Amal-amalan begitu teman Santri menyebutnya. Nyaris di setiap penghujung tahun, saat semua pelajaran telah rampung dihatamkan. Biasanya para murid di kelas, selalu meminta kenang-kenangan kepada Ustadznya berupa amalan doa atau wirid tertentu semisal hizib, mantra pengobatan, pelancar rezeki, Habbah (pengasihan) dan lainnya. Meski kadang ijazah amalan tersebut hanya dibuat koleksi pribadi dan tidak pernah diamalkan. Ketika ditanya, mereka menjawab: "Untuk persiapan kelak ketika pulang ke rumah Ustadz." 😀
So, bicara Amal-amalan, khususnya yang berkaitan dengan ilmu pengobatan syar'i seperti Riqiyah, Tamimah (Azimah) atau Nushrah. Ada beberapa syarat yang harus dilakukan bagi setiap praktisi pengobatan ini agar hasilnya bisa mujarab dan sesuai harapan sebagaimana yang disampaikan Syaikh Sulaiman bin Umar al-Bujairamiy asy-Syafi'i dalam kitabnya Hasyiyah al-Bujairamiy ala al-Khatib dari Syaikh al-Jauhari mengatakan:
يشترط في كاتب التميمة أن يكون على طهارة وأن يكون في مكان طاهر وأن لا يكون عنده تردد في صحتها وأن لا يقصد بكتابتها تجربتها وأن لا يتلفظ بما يكتب وأن يحفظها عن الأبصار بل وعن بصره بعد الكتابة وبصر ما لا يعقل وأن يحفظها عن الشمس وأن يكون قاصدا وجه الله في كتابتها وأن لا يشكلها وأن لا يطمس حروفها وأن لا ينقطها وأن لا يتربها وأن لا يمسها بحديد. وزاد بعضهم شرطاً للصحة وهو أن لا يكتبها بعد العصر، وشرطاً للجودة وهو أن يكون صائماً.
"Disyaratkan bagi orang yang menulis Tamimah (Azimah) sebagai berikut; 'Harus dalam keadaan suci, menulis di tempat yang suci, tidak ragu atas keabsahannya, menulisnya tidak bermaksud mencoba, tidak melafadzkan apa yang ditulis, dijaga dari pandangan mata, dari pandangan matanya sendiri setelah ditulis dan mata anak yang belum berakal, dijaga dari sinar matahari, menulisnya bertujuan mencari ridha Allah ﷻ, tidak memberinya harakat, tidak menghapus huruf-hurufnya, tidak memberi titik huruf-hurufnya, tidak kena debu, dan tidak boleh tersentuh barang-barang yang terbuat dari besi. Sebagian ulama menambahkan untuk sahnya membuat Tamimah (Azimah): "Tidak boleh menulis setelah Ashar." Dan syarat agar Tamimah (Azimah) lebih bemutu: "Hendak orang menulis dalam keadaan berbuasa."
Sekedar keterangan, adapun perbedaan antara Riqiyah, Tamimah (Azimah) atau Nushrah adalah:
• Riqiyah:
ما يقرأ عند المريض مثلاً من آيات الشفاء ونحوها للتشفي
"Sesuatu yang dibaca pada orang yang sakit berupa Ayat-Ayat Syifa' (penyembuhan) dan lainnya kerena berharap kesembuhan (Hasyaiyah al-Qununiy).
• Tamimah:
ورقة يكتب فيها من القرآن وتعلق على الرأس مثلا للتبرك
"Kertas yang di tulis (Ayat-ayat) al-Qur'an semisal dan di diletakan di kepala kerena bertujuan mencari berkah." (Tuhwatu al-Habib ala Syarhi al-Khatib).
• Nushrah:
أن يكتب شيئا من أسماء الله تعالى او من القران ثم يغسله بالماء ثم يمسح به المريض او يسقيه
Menulis sesuatu dari nama-nama Allah ﷻ batau Ayat-ayat Al-Quran, lalu dia menghapusnya dengan air, kemudian air itu dia mandikan pada orang yang sakit atau meminumkannya. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah).
Sementara al-Habib Zain bin Ibrahim bin Semith dalam kitabnya ath-Thib wa al-Adwiyah min Amradhi al-Jiniyah al-Maknawiyah mengutib dari Syaikh Ibnu Hajar al-Asqolaniy dalam kitabnya Fathu al-Bari mengatakan:
أَجْمَعَ أَهْلُ العِلْمِ عَلَى جَوَازِ الرُّقْيَةِ عِنْدَ اجْتِمَاعِ ثَلَاثَةِ شُرُوطٍ :
1 - أَنْ يَكُونَ بِكَلَامِ اللَّهِ تَعَالَى أَوْ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ.
٢ - أَنْ يَكُوْنَ بِاللِّسَانِ العَرَبِيِّ ، أَوْ بِمَا يُعْرَفُ مَعْنَاهُ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ.
٣- أَنْ يَعْتَقِدَ أَنَّ الرُّقْيَةَ لَا تُؤَثِّرُ بِذَاتِهَا ، بَلْ بِتَقْدِيرِ اللَّهِ تَعَالَى .
"Para ahli ilmu telah sepakat akan bolehnya Ruqiyah, ketika telah memenuhi 3 Syarat:
1- Harus berupa Kalamullah, Asma dan Sifat-sifatnya.
2- Harus dengan bahasa Arab atau kalimat yang diketahui artinya dengan bahasa lain.
3- Harus meyakini, bahwa Ruqiyah secara dzatiyahnya itu tidak bisa memberi pengaruh apa pun, bahkan (segala efek samping) dengan kuasa Allah ﷻ. Waallahu A'lamu
Sumber: Abdul Adzim
Referensi:
✍️ Syaikh Sulaiman bin Umar al-Bujairamiy asy-Syafi'i| Hasyiyah al-Bujairamiy ala al-Khatib| Daru al-Kutub al-Ilmiyah, juz 1, halaman 548-549.
✍️ Al-Hafidz Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalaniy| Fathu al-Bari bi Syarhi Shohih al-Bukhariy| Daru ath-Thayyibah, jilid 13, halaman 155.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar