Al-Quran sebagai manuskrip langit yang
diturunkan kepada manusia, memuat secara lengkap rambu-rambu kehidupan guna
memperbaiki peradaban manusia. Namun, sifat prevalent yang dimilikinya
meniscayakan adanya sebuah penafsiran sehingga dinamisme al-Quran tatap
terlihat.
Di masa rasul, penafsiran atau menafsiri
ayat-ayat suci bukanlah hal sulit, karena Sahabat dengan mudah menanyakan
maksud sebuah ayat pada Nabi Muhammad saw. berulah setelah Rasulallah wafat
para sahabat tidak bisa lagi menemukan sosok yang bisa dirujuk terkait suatu
ayat yang ingin mereka pahami.
di lain sisi umat Islam yang terus
bertambah tak jarang menarik minat orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk masuk
dan memeluk Agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Akhbar, dan Wahhab
bin Munabbih. Bahkan lebih dari itu, pengatahuan dan kisah-kisah israiliyât[1] yang mereka dapat saat sebelum memluk Islam juga
dibawa dan mewarnai keilmuan islam di kala itu, dan bahkan menjadi rujukan para
sahabat, terlebih terkait kisah-kisah umat manusia terdahulu. Di antara mereka
yang tercatat sejarah merujuk pada israiliyât adalah Abu Hurairah dan Abdullâh
bin Abbâs dan Abû Hurairah[2]
Seiring berjalannya waktu perilaku demikian
terserap ke dalam ranah tafsir, yang kemudian menimbulkan masalah baru dalam metode
penafsiran. Ulamapun berbeda pendapat, salah seorang ulama besar yang sangat
ketat berbicara kisah israiliyât—terlebih sebagai piranti memahami ayat—adalah
Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi.
Dalam konten ini ad-Dzahabi memilah
sikapnya. Semisal dari sisi periwayatan israiliyât beliau menerima—dengan
filterasi tentunya. Demikian dapat dilihat dalam pernyataan beliau berkut:
“kisah israiliyât
yang senada dengan syariat saya percaya dan legal meriwayatkannya; yang
bertentangan dengan dengan syariat saya ingkari dan haram meriwayatkannya
kecuali disertai penjelasan status batil. Sedang kisah yang berstatus dead lock
(tidak diketahui kebenaran dan kebatilannya) saya tidak mengingkari dan
membenarkan, namun boleh meriwayatkannya.”[3]
Namun, dari segi israiliyât sebagai
piranti memahami tafsir, beliau berbeda dan cenderung musyaddid—sekalipun dari segi penerimaan riwayat beliau lebih
welcome. Sikap tersebut dapat kita lihat
pada kutipan berikut:
“Wajib bagi
seorang mufassir mempertimbangkan kaidah adh-dharurah tuqdaru biqadrihâ
(konsumsi sebab darurat harus disesuaikan dengan kebutuhan) sehingga para mufassir sedikitpun tidak boleh
menyebutkan kisah israiliyât kecuali kadar yang cukup untuk menjelaskan
keumuman al quran.”[4]
Jelas, dari pernyata’an tersebut, dalam
diskursus tafsir Dr. Muhammad ad-Zahabi untuk israiliyât –sekaipun yang
berstatus shahîh dan boleh meriwayatkannya[5]—masih
memberi kriteria khusus yang tidak
beliau ungkanpkan dalam filterasi periwayatan israiliyât. Bahkan dalam
kesempatan lain beliau mengungkapkan “seyogyanya para mufassir secara total menghindari israiliyât dan tidak bertendensi kepada hal-hal yang dapat
memalingkan dari al-Quran”
Melihat sikap beliau tentu kita akan ditabrakkan
dengan mayoritas mufassir salaf yang cenderung welcome israiliyât bahkan sekalipun sebagai piranti memahami
ayat-ayat suci. Kecenderungan tersebut
dapat kita lihat dari intensitas israiliyât dalam kutubut-tafsîr.
Semisal tafsir ja miul bayan fi tafsiril-quran karya Muhammad bin jarir
ath-thabari, al kasyfu wal bayan fi
tafsiril-quran karya ats-tsa’labi, lubabut-ta’wil fi ma’anil-quran karya
al-khozin dan tafsir quranil-addzim karya ibnu katsir .
Perbedaan kecenderungan semacam ini
merupakan hal lumrah, hanya saja perlsu sikap bijak dan proporsional untuk
menyikapi. Keriteria lebih ketat yang ditetapkan adz-Dzahabi sama sekali tidak
mempengaruhi kredibelitas dan kapabelitas mufassir salaf. Demikian karena
mufassir salaf lebih menitik beratkan pada fiterasi periwayatan kisah israiliyât,
tanpa meninjau apakah dijadikan alat memahami tafsir atau tidak? Mereka berpijakan pada keumuman sebuah hadis
بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا
حرج ومن كذب علي متعمدا فلييتبوأ مقعده من النار
“Sampaikanlah dari ku sekalipun satu ayat,
dan berceritalah dari bani israil (yang demikian) tidak ada doasa. Barang siapa
yang berbohong atas (nama) ku sengaja maka siapkanlah tempatduduknya dari
neraka (HR. Ibnu Hibbân)”
Hadis ini pulalah yang kemudian mendorong
beberapa Sahabat seperti Abû Hurairah dan Abdullâh bin Amr menerima riwayat
dari Bani Isra’il. Sikap sahabat ini kemudian dilihat oleh ulama salaf sebagai tindakan Istisyhâd bukan I’tiqad, sebagaimana yang
diungkapkan oleh al-Imam Ibnu Taimiyah dalam
muqaddimah kitab beliau; Ushulut-Tafsir hlm. 26-28 dan diikuti
oleh muridnya al-Imam Ibnu Katsir
Hal ini sama dengan al-Muhaqqiq[6]
kitab Maalimut-Tanzîl karya al-Baghawi
ketika menyikapi israiliyât yang terdapat dalam tafsir beliau. Disebut dalam pendahuluan tafsir tersebut:
“Al-haq al-Bagâawi adalah seorang pakar
hadits dan riwayat, beliau tidak menjadikan kisah israiliyât yang kutib dari al-Kalabi sebagai tendensi pokok, hanya
saja terkadang beliau mengutip karena hanya ingin memberi tahu kepada pembaca hal terkait
dengan pemahaman ayat (ma qila fi
fahmil-ayat) [7]“
Dari apa yang telah dipaparkan, penulis
bukan berarti tidak setuju dengan sikap ketat adz-Dzahabi atau bahkan
mengkultus mufassir-mufassir salaf. Hanya saja perbedaan ini perlu disikapi
secara matang. Tidak terjebak dengan satu cara pandang sehingga acuh dan istihza’
dengan tafsir –tafsir salaf yang tentu saja lahir dari tangan-tangan pakar.
Namun demikian, tentu untuk beberapa israiliyât
yang sudah disepakati oleh para ulama kebatilannya baik ditilik dari segi sanad atau matan yang
bertentangan dengan ushulisy-syarî’ah tentu tidak boleh untuk diriwayatkan
keculai disertai penjelasan atas kebatilannya.
Abdul Hamid
[1] Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi. at-Tafsir wal-Mufassirun. Juz. IV.
Hlm. 16-19. Makatabah Syameela
[2] Dr.
Muhammad Husain ad-Dzahabi. al-Israiliyat fi-Tafsir wal-Hadis. Hlm. 87-60.
Makatabah Wahbah
[3] Dr.
Muhammad Husain ad-Dzahabi. al-Israiliyat fi-Tafsir wal-Hadis. Hlm. 52.
Makatabah Wahbah
[4]
Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi. at-Tafsir wal-Mufassirun. Juz. IV. Hlm. 15.
Makatabah Syameela
[5] Sedangkan
untuk israiliyât yang berstatus dead lock beliau sama sekali menolak
untuk dijadikan alat memahami tafsir, beliau beralasan untuk menjaga al-quran
dari pambahsan tak berguna (lagwul-hadis) Dr. Muhammad Husain ad-Dzahabi.
al-Israiliyat fi-Tafsir wal-Hadis. Hlm. 167. Makatabatu-Wahbah
[6]
Syeikh Muhammad Abdullah, Syeikh Utsman Jumah dan Syeih Sulaiman Muslim
Ketiganya Muhaqqiq kitab Tafsir Maalimut-tanzil karya al-Baghawi
[7] Abu
Muhammad Husain bin Masud al-baghawi. Maalimut-tanzil. Juz. I. hlm. XI. Darut-Thayyibah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar