Judul:
Kaffurra’a’ an muharramatil lahwi wassima’
Penulis:
Ibnu Hajar Al-Haitami
Halaman:
128
Penerbit:
Maktabah Al-Quran, Kairo
Tahun
terbit: 2009
Musik dan
nyanyian, merupakan suatu media yang dijadikan sebagai alat penghibur oleh
hampir setiap kalangan di zaman kita sekarang ini. Hampir tidak kita dapati
satu ruang pun yang kosong dari musik dan nyanyian, baik di rumah, di kantor,
di warung dan lainnya. Bahkan di masjidpun, juga tak luput dari pengaruh musik.
Sebelum
menelusuri lebih jauh tenteng musik dan yang berkaitan, ada baiknya jika kita
mengetahu devinisinya dulu.
Kata Ghina’
(nyanyian) maknanya meninggikan suara dan berdendang biasanya pakai alunan
berupa syair bersajak. Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata: “Nyanyian adalah
meninggikan suara dan berdendang, orang arab juga menyebutnya dengan nama
An-Nasbu dan Al-Hida”. (Fathul Bari, 2/4)
Sedangkan yang
dimaksud alat musik yakni Ma’azif atau Alatul Malahi adalah alat yang
melalaikan ia digunakan dengan nyanyian. Berbeda macam-macamnya mengikuti zaman
yang digunakan.
Untuk mengetahui
bagaimana hukumnya bernyanyi dan bermusik, mari kita simak pemaparan Imam Ibnu
Hajar yang sudah menuliskan secara khusus tentang musik dalam karyanya yang berjudul
Kaffurra’a’ an muharramatil lahwi wassima’.
Dalam kitab
tersebut secara global ada tiga pembahasan pokok, yang pertama adalah hukum menyanyi,
melantunkan lagu-lagu dan syair. Kedua hukum memainkan musik. Ketiga hukum
melakukan permainan seperti catur dan dadu.
Dalam pembahasan
pertama yaitu pembahasan tentang menyanyi, perlu diketahui nyanyian di sini adalah
yang dimaksud para ulama terdahulu adalah nyanyian yang tidak diiringi oleh
alat musik, hal ini jelas berbeda dengan nyanyian zaman sekarang selalu
diiringi dengan alat musik.
Seperti yang
diketahui pada asalnya melantunkan syair dan nyanyian adalah mubah, kecuali
digunakan dengan alat musik atau ada lirik jorok yang mengandung perkara haram.
Ibnu Abdil Barr mengatakan: “Dalam bab ini di antara nyanyian ada yang
membolehkan di kalangan para ulama. Terdapat atsar dari ulama salaf yang
membolehkannya yaitu yang dinamakan nyanyian rukban, nyanyian nasob dan huda.
Nyanyian semacam ini tidak ada perbedaan tentang dibolehkannya di kalangan
ulama. Diriwayatkan Ibnu Wahb dari Usamah dan Abdullah ibnai Zaib bin Aslam
dari ayahnya Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa Umar bin Khotob berkata, “Nyanyian
merupakan bekal pengendara atau bekal orang musafir. Yang kami ketahui tidak
ada perbedaan di antara para ulama tentang kebolehannya jika syairnya tidak ada
kata kotor. Adapun nyanyian yang dimakruhkan oleh para ulama, adalah nyanyian
yang memotong huruf hijaiyah, merusak tatanan syair, menyanyianan untuk
mendapatkan permainan dan sesuai lantunan musik dan keluar dari mazhab orang Arab”.
Dalam pembahasan kedua Ibnu Hajar mengupas
tentang hukum musik lengkap dengan dalil-dalilnya baik dari al-Quran, Hadis
mapun dari perkataan ulama salaf, diantaranya yaitu hadis yang diriwayatkan
Imam Bukhari dari jalur Abu Malik, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda:
“Sungguh akan datang sekelompok dari umatku yang menghalalkan zina, sutera,
minuman keras, dan alat musik.”
Namun itu tidak
tidaklah mutlak karena dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwa nabi
memperbolehkan menabuh rebana saat melakukan walimah nikah, jadi alat musik
yang diharamkan adalah alat musik yang bisa melalaikan atau alat musik yang
dipakai orang fasik seperti gitar, seruling, kecapi dan lainnya, sedangkan yang
tidak masuk katagori diatas itu diperbolehkan.
Pembahasan yang
ketiga tentang beberapa premainan, seperti dadu, catur dan lainnya. Bila dalam
permainan itu tidak ada unsur judi, atau melalaikan kewajiban maka jelas
diperbolehkan, begitu juga sebaliknya
Walhasil, ini adalah karya langka Imam Ibnu
Hajar layak anda baca karena sangat detail dalam menjelaskan hukum nyanyian,
musik, juga permainan. disertai argument yang bisa menambah wawasan anda sehingga
anda bisa memaklumi kenapa gitar -misalnya- itu diharamkan.
Selamat membaca
Tidak ada komentar:
Posting Komentar