Abad Pertama
Sahabat tidak selalu menghadiri majlis Nabi,
hal ini berakibat perbedaan dalam cara menerima hadis dari Nabi. Setidaknya ada
tiga cara: pertama musyafahah, yaitu dengan berhadapan langsung dengan
Nabi. Kedua dengan mendengar dari sahabat lain yang mendengar dari Nabi. Dan
yang ketiga dengan melihat pekerjaan Nabi atau ketetapan beliau.[1]
Sahabat, mayoritas memang menghafalkan hadis
yang diterima dari Nabi. Namun tidak semuanya melalui jalan ini. Di samping
menghafal ada sebagian sahabat yang juga menulis hadis yang dihafalnya,
sehingga terbukukan. Ditemukan bahwa penulisan hadis sudah dimulai pada saat
Nabi masih hidup. Hanya corak penulisan hadis itu tidak sama dengan al-Quran.
Artinya buku-buku itu tidak dijadikan sebagai referensi sebagaimana al-Quran,
akan tetapi hanya sebagai file pribadi yang dikonsumsi sendiri. Ini adalah
periode pertama penulisan hadis. Pada periode ini banyak kitab-kitab hadis yang
terbukukan. Ditemukan hampir semua Sahabat mempunyai naskah hadis dalam
kasus-kasus tertentu. Yang paling terkenal di antara naskah-naskah itu adalah Sahifah
Abdullah bin Amr bin al-Ash yang disebut dengan as-Shadiqah,
kitab ini kemudian berpindah tangan kepada cucunya, Amr bin Syuaib, Sahifah
Ali bin Abi Thalib. Sahifah ini memuat ukuran-ukuran diyât
dan hukum mengenai melepas tawanan dan Sahifah Saad bin Ubadah. Imam
at-Tirmidzi meriwayatkan dari Putra Saad, dia berkata
“Kami temukan
dalam kitab Saad bahwa Nabi membuat ketetapan hukum dengan sumpah dan saksi.[2]
Pada awal-awal abad pertama Khulafaur
Rasyidun dan Sahabat yang lain memperhatikan hadis dan menghafalnya dan
mayoritas dari mereka memilih tidak meriwayatkan hadis. Hal itu mereka lakukan
karena beberapa motif: hawatir hadis didistorsi oleh orang munafik, kemungkinan
terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh muktsirin (orang yang banyak
meriwayatkan hadis). Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khatab, Amirul
Mukminin Sahabat dituntut untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Hal itu
dilakukan karena beberapa pertimbangan. Di antaranya adalah agar hadis tidak
disalah-gunakan oleh orang munafik dan agar al-Quran tidak ditinggalkan. Secara
tegas Khalifah Umar memerintahkan semua sahabat untuk meminimalisir riwayah (iqlalur
riwayah). Bahkan sahabat Abu Hurairah berhenti sementara meriwayatkan hadis
pada masa Khalifah Umar.
Di antara sahabat yang memilih iqlalur
riwayah adalah Sahabat Abu Bakar. Abu Bakar termasuk sahabat yang banyak
mendengar hadis dari Nabi, namun beliau memilih iqlal, Sahabat Abu
Ubaidah, Abbas bin Abdul Muthalib, Said bin Zaid, sampai dinyatakan bahwa hanya
dua atau tiga hadis yang diriwayatkan dari beliau, Ubai bin Imarah, beliau
hanya meriwayatkan hadis tentang mengusap muzah, Abdullah bin Zubair, beliau
pernah ditanya tentang sikapnya yang memilih iqlal, Beliau menjawab
“bukan Saya berbeda tapi Saya mendengar Rasulullah bersabda
من كذب
علي فليتبوأ مقعده من النار
Masih banyak para Sahabat yang memilih iqlal.
Kalau kita cermati sikap Sahabat di atas adalah bentuk kehati-hatian yang
lebih dari mereka dalam urusan hadis.
Sedangkan sahabat yang banyak meriwayatkan
hadis (al-Mukstirun) sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Katsir adalah: Abu
Hurairah dengan 5364 hadis, Ibnu Umar dengan 2630 hadis, Anas dengan 2286
hadis, Aisyah dengan 2210 hadis, Ibnu Abas dengan 1660, Jabir dengan 1540 dan
Abu Said al-Khudri dengan 1170 hadis.[3]
Pada pertengahan dasawarsa ke delapan abad
pertama dimulai kodifikasi hadis secara resmi. Hal ini atas perintah khalifah
Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam yang meminta seseorang yang bernama Katsir
bin Murah al-Hadrami[4] untuk
menulis hadis-hadis yang didengarnya lalu dikirimkannya kepada Khalifah kecuali
hadis riwayat Sahabat Abu Hurairah. Sebab hadis riwiyat Abu Hurairah sudah dimilikinya.
Setelah disepakati, kemudian hadis yang ditulis oleh Katsir bin Murah
dikumpulkan dengan hadis riwiyat Abu Hurairah yang ada milikinya.[5]
Abad Kedua
Memasuki abad kedua pada saat ulumul Quran
menyebar, semakin banyak penghafal al-Quran dan pembacanya, dan aman dari
keserupaan dengan al-Quran maka dimulailah kodifikasi umum; dijadikan rujukan.
Komudifikasi ini atas seruan Khalifah Umar bin Abdul Aziz
(w. 102) beliau meneruskan apa yang telah
dilakukan oleh ayahnya. Ini adalah periode kedua penulisan hadis.
Pada abad ini
sebenarnya sudah mulai bagus geliat penulisan hadis dan ilmu-ilmu yang lain.
Hal itu dimulai dengan munculnya kitab al-Muwattha’ karya monumental Imam Malik
bin Anas. Perbedaan corak kodifikasi abad ini dengan abad-abad sebelumnya
terletak pada konsep penulisan. Imam Malik melakukan penulisan dengan sangat
sistematis. Penyusunannya dirangkai berdasarkan bab dalam kitab-kitab fikih.
Hanya kitab ini tidak hanya merangkum hadis, atsar dan fatwa sahabat juga
dicantumkan oleh Malik dalam kitabnya ini.
Kemudian, pada abad ini
juga tampak sekali peran pemerintah Abbasiyah dalam pergerakan aktivitas
kodifikasi. Dalam banyak referensi disebutkan, bahwa khalifah Abu Jakfar atau
al-mansur lah yang menunjukkan Imam Malik kepada metode penulisan yang
sistematis. Dia juga yang menyarankan Imam Malik untuk mempromosikan kitab
al-Muwatthaknya kepada masyarakat. Sehinnga tidak heran kalau kitabnya yang
satu ini telah tersebar dan terkenal pada saat Malik masih hidup.
Abad Ketiga
Kondisi Politik Abad Ke Tiga:
Kondisi politik pada abad ini sangat tidak
memihak kepada ahlul hadis. Banyak ulama yang mendapatkan penyikasaan
dari khalifah, bahkan dibunuh seperti Imam al-Buwaithi. Hal itu berawal dari
statement negatif Muktazilah masalah afalul ibad, sifat ma’ani
dan yang paling parah adalah khalqul Quran, dan memantik ketegangan antar
Ahlul Kalam dan Ahlul Hadis.
Melihat ketegangan dua kelompok tidak kunjung
menemukan titik temu khalifah al-Makmun (w. 218) mempertemukan dua kelompok
dalam forum debat dan diskusi dengan tujuan menyatukan keduanya dalam satu
kalimat.
Khalifah al-Makmun terjangkiti paham
muktazilah. Maka dari itu sejak tahun 212. H dia menyerukan paham ini kepada
rakyatnya. Dia beranggapan ketika dia yang menyampaikan rakyat akan
menerimanya. Akan tetapi kenyataan berbalik. Rakyat tidak menerima seruan itu,
bahkan dia dibidahkan dan oleh sebagian rakyatnya dikafirkan. Hingga pada
akhirnya dengan status sosialnya sebagai Khalifah, al-Makmun menggiring ahlul
hadis tehadap pemikirannya.[6]
Kodifikasi Hadis Pada Abad Ini Terbagi Dalam
Tiga Teori:
Bantahan Terhadap Ahlul Kalam Pada Masa
Itu.
Sudah dijelaslan di muka ketegangan ahlul
hadis dan ahlul kalam. Ulama hadis kemudian mendata
sederet sanggahan-sanggahan mereka, baik dalam hal ‘adalah dan dabt
para rawi maupun kualitas hadisnya dan kemudian membantahnya. Teori ini
dilakukan oleh Imam Ibnu Qutaibah dan merangkumnya dalam kitabnya dengan judul Ta’wilu
Mukhtalafil Hadis Fir Raddi Ala A’dail Hadis.
Merangkum Hadis Dalam Masanid:
Yaitu rangkuman seorang muhaddis hadis-hadis
yang diterimanya dari sahabat menurut profil Sahabat. dalam terori ini sebagia
ulama merangkum hadis sesuai klan Sahabat. sebagian yang lain meninjau kapan
keislaman Sahabat. Di antara kitab-kitab dengan teori ini adalah Musnadul Imam
Ahmad (w. 241), Musnadul Imam Abdullah bin Musa (w. 213) dan Musnadul Hamidi
(w.218).
Rangkuman Hadis Sekaligus Takhrijnya Menurut
Bab-bab fikih.
Dalam teori ini ada dua kecendrungan. Ada ulama
yang hanya merangkum hadis-hadis yang sahih seperti yang dilakukan oleh Imam
al-Bukhari dalam al-Jamiknya Sahihul Bukhari dan Imam Muslim dalam Sahih
Muslim. Ada ulama yang mengumpulkan hadis sahih, hasan dan daif, seperti yang
dilakukan oleh Imam at-Tirmidzi. Abu Daud dan an-Nasai.[7]
Di antara tahapan hadis adalah teori penulisan
dengan klasifikasi tertentu. Ini yang disebut dengan tajrid. Kitab hadis
pertama yang mengumpulkan hadis sahih adalah kitab Sahihul Bukhari dan disusul Sahihu
Muslim[8].
Al-Imam an-Nasai saat menyelesaikan bukunya yang berjudul as-Sunan al-Kubra
mengajukannya kepada seorang raja di daerah Ramlah. Kemudian raja bertanya
“apakah semua hadis yang ada dalam kitab ini sahih ?” beliau menjawab tidak.
Maka kemudian raja memerintahkan Imam an-Nasai untuk mengklasifikasi
hadis-hadis yang sahih. Maka ditulislah al-Mujtaba.[9]
Tahapan berikutnya
dalam kodifikasi hadis adalah tanqih. Tanqih adalah proses pemurnian hadis dari
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian ulama sekaligus bantahan-bantahannya.
Kodifikasi ini pernah dilakukan oleh Imam az-Zarkasyi terhadap kitab Sahihul
Bukhari. Dalam kitab itu Imam az-Zarkasyi banyak membantah dan memurnikan
kesalahan yang banyak terjadi dalam kitab Sahihiul Bukhari. Misalnya dikatakan
bahwa hadis ini sahih padahal tidak maka dibantah sekaligus ditampilkan Jarhu
dan takdilnya.
Istikhraj, seorang hafidh merangkum satu kitab dan mentakhrijnya dengan jalur
mata rantainya sendiri. Kitab dalam model ini di antaranya: Mustakhrajul Hafidh Abi Bakar al-Ismaili
al-Jurjani (w. 371) dan Mustakhrajul Hafidh Abi Bakar al-Burqoni (w. 425) keduanya adalah kitab yang meng-istikhraj Sahihul Bukhari. Mustakhrajul Hafidh Ahmad bin Salamah an-Naisaburi al-Bazzar (w. 286), Mustakhrajul Hafidh Abi Awanah, Yakqub bin Ishaq al-Isfiraini (w. 316) keduanya adalah kitab yang meng-istikhraj Sahihu Muslim.
Istidrak,
merangkkum hadis menurut
ketentuan-ketentuan salah satu
al-mushanifaini yang tidak
ditakkhrij olehnya. Kitab model ini di antaranya: al-Mustadrak li Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Muhammd bin
Hamdawaih al-Hakim an-Naisaburi (w. 405), al-Mustadrak Alas Sahihaini lil Hafid Abi
Dzarrin Abd bin Ahmad bin Muhammad bin Abiullah al-Anshari al-Harawi (w. 434).[10]
Di antara kitab yang berkembang pada aba ke
tiga di kalangan ulama hadis yang memenuhi dalam khazanah ilmiyah hadis adalah
kitab Amaalii. Kitab ini dalam ensiklopedi kitab, Kasyfud Dzunun
diartikan Amaali adalah plural dari kata imla’. Memililki
data-data ilmu yang telah didengar dari guru dalam majelis ilmu[11]
Imla’ dan istimla’ jelas
tidak bisa lepas dari perjalanan hadis pada awal-awal risalah Rasulullah.
Ketika Nabi mendapatkan wahyu (baik al-Quran atau Hadis) Nabi akan meng-imla’-kan
wahyu itu kepada shahabat.
Dan kalau kita lacak dalam literatur-literatur
sejarah perjalanan kodifikasi hadis maka sudah pasti kita akan banyak temukan
naskah-naskah kitab kumpulan hadis yang ditulis sebagian sahabat.[12]
Sekalipun begitu, kemunkinan terbesar istilah
kitab amali baru ditemukan pada kisaran abad ke tiga.
Model ini juga memilii makaniyah di
kalangan ulama hadis. Imam Abu Bakar bin Abu Syaibah (w. 235 H) mengatakan
Seseorang
yang belum menulis 20 ribu hadis dengan cara imla’ maka belum bisa disebut
pakar dalam hadis[13].
Kitab model ini dalam salah satu referensi
dimulai pada akhir abad 7 dan diprakarsai oleh Abul Fadl al-Iraqi, pada tahun
796 H. Beliau mengimla’ di dalam lebih 400 majelis sampai beliau wafat yaitu
pada tahun 806 H[14].
Menurut Imam Nawawi bahwa kebiasaan ulam dalam
imla’ adalah mentakhrij hadis-hadis imla’ lalu merumuskannya dalam sebuah
kertas, kemudian mengimlakkannya dengan hafalan[15].
Hanya keterangan dalam kitab Tadribur Rawi
belum bisa diterima, sebab kenyataannya kitab amali sudah banyak
ditemukan pada kisaran abad ke lima, empat atau bahkan pada abad sebelumnya.
Seperti kitab amali karya Imam as-Sayid al-Murtadha Abul Qasim Ali bin
Tahir al-Husaini pada 436 H[16].
Seperti juga kitab amali karya Ibnul Jarrah ‘Isa bin Ali bin ‘Isa bin
Daud bin al-Jarrah pada kisaran tahun 302 sd 391 H[17]. Abu
ali al-Qali kisaran 288 sampai pertengahan abad ke 4.
Abad Keempat
Pada abad ini ulama hanya mengumpulkan hadis
dari kitab-kitab ulama sebelumnya. Teori penulisan pada abad ini dengan cara
mengumpulkan hadis-hadis yang terpisah-pisah atau dengan mengambil redaksi
hadisnya tanpa menyebut sanadnya dan dengan cara meruntut dengan bab-babnya
masing-masing. Karena itulah jika kita
ingin melihat hadis beserta sanadnya kita harus melihat pada kitab-kitab abad
terdahulu.
Pada abad itu banyak ulama yang mengumpulkan
hadis dan membentuk golongan yang besar untuk mengumpulkan hadis. Di antara
ulama yang mengumpulkan hadis pada masa itu: al-Hakim, ad-Daraqutni, Ibnu
Hibban dan at-Tabrani.
Abad Kelima
Pada abad kelima sebagian ulama hadis
mengumpulkan hadis dan menjadikannya berbab-bab dan sebagian yang lain hanya
mengambil hadis yang sahih.
Di antara kitab yang ditulis pada masa itu
adalah:
Aljam’u Bainas Sahihaini karya Imam
Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnul Farrat (w. 414) dan Imam muhammad
bin nashr al-Hamidi al-Andalusi (w. 488).
Aljam’u Baina Kutubis Sittah karya Imam
Ahmad bin Zain bin Muawiyah as-Sarqatthi (w. 535).
Aljam’u Baina Ahadisin Min Kutubin
Mukhtalifatin, seperti Mashabiihus Sunnah karya Imam
Husain Bin Mas’ud Al-Baghowi (w. 516) beliau dalam kitabnya ini merangkum 4484
hadis sahih (dari Syaikhain) dan hasan (dari Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi dan
yang lain), Jamiul Masanid Wal Alqab karya Imam Abil Faraj Abdur Rahman
bin Ali Al-Juzi (w. 597) beliau merangkum hadis yang ada dalam Sahihain dan Musnadul
Imam Ahmad dan Jamik Tirmidzi. Kitab ini telah diruntut oleh Imam
Abul Abbas Ahmad Bin Abdullah Almakruf
Bil Muhib At-Tabri (w. 964).
Di antara jenis kitab
hadis yang berkembang adalah al-Mu’jam. Model ini ada dua :
Kitab yang merangkum
hadis berdasarkan masanid shahabat seperti kitab al-Mu’jamul Kabir karya
Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad at-Thabarani. Dalam kitab ini penulisnya menyusun nama-nama
shahabat berdasarkan huruf-huruf mu’jam, kecuali musnad Abu Hurairah. Untuk hal
ini beliau menjadikannya dalam sekmen khusus.
Kitab yang menyusun
hadis berdasarkan masanid syuyukh seperti kitab al-Mu’jamul Ausath karya
at-Thabarani juga[18].
Kitab selanjutanya
adalah jenis kitab atl-Athraf. Kitab ini adalah kitab yang merangkum kata
awal suatu hadis yang menunjukkan
kepada sisanaya, dan diiringi dengan penyebutan isnad yang bertujuan untuk
isti’ab atau alasan tertentu.
Model perkembangan
hadis ini memberikan kemudahan bagi pengkaji hadis dalam menentukan ahad,
masyhur, ghorib atau mutawatir-nya.
[1] As-Sunah qablat Tadwin, Muhammad Ajjad
Khatib, hal 60 dan al-Hadis wal Muhaddisun hal 47
[2] Al-Mustadrak karya Imam al-Hakim dan Manhajun Naqdi hal 45
[3] Usdul Ghobah
[4] Beliau menututi 70 ahli Badar
[5] As-Sunah Qablat Tadwin, wau Dr.
Muhamad Ajjad Khatib, Darul Fikr
[6] Al-Hadis wal Muhaddisun Abu Zahwu
317-318
[7] Al-Hadis wal Muhaddisun Abu Zahwu
363-367
[8] At-Taisir fi Mustalahil Hadis,
Mahmud at-Tahhan, al-Haramain
[9] Muqaddimmah Al-Mujtaba, Imam an-Nasai
[10] Al-Hadis wal Muhaddistun Abu Zahwu
[11] Kasyfud Dzunun versi maktabah
syamilah juz 1 hal 160
[12] Lihat di halaman 33
[13] As-Sam’ani
Adabul Imla’ hal 11 versi maktabah syamilah. Dalam kitab Tadribur Rawi-nya
Imam as-Suyuthi dalam bab Alqabul Muhadditsin menampilkan pernyataan bahwa
gelar ilmiyah dalam hadis berbeda sesuai kondisi waktu. Ketentuan yang ada
sebelumnya tidak tentu relevan dipakai pada periode selanjutnya.
Contoh, ahli
hadis yang bisa bergelar al-Hafidh harus sudah pernah menulis 20 ribu
hadis yang diimlakkan oleh guru. Hal ini tidaklah bisa dijadikan patokan untuk
masa setelahnya.
[14] An-Nawawi Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin
Nawawi juz ll hal 42 versi maktabah
syamilah
[15] An-Nawawi Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin
Nawawi juz ll hal 42 versi maktabah
syamilah
[16] Fihrisul faharis wal atsbat wa m’jamul
ma’ajim wal masyikhat wal musalsalat juz l hal 330 versi maktabah syamilah
[17] Mawaridul musnad al-Muhit al-Mu’allal
hal 10 versi maktabah syamilah
[18] Dr. Muhammad al-Khusyu’i (pengajar hadis di
Universitas al-Azhar, Mesir) at-Takhrij wa Dirasatul Asanid hal 6 (dalam
bentuk word)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar