Kamis, 11 Februari 2021

Sejarah Ilmu Hadis dari masa ke masa

 



Abad Pertama

Sahabat tidak selalu menghadiri majlis Nabi, hal ini berakibat perbedaan dalam cara menerima hadis dari Nabi. Setidaknya ada tiga cara: pertama musyafahah, yaitu dengan berhadapan langsung dengan Nabi. Kedua dengan mendengar dari sahabat lain yang mendengar dari Nabi. Dan yang ketiga dengan melihat pekerjaan Nabi atau ketetapan beliau.[1]

Sahabat, mayoritas memang menghafalkan hadis yang diterima dari Nabi. Namun tidak semuanya melalui jalan ini. Di samping menghafal ada sebagian sahabat yang juga menulis hadis yang dihafalnya, sehingga terbukukan. Ditemukan bahwa penulisan hadis sudah dimulai pada saat Nabi masih hidup. Hanya corak penulisan hadis itu tidak sama dengan al-Quran. Artinya buku-buku itu tidak dijadikan sebagai referensi sebagaimana al-Quran, akan tetapi hanya sebagai file pribadi yang dikonsumsi sendiri. Ini adalah periode pertama penulisan hadis. Pada periode ini banyak kitab-kitab hadis yang terbukukan. Ditemukan hampir semua Sahabat mempunyai naskah hadis dalam kasus-kasus tertentu. Yang paling terkenal di antara naskah-naskah itu adalah Sahifah Abdullah bin Amr bin al-Ash yang disebut dengan as-Shadiqah, kitab ini kemudian berpindah tangan kepada cucunya, Amr bin Syuaib, Sahifah Ali bin Abi Thalib. Sahifah ini memuat ukuran-ukuran diyât dan hukum mengenai melepas tawanan dan Sahifah Saad bin Ubadah. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Putra Saad, dia berkata

“Kami temukan dalam kitab Saad bahwa Nabi membuat ketetapan hukum dengan sumpah dan saksi.[2]

Pada awal-awal abad pertama Khulafaur Rasyidun dan Sahabat yang lain memperhatikan hadis dan menghafalnya dan mayoritas dari mereka memilih tidak meriwayatkan hadis. Hal itu mereka lakukan karena beberapa motif: hawatir hadis didistorsi oleh orang munafik, kemungkinan terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh muktsirin (orang yang banyak meriwayatkan hadis). Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khatab, Amirul Mukminin Sahabat dituntut untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Hal itu dilakukan karena beberapa pertimbangan. Di antaranya adalah agar hadis tidak disalah-gunakan oleh orang munafik dan agar al-Quran tidak ditinggalkan. Secara tegas Khalifah Umar memerintahkan semua sahabat untuk meminimalisir riwayah (iqlalur riwayah). Bahkan sahabat Abu Hurairah berhenti sementara meriwayatkan hadis pada masa Khalifah Umar.

Di antara sahabat yang memilih iqlalur riwayah adalah Sahabat Abu Bakar. Abu Bakar termasuk sahabat yang banyak mendengar hadis dari Nabi, namun beliau memilih iqlal, Sahabat Abu Ubaidah, Abbas bin Abdul Muthalib, Said bin Zaid, sampai dinyatakan bahwa hanya dua atau tiga hadis yang diriwayatkan dari beliau, Ubai bin Imarah, beliau hanya meriwayatkan hadis tentang mengusap muzah, Abdullah bin Zubair, beliau pernah ditanya tentang sikapnya yang memilih iqlal, Beliau menjawab “bukan Saya berbeda tapi Saya mendengar Rasulullah bersabda

من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار

Masih banyak para Sahabat yang memilih iqlal. Kalau kita cermati sikap Sahabat di atas adalah bentuk kehati-hatian yang lebih dari mereka dalam urusan hadis.

Sedangkan sahabat yang banyak meriwayatkan hadis (al-Mukstirun) sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Katsir adalah: Abu Hurairah dengan 5364 hadis, Ibnu Umar dengan 2630 hadis, Anas dengan 2286 hadis, Aisyah dengan 2210 hadis, Ibnu Abas dengan 1660, Jabir dengan 1540 dan Abu Said al-Khudri dengan 1170 hadis.[3]

Pada pertengahan dasawarsa ke delapan abad pertama dimulai kodifikasi hadis secara resmi. Hal ini atas perintah khalifah Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam yang meminta seseorang yang bernama Katsir bin Murah al-Hadrami[4] untuk menulis hadis-hadis yang didengarnya lalu dikirimkannya kepada Khalifah kecuali hadis riwayat Sahabat Abu Hurairah. Sebab hadis riwiyat Abu Hurairah sudah dimilikinya. Setelah disepakati, kemudian hadis yang ditulis oleh Katsir bin Murah dikumpulkan dengan hadis riwiyat Abu Hurairah yang ada milikinya.[5]


 

Abad Kedua

Memasuki abad kedua pada saat ulumul Quran menyebar, semakin banyak penghafal al-Quran dan pembacanya, dan aman dari keserupaan dengan al-Quran maka dimulailah kodifikasi umum; dijadikan rujukan. Komudifikasi ini atas seruan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 102) beliau meneruskan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Ini adalah periode kedua penulisan hadis.

Pada abad ini sebenarnya sudah mulai bagus geliat penulisan hadis dan ilmu-ilmu yang lain. Hal itu dimulai dengan munculnya kitab al-Muwattha’ karya monumental Imam Malik bin Anas. Perbedaan corak kodifikasi abad ini dengan abad-abad sebelumnya terletak pada konsep penulisan. Imam Malik melakukan penulisan dengan sangat sistematis. Penyusunannya dirangkai berdasarkan bab dalam kitab-kitab fikih. Hanya kitab ini tidak hanya merangkum hadis, atsar dan fatwa sahabat juga dicantumkan oleh Malik dalam kitabnya ini.

Kemudian, pada abad ini juga tampak sekali peran pemerintah Abbasiyah dalam pergerakan aktivitas kodifikasi. Dalam banyak referensi disebutkan, bahwa khalifah Abu Jakfar atau al-mansur lah yang menunjukkan Imam Malik kepada metode penulisan yang sistematis. Dia juga yang menyarankan Imam Malik untuk mempromosikan kitab al-Muwatthaknya kepada masyarakat. Sehinnga tidak heran kalau kitabnya yang satu ini telah tersebar dan terkenal pada saat Malik masih hidup.

 


 

Abad Ketiga

Kondisi Politik Abad Ke Tiga:

Kondisi politik pada abad ini sangat tidak memihak kepada ahlul hadis. Banyak ulama yang mendapatkan penyikasaan dari khalifah, bahkan dibunuh seperti Imam al-Buwaithi. Hal itu berawal dari statement negatif Muktazilah masalah afalul ibad, sifat ma’ani dan yang paling parah adalah khalqul Quran, dan memantik ketegangan antar Ahlul Kalam dan Ahlul Hadis.

Melihat ketegangan dua kelompok tidak kunjung menemukan titik temu khalifah al-Makmun (w. 218) mempertemukan dua kelompok dalam forum debat dan diskusi dengan tujuan menyatukan keduanya dalam satu kalimat.

Khalifah al-Makmun terjangkiti paham muktazilah. Maka dari itu sejak tahun 212. H dia menyerukan paham ini kepada rakyatnya. Dia beranggapan ketika dia yang menyampaikan rakyat akan menerimanya. Akan tetapi kenyataan berbalik. Rakyat tidak menerima seruan itu, bahkan dia dibidahkan dan oleh sebagian rakyatnya dikafirkan. Hingga pada akhirnya dengan status sosialnya sebagai Khalifah, al-Makmun menggiring ahlul hadis tehadap pemikirannya.[6]

Kodifikasi Hadis Pada Abad Ini Terbagi Dalam Tiga Teori:

Bantahan Terhadap Ahlul Kalam Pada Masa Itu.

Sudah dijelaslan di muka ketegangan ahlul hadis dan ahlul kalam. Ulama hadis kemudian mendata sederet sanggahan-sanggahan mereka, baik dalam hal ‘adalah dan dabt para rawi maupun kualitas hadisnya dan kemudian membantahnya. Teori ini dilakukan oleh Imam Ibnu Qutaibah dan merangkumnya dalam kitabnya dengan judul Ta’wilu Mukhtalafil Hadis Fir Raddi Ala A’dail Hadis.

Merangkum Hadis Dalam Masanid:

Yaitu rangkuman seorang muhaddis hadis-hadis yang diterimanya dari sahabat menurut profil Sahabat. dalam terori ini sebagia ulama merangkum hadis sesuai klan Sahabat. sebagian yang lain meninjau kapan keislaman Sahabat. Di antara kitab-kitab dengan teori ini adalah Musnadul Imam Ahmad (w. 241), Musnadul Imam Abdullah bin Musa (w. 213) dan Musnadul Hamidi (w.218).

Rangkuman Hadis Sekaligus Takhrijnya Menurut Bab-bab fikih.

Dalam teori ini ada dua kecendrungan. Ada ulama yang hanya merangkum hadis-hadis yang sahih seperti yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari dalam al-Jamiknya Sahihul Bukhari dan Imam Muslim dalam Sahih Muslim. Ada ulama yang mengumpulkan hadis sahih, hasan dan daif, seperti yang dilakukan oleh Imam at-Tirmidzi. Abu Daud dan an-Nasai.[7]

Di antara tahapan hadis adalah teori penulisan dengan klasifikasi tertentu. Ini yang disebut dengan tajrid. Kitab hadis pertama yang mengumpulkan hadis sahih adalah kitab Sahihul Bukhari dan disusul Sahihu Muslim[8]. Al-Imam an-Nasai saat menyelesaikan bukunya yang berjudul as-Sunan al-Kubra mengajukannya kepada seorang raja di daerah Ramlah. Kemudian raja bertanya “apakah semua hadis yang ada dalam kitab ini sahih ?” beliau menjawab tidak. Maka kemudian raja memerintahkan Imam an-Nasai untuk mengklasifikasi hadis-hadis yang sahih. Maka ditulislah al-Mujtaba.[9]

Tahapan berikutnya dalam kodifikasi hadis adalah tanqih. Tanqih adalah proses pemurnian hadis dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian ulama sekaligus bantahan-bantahannya. Kodifikasi ini pernah dilakukan oleh Imam az-Zarkasyi terhadap kitab Sahihul Bukhari. Dalam kitab itu Imam az-Zarkasyi banyak membantah dan memurnikan kesalahan yang banyak terjadi dalam kitab Sahihiul Bukhari. Misalnya dikatakan bahwa hadis ini sahih padahal tidak maka dibantah sekaligus ditampilkan Jarhu dan takdilnya.

Istikhraj, seorang hafidh merangkum satu kitab dan mentakhrijnya dengan jalur mata rantainya sendiri. Kitab dalam model ini di antaranya: Mustakhrajul Hafidh Abi Bakar al-Ismaili al-Jurjani (w. 371) dan Mustakhrajul Hafidh Abi Bakar al-Burqoni (w. 425) keduanya adalah kitab yang meng-istikhraj Sahihul Bukhari. Mustakhrajul Hafidh Ahmad bin Salamah an-Naisaburi al-Bazzar (w. 286), Mustakhrajul Hafidh Abi Awanah, Yakqub bin Ishaq al-Isfiraini (w. 316) keduanya adalah kitab yang meng-istikhraj Sahihu Muslim.

Istidrak, merangkkum hadis menurut ketentuan-ketentuan salah satu al-mushanifaini yang tidak ditakkhrij olehnya. Kitab model ini di antaranya: al-Mustadrak li Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Muhammd bin Hamdawaih al-Hakim an-Naisaburi (w. 405), al-Mustadrak Alas Sahihaini lil Hafid Abi Dzarrin Abd bin Ahmad bin Muhammad bin Abiullah al-Anshari al-Harawi (w. 434).[10]

Di antara kitab yang berkembang pada aba ke tiga di kalangan ulama hadis yang memenuhi dalam khazanah ilmiyah hadis adalah kitab Amaalii. Kitab ini dalam ensiklopedi kitab, Kasyfud Dzunun diartikan Amaali adalah plural dari kata imla’. Memililki data-data ilmu yang telah didengar dari guru dalam majelis ilmu[11]

Imla’ dan istimla’ jelas tidak bisa lepas dari perjalanan hadis pada awal-awal risalah Rasulullah. Ketika Nabi mendapatkan wahyu (baik al-Quran atau Hadis) Nabi akan meng-imla’-kan wahyu itu kepada shahabat.

Dan kalau kita lacak dalam literatur-literatur sejarah perjalanan kodifikasi hadis maka sudah pasti kita akan banyak temukan naskah-naskah kitab kumpulan hadis yang ditulis sebagian sahabat.[12]

Sekalipun begitu, kemunkinan terbesar istilah kitab amali baru ditemukan pada kisaran abad ke tiga.

Model ini juga memilii makaniyah di kalangan ulama hadis. Imam Abu Bakar bin Abu Syaibah (w. 235 H) mengatakan

Seseorang yang belum menulis 20 ribu hadis dengan cara imla’ maka belum bisa disebut pakar dalam hadis[13].

Kitab model ini dalam salah satu referensi dimulai pada akhir abad 7 dan diprakarsai oleh Abul Fadl al-Iraqi, pada tahun 796 H. Beliau mengimla’ di dalam lebih 400 majelis sampai beliau wafat yaitu pada tahun 806 H[14].

Menurut Imam Nawawi bahwa kebiasaan ulam dalam imla’ adalah mentakhrij hadis-hadis imla’ lalu merumuskannya dalam sebuah kertas, kemudian mengimlakkannya dengan hafalan[15].

Hanya keterangan dalam kitab Tadribur Rawi belum bisa diterima, sebab kenyataannya kitab amali sudah banyak ditemukan pada kisaran abad ke lima, empat atau bahkan pada abad sebelumnya. Seperti kitab amali karya Imam as-Sayid al-Murtadha Abul Qasim Ali bin Tahir al-Husaini pada 436 H[16]. Seperti juga kitab amali karya Ibnul Jarrah ‘Isa bin Ali bin ‘Isa bin Daud bin al-Jarrah pada kisaran tahun 302 sd 391 H[17]. Abu ali al-Qali kisaran 288 sampai pertengahan abad ke 4.


 

Abad Keempat

Pada abad ini ulama hanya mengumpulkan hadis dari kitab-kitab ulama sebelumnya. Teori penulisan pada abad ini dengan cara mengumpulkan hadis-hadis yang terpisah-pisah atau dengan mengambil redaksi hadisnya tanpa menyebut sanadnya dan dengan cara meruntut dengan bab-babnya masing-masing.  Karena itulah jika kita ingin melihat hadis beserta sanadnya kita harus melihat pada kitab-kitab abad terdahulu.

Pada abad itu banyak ulama yang mengumpulkan hadis dan membentuk golongan yang besar untuk mengumpulkan hadis. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis pada masa itu: al-Hakim, ad-Daraqutni, Ibnu Hibban dan at-Tabrani.


 

Abad Kelima

Pada abad kelima sebagian ulama hadis mengumpulkan hadis dan menjadikannya berbab-bab dan sebagian yang lain hanya mengambil hadis yang sahih.

Di antara kitab yang ditulis pada masa itu adalah:

Aljam’u Bainas Sahihaini karya Imam Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnul Farrat (w. 414) dan Imam muhammad bin nashr al-Hamidi al-Andalusi (w. 488).

Aljam’u Baina Kutubis Sittah karya Imam Ahmad bin Zain bin Muawiyah as-Sarqatthi (w. 535).

Aljam’u Baina Ahadisin Min Kutubin Mukhtalifatin, seperti Mashabiihus Sunnah karya Imam Husain Bin Mas’ud Al-Baghowi (w. 516) beliau dalam kitabnya ini merangkum 4484 hadis sahih (dari Syaikhain) dan hasan (dari Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi dan yang lain), Jamiul Masanid Wal Alqab karya Imam Abil Faraj Abdur Rahman bin Ali Al-Juzi (w. 597) beliau merangkum hadis yang ada dalam Sahihain dan Musnadul Imam Ahmad dan Jamik Tirmidzi. Kitab ini telah diruntut oleh Imam Abul Abbas Ahmad Bin Abdullah Almakruf  Bil Muhib At-Tabri (w. 964).

Di antara jenis kitab hadis yang berkembang adalah al-Mu’jam. Model ini ada dua :

Kitab yang merangkum hadis berdasarkan masanid shahabat seperti kitab al-Mu’jamul Kabir karya Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad at-Thabarani. Dalam kitab ini penulisnya menyusun nama-nama shahabat berdasarkan huruf-huruf mu’jam, kecuali musnad Abu Hurairah. Untuk hal ini beliau menjadikannya dalam sekmen khusus.

Kitab yang menyusun hadis berdasarkan masanid syuyukh seperti kitab al-Mu’jamul Ausath karya at-Thabarani juga[18].

Kitab selanjutanya adalah jenis kitab atl-Athraf. Kitab ini adalah kitab yang merangkum kata awal suatu hadis yang menunjukkan kepada sisanaya, dan diiringi dengan penyebutan isnad yang bertujuan untuk isti’ab atau alasan tertentu.

Model perkembangan hadis ini memberikan kemudahan bagi pengkaji hadis dalam menentukan ahad, masyhur, ghorib atau mutawatir-nya.



[1] As-Sunah qablat Tadwin, Muhammad Ajjad Khatib, hal 60 dan al-Hadis wal Muhaddisun hal 47

[2] Al-Mustadrak karya Imam al-Hakim dan Manhajun Naqdi hal 45

[3] Usdul Ghobah

[4] Beliau menututi 70 ahli Badar

[5] As-Sunah Qablat Tadwin, wau Dr. Muhamad Ajjad Khatib, Darul Fikr

[6] Al-Hadis wal Muhaddisun Abu Zahwu 317-318

[7] Al-Hadis wal Muhaddisun Abu Zahwu 363-367

[8] At-Taisir fi Mustalahil Hadis, Mahmud  at-Tahhan, al-Haramain

[9] Muqaddimmah Al-Mujtaba, Imam an-Nasai

[10] Al-Hadis wal Muhaddistun Abu Zahwu

[11] Kasyfud Dzunun versi maktabah syamilah juz 1 hal 160

[12] Lihat di halaman 33

[13] As-Sam’ani Adabul Imla’ hal 11 versi maktabah syamilah. Dalam kitab Tadribur Rawi-nya Imam as-Suyuthi dalam bab Alqabul Muhadditsin menampilkan pernyataan bahwa gelar ilmiyah dalam hadis berbeda sesuai kondisi waktu. Ketentuan yang ada sebelumnya tidak tentu relevan dipakai pada periode selanjutnya.

Contoh, ahli hadis yang bisa bergelar al-Hafidh harus sudah pernah menulis 20 ribu hadis yang diimlakkan oleh guru. Hal ini tidaklah bisa dijadikan patokan untuk masa setelahnya.

[14] An-Nawawi Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi juz ll hal  42 versi maktabah syamilah

[15] An-Nawawi Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi juz ll hal  42 versi maktabah syamilah

[16] Fihrisul faharis wal atsbat wa m’jamul ma’ajim wal masyikhat wal musalsalat juz l hal 330 versi maktabah syamilah

[17] Mawaridul musnad al-Muhit al-Mu’allal hal 10 versi maktabah syamilah

[18] Dr. Muhammad al-Khusyu’i (pengajar hadis di Universitas al-Azhar, Mesir) at-Takhrij wa Dirasatul Asanid hal 6 (dalam bentuk word)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adab-adab berdoa

Adab-adab berdoa  Doa berarti memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala terhadap sesuatu yang bersifat baik. Seperti berdoa m...