Status kepala rumah tangga yang dipikul oleh seorang
suami menuntutnya untuk bertanggung jawab penuh atas kehidupan keluarganya,
mulai kesehatan anggota keluarga, pendidak anak, sandang pangan harian, dan
lain sebagainya. Karena itu, para suami bekerja keras memeras keringat demi meraup
rupiah demi rupiah. Bahkan, ketika sekitar tempat tinggal tak menjanjikan,
sulit menjumpai lapangan pekerjaan, mereka rela jauh dari keluarga merantau ke
kota tetangga, atau bahkan sampai jauh ke negara sebelah, seperti negeri Jiran,
Malaysia.
Kehidupan perantauan yang serba tidak tertebak, terkadang
berimbas buruk pada hubungan keluarga. Banyak di antara mereka yang putus
komunikasi dengan sanak famili dan raib entah kemana. Akhirnya nasib sang istri
di rumah terkatung-katung tidak jelas. Punya suami tapi tidak ketemu batang
hidungnya.
Nasib serupa juga sering menimpa wanita pesisir. Tempat
tinggal yang dekat laut membuat mata pencaharian mereka digantungkan pada kekayaan
laut. Para pemanggul nafkah memilih menjadi nelayan dan berburu ikan. Sialnya, ombak
tak selalu bersahabat dan ramah menyambut kedatangan mereka. Ada kalanya tiba-tiba
ombak besar menghantam perahu kecil nelayan dengan keras sampai terporak-poranda.
Sang istri yang tidak tahu musibah tersebut harap-harap cemas di depan pintu
menunggu kepulangan suaminya. Sehari, seminggu, sebulan, sampai setahun.
Karena banyaknya perempuan yang mengalami nasib semacam
ini, dengan faktor yang berbeda-beda tentunya, lahirlah lagu lawas yang cukup
populer, Bang Thoyyib. Bagaimana nasib istri Bang Thoyyib atau
perempuan-perempuan lain yang bernasib sama dengannya dalam pandangan syariat
Islam?
Dalam literatur Fikih, Bang Thoyyib atau suami yang tak pulang-pulang
disebuat dengan al-Mafqûd (suami yang hilang). Secara definitif al-Mafqûd
adalah orang yang raib dari tempat tinggalnya dalam waktu lama, hilang kabar
beritanya, serta tidak jelas nasibnya; apakah masih hidup atau sudah tiada,
seperti yang tertulis di kitab al-Fiqh al-Manhajî. Oleh karena itu,
suami yang masih diketahui tempat tinggal atau kabar beritanya, tidak bisa
dikategorikan al-Mafqûd meskipun dia tak pulang pulang dan tak pernah mengirim
surat kabar. Sehingga, istri dari suami tersebut tidak boleh kawin lagi. Ini
adalah konsensus ulama sebagaimana ungkap Imam Syarafuddin an-Nawawi dalam al-Majmû’
Syarhul-Muhadzdzab. Kecuali istrinya tadi kesulitan biaya hidup dari harta
suaminya yang pergi, maka dia boleh mengajukan fasakh (perusakan akad
nikah) kepada hakim, lalu hakimlah yang mem-fasakh tali pernikahan
antara mereka.
Adapun suami yang benar-banar raib ditelan bumi, menurut qaul
jadîd (pendapat Imam asy-Syafi’i setelah hijrah ke Mesir) istrinya juga tidak
boleh menikah lagi sampai meyakini kematian atau pentalakan suaminya. Hal ini
dilandasi atsar yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i sendiri dari
Shahabat Ali bin Abi Thalib “Istri Mafqûd (suami yang hilang) sedang diuji,
maka bersabarlah! Dan jangan menikah (lagi) sampai datang kabar kematian
suaminya.” Maksud yakin di sini adalah praduga kuat (dzan). Sehingga
seandainya di tengah raibnya sang suami, ada satu orang adil mengabarkan
kematiannya, maka si istri boleh menikah lagi.
Dari penjabaran singkat ini, bisa disederhanakan bahwa
kewajiban bagi istri al-Mafqûd adalah menunggu suaminya pulang. Namun
pertanyaannya, sampai kapan dia harus menunggu suaminya pulang? Seumur
hidupkah? Sampai malaikat maut datang menjemputkah?
Ketika para ulama terdahulu (mutaqaddimîn) mengulas
masa penantian istri atas suaminya yang tak kunjung pulang, mereka cenderung menguniversalkannya.
Hal ini seolah-olah berimpas pada kewajiban penantian seumur hidup. Akan tetapi,
saat mengurai persoalan harta peninggalan orang yang raib ditelan bumi dalam kaitannya
dengan hak ahli waris, ulama membatasinya sampai waktu sekiranya orang tersebut
tidak akan bertahan hidup melebihi waktu itu. Nah, batas waktu seperti ini
juga diberlakukan oleh para ulama belakangan (muta’akhkhirin) dalam
penantian istri al-Mafqûd, seperti dilansir dari Mughnil-Muhtâj fî
Syarhi Minhâjith-Thâlibîn. Jadi, seandainya penantian tersebut sudah melewati
batas lumrahnya si suami diprediksi bertahan hidup, maka istrinya boleh kawin
lagi, tidak perlu menunggu ajal menjemput.
Sedangkan menurut qaul qadîm (pendapat Imam
asy-Syafi’i semasa tinggal di kota Baghdad), ketentuan bagi perempuan yang
mengalami nasib seperti istri Bang Thoyyib adalah menjalani penantian selama
empat tahun terhitung dari hilangnya kabar sang suami, kemudian melakukan iddah
wafat selama empat bulan sepuluh hari. Setelah iddahnya selesai dia
bebas dari kekang pernikahan dan boleh kawin lagi. Pendapat ini menjustifikasi
putusan Sayidina Umar bin Khaththab. Imam al-Baihaqi menambahkan, keputusan
senada juga diriwayatkan dari Sayidina Utsman bin Affan dan Shahabat Abdullah
bin Abbas.
Selain berdalil dengan beberapa riwayat dari para shahabat tadi, pendapat
ini juga menggunakan metodologi qiyas. Mereka menganalogikan kasus ini
dengan kasus fasakh tersebab impotensi. Hemat mereka, kalau seorang
istri boleh melepas ikatan pernikahan dikarenakan penyakit impotensi suaminya,
maka seharusnya dia juga boleh mem-fasakh nikah disebabkan hilangnya sang
suami, sebab dalam kedua kasus tersebut istri sama-sama kehilangan nafkah
batin.
Hanya saja pendapat Imam asy-Syafi’i semasa tinggal di
kota Baghdad (qaul qadim) ini telah dianulir oleh pendapat beliau yang
baru (qaul qadim). Faktor penganuliran tersebut adalah pendapat beliau
yang lama hakikatnya mengekor pada ijtihad Sayidina Umar, sementara dalam
metode pencetusan hukum yang beliau ciptakan (Ushul Fikih), seorang mujtahid
tidak boleh bertaklid pada mujtahid lain.
Maka, istri yang kehilangan jejak suaminya tetap tidak
boleh menikah lagi dan masih berstatus sebagai istri dari suaminya yang hilang,
sampai diyakini kematian suaminya. Namun, jika selama raibnya sang suami dia
kehilangan nafkah lahir, dengan artian suaminya tidak meninggalkan harta untuk
biaya hidupnya, maka dia boleh mengajukan fasakh kepada hakim, bahkan tidak
perlu menunggu waktu lama. Mayoritas ulama menyatakan, ketika seorang istri
kesulitan mendapat nafkah lahir dari suaminya selama tiga hari saja, ia boleh
mengajukan pelepasan ikatan pernikahan (fasakh) kepada hakim, baik
suaminya berada di sisinya atau raib entah kemana.
Sementara untuk faktor nafkah batin, tidak bisa dijadikan alasan fasakh nikah
dalam kasus hilangnya suami. Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar
Ba Alawi dalam kumpulan fatwa yang dihimpunnya bertajuk Bughyatul-Mustarsyidîn
menuturkan bahwa fasakh tersebab derita lamanya penantian atau
hasrat birahi, tidak dilegalkan.
Kemudian jika dalam pelaksanaannya hakim atau muhakkam
tidak ada, atau ada tetapi sulit untuk memproses fasakh lewat hakim,
semisal hakim meminta bukti bahwa sang suami tidak meninggalkan harta untuk
biaya hidup istri sementara si istri tidak punya bukti, maka dia boleh mem-fasakh
sendiri. Pendapat inilah yang diunggulkan dalam kitab-kitab referentatif
fikih.
Oleh: Saharudin Yusuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar