Jumat, 04 Desember 2020

DOA MENGEMBALIKAN BARANG YANG HILANG

 



Ibnu Umar pernah ditanyakan cara mengembalikan barang yang hilang, kemudian beliau menjawab: “Wudhu’lah, kemudian shalat sunnah dua rakaat dan bacalah setelah tahiyat akhir:

اللَّهُمَّ رَادَّ الضَّالَّةِ، هَادِيَ الضَّالَّةِ، تَهْدِي مِنَ الضَّلَالَةِ، رُدَّ عَلَيَّ ضَالَّتِي، بِعِزَّتِكَ وَسُلْطَانِكَ، فَإِنَّهَا مِنْ فَضْلِكَ وَعَطَائِكَ

Allahumma raddadh dhollati, hadiyadh dhollati, tahdi minadh dhalalati, ruddi ‘alayya dhollati, bi ‘izzatika wa sulthanika, fainnaha min fadhlika wa athoika”

Kamis, 03 Desember 2020

Ketika Imam Ibnu Hajar Berbicara Musik

 


Judul: Kaffurra’a’ an muharramatil lahwi wassima’

Penulis: Ibnu Hajar Al-Haitami

Halaman: 128

Penerbit: Maktabah Al-Quran, Kairo

Tahun terbit: 2009



Musik dan nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai alat penghibur oleh hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini. Hampir tidak kita dapati satu ruang pun yang kosong dari musik dan nyanyian, baik di rumah, di kantor, di warung dan lainnya. Bahkan di masjidpun, juga tak luput dari pengaruh musik.

Sebelum menelusuri lebih jauh tenteng musik dan yang berkaitan, ada baiknya jika kita mengetahu devinisinya dulu.

Kata Ghina’ (nyanyian) maknanya meninggikan suara dan berdendang biasanya pakai alunan berupa syair bersajak. Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Nyanyian adalah meninggikan suara dan berdendang, orang arab juga menyebutnya dengan nama An-Nasbu dan Al-Hida”. (Fathul Bari, 2/4)

Sedangkan yang dimaksud alat musik yakni Ma’azif atau Alatul Malahi adalah alat yang melalaikan ia digunakan dengan nyanyian. Berbeda macam-macamnya mengikuti zaman yang digunakan.

Untuk mengetahui bagaimana hukumnya bernyanyi dan bermusik, mari kita simak pemaparan Imam Ibnu Hajar yang sudah menuliskan secara khusus tentang musik dalam karyanya yang berjudul Kaffurra’a’ an muharramatil lahwi wassima’.

Dalam kitab tersebut secara global ada tiga pembahasan pokok, yang pertama adalah hukum menyanyi, melantunkan lagu-lagu dan syair. Kedua hukum memainkan musik. Ketiga hukum melakukan permainan seperti catur dan dadu.

Dalam pembahasan pertama yaitu pembahasan tentang menyanyi, perlu diketahui nyanyian di sini adalah yang dimaksud para ulama terdahulu adalah nyanyian yang tidak diiringi oleh alat musik, hal ini jelas berbeda dengan nyanyian zaman sekarang selalu diiringi dengan alat musik.

Seperti yang diketahui pada asalnya melantunkan syair dan nyanyian adalah mubah, kecuali digunakan dengan alat musik atau ada lirik jorok yang mengandung perkara haram. Ibnu Abdil Barr mengatakan: “Dalam bab ini di antara nyanyian ada yang membolehkan di kalangan para ulama. Terdapat atsar dari ulama salaf yang membolehkannya yaitu yang dinamakan nyanyian rukban, nyanyian nasob dan huda. Nyanyian semacam ini tidak ada perbedaan tentang dibolehkannya di kalangan ulama. Diriwayatkan Ibnu Wahb dari Usamah dan Abdullah ibnai Zaib bin Aslam dari ayahnya Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa Umar bin Khotob berkata, “Nyanyian merupakan bekal pengendara atau bekal orang musafir. Yang kami ketahui tidak ada perbedaan di antara para ulama tentang kebolehannya jika syairnya tidak ada kata kotor. Adapun nyanyian yang dimakruhkan oleh para ulama, adalah nyanyian yang memotong huruf hijaiyah, merusak tatanan syair, menyanyianan untuk mendapatkan permainan dan sesuai lantunan musik dan keluar dari mazhab orang Arab”.

Dalam pembahasan kedua Ibnu Hajar mengupas tentang hukum musik lengkap dengan dalil-dalilnya baik dari al-Quran, Hadis mapun dari perkataan ulama salaf, diantaranya yaitu hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dari jalur Abu Malik, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sungguh akan datang sekelompok dari umatku yang menghalalkan zina, sutera, minuman keras, dan alat musik.”

Namun itu tidak tidaklah mutlak karena dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa nabi memperbolehkan menabuh rebana saat melakukan walimah nikah, jadi alat musik yang diharamkan adalah alat musik yang bisa melalaikan atau alat musik yang dipakai orang fasik seperti gitar, seruling, kecapi dan lainnya, sedangkan yang tidak masuk katagori diatas itu diperbolehkan.

Pembahasan yang ketiga tentang beberapa premainan, seperti dadu, catur dan lainnya. Bila dalam permainan itu tidak ada unsur judi, atau melalaikan kewajiban maka jelas diperbolehkan, begitu juga sebaliknya

Walhasil, ini adalah karya langka Imam Ibnu Hajar layak anda baca karena sangat detail dalam menjelaskan hukum nyanyian, musik, juga permainan. disertai argument yang bisa menambah wawasan anda sehingga anda bisa memaklumi kenapa gitar -misalnya- itu diharamkan.

Selamat membaca

Jumat, 20 November 2020

Menelusuri Asal-Usul Ahlussunnah Wal Jamaah (2- Habis)

 




Pada masa awal-awal Islam istilah Ahussunnah wal jamaah masih tidak dipakai, mereka secara umum disebut dengan sebutan Kaum Muslimin, karena pada saat itu masih belum ada kelompok-kelompok menyimpang, baru ketika terjadi fitnah syahidnya Sayyidina Utsman RA umat mulai terpecah belah menjadi beberapa sekte, saat itulah istilah Ahlussunnah wal jamaah mulai digunakan, seperti yang tulis oleh Imam Muslim dalam Muqaddimah Shahih Muslim menukil dari Imam Ibnu Sirin:

عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، قَالَ لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الإِسْنَادِ، فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ ‏

 “Pertamakali para ulama tidak menyakan prihal isnad, maka saat terjadi fitnah para ulama bertanya: ‘Sebutkan para rawinya? Ketika rawinya adalah kelompok Ahlussunnah maka hadisnya diterima, namun ketika rawinya adalah Ahli Bidah, maka hadisnya tidak diterima” [Muqaddimah Shahih Muslim hadis ke-27]

Puncaknya pada Abad ke-III saat Khalifah Al-Ma’mun berkuasa yang kemudian menjadikan paham Mu’tazilah sebagai Ideologi resmi Negara, para ulama yang tidak sefaham dengan Ideologi Negara akan diintrogasi. Contohnay masalah Keberadaan Al-Quran: apakah Al-Quran itu makhluk apakah tidak? Bila mereka mengatakan bahwa al-Quran adalah kalamullah bukan makhluk, secara otomatis mereka akan dijebloskan penjara dan bila mereka mengatakan al-Quan adalah Makhluk maka mereka akan bebas.

Peristiwa ini oleh sejarawan disebut sebagai Mihnah Khalqil Quran (Inkuisi paham kemakhlukan al-Quran). Golongan yang konsisten mengatakan bahwa al-Quran itu adalah kalamullah yang qadim, bukan makhluk yang hadist oleh para ulama disebut dengan golongan Ahlussunnah wal jamaah karena konsisten dengan ajaran Rasulullah dan para sahabat serta menjaga kebersamaan antar kaum muslimin (tidak menjadi pemberontak sekalipun pemerintahannya bejat).

Selanjutnya kelompok Ahlussunnah wal jamaah menyusun sebuah konsep yang sesuai ajaran Rasulullah dan Salafus Shalih untuk membantah kelompok yang menyimpang, seperti Mu’tazilah -kita tahu kebanyakan pemahamannya memakai metode akal- dan golongan ini dikenal dengan sebutan Asyariayah dan Maturidiyan karena pelopornya adalah Abul Hasan Al-Asyari dan Abu Mansur Al-Matudiri. Maka tidak heran jika pada masa selanjutnya saat disebutkan Ahlussunnah wal Jamaah maka yang dimaksudkan adalah Kelompoknya Imam Abul Hasan Al-Asyari dan Abu Mansur Al-Maturidi.

Ibnu Imron/Dewan Pakar Annajah Center Sidogiri

 

Menulusuri Asal Usul Ahlussunnah Wal Jamaah (Bag -1)



Akhir-akhir ini banyak sekali yang mengklaim dirinya adalah Ahlussunnah wal jamaah, baik personal maupun kelompok dan organisasi, rata-rata mereka yang mengklaim Ahlussunnahjustru tindakannya tidak mencerminkan Ahlussunnah, semisal mengkafirkan sesama muslim, menghalalkan darah kaum muslimin, tidak menghormati Habaib dan lain sebagainya, padahal Ahlussunnah sangat menjunjung tinggi persatuan dan sangat menghormati keturunan nabi apapun latarbelakangnya. Oleh karena itu kita harus tahu devinisi Ahlussunnah Wal Jamaah agar tindakan kita susuai dengan yang yang kita klaim.

Pengertian Ahussunnah wal jamaah

Ahlussunnah wal jamaah berasal dari bahasa arab yang terdiri dari tiga kata: Ahlun, As-Sunnah dan Al-Jamaah. Kata Ahlun mempunyai beberapa makna, diantaranya: 1- Pengikut, contoh Ahlul Madzhab berarti pengikut madzhab; 2- Keluarga, contoh Ahlul Bait berarti keluarga rumah tangga; 3- Penduduk, contoh Ahlu Makkah berarti penduduk Mekkah

Sedangkan, kata As-Sunnah berarti jalan sedangkan dalam istilahnya adalah jalan yang diridhoi yang menjadi telah dilalui oleh Nabi, para shahabat dan para ulama (Risalah Ahussunnah wal Jamaah, hal: 5).

Yang ketiga adalah Al-Jamaah, secara etimologi adalah kumpulan apa saja dan jumlahnya banyak (Lisanul Arab, huruf jim) sedangkan secara terminologinya adalah kebalikan dari kata al-Furqah (terpecah belah) yang berarti golongan yang selalu menjaga kekompakan, kerukunan dan kebersamaan seperti yang dikutip oleh Abdul Qahir Al-Baghdadi dalam karyanya Al-Farqu bainal Firaq halaman 312.

Bisa kita simpulkan dari keterangan diatas bahwa yang dimaksud Ahlussunnah wal jamaah adalah kelompok yang konsisten dalam mengikuti jejak langkah Nabi dan para Shahabat serta selalu menjaga kebersamaan antar kaum muslimin (Bersambung).

 

Ibnu Imron/Dewan Pakar ACS

Kamis, 19 November 2020

Stop membenturkan Da'i yg keras dan Da'i yg lembut




Dai Lembut dan Keras Keduanya sama2 benar. 


Kasar dan Lembut mmg selalu berdampingan.

Jangan kau Cela dan hina salah satunya. 

Dalam hadits riwayat Al-Imam At-Thabrani dijelaskan:

باب فيما ورد من الفضل لأبي بكر وعمر ، وغيرهما من الخلفاء ، وغيرهم .

Bab: Tentang keutamaan Abu Bakar, Umar dan Khalafaur Rasyidin yang lain.

No. 14345 

عن أم سلمة أن النبي - صلى الله عليه وسلم - قال : 

Dari Ummu Salamah Bahwasanya Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda:

" إن في السماء ملكين ، أحدهما يأمر بالشدة ، والآخر يأمر باللين ، وكل مصيب : جبريل وميكائيل ،

 Sesungguhnya di langit terdapat 2 malaikat, salah satunya pemerintah dengan keras dan satunya lagi dengan lemah lembut, keduanya sama2 benar, mereka adalah Jibril dan Mikail Alaihimas Salam.

ونبيان : أحدهما : يأمر بالشدة ، والآخر يأمر باللين ، وكل مصيب " . وذكر إبراهيم ونوحا . 

Ada 2 nabi, yg 1 berdakwah dgn keras dan 1 nya lagi berdakwah dgnmlemah lembut, mereka sama2 benar, mereka itu adalah Nabi Ibrahim dan Nuh Alaihimas Salam. 

ولي صاحبان : أحدهما يأمر بالشدة ، والآخر يأمر باللين ، وكل مصيب " . وذكر أبا بكر وعمر .

Aku mempunyai 2 shabat. Yg 1 berdakwah dgn keras dan satunya lagi dgn lemah lembut, keduanya sama2 benar. Mereka adalah Abu Bakar dan Umar RA.

رواه الطبراني ، ورجاله ثقات

HR. Imam At-Thabrani.

Para Rawinya Tsiqat (semua dipercaya)

Benarkah Habaib Bukan Ahlul Bait?



Ada mas kyai yang menulis artikel berjudul "HABAIB BUKAN AHLU BAIT". Entah apa motif dibuatnya artikel tersebut saya tidak terlalu peduli. Itu urusan antara penulisnya dan Allah sehingga saya tak mau berpraduga. Namun yang jelas, artikel tersebut tampaknya mendapat perhatian lumayan banyak dari netizen. 


Sayangnya tulisan tersebut mengandung beberapa celah yang membuat saya tergelitik untuk memberinya catatan, apalagi beberapa kawan mulai mengetag saya soal itu. Terus terang saya juga khawatir artikel semacam itu lepas dari ranah ilmiahnya kemudian melahirkan dampak wacana yang kurang baik di tangan orang-orang yang tidak terbiasa dengan bahasan ilmiah.


Namun sebelumnya maaf bila tulisan ini tidak memuaskan sebab saya betul-betul sedang tidak mempunai waktu untuk menulis sanggahan serius, bahkan untuk sekedar menulis status pun sebenarnya curi-curi waktu. Jadi saya akan memberikan petunjuk intinya saja soal ini yang saya rasa cukup untuk sekedar menyanggah artikel dimaksud. Silakan bagi siapa pun untuk mengembangkan poin-poin di tulisan ini menjadi artikel yang lebih serius. 


Langsung saja, artikel tersebut mempunyai kelemahan antara lain:


A. Membahas panjang lebar keutamaan Ahlul Bait generasi awal, yakni mereka yang hidup saat Rasulullah masih ada dan secara spesifik hanya membahas keutamaan Siti Fatimah, Sayyidina Ali, Hasan, Husain dan ditambah para Istri Nabi. Soal ini seharusnya cukup dibahas pendek saja sebab tujuan utama yang dibidik adalah soal Habaib yang ada sekarang yang maunya diwacanakan tidak masuk pada kategori Ahlul Bait.  


Dalam poin ini terlihat jelas bahwa argumen penulis tidak fokus pada mahallun niza' (titik tengkar). Harusnya yang dibahas panjang adalah dalil-dalil takhsish (pengkhususan) bahwa keturunan mereka tidak termasuk dalam cakupan istilah Ahlul Bait, bukan malah membahas bahwa mereka yang disebut di atas adalah Ahlul Bait yang dipuji-puji dalam ayat dan hadis. Sayangnya ini tak terjadi sehingga nalar artikel tersebut seperti nalar seseorang yang mau berhujjah bahwa Jokowi sebenarnya bukan Presiden RI tetapi hanya bermodal data bahwa Soekarno dan Soeharto adalah Presiden RI. Jadi sama sekali tidak tepat. 


B. Artikel tersebut hanya berlandaskan pada satu-dua definisi Ahlul Bait, itu pun yang tidak dipilih mayoritas ulama.


Siapa saja yang dimaksud sebagai Ahlul Bait? Para ulama sejak dahulu berbeda pendapat soal ini hingga lahirnya banyak definisi seperti berikut:


1. Ahlul Bait adalah orang-orang yang diharamkan menerima zakat, yakni Bani Hasyim dan Bani Muthallib. Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari empat mazhab. Salah satu landasannya adalah hadis sahih berikut:

اهل بيته من حرم الصدقة بعده

"Ahli Bait Rasulullah adalah orang yang diharamkan menerima sedekah setelah beliau"


Namanya saja pendapat mayoritas, tentu dalilnya bukan itu saja tetapi banyak dalil lainnya.


2. Ahlul Bait adalah para istri Rasulullah. Ini adalah pendapat beberapa ulama seperti Ibnu Abdil Barr, Ibnul Arabi, az-Zamakhsyari dan lainnya. Dasarnya adalah ayat al-Qur'an yang menyebut ahlul bait ke para istri Nabi Muhammad dan Istri Nabi Ibrahim.


3. Ahlul Bait adalah para pengikut Nabi Muhammad seluruhnya hingga kiamat. Barangkali ini pendapat paling mengasyikkan karena kita semua bisa masuk dalam pujian-pujian. Pendapat ini didukung oleh sebagian kecil ulama seperti Imam Nawawi dan Ibnu Qudamah. Dasarnya adalah hadis yang memasukkan sahabat Watsilah sebagai bagian dari Ahlul Bait.


4. Ahlul Bait adalah umat Nabi Muhammad yang bertakwa saja. Ini adalah pengkhususan pendapat sebelumnya. Pendukung definisi ini adalah ar-Raghib dan as-Sakhawi. Inti dasarnya adalah dalil-dalil yang menjelaskan bahwa pujian-pujian umum itu maksudnya hanya pada mereka yang baik dan shalih saja.


5. Ahlul Bait adalah Ahlul Kisa', yakni orang yang pernah diselimuti oleh Nabi dan didoakan khusus sebagai Ahlul Baitnya. Mereka adalah Siti Fatimah, Sayydina Ali, Hasan dan Husain. Ini adalah pendapat sebagian ulama sunni dan pendapat resmi Syi'ah. Dasarnya adalah hadis kisa'.


6. Ahlul Bait adalah Ahlul Kisa' plus para istri Nabi. Ini adalah pendapat banyak ulama yang menggabungkan dalil-dalil pendapat kelima dan kedua di atas. Tampaknya ini yang dipilih oleh penulis artikel tersebut.


Dari berbagai definisi di atas, jelas cakupan Ahlul Bait berbeda-beda, tergantung pada definisi mana yang dipilih. Namun bila kita memilih pendapat mayoritas ulama, maka para Habaib sekarang jelas merupakan Ahlul Bait sebab mereka adalah pihak-pihak yang terlarang menerima zakat. demikian pula dengan para keturunan mereka dari jalur lelaki nanti hingga kiamat.


C. Salah memahami statemen ar-Razi. Karena artikel tersebut juga menukil pernyataan Imam ar-Razi dalam tafsirnya yang seolah hanya mengakui Ahlul Bait terbatas pada keluarga Rasulullah generasi pertama saja bukan keturunannya, maka perlu saya kutipkan nukilan Imam ar-Razi dalam tafsirnya yang mematahkan anggapan tersebut. 


Dalam memaknai kata "al-Kautsar", ar-Razi menulis bahwa salah satu penafsiran tentang makna al-Kautsar adalah keturunan Nabi Muhammad dalam lintasan zaman. Ia menulis:


الْكَوْثَرُ أَوْلَادُهُ قَالُوا: لِأَنَّ هَذِهِ السُّورَةَ إِنَّمَا نَزَلَتْ رَدًّا عَلَى مَنْ عَابَهُ عَلَيْهِ السَّلَامُ بِعَدَمِ الْأَوْلَادِ، فَالْمَعْنَى أَنَّهُ يُعْطِيهِ نَسْلًا يَبْقَوْنَ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، فَانْظُرْ كَمْ قُتِلَ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ، ثُمَّ الْعَالَمُ مُمْتَلِئٌ مِنْهُمْ


"al-Kautsar adalah para keturunan Nabi. Ulama yang berpendapat demikian berkata: Karena surat al-Kautsar ini turun sebagai penolakan pada orang yang mencela Nabi Muhammad alaihissalam bahwa beliau tidak mempunyai keturunan. Maka maknanya adalah Allah memberikannya keturunan yang tetap ada seiring waktu. Maka lihatlah, betapa banyak Ahlul Bait yang dibunuh kemudian dunia penuh dengan kehadiran mereka."


Intinya, nukilan pernyataan ar-Razi yang berkata:


والأولى أن يقال هم أولاده وأزواجه والحسن والحسين منهم وعلي منهم


terjemahnya bukanlah seperti yang penulis artikel tersebut tuliskan, yakni: "yang utama adalah bahwa mereka adalah anak-anak Nabi SAW, isteri-isteri Nabi SAW, Hasan, Husen termasuk dari Ahlul Bait". Dalam terjemah ini terkesan bahwa kata al-Awlad adalah anak-anak langsung saja, padahal yang dimaksud oleh ar-Razi adalah semua keturunannya hingga kiamat. Tentu saja Hasan, Husain dan Ali adalah bagian dari mereka pula. 


Jadi, tidak benar kalau dikesankan bahwa ar-Razi seolah membatasi istilah Ahlul Bait seperti di artikel tersebut. Justru ia mencontohkan para ulama Ahlul Bait seperti al-Baqir, Ja'far as-Shadiq, ar-Ridha, al-Kadhim dan lain-lain yang dalam istilah sekarang adalah para habaib. 


Pembahasan di atas murni tentang cakupan istilah Ahlul Bait saja, bukan tentang pengkhomatan khusus. Adapun soal penghormatan secara khusus, maka layak diberikan pada seluruh keturunan Nabi Muhammad baik dari jalur nasab murni lelaki maupun terputus perempuan. Bagaimana tidak, pada hewan peliharan guru kita pun kita layak memberi perhatian spesial, apalagi pada keturunannya, apalagi pada keturunan Nabi. Soal penghormatan ini kita tak perlu dalil yang bertakik-takik dan yang tumbuh dalam kultur pesantren paham betul apa yang saya tulis ini.


Saya akhiri catatan pendek ini dengan mengutip pernyataan Imam Sya'roni yang saya rasa relevan. Beliau berkata:


ومما من الله تبارك وتعالى به علي محبتي للشرفاء واهل البيت ولو كان من قبل الام فقط، ولو كانوا على غير قدم الاستقامة لأنهم بيقين يحبون الله ورسوله


"Di antara anugrah yang Allah berikan untukku adalah kecintaanku terhapad para syarif/habaib dan ahlil bait, walaupun hanya dari jalur ibu saja, dan walaupun  mereka tidak pada jalan istiqomah sebab mereka secara yakin mencintai Allah dan Rasulnya".


Semoga bermanfaat.


Sumber: KH. Abdul Wahab Ahmad, Jember.

Kamis, 15 Oktober 2020

TINGKATAN FUQAHA: MUJTAHID

 




Mujtahid Mutlak/Mujtahid Mustaqil

           Mujtahid yang mampu mencetuskan suatu hukum melalui sumbernya (al-Quran, hadis, ijmak dan qiyas) secara langsung dengan menggunakan teori ushûl-nya sendiri. Seperti, Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal.

Syarat-Syarat Mujtahid Mutlak

§  Harus mukallaf, beragama Islam, kredibel, kapabel, tidak memiliki catatan hitam yang dapat memvonisnya sebagai orang fasik dan tidak pernah melakukan hal-hal yang dapat mencoreng nama baik.

§  Mampu mengetahui hukum-hukum syari melalui al-Quran, sunah, ijmak dan qiyas.

§  Cakap dalam bidang ulûmul-Qurân, hadis, nasikh mansukh, nahwu (gramatika), lughat (bahasa), tashrîf (morfologi atau cabang linguistik) dan ragam pendapat ulama baik yang mufakat atau yang berbeda pendapat.

Mujtahid Mutlak Muntasib/Mujtahid Mazhab

Mujtahid yang mampu mencetuskan suatu hukum dengan menggunakan metode penggalian hukum para mujtahid mustaqil.

 

Syarat-Syarat Mujtahid Muntasib

§  Tidak ber-taqlîd (mengikuti) pada mujtahid mustaqil baik dalam bermazhab atau dalam menentukan dalil yang dijadikan landasan suatu hukum, karena mujtahid tipe ini memiliki sifat-sifat (ciri khas) mujtahid mustaqil, hanya saja dalam berijtihad masih menggunakan teori istinbâth (penggalian hukum) para mujtahid mustaqil.

Di antara mujtahid muntasib dari mazhab Syafi’i

1.        Ishaq bin Rahawaih (161-238 H)

Bernama lengkap Abu Ya’kub Ishaq bin Ibrahim bin Mukhallad bin Ibrahim bin Mathar al-Hanthali al-Maruazi. Lebih populer dengan sebutan Ibnu Rahawaih. Berasal dari Nisapur (Khurasan) dan tergolong pemuka agama di kota tersebut. Beliau terkenal sebagai pakar fikih dan hadis, selain juga terkenal wara’ dan takwa.

 

2.      Abu Tsaur (...-240 H)

Ibrahim bin Khalid Abu al-Yaman al-Kalbi al-Baghdadi atau yang lebih familiar dengan sebutan Abu Tsaur atau Abu Tsur. Beliau adalah pengikut mazhab Syafi’i yang tersohor. Mengenai hal itu Imam as-Subki dalam Thabâqat-nya memberi komentar tentang tokoh ini: “Beliau adalah Imam yang agung, salah satu ulama madzhab Syafi’i yang berasal dari Baghdad.”

 

Awal mulanya, Abu Tsaur mengikuti mazhab ahlur-ra’yi yang pada saat itu sedang berkembang pesat di Irak, baru setelah kedatangan Imam Syafi’i, beliau memilih untuk pindah mazhab dan kembali menggunakan teori ahlul-hadîs. Hal ini seperti yang ditulis Khatib al-Baghdadi dalam Târikh-nya. Hal serupa juga disampaikan Ibnu Abdil Barr, beliau memiliki nalar yang luar biasa. Selain itu, dalam meriwayatkan suatu hadis sangat dipercaya. Akan tetapi dalam literatur fikih, seringkali ditemukan statemen-statemennya yang dianggap lemah (syâdz). Seringkali Abu Tsaur menyalahi pendapat mayoritas ulama. Kendati demikian, Abu Tsaur tetap diakui sebagai salah satu pakar fikih. Sebagian ulama ada yang menyebutnya mujtahid mustaqil.

 

3.      Al-Marwazi (202-294 H)

Muhammad Nashr al-Marwazi. Lahir di Baghdad, tumbuh besar di Nisapur dan menetap di Samarkand. Khatib al-Baghdadi menyebutnya pakar perbandingan pendapat-pendapat sahabat yang bertentangan. Di antara kelebihannya, sangat piawai dalam menulis. Abu Ishaq as-Syirazi menuturkan,Al-Marwazi sangat cerdas dalam mengkombinasikan fikih dan hadis ketika menulis.”

 

4.      At-Thabari (224-310 H)

Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib at-Thabari. Dari tanah kelahirannya, Thabaristan, ia berkeliling ke pelbagai belahan dunia dalam rangka rihlah ilmiah. Beliau sangat produktif bahkan, sampai ada yang bercerita bahwa dalam sehari beliau mampu menulis sebanyak 40 lembar. Hal itu beliau lakukan selama 40 tahun.

 

5.      Ibnu Huzaimah (223-311 H)

Abu Bakar Muhammad bin Ishaq bin Huzaimah bin al-Mughirah bin Shalih bin Bakr as-Sulami an-Naisaburi. Pernah belajar di Baghdad, Bashrah, Kufah, Syiria, al-Jazirah dan Mesir. As-Subki menyebutkan, “Keutamaannya saya himpun dalam buku yang cukup tebal.” Karya beliau lebih dari 140 kitab, di antaranya Fiqh Hadîts Barîrah.

 

6.      Ibnu al-Mundzir (...-318 H)

Abu Bakar Muhammad bin Ibrahim bin al-Mundzir an-Naisaburi. Imam Mujtahid yang hâfizh dan wara’. Seperti yang disampaikan as-Subki, beliau dan tiga Muhammad yang lain, yakni, al-Maruazi, at-Thabari dan Ibnu Huzaimah sebenarnya sudah dapat dikatakan mujtahid mustaqil. Akan tetapi meski begitu beliau tetap bermazhab Syafi’i. Mereka menggali hukum menggunakan teori usl Imam Syafi’i. Jadi, mereka tetap dikatakan pengikut mazhab Syafi’i. Sekalipun banyak ditemukan pendapat-pendapat mereka yang berseberangan dengan Imam Syafi’i.


Rabu, 14 Oktober 2020

Hukum Menikah Bagi Perempuan


 Hukum Menikah Bagi Perempuan

Bagi Anda Para  Jomblowati, sangat perlu sekali untuk menyiapkan hal-hal yang terkait dengan pernikahan, minimal mengetahui hukum nikah, sebagai pengantar pernikahan...

Syaikh Zakariya al-Anshari mengutip pendapat Ibnu Imad yang menyatakan bahwa dalam konteks pernikahan, perempuan dikelompokkan menjadi beberapa bagian hukum:

  1. Perempuan yang memiliki syahwat untuk menikah, maka baginya dianjurkan untuk menikah.
  2. Perempuan yang khawatir melakukan praktik prostitusi (zina), maka ia wajib menikah.
  3. Perempuan yang ahli ibadah dan tidak memiliki keinginan untuk menikah serta memiliki harta untuk mencukupi kebutuhannya sendiri, maka bagi perempuan tipe ini lebih baik menfokuskan dirinya untuk beribadah daripada menikah.
  4. Perempuan yang tidak memiliki hasrat biologis untuk menikah serta memiliki harta untuk mencukupi kebutuhan dirinya hanya saja ia bukan ahli ibadah, maka bagi perempuan tipe ini yang lebih baik adalah menikah.
  5. Perempuan yang tidak memiliki keinginan menikah namun ia membutuhkan nafkah untuk memenuhi kebutuhan dirinya, maka jalan yang terbaik untuk wanita jenis ini ialah segera menikah.
  6. Perempuan yang alat kelaminnya buntu (insidâdul-farji). Dalam hal ini, wanita tersebut dimakruhkan menikah


Refrensi: Asnâ  al-Mathâlib. Dar al-Kutub al-Ilmiah Beirut-Lebanon. Hal: 264.


Rabu, 07 Oktober 2020

Panah Asmara dari Eropa

 



ADA sebuah kisah, entah ini sejarah atau sekadar alegori. Yang jelas kisah ini mengandung hikmah yang sangat besar. Kira-kira di awal Abad 15 Masehi, Kerajaan Castilla (Spanyol) mengirim mata-mata untuk mengintip kekuatan umat Islam di Andalusia. Ketika sampai di Sungai Tagus, mata-mata itu melihat sekelompok pemuda Muslim yang sedang berlatih memanah, berkuda, dan keterampilan perang lainnya di tepi sungai.

Di tengah latihan itu, dia melihat seorang pemuda yang duduk menyendiri dan menangis tersedu-sedu. Diapun menghampirinya dan bertanya, “Apakah gerangan yang membuat engkau menangis?” Pemuda itu menjawab, “Dari sepuluh anak panah yang aku lepaskan, ada satu yang meleset dari sasaran.”

“Itu sudah sangat hebat. Kenapa engkau masih menangisinya?”

“Dalam latihan, engkau bisa saja bilang itu hebat. Tapi, di saat perang, jika satu anak panah yang aku lepaskan meleset, maka sangat mungkin ada temanku yang akan terbunuh atau aku sendiri yang terbunuh.”

Mata-mata Castilla itu segera pulang untuk melapor. Dia menceritakan kejadian tersebut kepada Raja, lalu dia berkata, “Menurutku, ini bukan saat yang tepat untuk berperang dengan umat Islam. Jika anak remajanya saja sudah seperti itu, maka bagaimana dengan para prajurit mereka!?”

Beberapa puluh tahun kemudian, mata-mata yang dikirim Castilla menemukan kejadian yang hampir sama. Saat lewat di tepi Sungai Tagus dia melihat seorang pemuda duduk di atas batu dan menangis tersedu-sedu. Dia menanyai apa yang membuatnya menangis. Pemuda itu menjawab, “Gadis yang sangat aku cintai telah meninggalkanku. Dia menolak cintaku.”

Mendengar jawaban tersebut, mata-mata Castilla itu bergegas pulang. Dia segera melapor kepada Ratu Castilla (Isabella) dan berkata, “Ini saat yang tepat untuk menyerbu Andalusia!”

Ternyata benar! Ratu Isabella dari Castilla bersama suaminya (Raja Ferdinand dari Aragon) menyerang umat Islam. Mereka berhasil menghabisi seluruh kerajaan Islam yang ada di Andalusia pada akhir Abad 15 Masehi dan mengusir umat Islam dari seluruh daratan Siberia.

Entah kebetulan atau tidak, menurut sebagian versi sejarah, kekalahan kaum Muslimin Andalusia itu terjadi pada tanggal 14 Pebruari 1492 M, yakni tanggal yang dirayakan oleh Eropa (dan oleh anak-anak muda kita) sebagai hari Valentine atau hari asmara.

*****

Kisah Andalusia itu seperti terulang kembali. Saat ini, Eropa dan Barat terus berusaha meruntuhkan dunia Islam dengan gigih, tepatnya pada saat anak-anak muda kita memuja-muja asmara. Ketika para pemuda sudah banyak terbuai asmara, maka hal itu merupakan pertanda kuat bahwa para orangtua sudah banyak melakukan pembiaran. Orangtua sudah tidak melakukan upaya keras dalam membentuk karakter dan jiwa yang kuat dalam diri anak-anak mereka. Saat hal itu terjadi, maka sudah jelas bahwa sebuah bangsa sedang berada dalam kondisi lemah dan lengah.

Oleh karena itu, Barat tidak henti-hentinya menjadikan panah asmara sebagai senjata untuk meruntuhkan militansi dan kekokohan jiwa anak-anak muda kita. Mereka mengekspor budaya pacaran, pergaulan bebas, dan semacamnya melalui berbagai macam media. Ilusi-ilusi keindahan cinta membuat anak-anak muda kita menerima dan mengambil apapun yang bertema cinta. Karena itulah konten, simbol, momen-momen bertema asmara, selalu laku keras di kalangan muda-mudi kita.

Tidak sedikit remaja dan pemuda kita yang kecanduan asmara. Hidup mereka didominasi oleh urusan asmara, seolah-olah tidak ada tema lain dalam hidup ini. Mereka mudah tertawa karena asmara dan mudah menangis juga karena asmara. Asmara menjadi semacam berhala. Dibela hingga mengorbankan segala kehormatan, juga keselamatan.

Lalu, apa yang bisa diharapkan dari generasi muda yang seperti ini!? Bagaimana mungkin mereka memperjuangkan idealisme jika mereka tidak memiliki idealisme!? Bagaimana mungkin mereka memperjuangkan agama jika perhatian mereka terhadap agama sudah tertutup tebal dengan debu-debu asmara!? Oleh karena itu, cukup sulit bagi kita menemukan remaja yang peduli dengan syiar agama yang makin pudar. Cukup sulit bagi kita menemukan remaja yang peduli untuk menghalau arus budaya buruk yang mengerikan. Cukup sulit menemukan pemuda yang berbicara lantang tentang ketidakadilan sosial, kemerosotan moral, dan pikiran-pikiran besar lainnya.

Meskipun sebenarnya Islam menaruh hormat terhadap kosa kata “cinta”, tapi bukan cinta dalam arti “asmara”. Memang tidak ada yang salah dengan asmara senyampang tidak melanggar aturan agama dan nilai-nilai luhur budaya. Akan tetapi, sangat perlu diketahui, bahwa membangun hubungan asmara dengan tanpa melanggar agama merupakan suatu yang sangat sulit terjadi, kecuali jika asmara itu hanya dipendam di dalam hati atau dirajut dengan lawan jenis yang sudah halal baginya. Seandainya pun asmara itu tidak diekspresikan dengan hal-hal yang melanggar ajaran, maka kesibukan pikiran dengan urusan asmara sudah cukup sebagai sisi negatif baginya. Sebab, keterpakuan terhadap asmara berpotensi besar membuat seseorang melalaikan hal-hal penting dalam hidupnya.

Maraknya perayaan Hari Valentine di tengah kita adalah puncak gunung es dari penyakit moral yang melanda anak-anak muda kita. Mereka begitu terbuka menerima perayaan ini, tanpa filter, tanpa reserve, tanpa berpikir apa itu Hari Valentine, bagaimana dan untuk apa? Hubungan asmara seolah-olah menjadi menu wajib di bangku-bangku sekolah dan dalam setiap sudut hubungan sosial para remaja. Padahal, dalam persoalan asmara, kaum lelaki seringkali menjadi lemah dan kaum wanita seringkali menjadi murah.

Kita tahu, banyak orang yang memuji kisah Qais dan Laila, kisah cinta dari klan Bani Amir yang sangat legendaris dalam sejarah dan mendapatkan aspresiasi yang luar biasa di dunia sastra. Tapi, tahukah kita bahwa Bani Amir sendiri justru merasa malu dengan kisah itu!?. Abu al-Farj al-Ashfihani bercerita dalam al-Aghâni, ketika orang-orang Bani Amir ditanya mengenai keberadaan Qais al-Majnun, mereka justru menjawab:

هَيْهَاتَ بَنُوْ عَامِرٍ أَغْلَظُ أَكْبَادًا مِنْ ذَاكَ

 “Tidak mungkin. Orang Bani Amir memiliki hati yang jauh lebih kuat untuk menjadi gila gara-gara asmara.”

Bani Amir menganggap kisah asmara yang mendayu-dayu bukanlah suatu yang indah, melainkan sesuatu yang memalukan. Hal itu yang juga dirasakan oleh marga Bani Umayyah ketika Khalifah Yazid bin Abdil Malik mati mengenaskan karena meratapi kematian kekasihnya, Habbabah. Tidak ada Bani Umayyah yang membanggakan kisah Yazid bin Abdil Malik. Mereka justru menganggap hal itu sebagai aib sejarah. Jatuh cinta memang hal wajar bagi manusia, tapi jika sampai runtuh gara-gara asmara, maka dialah orang yang benar-benar lemah jiwa.

Jadi, fenomena maraknya Hari Valentine bukan sekadar masalah kelatahan budaya belaka, namun jauh lebih rumit dari itu. Hari Valentine merupakan simpul dari keruntuhan nilai-nilai ketimuran, serta puncak dari penyakit mental yang melanda generasi muda kita.

Semua ini tidak lepas dari kesalahan orangtua yang semakin akhir semakin bersikap permisif terhadap anak-anak mereka. Kesalahan berpikir terbesar adalah ketika kita memaklumi penyimpangan anak-anak muda hanya karena mereka masih muda.

Maka, dalam memandang anak-anak muda, sering-seringlah kita mengingat Sayidina Ali yang menjadi pahlawan kemenangan Badar dalam usia 21 tahun. Sayyidah Aisyah yang menjadi sumber utama Hadis dan keilmuan Islam dalam usia 18 tahun. Usamah bin Zaid, panglima yang melumat pasukan Romawi dalam usia 18 tahun.  Imam Syafii yang menjadi mufti dalam usia 15 tahun.  Sultan Muhammad al-Fatih yang meruntuhkan Romawi dalam usia 21 tahun. Dan, Imam as-Suyuthi yang sudah mulai mengarang kitab sejak usia 17 tahun.

Belajar Kehidupan dari Malaikat Izrail

 



Konon, ada seorang raja di datangi oleh malaikat maut. Kemudian terjadi perbincangan antara keduanya. “Siapa kamu?” kata sang raja. Malaikat maut menjawab, “Saya malaikat maut yang datang untuk mencabur nyawamu!Lantaran kaget, sang raja menjawab, “Aku mohon tangguhkan dulu selama tujuh tahun untuk mempersiapkan diriku menjemput kematian.”

Saat itu, Allah I memberi wahyu kepada Malaikat Izrail u agar memberinya kesempatan terakhir. Setelah itu, malaikat maut pergi dari hadapan raja.

Sepeninggal malaikat maut, sang raja memerintahkan prajuritnya untuk membuat benteng yang kokoh dilengkapi tujuh parit di depannya. Selain itu ia memerintah agar dibuatkan beberapa kamar dengan pintu terbuat dari besi dan timah. Di dalam benteng, ia juga membuat istana kokoh dengan penjagaan ekstra ketat di depan pintu untuk berjaga-jaga dari malaikat maut. “Jangan biarkan seorang pun masuk ke sini selamanya!kata raja memperingatkan penjaga pintu.

Selama tujuh tahun, sang raja disibukkan dengan pembuatan benteng dan penjagaan, hingga suatu ketika tibalah masa tujuh tahun itu. Malaikat maut masuk ke dalam benteng kokoh itu dengan mudah dan menemui raja. Dengan penuh heran, sang raja bertanya: “Dari mana kamu datang? Dari mana kamu masuk? Siapa yang memperbolehkan kamu masuk?” “Saya dipersilahkan oleh pemilih rumah,” sambut malaikat maut.

Sang raja memanggil para penjaga pintu. “Kenapa kamu biarkan orang ini masuk?” Mereka menjawab sambil bersumpah tidak melihat seorang pun, dan tak melihat orang lain masuk. Pintu dalam keadaan terkunci dan dijaga.

Malaikat maut memecah keheranan orang-orang dengan berkata, “Pemilik rumah ini tidak butuh pagar pembatas. Dinding pembatas dan jurang tidak bisa mencegah utusan-Nya.”

“Apa maksudmu?”

“Saya akan mencabut nyawamu!

“Apakah harus dengan cara (mendadak) seperti ini?”

Iya.

“Kemana aku akan pergi jika ruhku dicabut?”

“Ke rumah yang telah engkau bangun.”

“Apakah aku telah mempersiapkan rumahku sendiri?”

Iya.”

“Dimana?”

“Di tempat api yang bergolak; yang mengelupaskan kulit kepala; yang memanggil orang-orang pembangkang agama, serta suka menumpuk harta dunia.” (QS al-Ma’ârij [70]: 15-18)

Setelah itu, Malaikat Izrail u mencabut nyawa sang raja dan berlalu.

***

Yang muncul saat kematian dibicarakan biasanya pikiran dan pertanyaan: kapan saya akan mati? Seperti apa keadaan saya setelah mati? Siapkah saya menghadapi kepada-Nya? Pertanyaan seperti itu terus menghantui pikiran, meskipun kita yakin bahwa kematian adalah kepastian yang tidak mungkin dihindari. Kematian tidak memilih usia atau tempat. Jika waktunya sudah tiba, maut pasti menjemput. Inilah pelajaran berharga dalam hidup, agar manusia selalu hati-hati dalam menapaki hidup.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang menyenangkan bagi kita, karena kematian dinilai sebagai hal yang tabu dan menakutkan. Keengganan untuk mati mungkin disebabkan praduga, bahwa kehidupan dunia lebih baik daripada setelah kematian. Atau mungkin karena khawatir meninggalkan keluarga, sehingga takut menghadapi kematian. Atau alasan lain yang kesimpulannya sama: takut mati.

Sebagian orang justru memandang kematian adalah satu-satunya jalan untuk keluar dari kesulitan dunia, sehingga ia memutuskan bunuh diri. Atau memandang kematian sebagai hidup yang sebenarnya, sehingga kematian baginya tidaklah menakutkan. Justru, kedatangan maut kadang di dambakan.

Konon, al-Maghfûrlah KH Hasani Nawawie (Sidogiri) saat bertemu dengan orang yang beliau kenal selalu meminta do'a agar cepat meninggal. Hal itu, karena beliau sudah yakin bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah setelah kematian, bukan kehidupan dunia fana ini.

Adapun perasaan takut hanyalah pengaruh kekhawatiran yang memang bagian dari permainan dunia; khawatir kehilangan anak, istri, suami dan semua orang yang dicintai. Padahal semua itu pasti akan ditinggalkan. Meski demikian, bukan berarti kematian adalah segala-galanya. Justru ketika kematian dilakukan dengan cara yang tidak wajar, semisal bunuh diri, maka akan memperkeruh masalah.

Meskipun secara umum menakutkan, namun pada sisi lain kematian justru membawa inspirasi positif agar selalu waspada terhadap nasib buruk setelah kematian, disamping juga terdapat kehidupan indah yang telah dijanjikan Allah I bagi mereka yang beruntung.

Setelah kematian, pengadilan Allah I menunggu; ialah saat seorang hamba harus mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Dengan demikian, hamba selalu dituntut untuk berbuat baik dan menjahui segala tindakan negatif yang menjurus pada kesengsaraan setelah kematian.

Dalam situasi lain, kematian memiliki peranan penting dalam memantapkan percaya diri. Tidak heran jika kemudian setiap agama menjadikan kematian sebagai teguran atau peringatan kepada mereka yang lalai akan aturan Allah I. Dalam agama Islam, dianjurkan untuk memperbanyak ingat mati, karena dengan mengingatnya kita akan lebih waspada menjalani hidup di dunia.

Dalam beberapa kesempatan, Rasulullah r terus mewanti-wanti agar senantiasa belajar pada peristiwa kematian. Dalam sebuah hadis digambarkan, bahwa orang yang cerdas ialah mereka yang bisa menundukkan nafsu dan mempersiapkan bekal kematian dengan baik. Bahkan untuk mengasah ketajaman spiritualitasnya, Khalifah Umar bin Khaththab t menuliskan kalimat pendek di cincinnya: Cukuplah kematian yang menjadi petunjukmu wahai Umar!”

Bagaimana pun, kematian bukanlah akhir dari segalanya. Kematian hanyalah transmisi dari kehidupan panjang menuju kehidupan lain yang jauh lebih panjang. Setelah kematian akan terkuak misteri siapa jati diri kita sebenarnya. Apa yang kita sebut “diri”, ternyata bukan jasad yang telah mati. Saat itulah, kita menyadari sesuatu yang sama sekali tak pernah terpikirkan semasa hidup di dunia. Wallâhu A’lam.

Kekaguman Gus Baha' Pada Abuya Sayyid Muhammad

Gus Baha ngaji Kitab Syariatullah Alkholidah karya Sayyid Muhammad bin Alawy Al Maliki.  1. Gus Baha mengakui Kitab karya Sayyid Muhammad Al...