Kamis, 11 Februari 2021

Nasib Istri “Bang Thoyyib” Dalam Pandangan Fikih






            Status kepala rumah tangga yang dipikul oleh seorang suami menuntutnya untuk bertanggung jawab penuh atas kehidupan keluarganya, mulai kesehatan anggota keluarga, pendidak anak, sandang pangan harian, dan lain sebagainya. Karena itu, para suami bekerja keras memeras keringat demi meraup rupiah demi rupiah. Bahkan, ketika sekitar tempat tinggal tak menjanjikan, sulit menjumpai lapangan pekerjaan, mereka rela jauh dari keluarga merantau ke kota tetangga, atau bahkan sampai jauh ke negara sebelah, seperti negeri Jiran, Malaysia.

            Kehidupan perantauan yang serba tidak tertebak, terkadang berimbas buruk pada hubungan keluarga. Banyak di antara mereka yang putus komunikasi dengan sanak famili dan raib entah kemana. Akhirnya nasib sang istri di rumah terkatung-katung tidak jelas. Punya suami tapi tidak ketemu batang hidungnya.

            Nasib serupa juga sering menimpa wanita pesisir. Tempat tinggal yang dekat laut membuat mata pencaharian mereka digantungkan pada kekayaan laut. Para pemanggul nafkah memilih menjadi nelayan dan berburu ikan. Sialnya, ombak tak selalu bersahabat dan ramah menyambut kedatangan mereka. Ada kalanya tiba-tiba ombak besar menghantam perahu kecil nelayan dengan keras sampai terporak-poranda. Sang istri yang tidak tahu musibah tersebut harap-harap cemas di depan pintu menunggu kepulangan suaminya. Sehari, seminggu, sebulan, sampai setahun.

            Karena banyaknya perempuan yang mengalami nasib semacam ini, dengan faktor yang berbeda-beda tentunya, lahirlah lagu lawas yang cukup populer, Bang Thoyyib. Bagaimana nasib istri Bang Thoyyib atau perempuan-perempuan lain yang bernasib sama dengannya dalam pandangan syariat Islam?

            Dalam literatur Fikih, Bang Thoyyib atau suami yang tak pulang-pulang disebuat dengan al-Mafqûd (suami yang hilang). Secara definitif al-Mafqûd adalah orang yang raib dari tempat tinggalnya dalam waktu lama, hilang kabar beritanya, serta tidak jelas nasibnya; apakah masih hidup atau sudah tiada, seperti yang tertulis di kitab al-Fiqh al-Manhajî. Oleh karena itu, suami yang masih diketahui tempat tinggal atau kabar beritanya, tidak bisa dikategorikan al-Mafqûd meskipun dia tak pulang pulang dan tak pernah mengirim surat kabar. Sehingga, istri dari suami tersebut tidak boleh kawin lagi. Ini adalah konsensus ulama sebagaimana ungkap Imam Syarafuddin an-Nawawi dalam al-Majmû’ Syarhul-Muhadzdzab. Kecuali istrinya tadi kesulitan biaya hidup dari harta suaminya yang pergi, maka dia boleh mengajukan fasakh (perusakan akad nikah) kepada hakim, lalu hakimlah yang mem-fasakh tali pernikahan antara mereka.

            Adapun suami yang benar-banar raib ditelan bumi, menurut qaul jadîd (pendapat Imam asy-Syafi’i setelah hijrah ke Mesir) istrinya juga tidak boleh menikah lagi sampai meyakini kematian atau pentalakan suaminya. Hal ini dilandasi atsar yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i sendiri dari Shahabat Ali bin Abi Thalib “Istri Mafqûd (suami yang hilang) sedang diuji, maka bersabarlah! Dan jangan menikah (lagi) sampai datang kabar kematian suaminya.” Maksud yakin di sini adalah praduga kuat (dzan). Sehingga seandainya di tengah raibnya sang suami, ada satu orang adil mengabarkan kematiannya, maka si istri boleh menikah lagi.

            Dari penjabaran singkat ini, bisa disederhanakan bahwa kewajiban bagi istri al-Mafqûd adalah menunggu suaminya pulang. Namun pertanyaannya, sampai kapan dia harus menunggu suaminya pulang? Seumur hidupkah? Sampai malaikat maut datang menjemputkah?

            Ketika para ulama terdahulu (mutaqaddimîn) mengulas masa penantian istri atas suaminya yang tak kunjung pulang, mereka cenderung menguniversalkannya. Hal ini seolah-olah berimpas pada kewajiban penantian seumur hidup. Akan tetapi, saat mengurai persoalan harta peninggalan orang yang raib ditelan bumi dalam kaitannya dengan hak ahli waris, ulama membatasinya sampai waktu sekiranya orang tersebut tidak akan bertahan hidup melebihi waktu itu. Nah, batas waktu seperti ini juga diberlakukan oleh para ulama belakangan (muta’akhkhirin) dalam penantian istri al-Mafqûd, seperti dilansir dari Mughnil-Muhtâj fî Syarhi Minhâjith-Thâlibîn. Jadi, seandainya penantian tersebut sudah melewati batas lumrahnya si suami diprediksi bertahan hidup, maka istrinya boleh kawin lagi, tidak perlu menunggu ajal menjemput.

            Sedangkan menurut qaul qadîm (pendapat Imam asy-Syafi’i semasa tinggal di kota Baghdad), ketentuan bagi perempuan yang mengalami nasib seperti istri Bang Thoyyib adalah menjalani penantian selama empat tahun terhitung dari hilangnya kabar sang suami, kemudian melakukan iddah wafat selama empat bulan sepuluh hari. Setelah iddahnya selesai dia bebas dari kekang pernikahan dan boleh kawin lagi. Pendapat ini menjustifikasi putusan Sayidina Umar bin Khaththab. Imam al-Baihaqi menambahkan, keputusan senada juga diriwayatkan dari Sayidina Utsman bin Affan dan Shahabat Abdullah bin Abbas.

Selain berdalil dengan beberapa riwayat dari para shahabat tadi, pendapat ini juga menggunakan metodologi qiyas. Mereka menganalogikan kasus ini dengan kasus fasakh tersebab impotensi. Hemat mereka, kalau seorang istri boleh melepas ikatan pernikahan dikarenakan penyakit impotensi suaminya, maka seharusnya dia juga boleh mem-fasakh nikah disebabkan hilangnya sang suami, sebab dalam kedua kasus tersebut istri sama-sama kehilangan nafkah batin.

            Hanya saja pendapat Imam asy-Syafi’i semasa tinggal di kota Baghdad (qaul qadim) ini telah dianulir oleh pendapat beliau yang baru (qaul qadim). Faktor penganuliran tersebut adalah pendapat beliau yang lama hakikatnya mengekor pada ijtihad Sayidina Umar, sementara dalam metode pencetusan hukum yang beliau ciptakan (Ushul Fikih), seorang mujtahid tidak boleh bertaklid pada mujtahid lain.

            Maka, istri yang kehilangan jejak suaminya tetap tidak boleh menikah lagi dan masih berstatus sebagai istri dari suaminya yang hilang, sampai diyakini kematian suaminya. Namun, jika selama raibnya sang suami dia kehilangan nafkah lahir, dengan artian suaminya tidak meninggalkan harta untuk biaya hidupnya, maka dia boleh mengajukan fasakh kepada hakim, bahkan tidak perlu menunggu waktu lama. Mayoritas ulama menyatakan, ketika seorang istri kesulitan mendapat nafkah lahir dari suaminya selama tiga hari saja, ia boleh mengajukan pelepasan ikatan pernikahan (fasakh) kepada hakim, baik suaminya berada di sisinya atau raib entah kemana.

Sementara untuk faktor nafkah batin, tidak bisa dijadikan alasan fasakh nikah dalam kasus hilangnya suami. Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alawi dalam kumpulan fatwa yang dihimpunnya bertajuk Bughyatul-Mustarsyidîn menuturkan bahwa fasakh tersebab derita lamanya penantian atau hasrat birahi, tidak dilegalkan.

            Kemudian jika dalam pelaksanaannya hakim atau muhakkam tidak ada, atau ada tetapi sulit untuk memproses fasakh lewat hakim, semisal hakim meminta bukti bahwa sang suami tidak meninggalkan harta untuk biaya hidup istri sementara si istri tidak punya bukti, maka dia boleh mem-fasakh sendiri. Pendapat inilah yang diunggulkan dalam kitab-kitab referentatif fikih.

Oleh: Saharudin Yusuf


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...