Sabtu, 08 Februari 2025

AIR KURANG DARI DUA QULLAH

AIR KURANG DARI DUA QULLAH

Air yang kurang dari dua qullah menjadi masalah bagi banyak santri, ketika air dikamar mandi atau WC sedang sedikit, sebagian santri asal-asalan masalah najis, santri yang paham bab air dan najis banyak yang dilema bahkan tidak sedikit santri yang menjadi was-was. 

Hal ini memang sudah problem sejak dulu sebagaimana disebutkan juga oleh Imam Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin.

وكنت أود أن يكون مذهبه كمذهب مالك رضي الله عنه في أن الماء وإن قل لا ينجس إلا بالتغير إذ الحاجة ماسة إليه ومثار الوسواس اشترط القلتين ولأجله شق على الناس ذلك وهو لعمري سبب المشقة ويعرفه من يجربه ويتأمله

"Aku ingin madzhabnya (Imam Syafi'i) seperti madzhabnya Imam Malik (gurunya) yang menyatakan bahwa air walaupun sedikit tidak bisa najis (ketika terkena najis) kecuali sebab adanya perubahan. Karena hukum seperti ini sangat dibutuhkan, dan persyaratan harus dua qullah (supaya air tidak najis) ini menjadi penyebab was-was, karenanya menyulitkan banyak orang. Dan sungguh demi umurku, itu menjadi sebab kesulitan. Orang yang meneliti dan merenungkannya pasti paham.”

Dalam madzhab Syafi'i sendiri ada standarisasi ukuran 2 qullah supaya air tidak mutanajis sebab terkena najis asalkan tidak berubah. Akan tetapi karena standar ini, banyak orang yang terlalu waro', terlalu hati-hati, menjadi was-was. 

Apakah standarisasi ini salah? Jelas tidak. Ulama' menyatakan demikian meruju’ pada dalil. Tapi, seperti lumrahnya dalam fikih, hampir pasti ada perbedaan pendapat, karena dalil yang digunakan memang ihtimal (mempunyai kemungkinan) pemahaman lain. 

Jalan keluar masalah ini bisa mengikuti pendapat yang dikutip oleh Syekh Zainuddin Al-Malibari dalam Fathul Mu'in: 

واختار كثيرون من أئمتنا مذهب مالك: أن الماء لا ينجس مطلقا إلا بالتغير

“Banyak Imam dari Ulama madzhab kita (madzhab Syafi'i ) yang memilih pendapatnya Imam Malik, yaitu air tidak bisa menjadi najis secara mutlak kecuali dengan adanya perubahan.”

Jadi walaupun air itu sedikit, misal satu gelas, terkena najis, asalkan tidak berubah, maka masih suci mensucikan.

Pendapat ini juga diungkapkan oleh guru beliau, Imam Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfahnya, beliau memandang pendapat ini sebagai sarana untuk memudahkan manusia.

وَاخْتَارَ كَثِيرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا مَذْهَبَ مَالِكٍ أَنَّ الْمَاءَ لَا يُنَجَّسُ مُطْلَقًا إلَّا بِالتَّغَيُّرِ وَكَأَنَّهُمْ نَظَرُوا لِلتَّسْهِيلِ عَلَى النَّاسِ

MUSTA'MAL

Saya perhatikan tidak sedikit juga santri yang was-was dengan air musta'mal. Ketika air sedang sedikit, sebagian santri was-was mau wudhu dengan air itu, takutnya musta'mal dan tidak sah untuk berwudhu. Sebagian lagi asal-asalan wudhu dan air basuhannya kembali ke bak mandi tanpa peduli perasaan temannya. Bahkan ada yang sangat menghindari air basuhan mukanya jatuh ke telapak tangan, khawatir air di telapak tangan yang mau dibasuhkan menjadi musta'mal. Sehingga membasuh wudhu sampai berkali-kali ga selesai. Bahkan ada yang sampai memasukkan kepalanya ke bak mandi. Semua ini tidak perlu dilakukan.

Solusinya bisa ikut salah satu pendapat ini: 

1- Pendapat Ashabus-Syafi'i seperti tercantum dalam Syarh Kabir Imam Rofi'i yang menyatakan air musta'mal yang jatuh ke bak mandi tidak bisa memusta'malkan air di bak mandi tersebut kecuali air musta'mal itu lebih banyak atau sama dari air yang di bak mandi. Begitu juga praktek pada telapak tangan. 

Jadi misal air dibak mandi ada satu ember, sedangkan air musta'mal yang jatuh kedalamnya hanya satu gayung, maka air dibak mandi masih suci mensucikan. Sama juga di telapak tangan, tentunya air yang menetes kesitu, lebih sedikit daripada air di telapak tangan.

Imam Rofi'i menjelaskan: 

إذا اختلط بالماء مائع يوافق الماء في الصفات كماء ورد منقطع الرائحة وماء الشجر والماء المستعمل ففيه وجهان:
أحدهما: أنه إن كان الخليط أقل من الماء فهو طهور وإن كان أكثر أو مثله فلا؛ لأنه تعذر اعتبار الأوصاف فيعدل إلى اعتبار الأجزاء ويجعل الحكم للغالب فإذا استويا أخذنا بالاحتياط

“Ketika air mutlak bercampur dengan cairan yang sama sifatnya dengan air, seperti air mawar yang hilang baunya, air dari pohon, atau air musta'mal, maka ada dua wajh : 

Pertama : jika air (misal air musta'mal) yang bercampur dengan air mutlak itu lebih sedikit maka air mutlak itu masih tetap suci mensucikan, jika air itu lebih banyak atau sama, maka tidak mensucikan.”

2- Pendapat air musta'mal hukumnya suci mensucikan yang dipilih oleh Ibnul Mundzir Asy-Syafi’i, pendapat ini di riwayatkan dari Imam Ali, Abdullah bin Umar, dll.

وَأَمَّا الْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ وَهِيَ كَوْنُهُ لَيْسَ بِمُطَهِّرٍ فَقَالَ بِهِ أَيْضًا أَبُو حَنِيفَةَ وَأَحْمَدُ وَهُوَ رِوَايَةٌ عَنْ مَالِكٍ وَلَمْ يَذْكُرْ ابْنُ الْمُنْذِرِ عَنْهُ غَيْرَهَا وَذَهَبَ طَوَائِفُ إلَى أَنَّهُ مُطَهِّرٌ وَهُوَ قَوْلُ الزُّهْرِيِّ وَمَالِكٍ وَالْأَوْزَاعِيِّ فِي أَشْهَرِ الرِّوَايَتَيْنِ عَنْهُمَا وَأَبِي ثَوْرٍ وَدَاوُد قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَرُوِيَ عَنْ عَلِيٍّ وَابْنِ عُمَرَ وَأَبِي أُمَامَةَ وَعَطَاءٍ وَالْحَسَنِ وَمَكْحُولٍ وَالنَّخَعِيِّ أَنَّهُمْ قَالُوا فِيمَنْ نَسِيَ مَسْحَ رَأْسِهِ فَوَجَدَ فِي لِحْيَتِهِ بَلَلًا يَكْفِيهِ مَسْحُهُ بِذَلِكَ الْبَلَلِ: قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ وَهَذَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُمْ يَرَوْنَ الْمُسْتَعْمَلَ مُطَهِّرًا، قَالَ: وَبِهِ أَقُولُ.

“Adapun masalah kedua yakni air musta'mal tidak suci mensucikan. Pendapat Imam Syafi'i ini didukung juga oleh pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, dan sebuah riwayat dari Imam Malik. Ibnul Mundzir tidak menyebutkan yang lainnya. 

Sedangkan sekelompok ulama berpendapat bahwa air musta'mal hukumnya suci mensucikan, ini adalah pendapat Imam Zuhri, Imam Malik, dan Imam Auza’i disalah satu dari dua riwayat masyhur keduanya. Kemudian ada Imam Abu Tsaur dan Imam Daud. Ibnul Mundzir berkata, pendapat ini diriwayatkan dari Sayyidina Ali, Ibnu Umar, Abu Umamah, Atho’, Hasan, Mak-khul dan Imam Nakho’i. Mereka berkata pada masalah orang yang lupa mengusap kepalanya kemudian menemukan ada basah-basahdi jenggotnya maka cukup mengusapkan basah-basah itu ke kepala. 

Ibnul Mundzir berkata : ini menunjukkan bahwa mereka menilai air musta'mal hukumnya suci mensucikan. Dan beliau berkata : dengan ini juga aku berpendapat.”

Jadi ketika mengikuti pendapat ini, tidak ada hukum air musta'mal sama sekali. Misal air habis digunakan wudhu, diwadahi lagi, kemudian digunakan wudhu lagi, maka tetap boleh dan sah. 

Santri-santri awal belajar Safinatun Naja, Sullam Taufiq atau Fathul Qarib yang disuguhkan dengan satu pendapat dan cenderung ketat mungkin sebagian merasa fikih terlalu berat, sedikit-sedikit najis, sedikit-sedikit musta'mal, sangat menghindari najis dan bahkan mungkin merasa selalu terkena najis. Kalian yang saat ini merasakannya, saya juga pernah merasakan. Saran saya, jangan berhenti sebatas Fathul Qarib, pelajari Fathul Mu'in, Fathul Wahhab, Minhaj, Hasyiyatan, sampai ke kitab-kitab babon seperti Majmu' Imam Nawawi dan lainnya. Nanti kalian akan tau sendiri bahwa fikih itu sangat luwes, dan akan punya mindset bahwa bukannya “fikih adalah problem”, tapi “fikih adalah jalan keluar dari berbagai problem.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tips berpuasa bagi yang berfisik lemah

● *Saat sahur* usahakan untuk membatasi asupan teh dan kopi. Pasalnya, dua asupan tsb membuat metabolisme berjalan cepat. Sehing...