperti Sayidah Aisyah. Pengertian
semacam ini bermuara dari pemahaman utuh soal karakter pasangan, serta berpikir
positif tentang pasangan. Seandainya Sayidah Aisyah tidak mengerti karakter
Baginda dan tidak bisa membaca ekspresinya dengan cepat, niscaya Beliau akan
salah paham atas sikap Baginda. Dan salah paham inilah yang kerap terjadi akibat
kurangnya pengertian antara kedua belah pihak yang akhirnya berimbas pada
pudarnya cinta.
Setia dalam Suka dan
Duka
Roda kehidupan yang selalu berputar sudah pasti membuat kehidupan
naik-turun. Suka-duka silih berganti menghampiri. Urusan ekonomi juga demikian.
Adakalanya suami dilimpahi kemudahan untuk memenuhi tanggung jawab nafkah
kepada istri. Dan adakalanya pula sedang diuji, sulit mendapat sesuap nasi.
Seorang istri dituntut setia dalam suka dan duka. Ketika dimudahkan rezeki mengingatkan
untuk bersyukur, dan saat diuji mengingatkan untuk bersabar.
Kehidupan Rasulullah penuh dengan cobaan. Dalam segi keuangan,
dapur Baginda kerap tidak mengepulkan asap untuk beberapa pekan. Dikisahkan dari
Sayidah Aisyah sendiri. Beliau berkata kepada Shahabat Urwah, keponakannya
sendiri, “Kita menunggu hilal (bulan) silih berganti sampai tiga kali dalam dua
bulan, dan (selama itu pula dapur) rumah-rumah Baginda Rasulullah tidak
mengepulkan api.” “Wahai bibiku! Dengan apa kalian bertahan hidup?,” tanya
Shahabat Urwan penasaran. “Dengan kurma dan air. Dan kadang-kadang tetangga
Rasulullah dari Shahabat Anshar mengirimi Baginda susu, kamipun minum susu dari
mereka.”
Betapa sabar Sayidah Aisyah menemani hari demi hari
kehidupan sulit Baginda. Beliau tidak pernah mengeluh, justru selalu menerima
apa adanya. Tidak pernah menuntut ini itu, bahkan selalu lapang dengan kondisi
suaminya. Tentu istri yang bisa bersikap seperti ini akan membuat cinta
suaminya tambah lengket setiap hari.
Mesra dan Manja
Cinta yang bersemayam dalam hati tidak boleh dibiarkan layu
dan mati. Ia harus selalu disiram dengan kata-kata mesra dan tindakan-tindakan
manja. Seorang suami akan sangat sedang bila istrinya bersikap manja. Demikian
pula bila sang istri memancingnya agar mengeluarkan kata-kata mesra.
Sayidah Aisyah pernah berkata kepada Baginda, “Wahai
Rasulullah! Seandainya engkau turun ke sebuah jurang. Di sana ada dua pohon. Satunya
sudah dimakan (daunnya) sementara yang lain belum tersentuh orang. Kemanakah akan
engkau bawa untamu?” Maksud perkataan Sayidah Aisyah ini adalah memancing
Rasulullah untuk mengatakan kalau Aisyah adalah istri yang paling dicintai
Rasulullah. Pohon yang daunnya sudah dimakan orang mengisyaratkan istri Baginda
yang lain yang sudah berstatus janda, sementara pohon yang belum tersentuh
orang adalah dirinya yang masih perawan. Semakin sering istri bersikap manja
dan memancing suaminya berkata mesra, akan semakin lengket pula cinta suaminya.
Bukan Wali
Pada
masa hidup tokoh sufi kesohor, Abu Yazid al-Busthami, seorang ahli ibadah
membuat decak kagum banyak orang. Sepanjang hari ia selalu berpuasa dan semalam
suntuk senantiasa beribadah. Selain itu, dia jarang berbaur dengan masyarakat
dan lebih suka uzlah mengasingkan diri. Biasanya dia baru keluar rumah ketika
azan sudah berkumandang. Orang-orang meyakininya sebagai salah satu waliyullah.
Dari mulut ke mulut namanya disebut-sebut, sampai terdengar ke telingan Syekh
Abu Yazid al-Busthami.
Syekh Abu Yazid
penasaran dengan sosok ahli ibadah yang menjadi buah bibir dan menarik banyak
perhatian itu. Beliau lalu mendatangi masjid tempat si ahli ibadah biasanya
mengimami. Selesai shalat, Syekh Abu Yazid menunggu lama tanpa sepengetahun
lelaki itu. Beliau mengamati dengan seksama gerak-gerik lelaki tadi. Ketika
hendak pulang, lelaki itu meludah ke dinding masjid. Melihat itu, spontan Syekh
Abu Yazid langsung berkomentar, “Bagaimana mungkin orang yang berbuat
seperti itu (meludah ke dinding masjid) wali?.”
Bermimpi Rasulullah
Seorang lelaki
shaleh melihat Rasulullah dalam mimpinya. Dengan wajah berseri-seri lelaki itu
mendekati Rasulullah. Sayangnya meski sudah berada tepat di samping Baginda,
Beliau sama sekali tidak menoleh ke arah lelaki itu. “Wahai Rasulullah!
Apakah engkau marah kepadaku?,” tanya lelaki itu. “Tidak,” jawab
Baginda. “Lalu mengapa engkau tidak menoleh kepadaku?,” lanjut sang
lelaki. “Aku tidak mengenalmu,” jawab Baginda.
Mendengar itu lelaki
tadi bagai disambar petir. “Bagaimana mungkin engkau sampai tidak mengenaliku
wahai Rasulullah! Aku adalah umatmu. Bukankah engkau akan mengenali semua
umatmu?,” sedih lelaki itu. “Iya benar. Aku akan mengenali semua umatku.
Akan tetapi, aku mengenali mereka menurut kadar bacaan shalawat yang mereka
lantunkan.” Lelaki itu lalu terbangun dari mimpinya. Iapun menangis sedih luar
biasa. Setelah kejadian itu, lelaki tersebut mengharuskan kepada dirinya
sendiri untuk membaca shalawat minimal seratus kali dalam sehari.
Disadur dari Mukâsyafatul-Qulûb karya Imam al-Ghazali
Karena Tidak Menghadap Qiblat
Gara-Gara
tidak Menghadap Kiblat
Diceritakan, dua
pemuda Arab dengan kemampuan yang sama-sama baiknya diperintah guru mereka
melanjutkan rihlah ilmiah ke negara Yaman. Tanpa berpikir panjang, keduanya
menyutujui perintah sang guru.
Setiba di Yaman,
keduanya menuntut ilmu dengan bersungguh-sungguh, bahkan tidak pernah telat
dalam mengikuti setiap pengajian para ulama Yaman. Dalam belajar, keduanya juga
memperhatikan betul adab seorang penuntut ilmu. Hanya saja, salah satu dari mereka
pernah belajar tidak menghadap kiblat.
Setelah lama
melanglang buana di negeri seribu wali, keduanya memutuskan pulang ke kampung
halaman. Ternyata, ketika berbaur ke tengah masyarakat, hanya salah satunya
saja yang dicocoki masyarakat dan ilmunya bermanfaat.
Mendengar nasib dua
murid kesayangannya yang berbeda jauh, sang guru mendatangi muridnya yang bernasib
buruk. “Apakah engkau pernah belajar
dalam keadaan hadas?,” tanya gurunya. “Tidak
wahai guru, saya senantiasa dalam keadaan suci,” jawabnya. “Bagaimana dengan menghadap kiblat? Apakah
engkau pernah belajar tidak menghadap kiblat?” “Iya
pernah. Kala itu aku tidak menghadapnya karena ada suatu hal.” “Ketahuilah muridku, jika engkau menganggap
hal itu sebagai perbuatan sepele, maka itulah penyebab engkau gagal memperoleh
ilmu manfaat dan barokah.
Nasib Istri “Bang Thoyyib” Dalam Pandangan Fikih
Status kepala rumah tangga yang dipikul oleh seorang
suami menuntutnya untuk bertanggung jawab penuh atas kehidupan keluarganya,
mulai kesehatan anggota keluarga, pendidak anak, sandang pangan harian, dan
lain sebagainya. Karena itu, para suami bekerja keras memeras keringat demi meraup
rupiah demi rupiah. Bahkan, ketika sekitar tempat tinggal tak menjanjikan,
sulit menjumpai lapangan pekerjaan, mereka rela jauh dari keluarga merantau ke
kota tetangga, atau bahkan sampai jauh ke negara sebelah, seperti negeri Jiran,
Malaysia.
Kehidupan perantauan yang serba tidak tertebak, terkadang
berimbas buruk pada hubungan keluarga. Banyak di antara mereka yang putus
komunikasi dengan sanak famili dan raib entah kemana. Akhirnya nasib sang istri
di rumah terkatung-katung tidak jelas. Punya suami tapi tidak ketemu batang
hidungnya.
Nasib serupa juga sering menimpa wanita pesisir. Tempat
tinggal yang dekat laut membuat mata pencaharian mereka digantungkan pada kekayaan
laut. Para pemanggul nafkah memilih menjadi nelayan dan berburu ikan. Sialnya, ombak
tak selalu bersahabat dan ramah menyambut kedatangan mereka. Ada kalanya tiba-tiba
ombak besar menghantam perahu kecil nelayan dengan keras sampai terporak-poranda.
Sang istri yang tidak tahu musibah tersebut harap-harap cemas di depan pintu
menunggu kepulangan suaminya. Sehari, seminggu, sebulan, sampai setahun.
Karena banyaknya perempuan yang mengalami nasib semacam
ini, dengan faktor yang berbeda-beda tentunya, lahirlah lagu lawas yang cukup
populer, Bang Thoyyib. Bagaimana nasib istri Bang Thoyyib atau
perempuan-perempuan lain yang bernasib sama dengannya dalam pandangan syariat
Islam?
Dalam literatur Fikih, Bang Thoyyib atau suami yang tak pulang-pulang
disebuat dengan al-Mafqûd (suami yang hilang). Secara definitif al-Mafqûd
adalah orang yang raib dari tempat tinggalnya dalam waktu lama, hilang kabar
beritanya, serta tidak jelas nasibnya; apakah masih hidup atau sudah tiada,
seperti yang tertulis di kitab al-Fiqh al-Manhajî. Oleh karena itu,
suami yang masih diketahui tempat tinggal atau kabar beritanya, tidak bisa
dikategorikan al-Mafqûd meskipun dia tak pulang pulang dan tak pernah mengirim
surat kabar. Sehingga, istri dari suami tersebut tidak boleh kawin lagi. Ini
adalah konsensus ulama sebagaimana ungkap Imam Syarafuddin an-Nawawi dalam al-Majmû’
Syarhul-Muhadzdzab. Kecuali istrinya tadi kesulitan biaya hidup dari harta
suaminya yang pergi, maka dia boleh mengajukan fasakh (perusakan akad
nikah) kepada hakim, lalu hakimlah yang mem-fasakh tali pernikahan
antara mereka.
Adapun suami yang benar-banar raib ditelan bumi, menurut qaul
jadîd (pendapat Imam asy-Syafi’i setelah hijrah ke Mesir) istrinya juga tidak
boleh menikah lagi sampai meyakini kematian atau pentalakan suaminya. Hal ini
dilandasi atsar yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i sendiri dari
Shahabat Ali bin Abi Thalib “Istri Mafqûd (suami yang hilang) sedang diuji,
maka bersabarlah! Dan jangan menikah (lagi) sampai datang kabar kematian
suaminya.” Maksud yakin di sini adalah praduga kuat (dzan). Sehingga
seandainya di tengah raibnya sang suami, ada satu orang adil mengabarkan
kematiannya, maka si istri boleh menikah lagi.
Dari penjabaran singkat ini, bisa disederhanakan bahwa
kewajiban bagi istri al-Mafqûd adalah menunggu suaminya pulang. Namun
pertanyaannya, sampai kapan dia harus menunggu suaminya pulang? Seumur
hidupkah? Sampai malaikat maut datang menjemputkah?
Ketika para ulama terdahulu (mutaqaddimîn) mengulas
masa penantian istri atas suaminya yang tak kunjung pulang, mereka cenderung menguniversalkannya.
Hal ini seolah-olah berimpas pada kewajiban penantian seumur hidup. Akan tetapi,
saat mengurai persoalan harta peninggalan orang yang raib ditelan bumi dalam kaitannya
dengan hak ahli waris, ulama membatasinya sampai waktu sekiranya orang tersebut
tidak akan bertahan hidup melebihi waktu itu. Nah, batas waktu seperti ini
juga diberlakukan oleh para ulama belakangan (muta’akhkhirin) dalam
penantian istri al-Mafqûd, seperti dilansir dari Mughnil-Muhtâj fî
Syarhi Minhâjith-Thâlibîn. Jadi, seandainya penantian tersebut sudah melewati
batas lumrahnya si suami diprediksi bertahan hidup, maka istrinya boleh kawin
lagi, tidak perlu menunggu ajal menjemput.
Sedangkan menurut qaul qadîm (pendapat Imam
asy-Syafi’i semasa tinggal di kota Baghdad), ketentuan bagi perempuan yang
mengalami nasib seperti istri Bang Thoyyib adalah menjalani penantian selama
empat tahun terhitung dari hilangnya kabar sang suami, kemudian melakukan iddah
wafat selama empat bulan sepuluh hari. Setelah iddahnya selesai dia
bebas dari kekang pernikahan dan boleh kawin lagi. Pendapat ini menjustifikasi
putusan Sayidina Umar bin Khaththab. Imam al-Baihaqi menambahkan, keputusan
senada juga diriwayatkan dari Sayidina Utsman bin Affan dan Shahabat Abdullah
bin Abbas.
Selain berdalil dengan beberapa riwayat dari para shahabat tadi, pendapat
ini juga menggunakan metodologi qiyas. Mereka menganalogikan kasus ini
dengan kasus fasakh tersebab impotensi. Hemat mereka, kalau seorang
istri boleh melepas ikatan pernikahan dikarenakan penyakit impotensi suaminya,
maka seharusnya dia juga boleh mem-fasakh nikah disebabkan hilangnya sang
suami, sebab dalam kedua kasus tersebut istri sama-sama kehilangan nafkah
batin.
Hanya saja pendapat Imam asy-Syafi’i semasa tinggal di
kota Baghdad (qaul qadim) ini telah dianulir oleh pendapat beliau yang
baru (qaul qadim). Faktor penganuliran tersebut adalah pendapat beliau
yang lama hakikatnya mengekor pada ijtihad Sayidina Umar, sementara dalam
metode pencetusan hukum yang beliau ciptakan (Ushul Fikih), seorang mujtahid
tidak boleh bertaklid pada mujtahid lain.
Maka, istri yang kehilangan jejak suaminya tetap tidak
boleh menikah lagi dan masih berstatus sebagai istri dari suaminya yang hilang,
sampai diyakini kematian suaminya. Namun, jika selama raibnya sang suami dia
kehilangan nafkah lahir, dengan artian suaminya tidak meninggalkan harta untuk
biaya hidupnya, maka dia boleh mengajukan fasakh kepada hakim, bahkan tidak
perlu menunggu waktu lama. Mayoritas ulama menyatakan, ketika seorang istri
kesulitan mendapat nafkah lahir dari suaminya selama tiga hari saja, ia boleh
mengajukan pelepasan ikatan pernikahan (fasakh) kepada hakim, baik
suaminya berada di sisinya atau raib entah kemana.
Sementara untuk faktor nafkah batin, tidak bisa dijadikan alasan fasakh nikah
dalam kasus hilangnya suami. Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar
Ba Alawi dalam kumpulan fatwa yang dihimpunnya bertajuk Bughyatul-Mustarsyidîn
menuturkan bahwa fasakh tersebab derita lamanya penantian atau
hasrat birahi, tidak dilegalkan.
Kemudian jika dalam pelaksanaannya hakim atau muhakkam
tidak ada, atau ada tetapi sulit untuk memproses fasakh lewat hakim,
semisal hakim meminta bukti bahwa sang suami tidak meninggalkan harta untuk
biaya hidup istri sementara si istri tidak punya bukti, maka dia boleh mem-fasakh
sendiri. Pendapat inilah yang diunggulkan dalam kitab-kitab referentatif
fikih.
Oleh: Saharudin Yusuf
Sejarah Ilmu Hadis dari masa ke masa
Abad Pertama
Sahabat tidak selalu menghadiri majlis Nabi,
hal ini berakibat perbedaan dalam cara menerima hadis dari Nabi. Setidaknya ada
tiga cara: pertama musyafahah, yaitu dengan berhadapan langsung dengan
Nabi. Kedua dengan mendengar dari sahabat lain yang mendengar dari Nabi. Dan
yang ketiga dengan melihat pekerjaan Nabi atau ketetapan beliau.[1]
Sahabat, mayoritas memang menghafalkan hadis
yang diterima dari Nabi. Namun tidak semuanya melalui jalan ini. Di samping
menghafal ada sebagian sahabat yang juga menulis hadis yang dihafalnya,
sehingga terbukukan. Ditemukan bahwa penulisan hadis sudah dimulai pada saat
Nabi masih hidup. Hanya corak penulisan hadis itu tidak sama dengan al-Quran.
Artinya buku-buku itu tidak dijadikan sebagai referensi sebagaimana al-Quran,
akan tetapi hanya sebagai file pribadi yang dikonsumsi sendiri. Ini adalah
periode pertama penulisan hadis. Pada periode ini banyak kitab-kitab hadis yang
terbukukan. Ditemukan hampir semua Sahabat mempunyai naskah hadis dalam
kasus-kasus tertentu. Yang paling terkenal di antara naskah-naskah itu adalah Sahifah
Abdullah bin Amr bin al-Ash yang disebut dengan as-Shadiqah,
kitab ini kemudian berpindah tangan kepada cucunya, Amr bin Syuaib, Sahifah
Ali bin Abi Thalib. Sahifah ini memuat ukuran-ukuran diyât
dan hukum mengenai melepas tawanan dan Sahifah Saad bin Ubadah. Imam
at-Tirmidzi meriwayatkan dari Putra Saad, dia berkata
“Kami temukan
dalam kitab Saad bahwa Nabi membuat ketetapan hukum dengan sumpah dan saksi.[2]
Pada awal-awal abad pertama Khulafaur
Rasyidun dan Sahabat yang lain memperhatikan hadis dan menghafalnya dan
mayoritas dari mereka memilih tidak meriwayatkan hadis. Hal itu mereka lakukan
karena beberapa motif: hawatir hadis didistorsi oleh orang munafik, kemungkinan
terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh muktsirin (orang yang banyak
meriwayatkan hadis). Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khatab, Amirul
Mukminin Sahabat dituntut untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Hal itu
dilakukan karena beberapa pertimbangan. Di antaranya adalah agar hadis tidak
disalah-gunakan oleh orang munafik dan agar al-Quran tidak ditinggalkan. Secara
tegas Khalifah Umar memerintahkan semua sahabat untuk meminimalisir riwayah (iqlalur
riwayah). Bahkan sahabat Abu Hurairah berhenti sementara meriwayatkan hadis
pada masa Khalifah Umar.
Di antara sahabat yang memilih iqlalur
riwayah adalah Sahabat Abu Bakar. Abu Bakar termasuk sahabat yang banyak
mendengar hadis dari Nabi, namun beliau memilih iqlal, Sahabat Abu
Ubaidah, Abbas bin Abdul Muthalib, Said bin Zaid, sampai dinyatakan bahwa hanya
dua atau tiga hadis yang diriwayatkan dari beliau, Ubai bin Imarah, beliau
hanya meriwayatkan hadis tentang mengusap muzah, Abdullah bin Zubair, beliau
pernah ditanya tentang sikapnya yang memilih iqlal, Beliau menjawab
“bukan Saya berbeda tapi Saya mendengar Rasulullah bersabda
من كذب
علي فليتبوأ مقعده من النار
Masih banyak para Sahabat yang memilih iqlal.
Kalau kita cermati sikap Sahabat di atas adalah bentuk kehati-hatian yang
lebih dari mereka dalam urusan hadis.
Sedangkan sahabat yang banyak meriwayatkan
hadis (al-Mukstirun) sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Katsir adalah: Abu
Hurairah dengan 5364 hadis, Ibnu Umar dengan 2630 hadis, Anas dengan 2286
hadis, Aisyah dengan 2210 hadis, Ibnu Abas dengan 1660, Jabir dengan 1540 dan
Abu Said al-Khudri dengan 1170 hadis.[3]
Pada pertengahan dasawarsa ke delapan abad
pertama dimulai kodifikasi hadis secara resmi. Hal ini atas perintah khalifah
Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam yang meminta seseorang yang bernama Katsir
bin Murah al-Hadrami[4] untuk
menulis hadis-hadis yang didengarnya lalu dikirimkannya kepada Khalifah kecuali
hadis riwayat Sahabat Abu Hurairah. Sebab hadis riwiyat Abu Hurairah sudah dimilikinya.
Setelah disepakati, kemudian hadis yang ditulis oleh Katsir bin Murah
dikumpulkan dengan hadis riwiyat Abu Hurairah yang ada milikinya.[5]
Abad Kedua
Memasuki abad kedua pada saat ulumul Quran
menyebar, semakin banyak penghafal al-Quran dan pembacanya, dan aman dari
keserupaan dengan al-Quran maka dimulailah kodifikasi umum; dijadikan rujukan.
Komudifikasi ini atas seruan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
(w. 102) beliau meneruskan apa yang telah
dilakukan oleh ayahnya. Ini adalah periode kedua penulisan hadis.
Pada abad ini
sebenarnya sudah mulai bagus geliat penulisan hadis dan ilmu-ilmu yang lain.
Hal itu dimulai dengan munculnya kitab al-Muwattha’ karya monumental Imam Malik
bin Anas. Perbedaan corak kodifikasi abad ini dengan abad-abad sebelumnya
terletak pada konsep penulisan. Imam Malik melakukan penulisan dengan sangat
sistematis. Penyusunannya dirangkai berdasarkan bab dalam kitab-kitab fikih.
Hanya kitab ini tidak hanya merangkum hadis, atsar dan fatwa sahabat juga
dicantumkan oleh Malik dalam kitabnya ini.
Kemudian, pada abad ini
juga tampak sekali peran pemerintah Abbasiyah dalam pergerakan aktivitas
kodifikasi. Dalam banyak referensi disebutkan, bahwa khalifah Abu Jakfar atau
al-mansur lah yang menunjukkan Imam Malik kepada metode penulisan yang
sistematis. Dia juga yang menyarankan Imam Malik untuk mempromosikan kitab
al-Muwatthaknya kepada masyarakat. Sehinnga tidak heran kalau kitabnya yang
satu ini telah tersebar dan terkenal pada saat Malik masih hidup.
Abad Ketiga
Kondisi Politik Abad Ke Tiga:
Kondisi politik pada abad ini sangat tidak
memihak kepada ahlul hadis. Banyak ulama yang mendapatkan penyikasaan
dari khalifah, bahkan dibunuh seperti Imam al-Buwaithi. Hal itu berawal dari
statement negatif Muktazilah masalah afalul ibad, sifat ma’ani
dan yang paling parah adalah khalqul Quran, dan memantik ketegangan antar
Ahlul Kalam dan Ahlul Hadis.
Melihat ketegangan dua kelompok tidak kunjung
menemukan titik temu khalifah al-Makmun (w. 218) mempertemukan dua kelompok
dalam forum debat dan diskusi dengan tujuan menyatukan keduanya dalam satu
kalimat.
Khalifah al-Makmun terjangkiti paham
muktazilah. Maka dari itu sejak tahun 212. H dia menyerukan paham ini kepada
rakyatnya. Dia beranggapan ketika dia yang menyampaikan rakyat akan
menerimanya. Akan tetapi kenyataan berbalik. Rakyat tidak menerima seruan itu,
bahkan dia dibidahkan dan oleh sebagian rakyatnya dikafirkan. Hingga pada
akhirnya dengan status sosialnya sebagai Khalifah, al-Makmun menggiring ahlul
hadis tehadap pemikirannya.[6]
Kodifikasi Hadis Pada Abad Ini Terbagi Dalam
Tiga Teori:
Bantahan Terhadap Ahlul Kalam Pada Masa
Itu.
Sudah dijelaslan di muka ketegangan ahlul
hadis dan ahlul kalam. Ulama hadis kemudian mendata
sederet sanggahan-sanggahan mereka, baik dalam hal ‘adalah dan dabt
para rawi maupun kualitas hadisnya dan kemudian membantahnya. Teori ini
dilakukan oleh Imam Ibnu Qutaibah dan merangkumnya dalam kitabnya dengan judul Ta’wilu
Mukhtalafil Hadis Fir Raddi Ala A’dail Hadis.
Merangkum Hadis Dalam Masanid:
Yaitu rangkuman seorang muhaddis hadis-hadis
yang diterimanya dari sahabat menurut profil Sahabat. dalam terori ini sebagia
ulama merangkum hadis sesuai klan Sahabat. sebagian yang lain meninjau kapan
keislaman Sahabat. Di antara kitab-kitab dengan teori ini adalah Musnadul Imam
Ahmad (w. 241), Musnadul Imam Abdullah bin Musa (w. 213) dan Musnadul Hamidi
(w.218).
Rangkuman Hadis Sekaligus Takhrijnya Menurut
Bab-bab fikih.
Dalam teori ini ada dua kecendrungan. Ada ulama
yang hanya merangkum hadis-hadis yang sahih seperti yang dilakukan oleh Imam
al-Bukhari dalam al-Jamiknya Sahihul Bukhari dan Imam Muslim dalam Sahih
Muslim. Ada ulama yang mengumpulkan hadis sahih, hasan dan daif, seperti yang
dilakukan oleh Imam at-Tirmidzi. Abu Daud dan an-Nasai.[7]
Di antara tahapan hadis adalah teori penulisan
dengan klasifikasi tertentu. Ini yang disebut dengan tajrid. Kitab hadis
pertama yang mengumpulkan hadis sahih adalah kitab Sahihul Bukhari dan disusul Sahihu
Muslim[8].
Al-Imam an-Nasai saat menyelesaikan bukunya yang berjudul as-Sunan al-Kubra
mengajukannya kepada seorang raja di daerah Ramlah. Kemudian raja bertanya
“apakah semua hadis yang ada dalam kitab ini sahih ?” beliau menjawab tidak.
Maka kemudian raja memerintahkan Imam an-Nasai untuk mengklasifikasi
hadis-hadis yang sahih. Maka ditulislah al-Mujtaba.[9]
Tahapan berikutnya
dalam kodifikasi hadis adalah tanqih. Tanqih adalah proses pemurnian hadis dari
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian ulama sekaligus bantahan-bantahannya.
Kodifikasi ini pernah dilakukan oleh Imam az-Zarkasyi terhadap kitab Sahihul
Bukhari. Dalam kitab itu Imam az-Zarkasyi banyak membantah dan memurnikan
kesalahan yang banyak terjadi dalam kitab Sahihiul Bukhari. Misalnya dikatakan
bahwa hadis ini sahih padahal tidak maka dibantah sekaligus ditampilkan Jarhu
dan takdilnya.
Istikhraj, seorang hafidh merangkum satu kitab dan mentakhrijnya dengan jalur
mata rantainya sendiri. Kitab dalam model ini di antaranya: Mustakhrajul Hafidh Abi Bakar al-Ismaili
al-Jurjani (w. 371) dan Mustakhrajul Hafidh Abi Bakar al-Burqoni (w. 425) keduanya adalah kitab yang meng-istikhraj Sahihul Bukhari. Mustakhrajul Hafidh Ahmad bin Salamah an-Naisaburi al-Bazzar (w. 286), Mustakhrajul Hafidh Abi Awanah, Yakqub bin Ishaq al-Isfiraini (w. 316) keduanya adalah kitab yang meng-istikhraj Sahihu Muslim.
Istidrak,
merangkkum hadis menurut
ketentuan-ketentuan salah satu
al-mushanifaini yang tidak
ditakkhrij olehnya. Kitab model ini di antaranya: al-Mustadrak li Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Muhammd bin
Hamdawaih al-Hakim an-Naisaburi (w. 405), al-Mustadrak Alas Sahihaini lil Hafid Abi
Dzarrin Abd bin Ahmad bin Muhammad bin Abiullah al-Anshari al-Harawi (w. 434).[10]
Di antara kitab yang berkembang pada aba ke
tiga di kalangan ulama hadis yang memenuhi dalam khazanah ilmiyah hadis adalah
kitab Amaalii. Kitab ini dalam ensiklopedi kitab, Kasyfud Dzunun
diartikan Amaali adalah plural dari kata imla’. Memililki
data-data ilmu yang telah didengar dari guru dalam majelis ilmu[11]
Imla’ dan istimla’ jelas
tidak bisa lepas dari perjalanan hadis pada awal-awal risalah Rasulullah.
Ketika Nabi mendapatkan wahyu (baik al-Quran atau Hadis) Nabi akan meng-imla’-kan
wahyu itu kepada shahabat.
Dan kalau kita lacak dalam literatur-literatur
sejarah perjalanan kodifikasi hadis maka sudah pasti kita akan banyak temukan
naskah-naskah kitab kumpulan hadis yang ditulis sebagian sahabat.[12]
Sekalipun begitu, kemunkinan terbesar istilah
kitab amali baru ditemukan pada kisaran abad ke tiga.
Model ini juga memilii makaniyah di
kalangan ulama hadis. Imam Abu Bakar bin Abu Syaibah (w. 235 H) mengatakan
Seseorang
yang belum menulis 20 ribu hadis dengan cara imla’ maka belum bisa disebut
pakar dalam hadis[13].
Kitab model ini dalam salah satu referensi
dimulai pada akhir abad 7 dan diprakarsai oleh Abul Fadl al-Iraqi, pada tahun
796 H. Beliau mengimla’ di dalam lebih 400 majelis sampai beliau wafat yaitu
pada tahun 806 H[14].
Menurut Imam Nawawi bahwa kebiasaan ulam dalam
imla’ adalah mentakhrij hadis-hadis imla’ lalu merumuskannya dalam sebuah
kertas, kemudian mengimlakkannya dengan hafalan[15].
Hanya keterangan dalam kitab Tadribur Rawi
belum bisa diterima, sebab kenyataannya kitab amali sudah banyak
ditemukan pada kisaran abad ke lima, empat atau bahkan pada abad sebelumnya.
Seperti kitab amali karya Imam as-Sayid al-Murtadha Abul Qasim Ali bin
Tahir al-Husaini pada 436 H[16].
Seperti juga kitab amali karya Ibnul Jarrah ‘Isa bin Ali bin ‘Isa bin
Daud bin al-Jarrah pada kisaran tahun 302 sd 391 H[17]. Abu
ali al-Qali kisaran 288 sampai pertengahan abad ke 4.
Abad Keempat
Pada abad ini ulama hanya mengumpulkan hadis
dari kitab-kitab ulama sebelumnya. Teori penulisan pada abad ini dengan cara
mengumpulkan hadis-hadis yang terpisah-pisah atau dengan mengambil redaksi
hadisnya tanpa menyebut sanadnya dan dengan cara meruntut dengan bab-babnya
masing-masing. Karena itulah jika kita
ingin melihat hadis beserta sanadnya kita harus melihat pada kitab-kitab abad
terdahulu.
Pada abad itu banyak ulama yang mengumpulkan
hadis dan membentuk golongan yang besar untuk mengumpulkan hadis. Di antara
ulama yang mengumpulkan hadis pada masa itu: al-Hakim, ad-Daraqutni, Ibnu
Hibban dan at-Tabrani.
Abad Kelima
Pada abad kelima sebagian ulama hadis
mengumpulkan hadis dan menjadikannya berbab-bab dan sebagian yang lain hanya
mengambil hadis yang sahih.
Di antara kitab yang ditulis pada masa itu
adalah:
Aljam’u Bainas Sahihaini karya Imam
Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnul Farrat (w. 414) dan Imam muhammad
bin nashr al-Hamidi al-Andalusi (w. 488).
Aljam’u Baina Kutubis Sittah karya Imam
Ahmad bin Zain bin Muawiyah as-Sarqatthi (w. 535).
Aljam’u Baina Ahadisin Min Kutubin
Mukhtalifatin, seperti Mashabiihus Sunnah karya Imam
Husain Bin Mas’ud Al-Baghowi (w. 516) beliau dalam kitabnya ini merangkum 4484
hadis sahih (dari Syaikhain) dan hasan (dari Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi dan
yang lain), Jamiul Masanid Wal Alqab karya Imam Abil Faraj Abdur Rahman
bin Ali Al-Juzi (w. 597) beliau merangkum hadis yang ada dalam Sahihain dan Musnadul
Imam Ahmad dan Jamik Tirmidzi. Kitab ini telah diruntut oleh Imam
Abul Abbas Ahmad Bin Abdullah Almakruf
Bil Muhib At-Tabri (w. 964).
Di antara jenis kitab
hadis yang berkembang adalah al-Mu’jam. Model ini ada dua :
Kitab yang merangkum
hadis berdasarkan masanid shahabat seperti kitab al-Mu’jamul Kabir karya
Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad at-Thabarani. Dalam kitab ini penulisnya menyusun nama-nama
shahabat berdasarkan huruf-huruf mu’jam, kecuali musnad Abu Hurairah. Untuk hal
ini beliau menjadikannya dalam sekmen khusus.
Kitab yang menyusun
hadis berdasarkan masanid syuyukh seperti kitab al-Mu’jamul Ausath karya
at-Thabarani juga[18].
Kitab selanjutanya
adalah jenis kitab atl-Athraf. Kitab ini adalah kitab yang merangkum kata
awal suatu hadis yang menunjukkan
kepada sisanaya, dan diiringi dengan penyebutan isnad yang bertujuan untuk
isti’ab atau alasan tertentu.
Model perkembangan
hadis ini memberikan kemudahan bagi pengkaji hadis dalam menentukan ahad,
masyhur, ghorib atau mutawatir-nya.
[1] As-Sunah qablat Tadwin, Muhammad Ajjad
Khatib, hal 60 dan al-Hadis wal Muhaddisun hal 47
[2] Al-Mustadrak karya Imam al-Hakim dan Manhajun Naqdi hal 45
[3] Usdul Ghobah
[4] Beliau menututi 70 ahli Badar
[5] As-Sunah Qablat Tadwin, wau Dr.
Muhamad Ajjad Khatib, Darul Fikr
[6] Al-Hadis wal Muhaddisun Abu Zahwu
317-318
[7] Al-Hadis wal Muhaddisun Abu Zahwu
363-367
[8] At-Taisir fi Mustalahil Hadis,
Mahmud at-Tahhan, al-Haramain
[9] Muqaddimmah Al-Mujtaba, Imam an-Nasai
[10] Al-Hadis wal Muhaddistun Abu Zahwu
[11] Kasyfud Dzunun versi maktabah
syamilah juz 1 hal 160
[12] Lihat di halaman 33
[13] As-Sam’ani
Adabul Imla’ hal 11 versi maktabah syamilah. Dalam kitab Tadribur Rawi-nya
Imam as-Suyuthi dalam bab Alqabul Muhadditsin menampilkan pernyataan bahwa
gelar ilmiyah dalam hadis berbeda sesuai kondisi waktu. Ketentuan yang ada
sebelumnya tidak tentu relevan dipakai pada periode selanjutnya.
Contoh, ahli
hadis yang bisa bergelar al-Hafidh harus sudah pernah menulis 20 ribu
hadis yang diimlakkan oleh guru. Hal ini tidaklah bisa dijadikan patokan untuk
masa setelahnya.
[14] An-Nawawi Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin
Nawawi juz ll hal 42 versi maktabah
syamilah
[15] An-Nawawi Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin
Nawawi juz ll hal 42 versi maktabah
syamilah
[16] Fihrisul faharis wal atsbat wa m’jamul
ma’ajim wal masyikhat wal musalsalat juz l hal 330 versi maktabah syamilah
[17] Mawaridul musnad al-Muhit al-Mu’allal
hal 10 versi maktabah syamilah
[18] Dr. Muhammad al-Khusyu’i (pengajar hadis di
Universitas al-Azhar, Mesir) at-Takhrij wa Dirasatul Asanid hal 6 (dalam
bentuk word)
Adab-adab berdoa
Adab-adab berdoa Doa berarti memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala terhadap sesuatu yang bersifat baik. Seperti berdoa m...
-
SEMUANYA DIRUSAK OLEH TARIKUSH SHOLAT ( فائدة) قال القفال في فتاويه: ترك العبد الصلاة يضر بجميع المسلمين إذ لا بد ان يقول في التشهد السلام...
-
MENYEMATKAN TUDUHAN KETURUNAN YAHUDI Salah satu istri Rasulullah yang bernama Shafiyyah bersedih dan menangis karena di-bully sebagai ketur...
-
*Deskripsi Masalah* Dalam masalah ilmu banyak perbedaan pendapat dan kadang banyak penafsilan penafsilan yang teruraikan sesuai hukum yang ...