Kamis, 11 Februari 2021

Kisah Israiliyah: Antara pro dan kontra

 

Kisah Penyembah Lembu

Al-Quran sebagai manuskrip langit yang diturunkan kepada manusia, memuat secara lengkap rambu-rambu kehidupan guna memperbaiki peradaban manusia. Namun, sifat prevalent yang dimilikinya meniscayakan adanya sebuah penafsiran sehingga dinamisme al-Quran tatap terlihat.

Di masa rasul, penafsiran atau menafsiri ayat-ayat suci bukanlah hal sulit, karena Sahabat dengan mudah menanyakan maksud sebuah ayat pada Nabi Muhammad saw. berulah setelah Rasulallah wafat para sahabat tidak bisa lagi menemukan sosok yang bisa dirujuk terkait suatu ayat yang ingin mereka pahami.

di lain sisi umat Islam yang terus bertambah tak jarang menarik minat orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk masuk dan memeluk Agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Akhbar, dan Wahhab bin Munabbih. Bahkan lebih dari itu, pengatahuan dan kisah-kisah israiliyât[1]  yang mereka dapat saat sebelum memluk Islam juga dibawa dan mewarnai keilmuan islam di kala itu, dan bahkan menjadi rujukan para sahabat, terlebih terkait kisah-kisah umat manusia terdahulu. Di antara mereka yang tercatat sejarah merujuk pada israiliyât adalah Abu Hurairah dan Abdullâh bin Abbâs dan Abû Hurairah[2]

Seiring berjalannya waktu perilaku demikian terserap ke dalam ranah tafsir, yang kemudian menimbulkan masalah baru dalam metode penafsiran. Ulamapun berbeda pendapat, salah seorang ulama besar yang sangat ketat berbicara kisah israiliyât—terlebih sebagai piranti memahami ayat—adalah Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi.

Dalam konten ini ad-Dzahabi memilah sikapnya. Semisal dari sisi periwayatan israiliyât beliau menerima—dengan filterasi tentunya. Demikian dapat dilihat dalam pernyataan beliau berkut:

“kisah israiliyât yang senada dengan syariat saya percaya dan legal meriwayatkannya; yang bertentangan dengan dengan syariat saya ingkari dan haram meriwayatkannya kecuali disertai penjelasan status batil. Sedang kisah yang berstatus dead lock (tidak diketahui kebenaran dan kebatilannya) saya tidak mengingkari dan membenarkan, namun boleh meriwayatkannya.”[3]

Namun, dari segi israiliyât sebagai piranti memahami tafsir, beliau berbeda dan cenderung musyaddid—sekalipun  dari segi penerimaan riwayat beliau lebih welcome.  Sikap tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut:

“Wajib bagi seorang mufassir mempertimbangkan kaidah adh-dharurah tuqdaru biqadrihâ (konsumsi sebab darurat harus disesuaikan dengan kebutuhan)  sehingga para mufassir sedikitpun tidak boleh menyebutkan kisah israiliyât kecuali kadar yang cukup untuk menjelaskan keumuman al quran.”[4]

Jelas, dari pernyata’an tersebut, dalam diskursus tafsir Dr. Muhammad ad-Zahabi untuk israiliyât –sekaipun yang berstatus shahîh dan boleh meriwayatkannya[5]—masih  memberi kriteria khusus yang tidak beliau ungkanpkan dalam filterasi periwayatan israiliyât. Bahkan dalam kesempatan lain beliau mengungkapkan “seyogyanya para mufassir secara total menghindari israiliyât  dan tidak bertendensi kepada hal-hal yang dapat memalingkan dari al-Quran”

Melihat sikap beliau tentu kita akan ditabrakkan dengan mayoritas mufassir salaf yang cenderung welcome israiliyât  bahkan sekalipun sebagai piranti memahami ayat-ayat suci. Kecenderungan tersebut  dapat kita lihat dari intensitas israiliyât dalam kutubut-tafsîr. Semisal tafsir ja miul bayan fi tafsiril-quran karya Muhammad bin jarir ath-thabari,  al kasyfu wal bayan fi tafsiril-quran karya ats-tsa’labi, lubabut-ta’wil fi ma’anil-quran karya al-khozin dan tafsir quranil-addzim karya ibnu katsir .

Perbedaan kecenderungan semacam ini merupakan hal lumrah, hanya saja perlsu sikap bijak dan proporsional untuk menyikapi. Keriteria lebih ketat yang ditetapkan adz-Dzahabi sama sekali tidak mempengaruhi kredibelitas dan kapabelitas mufassir salaf. Demikian karena mufassir salaf lebih menitik beratkan pada fiterasi periwayatan kisah israiliyât, tanpa meninjau apakah dijadikan alat memahami tafsir atau tidak?  Mereka berpijakan pada keumuman sebuah hadis

بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فلييتبوأ مقعده من النار

“Sampaikanlah dari ku sekalipun satu ayat, dan berceritalah dari bani israil (yang demikian) tidak ada doasa. Barang siapa yang berbohong atas (nama) ku sengaja maka siapkanlah tempatduduknya dari neraka (HR. Ibnu Hibbân)”

Hadis ini pulalah yang kemudian mendorong beberapa Sahabat seperti Abû Hurairah dan Abdullâh bin Amr menerima riwayat dari Bani Isra’il. Sikap sahabat ini kemudian dilihat oleh ulama salaf  sebagai tindakan Istisyhâd  bukan I’tiqad, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Imam Ibnu Taimiyah dalam  muqaddimah kitab beliau; Ushulut-Tafsir hlm. 26-28 dan diikuti oleh muridnya al-Imam Ibnu Katsir

Hal ini sama dengan al-Muhaqqiq[6] kitab Maalimut-Tanzîl karya al-Baghawi  ketika menyikapi israiliyât yang terdapat dalam tafsir beliau.  Disebut dalam pendahuluan tafsir  tersebut:

“Al-haq al-Bagâawi adalah seorang pakar hadits dan riwayat, beliau tidak menjadikan kisah israiliyât yang  kutib dari al-Kalabi sebagai tendensi pokok, hanya saja terkadang beliau mengutip karena hanya  ingin memberi tahu kepada pembaca hal terkait dengan pemahaman ayat  (ma qila fi fahmil-ayat) [7]

Dari apa yang telah dipaparkan, penulis bukan berarti tidak setuju dengan sikap ketat adz-Dzahabi atau bahkan mengkultus mufassir-mufassir salaf. Hanya saja perbedaan ini perlu disikapi secara matang. Tidak terjebak dengan satu cara pandang sehingga acuh dan istihza’ dengan tafsir –tafsir salaf yang tentu saja lahir dari tangan-tangan pakar.

Namun demikian, tentu untuk beberapa israiliyât yang sudah disepakati oleh para ulama kebatilannya baik  ditilik dari segi sanad atau matan yang bertentangan dengan ushulisy-syarî’ah tentu tidak boleh untuk diriwayatkan keculai disertai penjelasan atas kebatilannya.

Abdul Hamid


[1] Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi. at-Tafsir wal-Mufassirun. Juz. IV. Hlm. 16-19. Makatabah Syameela

[2] Dr. Muhammad Husain ad-Dzahabi. al-Israiliyat fi-Tafsir wal-Hadis. Hlm. 87-60. Makatabah Wahbah

[3] Dr. Muhammad Husain ad-Dzahabi. al-Israiliyat fi-Tafsir wal-Hadis. Hlm. 52. Makatabah Wahbah

[4] Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi. at-Tafsir wal-Mufassirun. Juz. IV. Hlm. 15. Makatabah Syameela

[5] Sedangkan untuk israiliyât yang berstatus dead lock beliau sama sekali menolak untuk dijadikan alat memahami tafsir, beliau beralasan untuk menjaga al-quran dari pambahsan tak berguna (lagwul-hadis) Dr. Muhammad Husain ad-Dzahabi. al-Israiliyat fi-Tafsir wal-Hadis. Hlm. 167. Makatabatu-Wahbah

 

[6] Syeikh Muhammad Abdullah, Syeikh Utsman Jumah dan Syeih Sulaiman Muslim Ketiganya Muhaqqiq kitab Tafsir Maalimut-tanzil karya al-Baghawi

[7] Abu Muhammad Husain bin Masud al-baghawi. Maalimut-tanzil. Juz. I. hlm. XI. Darut-Thayyibah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Adab-adab berdoa

Adab-adab berdoa  Doa berarti memohon kepada Allah subhanahu wa ta'ala terhadap sesuatu yang bersifat baik. Seperti berdoa m...