Rabu, 30 November 2016

MENJADI SUFI BERDUIT: URGENSI HARTA DALAM PANDANGAN TASAWUF






Andai dalam Islam tidak ada celah yang dapat aku tutupi dengan kekayaanku, maka aku tidak akan mengumpulkan kekayaan itu.” Kalimat yang diucapkan oleh Utsman bin Affan ini memiliki makna tersendiri bagi pola pikir tasawuf dalam menyikapi harta benda.
                Sufi berduit menjadi salah satu corak dari sekian banyak tipikal para sufi. Sejarawan tasawuf semacam al-Tsusiy mengategorikan Utsman bin Affan sebagai sufi yang sudah mencapai maqam al-Shiddiqin karena prinsip yang beliau pegang dalam menyikapi kekayaannya yang melimpah.
                Empat Khalifah, semuanya adalah figur sufi. Dan, masing-masing membawa tipikal kesufian yang berbeda. Utsman bin ‘Affan memiliki ciri khas yang paling unik dibanding dengan tiga khalifah lainnya. Beliau adalah sufi yang sepintas tidak sufi, tapi ternyata sangat sufi: khusyuk membaca al-Quran dan bergeming menghadapi ancaman maut, menjadi jutawan tapi menghabiskan waktunya untuk beribadah.
                Dalam pola tasawuf Sayidina Utsman-sebagaimana tergambar dalam ucapan beliau di atas-kekayaan begitu penting bagi kelangsungan hidup agama ini. Secara histori, ucapan beliau dibuktikan dalam Perang Tabuk, ketika orang-orang membutuhkan data untuk berperang melawan Romawi. “Ternyata dinar menjadi kekuatan, di samping semangat juang mereka.”
                Salah satu tokoh sufi yang memiliki pandangan sama dengan Utsman bin ‘Affan adakah Sufyan al-Tsauri. Dalam pandangan Sufyan kekayaan adalah senjata orang-orang mukmin (Silah al-Mu’min). Melarat justru menjadi bencana. Sufyan pernah berkata: “Aku ingin kaum santri memiliki kekayaan yang cukup. Sebab, bencana dan omongan orang akan cepat menyambar mereka jika melarat dan berada dalam status sosial rendah.” Jadi, menurut beliau “harta” justru menjadi semacam syiar agar para pencari ilmu dihargai orang, bukan malah diomongi orang.
                Pandangan “harta sebagai senjata” ini senada dengan semangat Utsman bin ‘Affan yang menjadi kaya bukan karena kepentingan pribadinya, tapi untuk pengabdian terhadap agama dan kepetingan umum umat islam. “Kekayaan adalah penutup celah dalam Islam,” tegas beliau.
                Sufyan betul-betul meyakini bahwa kekayaan merupakan suatu yang sangat penting. Para sufi yang menyukai cara hidup melarat, salah satu motivasinya adalah menghindari tumpukan hisab di akhirat. Sebab, setiap butir kekayaan akan dihisab oleh Allah. Tapi, dalam pandangan Sufyan saat ini faktor materi menjadi begitu urgen. Bagi dia lebih baik dihisab dari pada terjebak dalam lingkaran al-Mu’min al-Dha’if gara-gara hidup papa.
                Pandangan Sufyan ini berangkat dari keprihatinannya terhadap fenomena kaum sufi waktu itu. Sekian banyak sufi justru hidup menunggu sedekah, menjadi beban orang lain, menjual citra sufi di depan pintu para saudagar dan bangsawan. Ia berkata: “Mati dengan meninggalkan sepuluh ribu dinar yang kelak menjadi tanggungan hisab lebih aku sukai dari pada aku membutuhkan orang lain. Dulu, kekayaan memang tidak disukai. Tapi, saat ini kekayaan adalah perisai yang dapat melidungi orang-orang mukmin dari menengadahkan tangan kepada para penguasa dan orang-orang kaya.”
Atas dasar kenyataan ini, Sufyan dan segala kekokohannya di dunia sufi, justru memompa mereka untuk bekerja (kasb). Bekerja sama sekali tidak mengurangi tawakal jika tawakal itu dipahami secara benar. ‘Abdullah bin Mubarak berkata: “Bekerja tidak membuatmu terhalang untuk bersikap pasrah dan tawakal, asal keduanya tidak kau lemparkan saat bekerja.” Bahkan, tokoh sufi sekaliber Mansur bin Ammar justru bekerja dengan mengajar dan berceramah. Meskipun apa yang dilakukan oleh Mansur ini memancing reaksi agak keras dari Bisy bin Harits al-Hafi, tokoh sufi lain di Baghdad.
Tasawuf tidak melarang orang bekerja dan kaya. “Tawakal adalah gerak hati Rasulullah, sedangkan bekerja adalah sunnah Rasul,” kata Ibnu Salim. Tokoh-tokoh sufi seperti al-Syibly memilih untuk bekerja. Hanya saja, tasawuf memberikan batas-batas etika yang ketat bagi mereka yang hendak terjun menekuni sebuah profesi atau pekerjaan tertentu. Sejarawan tasawuf, al-Thusiy, merekam etika bekerja itu dari berbagai pernyataan tokoh-tokoh sufi. Di antaranya: ia tidak boleh menjadikan pekerjaan sebagai tonggak bersandar dan jangan sampai malupakan Tuhan pada setiap langkah dalam pekerjaannya.
Memang, dalam jenjang penempaan sufi ada yang disebut dengan maqam faqr (fakir). Hakikat maqam ini tidak seperti kesan yang digunakan itu. dengan maqam ini bukan berarti seorang sufi tidak boleh memiliki apapun, tapi tidak boleh dimiliki apapun. Beginilah orang-orang shiddiqin dalam menyikapi aset materi yang mereka miliki. Ketika masuk ke dalam pintu kekayaan sebetulnya mereka keluar, ketika bersama sebetulnya berpisah.
Salah satu ciri seorang telah mencapai maqam al-Shiddiqin ini adalah ketahanannya menghadapi ujian nikmat (al-bast). Nikmat sejahtera merupakan ujian terberat yang sangat sulit dilalui oleh seorang yang menempuh jalan sufi. Ketika diuji dengan kesengsaraan, seseorang akan cenderung mengingat Tuhan. Namun, jika diuji dengan kemewahan, maka ia cenderung melupakan Tuhan. Dalam al-Quran berulang kali Allah menyebut karakter labil manusia yang menyembah Allah dengan ikhlas justru saat ia berada dalam kesulitan. Dalam etika sufi disebutkan bahwa tidak ada yang tahan terhadap ujian sejahtera (al-saah) kecuali para nabi dan shiddiqin.
Tokoh-tokoh sufi yang memilih hidup kaya adalah karena mereka sudah tahan menghadapi ujian sejahtera ini. Datang dan perginya kekayaan sama-sama tidak memiliki pengaruh apapun terhadap konsentrasi ibadah dan tawakal mereka. Dan, di sisi lain kekayaan itu memiliki nilai plus dalam perkembangan agama. Maka, ada sufi yang menjatuhkan pilihan untuk menjadi sufi berduit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya

Anak akan belajar dari kehidupan orang tuanya  Jika anak dibesarkan dengan celaan,ia belajar memaki Jika anak dibesarkan dengan permusuhan,i...