Minggu, 16 April 2023

Sejarah Perkembangan Ilmu Hadis (1)

 



Abad Pertama

Sahabat tidak selalu menghadiri majlis Nabi, hal ini berakibat perbedaan dalam cara menerima hadis dari Nabi. Setidaknya ada tiga cara: pertama musyafahah, yaitu dengan berhadapan langsung dengan Nabi. Kedua dengan mendengar dari sahabat lain yang mendengar dari Nabi. Dan yang ketiga dengan melihat pekerjaan Nabi atau ketetapan beliau.

Sahabat, mayoritas memang menghafalkan hadis yang diterima dari Nabi. Namun tidak semuanya melalui jalan ini. Di samping menghafal ada sebagian sahabat yang juga menulis hadis yang dihafalnya, sehingga terbukukan. Ditemukan bahwa penulisan hadis sudah dimulai pada saat Nabi masih hidup. Hanya corak penulisan hadis itu tidak sama dengan al-Quran. Artinya buku-buku itu tidak dijadikan sebagai referensi sebagaimana al-Quran, akan tetapi hanya sebagai file pribadi yang dikonsumsi sendiri. Ini adalah periode pertama penulisan hadis. Pada periode ini banyak kitab-kitab hadis yang terbukukan. Ditemukan hampir semua Sahabat mempunyai naskah hadis dalam kasus-kasus tertentu. Yang paling terkenal di antara naskah-naskah itu adalah Sahifah Abdullah bin Amr bin al-Ash yang disebut dengan as-Shadiqah, kitab ini kemudian berpindah tangan kepada cucunya, Amr bin Syuaib, Sahifah Ali bin Abi Thalib. Sahifah ini memuat ukuran-ukuran diyât dan hukum mengenai melepas tawanan dan Sahifah Saad bin Ubadah. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Putra Saad, dia berkata

“Kami temukan dalam kitab Saad bahwa Nabi membuat ketetapan hukum dengan sumpah dan saksi.

Pada awal-awal abad pertama Khulafaur Rasyidun dan Sahabat yang lain memperhatikan hadis dan menghafalnya dan mayoritas dari mereka memilih tidak meriwayatkan hadis. Hal itu mereka lakukan karena beberapa motif: hawatir hadis didistorsi oleh orang munafik, kemungkinan terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh muktsirin (orang yang banyak meriwayatkan hadis). Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khatab, Amirul Mukminin Sahabat dituntut untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Hal itu dilakukan karena beberapa pertimbangan. Di antaranya adalah agar hadis tidak disalah-gunakan oleh orang munafik dan agar al-Quran tidak ditinggalkan. Secara tegas Khalifah Umar memerintahkan semua sahabat untuk meminimalisir riwayah (iqlalur riwayah). Bahkan sahabat Abu Hurairah berhenti sementara meriwayatkan hadis pada masa Khalifah Umar.

Di antara sahabat yang memilih iqlalur riwayah adalah Sahabat Abu Bakar. Abu Bakar termasuk sahabat yang banyak mendengar hadis dari Nabi, namun beliau memilih iqlal, Sahabat Abu Ubaidah, Abbas bin Abdul Muthalib, Said bin Zaid, sampai dinyatakan bahwa hanya dua atau tiga hadis yang diriwayatkan dari beliau, Ubai bin Imarah, beliau hanya meriwayatkan hadis tentang mengusap muzah, Abdullah bin Zubair, beliau pernah ditanya tentang sikapnya yang memilih iqlal, Beliau menjawab “bukan Saya berbeda tapi Saya mendengar Rasulullah bersabda 

من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار

Masih banyak para Sahabat yang memilih iqlal. Kalau kita cermati sikap Sahabat di atas adalah bentuk kehati-hatian yang lebih dari mereka dalam urusan hadis.

Sedangkan sahabat yang banyak meriwayatkan hadis (al-Mukstirun) sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Katsir adalah: Abu Hurairah dengan 5364 hadis, Ibnu Umar dengan 2630 hadis, Anas dengan 2286 hadis, Aisyah dengan 2210 hadis, Ibnu Abas dengan 1660, Jabir dengan 1540 dan Abu Said al-Khudri dengan 1170 hadis.

Pada pertengahan dasawarsa ke delapan abad pertama dimulai kodifikasi hadis secara resmi. Hal ini atas perintah khalifah Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam yang meminta seseorang yang bernama Katsir bin Murah al-Hadrami untuk menulis hadis-hadis yang didengarnya lalu dikirimkannya kepada Khalifah kecuali hadis riwayat Sahabat Abu Hurairah. Sebab hadis riwiyat Abu Hurairah sudah dimilikinya. Setelah disepakati, kemudian hadis yang ditulis oleh Katsir bin Murah dikumpulkan dengan hadis riwiyat Abu Hurairah yang ada milikinya.

Abad Kedua

Memasuki abad kedua pada saat ulumul Quran menyebar, semakin banyak penghafal al-Quran dan pembacanya, dan aman dari keserupaan dengan al-Quran maka dimulailah kodifikasi umum; dijadikan rujukan. Komudifikasi ini atas seruan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 102) beliau meneruskan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Ini adalah periode kedua penulisan hadis.

Pada abad ini sebenarnya sudah mulai bagus geliat penulisan hadis dan ilmu-ilmu yang lain. Hal itu dimulai dengan munculnya kitab al-Muwattha’ karya monumental Imam Malik bin Anas. Perbedaan corak kodifikasi abad ini dengan abad-abad sebelumnya terletak pada konsep penulisan. Imam Malik melakukan penulisan dengan sangat sistematis. Penyusunannya dirangkai berdasarkan bab dalam kitab-kitab fikih. Hanya kitab ini tidak hanya merangkum hadis, atsar dan fatwa sahabat juga dicantumkan oleh Malik dalam kitabnya ini.

Kemudian, pada abad ini juga tampak sekali peran pemerintah Abbasiyah dalam pergerakan aktivitas kodifikasi. Dalam banyak referensi disebutkan, bahwa khalifah Abu Jakfar atau al-mansur lah yang menunjukkan Imam Malik kepada metode penulisan yang sistematis. Dia juga yang menyarankan Imam Malik untuk mempromosikan kitab al-Muwatthaknya kepada masyarakat. Sehinnga tidak heran kalau kitabnya yang satu ini telah tersebar dan terkenal pada saat Malik masih hidup. (Bersambung)

*) Disarikan dari Buku Pengantar Ilmu Hadist, Sidogiri Penerbit



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adab-adab berdoa

Adab-adab berdoa  Doa berarti memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala terhadap sesuatu yang bersifat baik. Seperti berdoa m...