Kamis, 11 Februari 2021

Agar Cinta Selalu Bersemi

 





            Ketika awal-awal memasuki bahtera rumah tangga, istri tercinta bak bidadari turun dari surga. Mulai tatapan matanya, kerlingan manjanya, wangi katsutri badannya, membuat hidup melayang sampai ke kayangan. Semua indah tiada tara. Bagaikan dunia ini hanya milik berdua. Akan tetapi, setelah hari demi hari dilalui bersama, detik merajuk menit, lalu membingkai jam, kesempurnaanya mulai berkurang. Yang semula senyumnya bak artis India, kini mulai tampak menua. Yang dulunya suaranya merdu bak penyanyi Korea, kini gatal didengar telinga.

            Problema semacam ini banyak menimpa kehidupan berumah tangga. Bosan, sudah pasti mengiringi kebersamaan yang dibina dalam waktu bertahun-tahun. Terlebih, seiring perjalanan waktu, sedikit demi sedikit keburukan dan aib pasangan mulai terbuka, menambah retak harmoni cinta. Apalagi, jika teman hidup kurang pandai merawat diri, memancing mata melirik lain hati. Makanya, penting sekali bagi kedua pasangan untuk saling membina tali ikatan yang dibangun atas dasar cinta suci. Dan untuk menjaga cinta agar terus bersemi, kaum Hawa patut meneladani Sang Ratu Sejati, Sayidan Aisyah binti Abu Bakar ash-Shiddiq.

            Dalam sebuah Hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sayidah Aisyah, dikisahkan bahwa para shahabat memilih momen yang tepat ketika hendak mengirim hadiah kepada Rasulullah. Momen terbaik itu adalah ketika Rasulullah berada di rumah Sayidah Aisyah. Sebab, saat berada di rumah Aisyah suasana hati Rasulullah selalu bahagia, dan kebahagiaan itu akan kian bertambah dengan hadiah dari para Shahabat. Sehingga, tujuan para shahabat untuk membahagiakan Rasulullah akan berhasil. Bukankah ketika suasana hati sedang berbunga-bunga, semuanya akan terasa indah bahagia.

            Saking besarnya cinta Rasulullah kepada Sayidah Aisyah, ketika sakit parah dan ajal hendak menjemput, Rasulullah bertanya-tanya; dimanakah besok saya akan tinggal? Bersama siapa besok saya bermalam? Mengisyaratkan keinginan besar Beliau agar tiba giliran Sayidah Aisyah. Lihatlah betapa besar cinta Rasulullah kepada Sayidah Aisyah, bahkan menjelang ajal sekalipun, cinta Baginda kian deras tak terbendung, sampai-sampai ingin wafat dalam rangkulan kekasih tercinta, Sayidah Aisyah. Bukannya kian hari kian pudar, cinta Rasulullah semakin hari malah semakin bersemi. Berikut beberapa sikap Sayidah Aisyah kepada Rasulullah hingga bikin cinta Baginda terus bersemi.

Memahami Karakter Suami

            Semua perempuan pasti ingin membahagiakan pasangannya. Begitu pula dengan Sayidah Aisyah. Sayangnya, tidak semua cara yang dilakukan ditangkap dengan baik oleh belahan jiwa. Bahkan tak jarang, maksud hati mengulum senyum, malah muram durja diterima.

            Suatu hari, Sayidah Aisyah bermaksud memberi kejutan kepada Baginda. Aisyah merapikan dan merias ulang kamar tidurnya. Beliau membeli bantal empuk yang nyaman di kepala. Tak lupa aroma wangi menggairahkan dituang di semua sudut kamar. Saat Baginda hendak masuk, beliau terdiam di depan pintu. Bukannya bahagia, raut wajah Baginda yang biasanya berseri-seri, justru berubah drastis merah padam. Aisyah membaca dengan baik ekspresi itu, beliau langsung sadar ada yang tidak beres. Sebab, kalau Baginda sudah seperti itu, biasanya selalu ada yang salah. Tanpa mereka-reka lebih panjang, Aisyah langsung memohon ampunan.

            “Wahai Rasulullah aku bertaubah kepada Allah dan kepadamu atas dosa yang telah aku lakukan,” ucap Aisyah, padahal Beliau belum tahu apa letak kesalahannya. “Apa yang engkau pikirkan dengan bantal ini?,” tanya Baginda. “Saya membelinya khusus untuk engkau dan agar engkai gunakan.” Lalu Rasulullah menjelaskan kesalahan Aisyah. “Sesungguhnya orang yang memiliki gambar-gambar seperti ini akan disiksa di hari kiamat kelak. Dikatakan kepada mereka,”Hidupkan apa yang telah engkau ciptakan!” Sesungguhnya rumah yang ada gambar semacam ini tidak akan dimasuki malaikat.”

            Sayidah Aisyah bersikap sangat dewasa menanggapi ekspresi Rasulullah terhadap kejutan yang disiapkannya. Padahal, untuk menyiapkan kejutan itu beliau sampai mengeluarkan biaya. Sama sekali Aisyah tidak membuka egonya untuk membalas sikap Baginda. Sangat sulit bisa seperti Sayidah Aisyah. Pengertian semacam ini bermuara dari pemahaman utuh soal karakter pasangan, serta berpikir positif tentang pasangan. Seandainya Sayidah Aisyah tidak mengerti karakter Baginda dan tidak bisa membaca ekspresinya dengan cepat, niscaya Beliau akan salah paham atas sikap Baginda. Dan salah paham inilah yang kerap terjadi akibat kurangnya pengertian antara kedua belah pihak yang akhirnya berimbas pada pudarnya cinta.

Setia dalam Suka dan Duka

            Roda kehidupan yang selalu berputar sudah pasti membuat kehidupan naik-turun. Suka-duka silih berganti menghampiri. Urusan ekonomi juga demikian. Adakalanya suami dilimpahi kemudahan untuk memenuhi tanggung jawab nafkah kepada istri. Dan adakalanya pula sedang diuji, sulit mendapat sesuap nasi. Seorang istri dituntut setia dalam suka dan duka. Ketika dimudahkan rezeki mengingatkan untuk bersyukur, dan saat diuji mengingatkan untuk bersabar.

            Kehidupan Rasulullah penuh dengan cobaan. Dalam segi keuangan, dapur Baginda kerap tidak mengepulkan asap untuk beberapa pekan. Dikisahkan dari Sayidah Aisyah sendiri. Beliau berkata kepada Shahabat Urwah, keponakannya sendiri, “Kita menunggu hilal (bulan) silih berganti sampai tiga kali dalam dua bulan, dan (selama itu pula dapur) rumah-rumah Baginda Rasulullah tidak mengepulkan api.” “Wahai bibiku! Dengan apa kalian bertahan hidup?,” tanya Shahabat Urwan penasaran. “Dengan kurma dan air. Dan kadang-kadang tetangga Rasulullah dari Shahabat Anshar mengirimi Baginda susu, kamipun minum susu dari mereka.”

            Betapa sabar Sayidah Aisyah menemani hari demi hari kehidupan sulit Baginda. Beliau tidak pernah mengeluh, justru selalu menerima apa adanya. Tidak pernah menuntut ini itu, bahkan selalu lapang dengan kondisi suaminya. Tentu istri yang bisa bersikap seperti ini akan membuat cinta suaminya tambah lengket setiap hari.

Mesra dan Manja

            Cinta yang bersemayam dalam hati tidak boleh dibiarkan layu dan mati. Ia harus selalu disiram dengan kata-kata mesra dan tindakan-tindakan manja. Seorang suami akan sangat sedang bila istrinya bersikap manja. Demikian pula bila sang istri memancingnya agar mengeluarkan kata-kata mesra.

            Sayidah Aisyah pernah berkata kepada Baginda, “Wahai Rasulullah! Seandainya engkau turun ke sebuah jurang. Di sana ada dua pohon. Satunya sudah dimakan (daunnya) sementara yang lain belum tersentuh orang. Kemanakah akan engkau bawa untamu?” Maksud perkataan Sayidah Aisyah ini adalah memancing Rasulullah untuk mengatakan kalau Aisyah adalah istri yang paling dicintai Rasulullah. Pohon yang daunnya sudah dimakan orang mengisyaratkan istri Baginda yang lain yang sudah berstatus janda, sementara pohon yang belum tersentuh orang adalah dirinya yang masih perawan. Semakin sering istri bersikap manja dan memancing suaminya berkata mesra, akan semakin lengket pula cinta suaminya.

Bukan Wali



            Pada masa hidup tokoh sufi kesohor, Abu Yazid al-Busthami, seorang ahli ibadah membuat decak kagum banyak orang. Sepanjang hari ia selalu berpuasa dan semalam suntuk senantiasa beribadah. Selain itu, dia jarang berbaur dengan masyarakat dan lebih suka uzlah mengasingkan diri. Biasanya dia baru keluar rumah ketika azan sudah berkumandang. Orang-orang meyakininya sebagai salah satu waliyullah. Dari mulut ke mulut namanya disebut-sebut, sampai terdengar ke telingan Syekh Abu Yazid al-Busthami.

Syekh Abu Yazid penasaran dengan sosok ahli ibadah yang menjadi buah bibir dan menarik banyak perhatian itu. Beliau lalu mendatangi masjid tempat si ahli ibadah biasanya mengimami. Selesai shalat, Syekh Abu Yazid menunggu lama tanpa sepengetahun lelaki itu. Beliau mengamati dengan seksama gerak-gerik lelaki tadi. Ketika hendak pulang, lelaki itu meludah ke dinding masjid. Melihat itu, spontan Syekh Abu Yazid langsung berkomentar, “Bagaimana mungkin orang yang berbuat seperti itu (meludah ke dinding masjid) wali?.

Disadur dari Risâlatul-Mu‘âwanah 

Bermimpi Rasulullah

 



Seorang lelaki shaleh melihat Rasulullah dalam mimpinya. Dengan wajah berseri-seri lelaki itu mendekati Rasulullah. Sayangnya meski sudah berada tepat di samping Baginda, Beliau sama sekali tidak menoleh ke arah lelaki itu. “Wahai Rasulullah! Apakah engkau marah kepadaku?,” tanya lelaki itu. “Tidak,” jawab Baginda. “Lalu mengapa engkau tidak menoleh kepadaku?,” lanjut sang lelaki. “Aku tidak mengenalmu,” jawab Baginda.

Mendengar itu lelaki tadi bagai disambar petir. “Bagaimana mungkin engkau sampai tidak mengenaliku wahai Rasulullah! Aku adalah umatmu. Bukankah engkau akan mengenali semua umatmu?,” sedih lelaki itu. “Iya benar. Aku akan mengenali semua umatku. Akan tetapi, aku mengenali mereka menurut kadar bacaan shalawat yang mereka lantunkan.” Lelaki itu lalu terbangun dari mimpinya. Iapun menangis sedih luar biasa. Setelah kejadian itu, lelaki tersebut mengharuskan kepada dirinya sendiri untuk membaca shalawat minimal seratus kali dalam sehari.

Disadur dari Mukâsyafatul-Qulûb karya Imam al-Ghazali 

Karena Tidak Menghadap Qiblat

 

Gara-Gara tidak Menghadap Kiblat




Diceritakan, dua pemuda Arab dengan kemampuan yang sama-sama baiknya diperintah guru mereka melanjutkan rihlah ilmiah ke negara Yaman. Tanpa berpikir panjang, keduanya menyutujui perintah sang guru.

Setiba di Yaman, keduanya menuntut ilmu dengan bersungguh-sungguh, bahkan tidak pernah telat dalam mengikuti setiap pengajian para ulama Yaman. Dalam belajar, keduanya juga memperhatikan betul adab seorang penuntut ilmu. Hanya saja, salah satu dari mereka pernah belajar tidak menghadap kiblat.

Setelah lama melanglang buana di negeri seribu wali, keduanya memutuskan pulang ke kampung halaman. Ternyata, ketika berbaur ke tengah masyarakat, hanya salah satunya saja yang dicocoki masyarakat dan ilmunya bermanfaat.

Mendengar nasib dua murid kesayangannya yang berbeda jauh, sang guru mendatangi muridnya yang bernasib buruk. “Apakah engkau pernah belajar dalam keadaan hadas?,” tanya gurunya. “Tidak wahai guru, saya senantiasa dalam keadaan suci,” jawabnya. “Bagaimana dengan menghadap kiblat? Apakah engkau pernah belajar tidak menghadap kiblat?”  Iya pernah. Kala itu aku tidak menghadapnya karena ada suatu hal.”  Ketahuilah muridku, jika engkau menganggap hal itu sebagai perbuatan sepele, maka itulah penyebab engkau gagal memperoleh ilmu manfaat dan barokah.

*disarikan dari Ta'limul Mutaallim

Nasib Istri “Bang Thoyyib” Dalam Pandangan Fikih






            Status kepala rumah tangga yang dipikul oleh seorang suami menuntutnya untuk bertanggung jawab penuh atas kehidupan keluarganya, mulai kesehatan anggota keluarga, pendidak anak, sandang pangan harian, dan lain sebagainya. Karena itu, para suami bekerja keras memeras keringat demi meraup rupiah demi rupiah. Bahkan, ketika sekitar tempat tinggal tak menjanjikan, sulit menjumpai lapangan pekerjaan, mereka rela jauh dari keluarga merantau ke kota tetangga, atau bahkan sampai jauh ke negara sebelah, seperti negeri Jiran, Malaysia.

            Kehidupan perantauan yang serba tidak tertebak, terkadang berimbas buruk pada hubungan keluarga. Banyak di antara mereka yang putus komunikasi dengan sanak famili dan raib entah kemana. Akhirnya nasib sang istri di rumah terkatung-katung tidak jelas. Punya suami tapi tidak ketemu batang hidungnya.

            Nasib serupa juga sering menimpa wanita pesisir. Tempat tinggal yang dekat laut membuat mata pencaharian mereka digantungkan pada kekayaan laut. Para pemanggul nafkah memilih menjadi nelayan dan berburu ikan. Sialnya, ombak tak selalu bersahabat dan ramah menyambut kedatangan mereka. Ada kalanya tiba-tiba ombak besar menghantam perahu kecil nelayan dengan keras sampai terporak-poranda. Sang istri yang tidak tahu musibah tersebut harap-harap cemas di depan pintu menunggu kepulangan suaminya. Sehari, seminggu, sebulan, sampai setahun.

            Karena banyaknya perempuan yang mengalami nasib semacam ini, dengan faktor yang berbeda-beda tentunya, lahirlah lagu lawas yang cukup populer, Bang Thoyyib. Bagaimana nasib istri Bang Thoyyib atau perempuan-perempuan lain yang bernasib sama dengannya dalam pandangan syariat Islam?

            Dalam literatur Fikih, Bang Thoyyib atau suami yang tak pulang-pulang disebuat dengan al-Mafqûd (suami yang hilang). Secara definitif al-Mafqûd adalah orang yang raib dari tempat tinggalnya dalam waktu lama, hilang kabar beritanya, serta tidak jelas nasibnya; apakah masih hidup atau sudah tiada, seperti yang tertulis di kitab al-Fiqh al-Manhajî. Oleh karena itu, suami yang masih diketahui tempat tinggal atau kabar beritanya, tidak bisa dikategorikan al-Mafqûd meskipun dia tak pulang pulang dan tak pernah mengirim surat kabar. Sehingga, istri dari suami tersebut tidak boleh kawin lagi. Ini adalah konsensus ulama sebagaimana ungkap Imam Syarafuddin an-Nawawi dalam al-Majmû’ Syarhul-Muhadzdzab. Kecuali istrinya tadi kesulitan biaya hidup dari harta suaminya yang pergi, maka dia boleh mengajukan fasakh (perusakan akad nikah) kepada hakim, lalu hakimlah yang mem-fasakh tali pernikahan antara mereka.

            Adapun suami yang benar-banar raib ditelan bumi, menurut qaul jadîd (pendapat Imam asy-Syafi’i setelah hijrah ke Mesir) istrinya juga tidak boleh menikah lagi sampai meyakini kematian atau pentalakan suaminya. Hal ini dilandasi atsar yang diriwayatkan oleh Imam asy-Syafi’i sendiri dari Shahabat Ali bin Abi Thalib “Istri Mafqûd (suami yang hilang) sedang diuji, maka bersabarlah! Dan jangan menikah (lagi) sampai datang kabar kematian suaminya.” Maksud yakin di sini adalah praduga kuat (dzan). Sehingga seandainya di tengah raibnya sang suami, ada satu orang adil mengabarkan kematiannya, maka si istri boleh menikah lagi.

            Dari penjabaran singkat ini, bisa disederhanakan bahwa kewajiban bagi istri al-Mafqûd adalah menunggu suaminya pulang. Namun pertanyaannya, sampai kapan dia harus menunggu suaminya pulang? Seumur hidupkah? Sampai malaikat maut datang menjemputkah?

            Ketika para ulama terdahulu (mutaqaddimîn) mengulas masa penantian istri atas suaminya yang tak kunjung pulang, mereka cenderung menguniversalkannya. Hal ini seolah-olah berimpas pada kewajiban penantian seumur hidup. Akan tetapi, saat mengurai persoalan harta peninggalan orang yang raib ditelan bumi dalam kaitannya dengan hak ahli waris, ulama membatasinya sampai waktu sekiranya orang tersebut tidak akan bertahan hidup melebihi waktu itu. Nah, batas waktu seperti ini juga diberlakukan oleh para ulama belakangan (muta’akhkhirin) dalam penantian istri al-Mafqûd, seperti dilansir dari Mughnil-Muhtâj fî Syarhi Minhâjith-Thâlibîn. Jadi, seandainya penantian tersebut sudah melewati batas lumrahnya si suami diprediksi bertahan hidup, maka istrinya boleh kawin lagi, tidak perlu menunggu ajal menjemput.

            Sedangkan menurut qaul qadîm (pendapat Imam asy-Syafi’i semasa tinggal di kota Baghdad), ketentuan bagi perempuan yang mengalami nasib seperti istri Bang Thoyyib adalah menjalani penantian selama empat tahun terhitung dari hilangnya kabar sang suami, kemudian melakukan iddah wafat selama empat bulan sepuluh hari. Setelah iddahnya selesai dia bebas dari kekang pernikahan dan boleh kawin lagi. Pendapat ini menjustifikasi putusan Sayidina Umar bin Khaththab. Imam al-Baihaqi menambahkan, keputusan senada juga diriwayatkan dari Sayidina Utsman bin Affan dan Shahabat Abdullah bin Abbas.

Selain berdalil dengan beberapa riwayat dari para shahabat tadi, pendapat ini juga menggunakan metodologi qiyas. Mereka menganalogikan kasus ini dengan kasus fasakh tersebab impotensi. Hemat mereka, kalau seorang istri boleh melepas ikatan pernikahan dikarenakan penyakit impotensi suaminya, maka seharusnya dia juga boleh mem-fasakh nikah disebabkan hilangnya sang suami, sebab dalam kedua kasus tersebut istri sama-sama kehilangan nafkah batin.

            Hanya saja pendapat Imam asy-Syafi’i semasa tinggal di kota Baghdad (qaul qadim) ini telah dianulir oleh pendapat beliau yang baru (qaul qadim). Faktor penganuliran tersebut adalah pendapat beliau yang lama hakikatnya mengekor pada ijtihad Sayidina Umar, sementara dalam metode pencetusan hukum yang beliau ciptakan (Ushul Fikih), seorang mujtahid tidak boleh bertaklid pada mujtahid lain.

            Maka, istri yang kehilangan jejak suaminya tetap tidak boleh menikah lagi dan masih berstatus sebagai istri dari suaminya yang hilang, sampai diyakini kematian suaminya. Namun, jika selama raibnya sang suami dia kehilangan nafkah lahir, dengan artian suaminya tidak meninggalkan harta untuk biaya hidupnya, maka dia boleh mengajukan fasakh kepada hakim, bahkan tidak perlu menunggu waktu lama. Mayoritas ulama menyatakan, ketika seorang istri kesulitan mendapat nafkah lahir dari suaminya selama tiga hari saja, ia boleh mengajukan pelepasan ikatan pernikahan (fasakh) kepada hakim, baik suaminya berada di sisinya atau raib entah kemana.

Sementara untuk faktor nafkah batin, tidak bisa dijadikan alasan fasakh nikah dalam kasus hilangnya suami. Sayid Abdurrahman bin Muhammad bin Husain bin Umar Ba Alawi dalam kumpulan fatwa yang dihimpunnya bertajuk Bughyatul-Mustarsyidîn menuturkan bahwa fasakh tersebab derita lamanya penantian atau hasrat birahi, tidak dilegalkan.

            Kemudian jika dalam pelaksanaannya hakim atau muhakkam tidak ada, atau ada tetapi sulit untuk memproses fasakh lewat hakim, semisal hakim meminta bukti bahwa sang suami tidak meninggalkan harta untuk biaya hidup istri sementara si istri tidak punya bukti, maka dia boleh mem-fasakh sendiri. Pendapat inilah yang diunggulkan dalam kitab-kitab referentatif fikih.

Oleh: Saharudin Yusuf


Sejarah Ilmu Hadis dari masa ke masa

 



Abad Pertama

Sahabat tidak selalu menghadiri majlis Nabi, hal ini berakibat perbedaan dalam cara menerima hadis dari Nabi. Setidaknya ada tiga cara: pertama musyafahah, yaitu dengan berhadapan langsung dengan Nabi. Kedua dengan mendengar dari sahabat lain yang mendengar dari Nabi. Dan yang ketiga dengan melihat pekerjaan Nabi atau ketetapan beliau.[1]

Sahabat, mayoritas memang menghafalkan hadis yang diterima dari Nabi. Namun tidak semuanya melalui jalan ini. Di samping menghafal ada sebagian sahabat yang juga menulis hadis yang dihafalnya, sehingga terbukukan. Ditemukan bahwa penulisan hadis sudah dimulai pada saat Nabi masih hidup. Hanya corak penulisan hadis itu tidak sama dengan al-Quran. Artinya buku-buku itu tidak dijadikan sebagai referensi sebagaimana al-Quran, akan tetapi hanya sebagai file pribadi yang dikonsumsi sendiri. Ini adalah periode pertama penulisan hadis. Pada periode ini banyak kitab-kitab hadis yang terbukukan. Ditemukan hampir semua Sahabat mempunyai naskah hadis dalam kasus-kasus tertentu. Yang paling terkenal di antara naskah-naskah itu adalah Sahifah Abdullah bin Amr bin al-Ash yang disebut dengan as-Shadiqah, kitab ini kemudian berpindah tangan kepada cucunya, Amr bin Syuaib, Sahifah Ali bin Abi Thalib. Sahifah ini memuat ukuran-ukuran diyât dan hukum mengenai melepas tawanan dan Sahifah Saad bin Ubadah. Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dari Putra Saad, dia berkata

“Kami temukan dalam kitab Saad bahwa Nabi membuat ketetapan hukum dengan sumpah dan saksi.[2]

Pada awal-awal abad pertama Khulafaur Rasyidun dan Sahabat yang lain memperhatikan hadis dan menghafalnya dan mayoritas dari mereka memilih tidak meriwayatkan hadis. Hal itu mereka lakukan karena beberapa motif: hawatir hadis didistorsi oleh orang munafik, kemungkinan terjadinya kesalahan yang dilakukan oleh muktsirin (orang yang banyak meriwayatkan hadis). Pada era pemerintahan Khalifah Umar bin al-Khatab, Amirul Mukminin Sahabat dituntut untuk tidak banyak meriwayatkan hadis. Hal itu dilakukan karena beberapa pertimbangan. Di antaranya adalah agar hadis tidak disalah-gunakan oleh orang munafik dan agar al-Quran tidak ditinggalkan. Secara tegas Khalifah Umar memerintahkan semua sahabat untuk meminimalisir riwayah (iqlalur riwayah). Bahkan sahabat Abu Hurairah berhenti sementara meriwayatkan hadis pada masa Khalifah Umar.

Di antara sahabat yang memilih iqlalur riwayah adalah Sahabat Abu Bakar. Abu Bakar termasuk sahabat yang banyak mendengar hadis dari Nabi, namun beliau memilih iqlal, Sahabat Abu Ubaidah, Abbas bin Abdul Muthalib, Said bin Zaid, sampai dinyatakan bahwa hanya dua atau tiga hadis yang diriwayatkan dari beliau, Ubai bin Imarah, beliau hanya meriwayatkan hadis tentang mengusap muzah, Abdullah bin Zubair, beliau pernah ditanya tentang sikapnya yang memilih iqlal, Beliau menjawab “bukan Saya berbeda tapi Saya mendengar Rasulullah bersabda

من كذب علي فليتبوأ مقعده من النار

Masih banyak para Sahabat yang memilih iqlal. Kalau kita cermati sikap Sahabat di atas adalah bentuk kehati-hatian yang lebih dari mereka dalam urusan hadis.

Sedangkan sahabat yang banyak meriwayatkan hadis (al-Mukstirun) sebagaimana pernyataan Imam Ibnu Katsir adalah: Abu Hurairah dengan 5364 hadis, Ibnu Umar dengan 2630 hadis, Anas dengan 2286 hadis, Aisyah dengan 2210 hadis, Ibnu Abas dengan 1660, Jabir dengan 1540 dan Abu Said al-Khudri dengan 1170 hadis.[3]

Pada pertengahan dasawarsa ke delapan abad pertama dimulai kodifikasi hadis secara resmi. Hal ini atas perintah khalifah Abdul Aziz bin Marwan bin al-Hakam yang meminta seseorang yang bernama Katsir bin Murah al-Hadrami[4] untuk menulis hadis-hadis yang didengarnya lalu dikirimkannya kepada Khalifah kecuali hadis riwayat Sahabat Abu Hurairah. Sebab hadis riwiyat Abu Hurairah sudah dimilikinya. Setelah disepakati, kemudian hadis yang ditulis oleh Katsir bin Murah dikumpulkan dengan hadis riwiyat Abu Hurairah yang ada milikinya.[5]


 

Abad Kedua

Memasuki abad kedua pada saat ulumul Quran menyebar, semakin banyak penghafal al-Quran dan pembacanya, dan aman dari keserupaan dengan al-Quran maka dimulailah kodifikasi umum; dijadikan rujukan. Komudifikasi ini atas seruan Khalifah Umar bin Abdul Aziz (w. 102) beliau meneruskan apa yang telah dilakukan oleh ayahnya. Ini adalah periode kedua penulisan hadis.

Pada abad ini sebenarnya sudah mulai bagus geliat penulisan hadis dan ilmu-ilmu yang lain. Hal itu dimulai dengan munculnya kitab al-Muwattha’ karya monumental Imam Malik bin Anas. Perbedaan corak kodifikasi abad ini dengan abad-abad sebelumnya terletak pada konsep penulisan. Imam Malik melakukan penulisan dengan sangat sistematis. Penyusunannya dirangkai berdasarkan bab dalam kitab-kitab fikih. Hanya kitab ini tidak hanya merangkum hadis, atsar dan fatwa sahabat juga dicantumkan oleh Malik dalam kitabnya ini.

Kemudian, pada abad ini juga tampak sekali peran pemerintah Abbasiyah dalam pergerakan aktivitas kodifikasi. Dalam banyak referensi disebutkan, bahwa khalifah Abu Jakfar atau al-mansur lah yang menunjukkan Imam Malik kepada metode penulisan yang sistematis. Dia juga yang menyarankan Imam Malik untuk mempromosikan kitab al-Muwatthaknya kepada masyarakat. Sehinnga tidak heran kalau kitabnya yang satu ini telah tersebar dan terkenal pada saat Malik masih hidup.

 


 

Abad Ketiga

Kondisi Politik Abad Ke Tiga:

Kondisi politik pada abad ini sangat tidak memihak kepada ahlul hadis. Banyak ulama yang mendapatkan penyikasaan dari khalifah, bahkan dibunuh seperti Imam al-Buwaithi. Hal itu berawal dari statement negatif Muktazilah masalah afalul ibad, sifat ma’ani dan yang paling parah adalah khalqul Quran, dan memantik ketegangan antar Ahlul Kalam dan Ahlul Hadis.

Melihat ketegangan dua kelompok tidak kunjung menemukan titik temu khalifah al-Makmun (w. 218) mempertemukan dua kelompok dalam forum debat dan diskusi dengan tujuan menyatukan keduanya dalam satu kalimat.

Khalifah al-Makmun terjangkiti paham muktazilah. Maka dari itu sejak tahun 212. H dia menyerukan paham ini kepada rakyatnya. Dia beranggapan ketika dia yang menyampaikan rakyat akan menerimanya. Akan tetapi kenyataan berbalik. Rakyat tidak menerima seruan itu, bahkan dia dibidahkan dan oleh sebagian rakyatnya dikafirkan. Hingga pada akhirnya dengan status sosialnya sebagai Khalifah, al-Makmun menggiring ahlul hadis tehadap pemikirannya.[6]

Kodifikasi Hadis Pada Abad Ini Terbagi Dalam Tiga Teori:

Bantahan Terhadap Ahlul Kalam Pada Masa Itu.

Sudah dijelaslan di muka ketegangan ahlul hadis dan ahlul kalam. Ulama hadis kemudian mendata sederet sanggahan-sanggahan mereka, baik dalam hal ‘adalah dan dabt para rawi maupun kualitas hadisnya dan kemudian membantahnya. Teori ini dilakukan oleh Imam Ibnu Qutaibah dan merangkumnya dalam kitabnya dengan judul Ta’wilu Mukhtalafil Hadis Fir Raddi Ala A’dail Hadis.

Merangkum Hadis Dalam Masanid:

Yaitu rangkuman seorang muhaddis hadis-hadis yang diterimanya dari sahabat menurut profil Sahabat. dalam terori ini sebagia ulama merangkum hadis sesuai klan Sahabat. sebagian yang lain meninjau kapan keislaman Sahabat. Di antara kitab-kitab dengan teori ini adalah Musnadul Imam Ahmad (w. 241), Musnadul Imam Abdullah bin Musa (w. 213) dan Musnadul Hamidi (w.218).

Rangkuman Hadis Sekaligus Takhrijnya Menurut Bab-bab fikih.

Dalam teori ini ada dua kecendrungan. Ada ulama yang hanya merangkum hadis-hadis yang sahih seperti yang dilakukan oleh Imam al-Bukhari dalam al-Jamiknya Sahihul Bukhari dan Imam Muslim dalam Sahih Muslim. Ada ulama yang mengumpulkan hadis sahih, hasan dan daif, seperti yang dilakukan oleh Imam at-Tirmidzi. Abu Daud dan an-Nasai.[7]

Di antara tahapan hadis adalah teori penulisan dengan klasifikasi tertentu. Ini yang disebut dengan tajrid. Kitab hadis pertama yang mengumpulkan hadis sahih adalah kitab Sahihul Bukhari dan disusul Sahihu Muslim[8]. Al-Imam an-Nasai saat menyelesaikan bukunya yang berjudul as-Sunan al-Kubra mengajukannya kepada seorang raja di daerah Ramlah. Kemudian raja bertanya “apakah semua hadis yang ada dalam kitab ini sahih ?” beliau menjawab tidak. Maka kemudian raja memerintahkan Imam an-Nasai untuk mengklasifikasi hadis-hadis yang sahih. Maka ditulislah al-Mujtaba.[9]

Tahapan berikutnya dalam kodifikasi hadis adalah tanqih. Tanqih adalah proses pemurnian hadis dari kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh sebagian ulama sekaligus bantahan-bantahannya. Kodifikasi ini pernah dilakukan oleh Imam az-Zarkasyi terhadap kitab Sahihul Bukhari. Dalam kitab itu Imam az-Zarkasyi banyak membantah dan memurnikan kesalahan yang banyak terjadi dalam kitab Sahihiul Bukhari. Misalnya dikatakan bahwa hadis ini sahih padahal tidak maka dibantah sekaligus ditampilkan Jarhu dan takdilnya.

Istikhraj, seorang hafidh merangkum satu kitab dan mentakhrijnya dengan jalur mata rantainya sendiri. Kitab dalam model ini di antaranya: Mustakhrajul Hafidh Abi Bakar al-Ismaili al-Jurjani (w. 371) dan Mustakhrajul Hafidh Abi Bakar al-Burqoni (w. 425) keduanya adalah kitab yang meng-istikhraj Sahihul Bukhari. Mustakhrajul Hafidh Ahmad bin Salamah an-Naisaburi al-Bazzar (w. 286), Mustakhrajul Hafidh Abi Awanah, Yakqub bin Ishaq al-Isfiraini (w. 316) keduanya adalah kitab yang meng-istikhraj Sahihu Muslim.

Istidrak, merangkkum hadis menurut ketentuan-ketentuan salah satu al-mushanifaini yang tidak ditakkhrij olehnya. Kitab model ini di antaranya: al-Mustadrak li Abi Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Muhammd bin Hamdawaih al-Hakim an-Naisaburi (w. 405), al-Mustadrak Alas Sahihaini lil Hafid Abi Dzarrin Abd bin Ahmad bin Muhammad bin Abiullah al-Anshari al-Harawi (w. 434).[10]

Di antara kitab yang berkembang pada aba ke tiga di kalangan ulama hadis yang memenuhi dalam khazanah ilmiyah hadis adalah kitab Amaalii. Kitab ini dalam ensiklopedi kitab, Kasyfud Dzunun diartikan Amaali adalah plural dari kata imla’. Memililki data-data ilmu yang telah didengar dari guru dalam majelis ilmu[11]

Imla’ dan istimla’ jelas tidak bisa lepas dari perjalanan hadis pada awal-awal risalah Rasulullah. Ketika Nabi mendapatkan wahyu (baik al-Quran atau Hadis) Nabi akan meng-imla’-kan wahyu itu kepada shahabat.

Dan kalau kita lacak dalam literatur-literatur sejarah perjalanan kodifikasi hadis maka sudah pasti kita akan banyak temukan naskah-naskah kitab kumpulan hadis yang ditulis sebagian sahabat.[12]

Sekalipun begitu, kemunkinan terbesar istilah kitab amali baru ditemukan pada kisaran abad ke tiga.

Model ini juga memilii makaniyah di kalangan ulama hadis. Imam Abu Bakar bin Abu Syaibah (w. 235 H) mengatakan

Seseorang yang belum menulis 20 ribu hadis dengan cara imla’ maka belum bisa disebut pakar dalam hadis[13].

Kitab model ini dalam salah satu referensi dimulai pada akhir abad 7 dan diprakarsai oleh Abul Fadl al-Iraqi, pada tahun 796 H. Beliau mengimla’ di dalam lebih 400 majelis sampai beliau wafat yaitu pada tahun 806 H[14].

Menurut Imam Nawawi bahwa kebiasaan ulam dalam imla’ adalah mentakhrij hadis-hadis imla’ lalu merumuskannya dalam sebuah kertas, kemudian mengimlakkannya dengan hafalan[15].

Hanya keterangan dalam kitab Tadribur Rawi belum bisa diterima, sebab kenyataannya kitab amali sudah banyak ditemukan pada kisaran abad ke lima, empat atau bahkan pada abad sebelumnya. Seperti kitab amali karya Imam as-Sayid al-Murtadha Abul Qasim Ali bin Tahir al-Husaini pada 436 H[16]. Seperti juga kitab amali karya Ibnul Jarrah ‘Isa bin Ali bin ‘Isa bin Daud bin al-Jarrah pada kisaran tahun 302 sd 391 H[17]. Abu ali al-Qali kisaran 288 sampai pertengahan abad ke 4.


 

Abad Keempat

Pada abad ini ulama hanya mengumpulkan hadis dari kitab-kitab ulama sebelumnya. Teori penulisan pada abad ini dengan cara mengumpulkan hadis-hadis yang terpisah-pisah atau dengan mengambil redaksi hadisnya tanpa menyebut sanadnya dan dengan cara meruntut dengan bab-babnya masing-masing.  Karena itulah jika kita ingin melihat hadis beserta sanadnya kita harus melihat pada kitab-kitab abad terdahulu.

Pada abad itu banyak ulama yang mengumpulkan hadis dan membentuk golongan yang besar untuk mengumpulkan hadis. Di antara ulama yang mengumpulkan hadis pada masa itu: al-Hakim, ad-Daraqutni, Ibnu Hibban dan at-Tabrani.


 

Abad Kelima

Pada abad kelima sebagian ulama hadis mengumpulkan hadis dan menjadikannya berbab-bab dan sebagian yang lain hanya mengambil hadis yang sahih.

Di antara kitab yang ditulis pada masa itu adalah:

Aljam’u Bainas Sahihaini karya Imam Ismail bin Ahmad yang dikenal dengan Ibnul Farrat (w. 414) dan Imam muhammad bin nashr al-Hamidi al-Andalusi (w. 488).

Aljam’u Baina Kutubis Sittah karya Imam Ahmad bin Zain bin Muawiyah as-Sarqatthi (w. 535).

Aljam’u Baina Ahadisin Min Kutubin Mukhtalifatin, seperti Mashabiihus Sunnah karya Imam Husain Bin Mas’ud Al-Baghowi (w. 516) beliau dalam kitabnya ini merangkum 4484 hadis sahih (dari Syaikhain) dan hasan (dari Imam Abu Daud dan at-Tirmidzi dan yang lain), Jamiul Masanid Wal Alqab karya Imam Abil Faraj Abdur Rahman bin Ali Al-Juzi (w. 597) beliau merangkum hadis yang ada dalam Sahihain dan Musnadul Imam Ahmad dan Jamik Tirmidzi. Kitab ini telah diruntut oleh Imam Abul Abbas Ahmad Bin Abdullah Almakruf  Bil Muhib At-Tabri (w. 964).

Di antara jenis kitab hadis yang berkembang adalah al-Mu’jam. Model ini ada dua :

Kitab yang merangkum hadis berdasarkan masanid shahabat seperti kitab al-Mu’jamul Kabir karya Imam Abul Qasim Sulaiman bin Ahmad at-Thabarani. Dalam kitab ini penulisnya menyusun nama-nama shahabat berdasarkan huruf-huruf mu’jam, kecuali musnad Abu Hurairah. Untuk hal ini beliau menjadikannya dalam sekmen khusus.

Kitab yang menyusun hadis berdasarkan masanid syuyukh seperti kitab al-Mu’jamul Ausath karya at-Thabarani juga[18].

Kitab selanjutanya adalah jenis kitab atl-Athraf. Kitab ini adalah kitab yang merangkum kata awal suatu hadis yang menunjukkan kepada sisanaya, dan diiringi dengan penyebutan isnad yang bertujuan untuk isti’ab atau alasan tertentu.

Model perkembangan hadis ini memberikan kemudahan bagi pengkaji hadis dalam menentukan ahad, masyhur, ghorib atau mutawatir-nya.



[1] As-Sunah qablat Tadwin, Muhammad Ajjad Khatib, hal 60 dan al-Hadis wal Muhaddisun hal 47

[2] Al-Mustadrak karya Imam al-Hakim dan Manhajun Naqdi hal 45

[3] Usdul Ghobah

[4] Beliau menututi 70 ahli Badar

[5] As-Sunah Qablat Tadwin, wau Dr. Muhamad Ajjad Khatib, Darul Fikr

[6] Al-Hadis wal Muhaddisun Abu Zahwu 317-318

[7] Al-Hadis wal Muhaddisun Abu Zahwu 363-367

[8] At-Taisir fi Mustalahil Hadis, Mahmud  at-Tahhan, al-Haramain

[9] Muqaddimmah Al-Mujtaba, Imam an-Nasai

[10] Al-Hadis wal Muhaddistun Abu Zahwu

[11] Kasyfud Dzunun versi maktabah syamilah juz 1 hal 160

[12] Lihat di halaman 33

[13] As-Sam’ani Adabul Imla’ hal 11 versi maktabah syamilah. Dalam kitab Tadribur Rawi-nya Imam as-Suyuthi dalam bab Alqabul Muhadditsin menampilkan pernyataan bahwa gelar ilmiyah dalam hadis berbeda sesuai kondisi waktu. Ketentuan yang ada sebelumnya tidak tentu relevan dipakai pada periode selanjutnya.

Contoh, ahli hadis yang bisa bergelar al-Hafidh harus sudah pernah menulis 20 ribu hadis yang diimlakkan oleh guru. Hal ini tidaklah bisa dijadikan patokan untuk masa setelahnya.

[14] An-Nawawi Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi juz ll hal  42 versi maktabah syamilah

[15] An-Nawawi Tadribur Rawi fi Syarhi Taqribin Nawawi juz ll hal  42 versi maktabah syamilah

[16] Fihrisul faharis wal atsbat wa m’jamul ma’ajim wal masyikhat wal musalsalat juz l hal 330 versi maktabah syamilah

[17] Mawaridul musnad al-Muhit al-Mu’allal hal 10 versi maktabah syamilah

[18] Dr. Muhammad al-Khusyu’i (pengajar hadis di Universitas al-Azhar, Mesir) at-Takhrij wa Dirasatul Asanid hal 6 (dalam bentuk word)


Kisah Israiliyah: Antara pro dan kontra

 

Kisah Penyembah Lembu

Al-Quran sebagai manuskrip langit yang diturunkan kepada manusia, memuat secara lengkap rambu-rambu kehidupan guna memperbaiki peradaban manusia. Namun, sifat prevalent yang dimilikinya meniscayakan adanya sebuah penafsiran sehingga dinamisme al-Quran tatap terlihat.

Di masa rasul, penafsiran atau menafsiri ayat-ayat suci bukanlah hal sulit, karena Sahabat dengan mudah menanyakan maksud sebuah ayat pada Nabi Muhammad saw. berulah setelah Rasulallah wafat para sahabat tidak bisa lagi menemukan sosok yang bisa dirujuk terkait suatu ayat yang ingin mereka pahami.

di lain sisi umat Islam yang terus bertambah tak jarang menarik minat orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk masuk dan memeluk Agama Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab al-Akhbar, dan Wahhab bin Munabbih. Bahkan lebih dari itu, pengatahuan dan kisah-kisah israiliyât[1]  yang mereka dapat saat sebelum memluk Islam juga dibawa dan mewarnai keilmuan islam di kala itu, dan bahkan menjadi rujukan para sahabat, terlebih terkait kisah-kisah umat manusia terdahulu. Di antara mereka yang tercatat sejarah merujuk pada israiliyât adalah Abu Hurairah dan Abdullâh bin Abbâs dan Abû Hurairah[2]

Seiring berjalannya waktu perilaku demikian terserap ke dalam ranah tafsir, yang kemudian menimbulkan masalah baru dalam metode penafsiran. Ulamapun berbeda pendapat, salah seorang ulama besar yang sangat ketat berbicara kisah israiliyât—terlebih sebagai piranti memahami ayat—adalah Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi.

Dalam konten ini ad-Dzahabi memilah sikapnya. Semisal dari sisi periwayatan israiliyât beliau menerima—dengan filterasi tentunya. Demikian dapat dilihat dalam pernyataan beliau berkut:

“kisah israiliyât yang senada dengan syariat saya percaya dan legal meriwayatkannya; yang bertentangan dengan dengan syariat saya ingkari dan haram meriwayatkannya kecuali disertai penjelasan status batil. Sedang kisah yang berstatus dead lock (tidak diketahui kebenaran dan kebatilannya) saya tidak mengingkari dan membenarkan, namun boleh meriwayatkannya.”[3]

Namun, dari segi israiliyât sebagai piranti memahami tafsir, beliau berbeda dan cenderung musyaddid—sekalipun  dari segi penerimaan riwayat beliau lebih welcome.  Sikap tersebut dapat kita lihat pada kutipan berikut:

“Wajib bagi seorang mufassir mempertimbangkan kaidah adh-dharurah tuqdaru biqadrihâ (konsumsi sebab darurat harus disesuaikan dengan kebutuhan)  sehingga para mufassir sedikitpun tidak boleh menyebutkan kisah israiliyât kecuali kadar yang cukup untuk menjelaskan keumuman al quran.”[4]

Jelas, dari pernyata’an tersebut, dalam diskursus tafsir Dr. Muhammad ad-Zahabi untuk israiliyât –sekaipun yang berstatus shahîh dan boleh meriwayatkannya[5]—masih  memberi kriteria khusus yang tidak beliau ungkanpkan dalam filterasi periwayatan israiliyât. Bahkan dalam kesempatan lain beliau mengungkapkan “seyogyanya para mufassir secara total menghindari israiliyât  dan tidak bertendensi kepada hal-hal yang dapat memalingkan dari al-Quran”

Melihat sikap beliau tentu kita akan ditabrakkan dengan mayoritas mufassir salaf yang cenderung welcome israiliyât  bahkan sekalipun sebagai piranti memahami ayat-ayat suci. Kecenderungan tersebut  dapat kita lihat dari intensitas israiliyât dalam kutubut-tafsîr. Semisal tafsir ja miul bayan fi tafsiril-quran karya Muhammad bin jarir ath-thabari,  al kasyfu wal bayan fi tafsiril-quran karya ats-tsa’labi, lubabut-ta’wil fi ma’anil-quran karya al-khozin dan tafsir quranil-addzim karya ibnu katsir .

Perbedaan kecenderungan semacam ini merupakan hal lumrah, hanya saja perlsu sikap bijak dan proporsional untuk menyikapi. Keriteria lebih ketat yang ditetapkan adz-Dzahabi sama sekali tidak mempengaruhi kredibelitas dan kapabelitas mufassir salaf. Demikian karena mufassir salaf lebih menitik beratkan pada fiterasi periwayatan kisah israiliyât, tanpa meninjau apakah dijadikan alat memahami tafsir atau tidak?  Mereka berpijakan pada keumuman sebuah hadis

بلغوا عني ولو آية وحدثوا عن بني إسرائيل ولا حرج ومن كذب علي متعمدا فلييتبوأ مقعده من النار

“Sampaikanlah dari ku sekalipun satu ayat, dan berceritalah dari bani israil (yang demikian) tidak ada doasa. Barang siapa yang berbohong atas (nama) ku sengaja maka siapkanlah tempatduduknya dari neraka (HR. Ibnu Hibbân)”

Hadis ini pulalah yang kemudian mendorong beberapa Sahabat seperti Abû Hurairah dan Abdullâh bin Amr menerima riwayat dari Bani Isra’il. Sikap sahabat ini kemudian dilihat oleh ulama salaf  sebagai tindakan Istisyhâd  bukan I’tiqad, sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Imam Ibnu Taimiyah dalam  muqaddimah kitab beliau; Ushulut-Tafsir hlm. 26-28 dan diikuti oleh muridnya al-Imam Ibnu Katsir

Hal ini sama dengan al-Muhaqqiq[6] kitab Maalimut-Tanzîl karya al-Baghawi  ketika menyikapi israiliyât yang terdapat dalam tafsir beliau.  Disebut dalam pendahuluan tafsir  tersebut:

“Al-haq al-Bagâawi adalah seorang pakar hadits dan riwayat, beliau tidak menjadikan kisah israiliyât yang  kutib dari al-Kalabi sebagai tendensi pokok, hanya saja terkadang beliau mengutip karena hanya  ingin memberi tahu kepada pembaca hal terkait dengan pemahaman ayat  (ma qila fi fahmil-ayat) [7]

Dari apa yang telah dipaparkan, penulis bukan berarti tidak setuju dengan sikap ketat adz-Dzahabi atau bahkan mengkultus mufassir-mufassir salaf. Hanya saja perbedaan ini perlu disikapi secara matang. Tidak terjebak dengan satu cara pandang sehingga acuh dan istihza’ dengan tafsir –tafsir salaf yang tentu saja lahir dari tangan-tangan pakar.

Namun demikian, tentu untuk beberapa israiliyât yang sudah disepakati oleh para ulama kebatilannya baik  ditilik dari segi sanad atau matan yang bertentangan dengan ushulisy-syarî’ah tentu tidak boleh untuk diriwayatkan keculai disertai penjelasan atas kebatilannya.

Abdul Hamid


[1] Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi. at-Tafsir wal-Mufassirun. Juz. IV. Hlm. 16-19. Makatabah Syameela

[2] Dr. Muhammad Husain ad-Dzahabi. al-Israiliyat fi-Tafsir wal-Hadis. Hlm. 87-60. Makatabah Wahbah

[3] Dr. Muhammad Husain ad-Dzahabi. al-Israiliyat fi-Tafsir wal-Hadis. Hlm. 52. Makatabah Wahbah

[4] Dr. Muhammad Husain adz-Dzahabi. at-Tafsir wal-Mufassirun. Juz. IV. Hlm. 15. Makatabah Syameela

[5] Sedangkan untuk israiliyât yang berstatus dead lock beliau sama sekali menolak untuk dijadikan alat memahami tafsir, beliau beralasan untuk menjaga al-quran dari pambahsan tak berguna (lagwul-hadis) Dr. Muhammad Husain ad-Dzahabi. al-Israiliyat fi-Tafsir wal-Hadis. Hlm. 167. Makatabatu-Wahbah

 

[6] Syeikh Muhammad Abdullah, Syeikh Utsman Jumah dan Syeih Sulaiman Muslim Ketiganya Muhaqqiq kitab Tafsir Maalimut-tanzil karya al-Baghawi

[7] Abu Muhammad Husain bin Masud al-baghawi. Maalimut-tanzil. Juz. I. hlm. XI. Darut-Thayyibah


Kekaguman Gus Baha' Pada Abuya Sayyid Muhammad

Gus Baha ngaji Kitab Syariatullah Alkholidah karya Sayyid Muhammad bin Alawy Al Maliki.  1. Gus Baha mengakui Kitab karya Sayyid Muhammad Al...