𝐃𝐚𝐧 𝐓𝐫𝐚𝐠𝐞𝐝𝐢 𝐊𝐞𝐥𝐮𝐚𝐫𝐠𝐚: 𝐇𝐚𝐛𝐢𝐛 𝐔𝐦𝐚𝐫 𝐀𝐥-𝐇𝐚𝐦𝐢𝐝 & 𝐒𝐞𝐩𝐮𝐩𝐮𝐧𝐲𝐚 𝐀𝐥𝐢 𝐀𝐥-𝐇𝐚𝐦𝐢𝐝 𝐃𝐢𝐬𝐢𝐤𝐬𝐚 𝐡𝐢𝐧𝐠𝐠𝐚 𝐓𝐞𝐰𝐚𝐬 𝐨𝐥𝐞𝐡 𝐏𝐊𝐈
(Ibnu Abdillah Al-Katibiy, 17 November 2025)
Berdasarkan dokumen-dokumen penting yang saya peroleh langsung dari cucunya (jalur ibu), Habib Zainal Abidin Al-Habsyi, tersingkap sebuah fakta sejarah yang selama ini jarang terungkap kepada publik.
Dalam salah satu narasinya Bung Rhoma, (sang Kesatria Bergitar) pernah menyatakan seperti dalam video:
“𝗧𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝘀𝗲𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗽𝘂𝗻 𝗕𝗮‘𝗮𝗹𝗮𝘄𝗶 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗶𝗸𝘂𝘁 𝗯𝗲𝗿𝗽𝗲𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗱𝗶 𝟭𝟬 𝗡𝗼𝘃𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿, 𝗷𝗮𝗱𝗶 𝘁𝗶𝗱𝗮𝗸 𝗮𝗱𝗮 𝗮𝗿𝘁𝗶𝗻𝘆𝗮 𝟭𝟬 𝗡𝗼𝘃𝗲𝗺𝗯𝗲𝗿 𝗯𝗮𝗴𝗶 𝗸𝗮𝘂𝗺 𝗕𝗮‘𝗮𝗹𝗮𝘄𝗶.”
Pernyataan itu disampaikan dengan penuh keyakinan, namun tanpa riset sejarah, tanpa penelusuran dokumen, dan tanpa upaya mengenali siapa saja anak bangsa dari keturunan Ba‘alawi yang turut mempertaruhkan nyawa di Surabaya.
Karena itu, pada kesempatan ini saya hadirkan bukti sejarah yang sahih dan terverifikasi, bukan sekedar cerita. Salah satunya adalah kisah Habib Ali bin Muhsin Al-Hamid, pejuang 10 November yang bertempur langsung di Surabaya hingga mata kirinya buta akibat terkena mortir, serta catatan kelam keluarganya:
• 𝐇𝐚𝐛𝐢𝐛 𝐔𝐦𝐚𝐫 𝐀𝐥-𝐇𝐚𝐦𝐢𝐝 (adik kandung beliau) disiksa hingga cacat dan wafat oleh PKI.
• 𝐇𝐚𝐛𝐢𝐛 𝐀𝐥𝐢 𝐀𝐥-𝐇𝐚𝐦𝐢𝐝 (sepupunya) diculik dan dibunuh PKI tanpa pernah ditemukan makamnya.
Dan kisah ini baru satu dari sekian banyak bukti. Masih ada tokoh-tokoh lain seperti Habib Abu Bakar Al-Habsyi, dan banyak pejuang Ba‘alawi lainnya yang juga turun mengangkat senjata pada 10 November.
Namun dalam postingan ini, saya fokuskan pada satu nama:
Habib Ali bin Muhsin Al-Hamid, seorang habib pejuang yang harus dicatat dalam sejarah dengan tinta keberanian.
Habib Ali bin Mukhsin Al-Hamid lahir di Lumajang, Jawa Timur, pada tahun 1922, dan beralamat pada masa senja di Jl. Jawa Gg 4 No. 15B Pasuruan, Jawa Timur. Nama lengkap pada dokumen adalah ALI BIN MUKHSIN AL-HAMID dan tercatat sebagai pejuang kemerdekaan serta veteran Angkatan 45. Ia berasal dari keluarga Al-Hamid (Ba'alawi) yang dikenal menjaga tradisi agama dan kehormatan di Jawa Timur.
𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐏𝐞𝐧𝐣𝐚𝐣𝐚𝐡𝐚𝐧 𝐉𝐞𝐩𝐚𝐧𝐠 (𝟏𝟗𝟒𝟒–𝟏𝟗𝟒𝟓)
Dokumen mencatat Habib Ali bin Mukhsin sebagai anggota KEYBU (Keibodan) di Lawang, Malang di bawah pimpinan Kapten Minami, dan juga pernah dikenakan kerja paksa Romusha oleh Jepang.
𝐊𝐢𝐩𝐫𝐚𝐡 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐧 𝟏𝟗𝟒𝟓 (𝐏𝐫𝐨𝐤𝐥𝐚𝐦𝐚𝐬𝐢 & 𝐏𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚)
Pada tahun 1945, habib Ali tergabung dalam PRI (Pemuda Republik Indonesia) dan BKR (Badan Keamanan Rakyat), di bawah kepemimpinan Bp. Zen Muhammad dan Bp. Mutarib Noor Amir di Lawang-Surabaya. Ia juga tercatat berhubungan dengan tokoh nasional seperti Bung Tomo, Dr. Mustopo, dan A.A. Bahdim, serta aktif dalam berbagai laskar perjuangan di Lawang, Surabaya dan Malang.
𝐏𝐞𝐫𝐭𝐞𝐦𝐩𝐮𝐫𝐚𝐧 𝐁𝐞𝐬𝐚𝐫 𝟏𝟎 𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫, 𝐒𝐮𝐫𝐚𝐛𝐚𝐲𝐚
Pada 10 November 1945, Habib Ali terjun langsung dalam pertempuran Surabaya. Ia mengalami luka parah: mata kiri buta dan tangan kanan cedera berat akibat mortir, dan dirawat oleh Dr. Sartono di Lawang. Beberapa sahabat seperjuangan gugur dalam pertempuran tersebut.
𝐇𝐢𝐳𝐛𝐮𝐥𝐥𝐚𝐡 & 𝐉𝐚𝐛𝐚𝐭𝐚𝐧 𝐌𝐢𝐥𝐢𝐭𝐞𝐫
Setelah sebagian pulih, habib Ali bergabung dengan Hizbullah sebagai Pembantu Kepala Perlengkapan dan menjabat Komandan Markas Batalyon Pertempuran Hizbullah Pandaan, serta staf Divisi Hizbullah Malang. Data dokumen menyebut ia berhubungan langsung dengan Bp. Moch Saidu, Bp. Abdul Qarim, dan Panglima Imam Sudjat dari Divisi VIII. Pada masa ini, ia berpangkat Letnan Dua (Lt. II) TNI AD.
𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐂𝐥𝐚𝐬𝐡 𝐈 & 𝐈𝐈
Habib Ali pernah bertugas di Banyuwangi, Muncar, Gempol, Tulangan, dan Pandaan dalam Clash I dan II (1946–1949). Ia tercatat dalam operasi gerilya bersama Hamid Rusdi, Brigade XVI Trunojoyo dan Batalyon Trunojoyo Malang, serta menghadapi pengepungan Belanda dan pertempuran gerilya di Lawang dan sekitarnya.
𝐏𝐞𝐧𝐮𝐠𝐚𝐬𝐚𝐧 𝐍𝐞𝐠𝐚𝐫𝐚 𝟏𝟗𝟒𝟗–𝟏𝟗𝟓𝟎 𝐓𝐚𝐡𝐮𝐧 𝟏𝟗𝟒𝟗.
Habib Ali masuk struktur resmi TNI/Komando Militer Kota Surabaya di bawah komando IR Sumantono dan Djardjo Subyantono. Tahun 1950, ia ditugaskan ke Makassar-Sulawesi Selatan dalam operasi penertiban DI/TII dan sisa kolonial, sebelum akhirnya mengajukan permohonan berhenti secara terhormat karena kondisi fisik akibat luka perang. Surat pemberhentian resmi menurut dokumen adalah No 213/SKL/ST/API/50, dan ia pensiun secara hormat sebagai Purnawirawan TNI AD dan aktif di PEPABRI maupun Legiun Veteran Republik Indonesia.
𝐓𝐫𝐚𝐠𝐞𝐝𝐢 𝐆𝟑𝟎𝐒/𝐏𝐊𝐈
Masa G30S/PKI menjadi periode tragis bagi keluarga habib Ali bin Mukhsin. Dokumen menyebut dua keluarga beliau menjadi korban kekejaman PKI: Adek kandung beliau; Umar bin Mukhsin, dipukul dan disiksa oleh orang-orang PKI di Ambulu-Jember hingga mengalami gagar otak selama hidupnya sampai meninggal dunia di Tanggul. Beliau meninggalkan seorang istri dan 6 anak putra-putri.
Dan sepupu beliau; Ali bin Abdullah Al-Hamid, kala itu menjabat sebagai ketua Ansor Tanggul, diculik waktu malam dan dibunuh PKI, hingga makamnya tidak ditemukan sampai saat ini. Beliau meninggalkan seorang istri dan 5 anak putra-putri.
Kisah ini diceritakan oleh habib Ali bin Muhsin Al-Hamid dengan melampirkan beberapa fakta singkat sebanyak 19 lembar dan diserahkan kepada Legiun Veteran Cabang Pasuruan dan Dewan Harian Nasional Angkatan 45 di Pasuruan.
𝐌𝐚𝐬𝐚 𝐓𝐮𝐚 & 𝐖𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐧 𝐏𝐞𝐫𝐣𝐮𝐚𝐧𝐠𝐚𝐧
Pada 27 Juli 1988, habib Ali menulis sendiri riwayat perjuangan secara singkat pada usia 73 tahun, seperti dalam dokumen-dokumen. Ia menegaskan bahwa banyak fakta-fakta sejarah yang masih disimpan dalam ingatan, meskipun tidak seluruhnya terdokumentasi secara lengkap. Ia dikenal sebagai sosok yang berani, loyal kepada ulama, dan tidak pernah lari dari gelanggang perjuangan meski mengalami cacat fisik tetap kembali ke medan perang hingga pensiun.
𝐊𝐞𝐬𝐢𝐦𝐩𝐮𝐥𝐚𝐧 :
Habib Ali bin Mukhsin Al-Hamid adalah contoh nyata habaib pejuang yang tidak hanya berdakwah, namun ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia, bahkan mengalami luka berat sebagai saksi sejarah langsung dari masa Revolusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar